HAMBATAN YANG TERJADI DALAM PELAKSANAAN REKONSTRUKSI KASUS PEMBUNUHAN DAN UPAYA PENANGGULANGAN DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN RESOR KOTA DENPASAR*

Oleh :

Yeremia Toga Sinaga** Gde Made Swardhana*** A.A. Ngurah Wirasila****

Program Kekhususan Pidana

Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Menurut isi Pasal 1 ayat (1) KUHAP tertulis bahwa penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang –undang untuk melakukan penyidikan. Berdasarkan pernyataan ini, polisi merupakan salah satu pelaku penegak hukum dituntut agar bisa menyelesaikan suatu tindak pidana yang terjadi. Kejadian yang terjadi di masa lampau, seperti kasus pembunuhan yang rentang waktu kejadiannya sudah lama semakin sukar diungkapkan kebenarannya sehingga penyidik membutuhkan suatu cara khusus dalam mengungkap kebenaran atas kejadian – kejadian tersebut. Permasalahan hukum yang dibahas dalam penelitian ini yaitu: (1) Faktor apa yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan rekonstruksi kasus pembunuhan di wilayah Polresta Denpasar. (2) Upaya apa yang dilakukan kepolisian dalam menangani hambatan pelaksanaan rekonstruksi kasus pembunuhan di wilayah Polresta Denpasar.Berdasarkan hasil penelitian, faktor penghambat pelaksanaan rekonstruksi kasus pembunuhan tidak terlepas dari ketidakcocokan keterangan saksi dan tersangka, barang bukti yang belum ditemukan dan keamanan di TKP pada saat rekonstruksi. Upaya penanggulangan terbagi

atas 2 hal, yakni koordinasi internal, yaitu menyiapkan personil yang memadai di TKP dan koordinasi eksternal, yakni memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya rekonstruksi.

Kata Kunci: Rekonstruksi, Penghambat, Upaya

Abstract

According to Article 1 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code states that investigators are state police officers of the Republic of Indonesia or certain civil servants who are given special authority by law to conduct investigations. Based on this statement, the police are one of the law enforcement actors who are required to be able to resolve a crime that has occurred. Events that occurred in the past, such as murder cases that have long been more difficult to reveal the truth of the incident so that investigators need a special way to uncover the truth of the events. The type of research used in this journal publication uses empirical methods. Empirical method is a method that is carried out by observation, which is often called direct research into the field. Legal problems in this study are: (1) What factors are the obstacles in the implementation of the reconstruction of murder cases in the Denpasar Regional Police. (2) What efforts have been made by the police in dealing with barriers to the reconstruction of murder cases in the Denpasar Police District. Based on the results of the study, the inhibiting factors for the reconstruction of murder cases were inseparable from incompatibility of witnesses and suspects' information, undiscovered evidence and security at the scene of the crime during the reconstruction. The mitigation efforts are divided into 2 things, namely internal coordination, namely preparing adequate personnel at the crime scene and external coordination, namely providing information to the community about the importance of reconstruction.

Keywords: Reconstruction, Obstacle, Effort

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Pelaksanaan rekontruksi perkara pidana di Kepolisian RI diatur dalam SK KAPOLRI No.Pol.Skep/1205/IX/2000 mengenai Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, tanggal 11 September 2000. Hasil yang didapatkan dari

pelaksanaan rekontruksi dituangkan ke dalam Berita Acara Rekontruksi dan dilampirkan berkas perkara. Hasil rekonstruksi yang dituangkan dalam berita acara rekontruksi cenderung dipergunakan sebagai alat dalam membuktikan perkara pidana pada persidangan.1 Pelaksanaan rekonstruksi kasus pembunuhan sering mengalami hambatan sehingga pihak kepolisian membutuhkan waktu yang lama dalam mengungkap suatu tindak pidana.

