PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PUTUSAN NO:25/PID.SUS/TPK/2014/PN.DPS)*
on
PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PUTUSAN NO:25/PID.SUS/TPK/2014/PN.DPS)*
Oleh
Therisya Karmila**
I Gusti Ketut Ariawan***
I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti****
Program Kekhususan Pidana
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Minyak adalah satu dari sekian banyak unsur penting dalam kehidupan yang dibutuhkan masyarakat. Melihat pentingnya bahan bakar minyak dalam keberlangsungan sebuah negara, maka hal ini memerlukan penegakan dan pengaturan hukum yang maksimal. Dalam penelitian ini dibuat kajian dengan merepfleksikan pembahasan kasus tindak pidana korupsi bahan bakar minyak di Jembrana Bali. Adapun masalah yang diangkat: 1). Bagaimana pengaturan mengenai penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi?2). Bagaimana analisis yuridis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor 25/Pid.Sus.TPK/2014/PN.Dps berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi?
Penulisan karya jurnal kali ini memakai hukum normatif, dengan metode pendekatan perundang-undangan serta
pendekatan konsep. Sedangkan bahan hukum primer dan juga bahan hukum sekunder menjadi acuan hukum normatif yang dipakai. Hasil penulisan ini menunjukkan pemberian rekomendasi pembelian BBM bersubsidi kepada usaha mikro oleh dinas perindustrian perdagangan dan perindustrian Kabupaten
Jembrana tidak sesuai dengan mekanisme yang seharusnya dipenuhi. Yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana penyalahgunaan wewenang surat rekomendasi pembelian BBM
bersubsidi tersebut berdasarkan Putusan Pengadilan Tipikor Nomor 25/Pid.Sus.TPK/2014/PN.Dps adalah pemilik UD Sumber Maju(I Made Sueca Antara,ST) dalam kedudukannya sebagai anggota legislatif yang seharusnya memiliki fungsi kontrol, justru memanfaatkan jabatan dan kedudukannya untuk memperoleh pembelian jenis BBM tertentu.
Kata Kunci : Putusan Pengadilan, Pidana Korupsi, Subsidi BBM
Abstract
Oil is one of the many important elements in life that are needed by society. Seeing the importance of oil fuels in the sustainability of a country, this requires maximum legal enforcement and regulation. In this study a study was made by reflecting the discussion of alleged cases of corruption of fuel oil in Jembrana Bali. The problems raised: 1). What is the mechanism for giving recommendations for the purchase of subsidized fuel to micro-enterprises by the Jembrana Regency trade and industry service? 2). Who can be held accountable for criminal acts of misuse of authority on the recommendation letter for the purchase of subsidize fuel based on Corruption Court Decision Number 25 / Pid.Sus.TPK / 2014 / PN.Dps?
This journal uses normative law, with the method of legislative approach and conceptual approach. Whereas primary legal material and also secondary legal material become normative legal references used. The results of this paper indicate that the recommendation for the purchase of subsidized fuel to micro-enterprises by the industrial and trade services of Jembrana Regency is not in accordance with the mechanism that should be fulfilled. What can be accounted for for criminal acts of misuse of authority is the recommendation letter for the purchase of subsidized fuel based on the Corruption Court Decision Number 25 / Pid.Sus.TPK / 2014 / PN.Dps is the owner of UD Sumber Maju (I Made Sueca Antara, ST) in his position as legislator who should have a control function, instead utilize their position and position to obtain purchases of certain types of BBM.
Keywords: Court Decision, Corruption, Subsidies Oil Fuel
Dari sekian banyaknya unsur vital dalam kehidupan manusia, bahan bakar minyak (selanjutnya disingkat BBM) menjadi hal krusial di dalam roda perputaran pelayanan masyarakat. Penggunaan BBM saat ini tidak hanya berefek pada kebijakan dalam dan luar negeri di sebuah negara, tapi juga berefek global yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi serta penderitaan manusia. Di Indonesia pemanfaatan bahan bakar minyak telah diatur Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33. Dipandang perlu adanya dasar yang lebih substansial demi sistem kegiatan pengaturan usaha minyak dan gas bumi, maka selain Pasal diatas, lahir pula Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Kebutuhan akan bahan bakar minyak memang sudah menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia1. Pada era globalisasi saat ini dalam setiap tindak tanduk masyarakat di berbagai sektor kehidupan selalu ada pemerintah yang turut terlibat serta mengendalikan dengan birokrasi. Sehingga pemerintah menggunakan peranti yuridis guna mengendalikan, mengemudikan dan mengarahkan aktivitas masyarakat ke arah perencanaan yang ditetapkan. Pengolahan, Pengangkutan, penyimpanan, dan niaga hasil olahan minyak bumi, termasuk dalam kegiatan usaha hilir migas. Karena kegiatan usaha hilir
migas tersebut, pemerintah memerlukan suatu peranti prosedural serta izin yang dipenuhi, seperti yang tercantum dalam Pasal 2 PP No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh badan usaha yang telah memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh Menteri dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. Terdapatnya celah hukum seperti tidak adanya tahap verivikasi pada studi kasus kali ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) yang dilakukan pejabat administrasi dalam pemberian izin pembelian BBM bersubsidi oleh usaha mikro. Terjadinya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat pemerintah dapat menimbulkan kecenderungan ke ranah tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam Pasal 3 Undang – undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Pengertian masyarakat umum terhadap kata “korupsi” adalah berkenaan dengan “keuangan Negara” yang dimiliki secara tidak sah (haram)2.