Rekonstruksi adalah penyusunan kembali ataupun usaha untuk memeriksa kembali kejadian yang sebenarnya terhadap suatu delik yang dilakukan dengan mengulangi kembali peragaannya sebagaimana kejadian yang sebenarnya. Hal ini dilakukan baik oleh penyidik ataupun oleh hakim untuk memperoleh keyakinan.2 Dalam Bahasa Belanda, rekonstruksi disebut dengan reconstructie yang berarti pembinaaan/pembangunan baru; pengulangan suatu kejadian. Misalnya polisi mengadakan rekonstruksi dari suatu kejahatan yang telah terjadi untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai jalannya kejahatan 3tersebut. Rekonstruksi dalam bahasa Inggris disebut dengan reconstruction yang berarti “the act of reconstructing; something reconstructed, as a model or a reenactment of past even”.4

Dalam melaksanakan rekonstruksi, kehadiran tersangka, saksi, korban (jika korban tidak meninggal dunia) dan jaksa

diperlukan.5 Rekonstruksi dilakukan di tempat terjadinya suatu tindak pidana dan biasanya dilakukan di tempat lain yang mirip dengan tempat kejadian perkara sebenarnya demi alasan keamanan. Rekonstruksi dalam pelaksanaannya membutuhkan waktu yang cukup lama tetapi dengan cara ini, penyidik memperoleh gambaran bagaimana tersangka melakukan suatu tindak pidana.

Rekonstruksi di dalam Kitab Undang –Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan secara tersirat, sehingga menyebabkan banyak masyarakat yang tidak mengetahui mengapa rekonstruksi harus dilakukan. Rekonstruksi dijadikan sebagai tontonan dan ajang untuk membalas perbuatan tersangka oleh masyarakat sehingga mengganggu jalannya proses rekonstruksi. Pelaksanaan rekonstruksi membutuhkan kerjasama dari masyarakat sehingga dapat membantu pihak kepolisian dalam mengungkap suatu tindak pidana. Hasil rekonstruksi sangat membantu jaksa dalam melakukan penuntutan di pengadilan dan mendukung alat bukti yang lain, walaupun dalam pelaksanaan rekonstruksi tidak mudah dan memiliki banyak hambatan.

Pada prakteknya, dalam sidang pemeriksaan di pengadilan, selain menggunakan alat bukti-alat bukti Biasanya pada kasus- kasus tindak pidana tertentu, seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan dan lainnya, terdapat suatu alat bukti atau semacam petunjuk lain yang biasa disebut sebagai rekonstruksi tindak pidana. Meskipun sifatnya hanya sebagai alat bukti tambahan yang merupakan bagian dari alat bukti petunjuk, di dalam prakteknya ternyata rekonstruksi ini sangat membantu jaksa dalam melakukan

penuntutan di pengadilan dan hasil rekonstruksi ini pun dapat mendukung alat bukti yang lain.6

Hal ini terlihat pada rekonstruksi kasus pembunuhan sadis Aiptu Made Suanda yang dilaksanakan pada tanggal 17 Januari 2018 sempat memanas.7 Keluarga korban yang ikut menyaksikan proses rekonstruksi tidak bisa menahan emosi ketika melihat wajah-wajah para pelaku. Rekonstruksi yang digelar anggota Satreskrim Polresta Denpasar di dua tempat kejadian perkara (TKP). Reka ulang yang pada dasarnya berjalan aman menjadi memanas ketika keluarga korban hendak menyerang para tersangka.8 Para tersangka menghabisi korban karena merasa tersinggung korban berbicara dengan nada tinggi karena lama menunggu pembayaran mobil.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang terdpat dua pokok permasalahan yang diangkat pada jurnal ini, adalah:

  • 1.    Faktor apa yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan kasus rekonstruksi pembunuhan di wilayah Polresta Denpasar?

  • 2.    Upaya apa yang dilakukan kepolisian dalam menangani hambatan pelaksanaan kasus pembunuhan di wilayah Polresta Denpasar?

  • 1.3    Tujuan

    2.1.1    Tujuan umum

Tujuan penulisan jurnal ini secara umum adalah mengetahui faktor-faktor penyebab hambatan yang terjadi dalam rekonstruksi serta memberikan sumbangan pengetahuan hukum terhadap masyarakat terutama yang berkaitan dengan hukum acara pidana dalam pelaksanaan rekonstruksi dan upaya yang dilakukan oleh kepolisian dalam pengembangan ilmu hukum.

  • I.2.2    Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor apa yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan rekonstruksi kasus pembunuhan di wilayah Polresta Denpasar.dan mengetahui upaya apa yang dilakukan kepolisian dalam menangani hambatan pelaksanaan rekonstruksi kasus pembunuhan di wilayah Polresta Denpasar.

  • II.    ISI MAKALAH

    • I.3    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah menggunakan metode empiris. Metode empiris yaitu suatu metode yang dilakukan dengan cara observasi, yang sering disebut dengan penelitian secara langsung ke lapangan. Di dalam penelitian ini, dapat dikatakan bahwa penelitian hukum ini diambil dari fakta-fakta yang terjadi di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.9 Di samping itu, jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi10, pendekatan

kriminologi11 dan pendekatan ilmu pendukung lainnya. Pada penelitian ini, teknik penggumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik wawancara (interview), yaitu dengan langsung kepada objek yang akan diteliti dengan mengajukan pertanyaan secara langsung mengenai yang akan diteliti. Bahan –bahan hukum yang sudah terkumpul, kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif analisis. Teknik deskriptif analisis adalah penjabaran data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan.

  • I.4    Hasil dan Analisis

    • I.4.2    Faktor penghambat pelaksanaan rekonstruksi di Polresta Denpasar

Adapun faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan rekonstruksi kasus pembunuhan di wilayah Polresta Denpasar berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Putu Pastika (Kaur Bin Ops Reskrim Polresta Denpasar) dan Bapak I Wayan Kaler (Kasubunit IV Reskrim Polresta Denpasar) adalah sebagai berikut,

  • 1.    Tidak adanya kesesuaian keterangan oleh pelaku sehingga dilakukan 2 versi, yaitu dari pelaku dan saksi.

Cara yang sering dilakukan oleh pihak kepolisian dalam mencocokkan antara keterangan tersangka dan saksi adalah dengan mendeskripsikan sebuah kasus kejahatan tersebut sebagaimana kejadian sebenarnya sesuai dengan keterangan para saksi, tersangka dan korban jika korban tidak meninggal dunia, proses ini disebut dengan rekonstruksi. Hal ini dilakukan apabila keterangan dari tersangka dan saksi tersebut belum ada kecocokan sama sekali dengan kasus tersebut.

  • 2.    Tidak bisa melakukan rekonstruksi dilokasi kejadian karena faktor keamanan, sehingga dilakukan ditempat lain seperti dikantor.

Salah satu syarat dalam melaksanakan rekonstruksi adalah dilakukan di tempat kejadian perkara (TKP). Hal ini dikarenakan tersangka akan mengingat kejadian dan tindakan yang dilakukannya sehingga memudahkan penyidik melakukan pemeriksaan. Tetapi, terkadang penyidik mengalami kesulitan dalam melaksanakan rekonstruksi di TKP dikarenakan masyarakat yang amarahnya belum reda oleh kejadian yang telah terjadi di keluarga atau lingkungannya.

  • 3.    Tidak bisa melakukan seperti di waktu kejadian dari segi waktu maupun tempat

Salah satu faktor utama terganggunya pelaksanaan rekonstruksi suatu kasus pembunuhan yang telah terjadi adalah masyarakat. Banyaknya masyarakat yang datang meyaksikan pelaksanaan rekonstruksi karena penasaran akan tersangkanya, bagaimana tersangka melakukan tindakannya dan amarahnya belum reda oleh kejadian yang telah terjadi di keluarga atau lingkungannya tanpa sadar menyebabkam terganggunya rekonstruksi tersebut dan tidak menghiraukan himbauan dari penyidik dan polisi.