Di tingkat daerah sendiri penyalahgunaan wewenang dalam sektor BBM bersubsidi sering terjadi di Indonesia termasuk di pemerintahan daerah, seperti yang terjadi di daerah Kabupaten Jembrana Provinsi Bali yang mana terdapat kasus tindak pidana penyalahgunaan wewenang terhadap kuota pembelian BBM Bersubsidi untuk Usaha Mikro yang telah diputuskan pada tingkat Pengadilan Tinggi Denpasar dengan nomor 25/Pid.Sus.TPK/2014/PN.DPS. Dapat diamati bahwa terdapat fakta telah terjadi kerugian negara berupa ketidaktepatan tujuan
pemberian subsidi pada BBM jenis solar yang seharusnya diberikan hanya kepada jenis usaha mikro, namun karena penyalahgunaan wewenang mengakibatkan terbitnya surat verifikasi dan rekomendasi yang membuka jalan terjadinya pembelian BBM solar bersubsidi oleh UD. Sumber Maju yang berjenis usaha kecil yang mana tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Karena hal terurai diatas maka jurnal dengan judul “PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan No:25/PID.SUS/TPK/2014/PN. DPS)” ini terbentuk.
Melihat penjabaran dari latar belakang diatas, maka rumusan permasalahan yang muncul adalah berikut :
-
1. Bagaimana pengaturan mengenai penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi?
-
2. Bagaimana analisis yuridis Putusan Pengadilan Tipikor
Nomor 25/Pid.Sus.TPK/2014/PN.Dps berkaitan dengan
penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi?
Pada substansi penulisan jurnal ini jenis penelitian yang ditelaah ialah penelitian hukum normatif . Dimana pada hakikatnya peraturan perundang-undangan yang berlaku dan di terapkan kemudian dikaji terhadap sebuah problematika hukum tertentu. Penulisan jurnal kali ini juga sering di juluki dengan Normative legal research. Penelitian hukum normatif menemukan
kebenaran berdasarkan logika dan nalar hukum dari segi normatifnya3.
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Pengaturan Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak
-
Pidana Korupsi
Kewenangan atau sering disebut authority,gezag merupakan kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu secara bulat. Kekuasaan tersebut dapat berasal dari kekuasaan legislative ataupun dari kekuasaan eksekutif, sedangkan wewenang (competence, bevoegdheid) hanya mengenai suatu onderdil atau bidang tertentu saja. Dengan demikian kewenangan berarti kumpulan dari wewenang-wewenang (rechtsbevoegdheden), misalnya wewenang menandatangani suatu surat keputusan oleh pejabat atas nama menteri, sedangkan kewenangan tetap berada di tangan menteri. Dalam hal demikian menurut Prajudi Atmosudirdjo disebut delegasi wewenang.4
Dalam Black’s Law Dictionary, kewenangan atau wewenang diartikan sebagai kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak, hak atau kekuasaan pejabat public untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban public.5 Apabila dilihat dari sifatnya maka sifat wewenang pemerintahan dapat dibedakan bersifat expressimplied, fakultatif dan vrij bestuur. Wewenang pemerintahan yang bersifat expresimplied adalah wewenang yang jelas maksud dan tujuannya, terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Sedangkan isinya dapat bersifat umum
(abstrak) dan bersifat individual-konkret. Wewenang pemerintahan bersifat fakultatif adalah wewenang yang peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan bagaimana suatu wewenang dapat dipergunakan. Wewenang bersifat bebas (discretioner atau vrij bestuur) adalah wewenang dimana peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup yang longgar atau bebas kepada badan/pejabat tata usaha negara untuk mempergunakan wewenang yang dimilikinya, dapat menolak atau mengabulkan suatu permohonan.6
Penyalahgunaan wewenang/ kewenangan dalam tindak pemerintahan menurut konsep Hukum Tata Negara atau Hukum Administrasi Negara selalu dipararelkan dengan konsep de’tornement de pouvoir. Dalam Verklarend Woordenboek Openbar Bestuur dirumuskan bahwa penggunaan wewenang untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Dengan demikian pejabat melanggar asas spesialis (asas tujuan). Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu kealpaan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sadar yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Pengalihan tujuan dilakukan atas interest pribadi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain.7
Sejalan dengan itu, Abdul latif memberikan pandangan bahwa penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu:
-
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
-
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam artian bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undangatau peraturan pelaksanaannya;
-
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.8
Sedangkan menyalahgunakan kewenangan yang terdapat dalam rumusan delik Pasal 3 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang no 20 Tahun 2001 tentang PTPK dirumuskan bahwa terdapat unsur menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada, karena jabatan atau kedudukan.
Kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi adalah serangkaian kekuasaan atau hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas atau pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan baik. Kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 3 UU PTPK tentunya adalah kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan yang dipangku oleh pegawai negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Jika diperhatikan rumusan delik Pasal 3 PTPK terdapat frase “kesempatan” yaitu peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi peluang mana tercantum di dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku
tindak pidana korupsi. Pada umumnya kesempatan ini diperoleh atau didapat dari ketentuan-ketentuan tentang tata kerja tersebut atau kesengajaan menafsirkan secara salah terhadap ketentuan-ketentuan tersebut.
Frase berikutnya adalah “menyalahgunakan sarana yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi”. Sarana dapat diartikan sebagai syarat, media atau cara. Dalam kaitan dengan ketentuan tentang tindak pidana korupsi. Jabatan menurut Utrecht adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara/kepentingan umum atau yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi yang diberi nama negara. 9 Sedangkan mengenai kedudukan menurut Soedarto, “istilah kedudukan di samping kata jabatan adalah sangat meragukan. Kalau kedudukan ini diartikan sebagai fungsi pada umumnya, maka seorang direktur bank swasta juga mempunyai kedudukan”. 10 Maka kedudukan dalam perumusan ketentuan tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 dipergunakan untuk pelaku tindak pidana korupsi bagi pegawai negeri dan bukan pegawai negeri, yaitu pegawai negeri sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang tidak memangku suatu jabatan tertentu, baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional.
-
2.2.2 Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Tipikor Nomor 25/Pid.Sus.TPK/2014/PN.Dps Berkaitan Dengan
Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi
Sebelum menganalisa bahwa
kasus
Putusan
No:25/PID.SUS/TPK/2014/PN. DPS berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi, maka wajib untuk ditelaah unsur-unsur delik tindak pidana korupsi agar terpenuhinya perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi seperti yang tercantum pada poin sebelumnya. Dari rumusan delik tersebut maka hal yang perlu dibuktikan terkait dengan perbuatan melawan hukum dalam kasus Disperindagkop Kabupaten Jembrana adalah adanya perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dalam rumusan delik dapat dilihat pada frase “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya”. Kewenangan, kesempatan maupun sarana yang disalahgunakan ada karena jabatan atau kedudukan yang dimiliki oleh subyek hukum dimaksud.
Dalam Kasus Disperindagkop Jembrana telah diketahui bahwa memang Disperindagkop memiliki kewenangan serta wewenang untuk mengeluarkan rekomendasi pembelian BBM jenis tertentu kepada usaha mikro. Namun dalam prakteknya Disperindagkop menerbitkan surat rekomendasi kepada usaha yang tergolong usaha kecil. Hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang mekanisme pemberian rekomendasi pembelian BBM jenis tertentu kepada konsumen pengguna BBM jenis tertentu.
Berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dalam ranah hukum pidana, menurut Nur Basuki Minarno, dalam tindak pidana korupsi unsur melawan hukum merupakan genusnya, sedangkan menyalahgunakan wewenang adalah speciesnya.11 Dalam rumusan delik tindak pidana korupsi, dapat sejalan dengan pendapat Nur Basuki Minarno namun dapat saja penyalahgunaan wewenang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum seandainya unsur “merugikan keuangan negara” terpenuhi. Ketika mengalihkan pembahasan mengenai kerugian keuangan negara, maka unsur kerugian keuangan negara wajib dibuktikan dalam persidangan tindak pidana korupsi meskipun belum terjadi namun suatu tindakan penyalahgunaan wewenang dengan mempergunakan jabatan atau kedudukan yang dapat dikategorikan merugikan keuangan negara adalah termasuk dalam tindak pidana korupsi. Pengertian kerugian negara dapat diambil dari Undang-undang No. 1 tahun 2004 Pasal 1 ayat 22 “kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.