  • 4.    Salah seorang pelaku belum ditemukan, sehingga pelaku lain memberatkan kesalahan ke pelaku yang masih belum ditemukan

Menurut ketentuan Pasal 55 KUHP dibedakan hukumannnya antara orang yang melakukan sendiri (pleger) dengan orang yang menyuruh melakukan (doen pleger) dan orang yang turut

melakukan (medepleger) serta membujuk melakukan (uitloker). Semakin jelas peran tersangka, Jaksa Penuntut Umum semakin yakin dan tidak ada keraguan lagi dalam menentukan tuntutan atas peran apa yang disangkakan kepada tersangka.

  • 5.    Barang bukti terkait yang belum ditemukan karena pelaku membuang barang bukti tersebut ditempat yang jauh dari lokasi kejadian.

Dalam pengumpulan alat bukti di Tempat Kejadian Perkara (TKP), contohnya seperti alat kejahatan, hasil dari kejahatan yang telah dilakukan atau karena peristiwa kejahatan yang terjadi memiliki peran dalam mengungkap tindak pidana yang telah terjadi. Ada dua syarat suatu barang bukti dinyatakan telah lengkap, yaitu jika telah memenuhi syarat baik itu dari segi materiil maupun prosedur. Tetapi, pelaku tindak kejahatan sering membuang barang bukti jauh dari tempat kejadian sehingga barang bukti yang didapatkan oleh penyidik tidak lengkap. Selain itu, kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya barang bukti menyebabkan ada beberapa masyarakat yang menghilangkan barang bukti tersebut.

  • 6.    Adanya keterangan tambahan dari pelaku yang tidak sesuai dengan BAP karena ketidaksiapan tersangka baik segi mental maupun fisik

Kasus pembunuhan dilakukan rekonstruksi untuk mengetahui gambaran dan keyakinan kepada penyidik CPU, maupun hakim saat persidangan supaya jelas apa peran masing-masing ketika peristiwaa itu terjadi. Apakah apa yang diterangkan dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) masuk akal apa tidak sehingga penyidik bisa menganalisa / memberikan kesimpulan apakah pelakunya yang bersangkutan.

  • 7.    Tidak semua saksi dapat hadir saat pelaksanaan rekonstruksi dan dalam kasus yang terdapat banyak tersangka, sehingga para tersangka tidak memahami tugas masing-masing rekannya sehingga dapat dijadikan saksi mahkota.

Pelaksanaan rekonstruksi dilakukan untuk melihat apakah tersangka orang yang melakukan atau turut melakukan perbuatan pidana. Salah satu kemungkinan lain dalam menyebabkan adanya hambatan dalam pelaksanaan pelaksanaan rekonstruksi adalah dalam suatu kasus pembunuhan terdapat banyak tersangka sehingga tidak memahami peran masing-masing.

  • I.4.3    Upaya mengatasi rekonstruksi kasus pembunuhan di

    Polresta Denpasar

Dalam menanggulangi faktor-faktor yang menghambat dalam pelaksanaan rekonstruksi terdapat beberapa upaya yang dilakukan baik itu dari pihak kepolisian. Adapun upaya penanggulangan dalam bentuk koordinasi internal pelaksanaan rekonstruksi kasus pembunuhan di wilayah Polresta Denpasar berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang Kaur Bin Ops Reskrim Polresta Denpasar adalah seperti, menyiapkan personil yang memadai di TKP, memuat adegan terhadap kejadian tersebut, perencanaan untuk rekonstruksi dan menyiapkan hasil penyidik dengan sempurna. Sedangkan upaya penanggulangan dari bentuk koordinasi eksternal dalam pelaksanaan rekonstruksi kasus pembunuhan di wilayah Polresta Denpasar berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Putu Pastika (Kasubunit IV Reskrim Polresta Denpasar) adalah seperti, mengajak masyarakat sekitar membantu melancarkan rekonstruksi, mengikutsertakan anggota intel, dan tempat kejadian perkara (TKP) dilakukan ditempat lain.

Dalam mengetahui apakah upaya yang dilakukan kepolisian Resor Kota Denpasar dalam menangani rekonstruksi kasus pembunuhan mengalamai hambatan dijelaskan di dalam tabel 2 di bawah ini:

Tabel 2. Data Kasus Menonjol Sat Reskrim dan Jajaran Tahun

2018

Bulan

Bunuh Royok MD (Meninggal

Dunia)

Keterangan

Lapor

Selesai

Januari

0

1

-

Februari

1

1

-

Maret

0

1

-

April

0

0

-

Mei

0

0

-

Juni

1

0

-

Juli

0

0

-

Agustus

0

0

-

September

1

0

-

Oktober

0

0

-

Nopember

0

1

-

Desember

-

-

-

Jumlah

3

4

Kasus Selesai

Berdasarkan tabel 2 diatas, total kasus pembunuhan yang dilaporkan dari bulan Januari hingga bulan November pada tahun 2018 di Polresta Denpasar terdapat sebanyak 3 kasus, yang berhasil diselesaikan oleh pihak Polresta Denpasar sebanyak 4 kasus pembunuhan dengan 1 kasus tidak laporkan. Berdasarkan data yang diperoleh tersebut, selama tahun 2018 Polresta Denpasar dapat menyelesaikan semua kasus pembunuhan yang dilaporkan maupun tidak dilaporkan. Dapat dilihat bahwa pihak Polresta Denpasar dapat menangani faktor penghambat rekonstruksi dengan upaya yang dilakukan dengan menggunakan kordinasi eksternal dan internal.

  • III.    PENUTUP

    3.1    KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:

  • 1)    Faktor penghambat pelaksanaan rekonstruksi kasus pembunuhan tidak terlepas dari ketidakcocokan keterangan saksi dan tersangka, barang bukti yang belum ditemukan dan keamanan di TKP pada saat rekonstruksi.

  • 2)    Upaya penanggulangan dalam menangani hambatan yang terjadi dalam rekonstruksi kasus pembunuhan terbagi atas 2 hal, yaitu koordinasi internal, seperti menyiapkan personil yang memadai di TKP dan koordinasi eksternal, seperti memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya rekonstruksi.

  • 3.2    Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut saran yang dapat diberikan oleh penulis antara lain:

  • 1)    Perlu adanya suatu penyuluhan atau sosialisasi dari kepolisian kepada masyarakat mengenai pentingnya diadakannya pelaksanaan rekonstruksi dan memberikan informasi tentang hukum rekonstruksi.

  • 2)    Perlu adanya penyempurnaan tahapan yang dilakukan dan prosedur yang harus dipenuhi penyidik sebelum melakukan rekonstruksi di lapangan sehingga pelaksanaan rekonstruksi di lapangan berjalan dengan baik dan lancar untuk membuat suatu kasus menjadi jelas dan terang.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Andi Hamzah. 1989. Kamus Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.

J. C. T Simorangkir. 2007. Kamus Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. Macquaric Library. 1985. The Macquaric Dictionary. Australia.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penulisan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Grafindo Persada, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1993, Kamus Sosiologi, PT. Raja Grafindo Persada, Bandung.

Yesmil Anwar dan Adang, 2013, Kriminologi, PT. Refika Aditama, Bandung.

Jurnal dan Hasil Penelitian

Wahyu Sudrajad, 2017, Rekonstruksi Sebagai Upaya Mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Kasus Wilayah Hukum Polsek Banyumanik Semarang), Jurnal Hukum Kahira Ummah, 12(3): 611-616.

Joko P. Prihantono, 2010, “Rekontruksi Perkara Dalam Proses Penyidikan sebagai Upaya Mengungkap Tindak Pidana di Wilayah Hukum POLWILTABES Semarang”, Skripsi Fakultas Hukum Unversitas Negeri Semarang.

Internet

I Made Ardhiangga Ismayana, “Pembunuhan Sadis Aiptu Made Suanda, Menantu Korban Teriak Mau Pukul Pelaku”, URL: http://bali.tribunnews.com/2018/01/18/pembunuhan-sadis-aiptu-made-suanda- menantu-korban-teriak-mau-pukul-pelaku?page=2, Diakses pada tanggal 03 September 2018.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Udang-Undang Hukum Acara Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Lampiran Surat Keputusan No. Pol: Skep 1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana.

14