Dikeluarkannya surat rekomendasi pembelian BBM tertentu
oleh Disperindagkop Jembrana melalui Kepala Dinas Disperindagkop Jembrana mengakibatkan orang./korporasi yang seharusnya tidak boleh membeli BBM jenis tertentu menjadi bisa membeli BBM jenis tertentu pada penyalur. Penyalur yang telah membeli BBM jenis tertentu tersebut dari pemerintah dengan membayar seluruhnya atau sebagain merupakan masalah teknis. Namun yang patut menjadi perhatian adalah kuota BBM jenis tertentu pada suatu wilayah (Jembrana) menjadi berkurang dengan ketidaktepat sasaran penyaluran. Akibat dari kejadian tersebut adalah kerugian negara, dimana negara harus mengeluarkan uang atau simpanan asset untuk membiayai subsidi yang tidak tepat sasaran. BBM jenis tertentu tidak didapat oleh usaha mikro, usaha mikro tetap mengalami kesulitan produktifitas dan ekonomi, serta negara tetap mengeluarkan dana subsidi untuk pihak yang tidak pantas menerima.
Jelas bahwa tindakan Kepala Disperindagkop Kabupaten Jembrana yang memberikan tanda tangan (persetujuan) untuk menerbitkan rekomendasi yang tidak tepat sasaran adalah memenuhi unsur tindak pidana Korupsi. Sehingga perbuatan melawan hukum in cassue rekomendasi Disperindagkop Kabupaten Jembrana adalah sebuah tindak pidana korupsi. Terlepas dari belum terdapatnya kesamaan perspektif dari para akademisi maupun praktisi untuk melihat tindak pidana korupsi sebagai delik materill atau delik formil. Namun dengan melihat
kerugian bisa ditaksir dengan nilai angka, terlebih dengan keterangan perhitungan angka kerugian negara dari BPKP jelas bahwa memang benar tindakan melawan hukum menerbitkan rekomendasi pembelian BBM jenis tertentu di Jembrana telah berakibat pada kerugian keuangan negara. Dalam artian akibat dari perbuatan melawan hukum berupa kerugian negara sudah terpenuhi.
-
1. Konsep penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi di adopsi dari pemahaman penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dalam Hukum Tata Negara dimana penyalahgunaan wewenang itu sendiri berarti melanggar aturan tertulis yang menjadi dasar kewenangan, adanya maksud menyimpang meski perbuatannya sudah benar, serta berpotensi merugikan negara.
-
2. Analisis yuridis penyalahgunaan wewenang dalam kasus Disperindagkop Kabupaten Jembrana sesuai dengan
adanya perbuatan melawan hukum yang merujuk pada kesalahan yang mana penyalahgunaan wewenang tersebut telah mengakibatkan adanya tindak pidana korupsi, dalam hal ini adalah Kepala Dinas Disperindakop Jembrana yang dengan memanfaatkan jabatan dan kedudukannya mengeluarkan surat rekomendasi tanpa adanya verifikasi ulang dari syarat-syarat pembelian BBM bersubsidi yang hanya bisa di berikan untuk usaha mikro.
-
1. Kepada para penegak hukum dalam tindak pidana korupsi agar dengan teliti memperhatikan setiap unsur dalam delik korupsi sehingga pelaku yang benar-benar melakukan tindakan yang memenuhi unsur tindak pidana korupsi dapat dikenakan putusan pengadilan sesuai dengan kesalahannya.
-
2. Kepada para pejabat atau pemangku kewenangan administrasi negara agar menjalankan tugas dan kewenangannya sebagaimana aturan hukum yang berlaku sehingga tindak pidana korupsi dapat dicegah melalui efektifitas proses administrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Atmosudirdjo, Prajudi, 1981, Hukum Administrasi negara, Ghalia Indonesia, Jakarata.
Campbel Black, Henry, 1990, Black Law Dictionary, West Publishing.
Ibrahim, Jhony, 2006, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang
Latif, Abdul, 2005, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidregel) Pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta
Latif, Abdul, 2014, Hukum Administrasi dalam Praktek Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta
Marpaung, Laden, 2005, Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Sinar
Grafika, Jakarta.
Migas, BPH, 2005, Komoditas Bahan Bakar Minyak (BBM), Penerbit BPH Migas RI, Jakarta.
Utrecht dan Saleh Djindang, 1990, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indoensia, Ictiar Baru, Jakarta.
Jurnal Ilmiah
Tololiu,Yudi Gabriel; Suatra Putrawan, 2017, Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pengguna Bahan Bakar Minyak Eceran Yang Tidak Memiliki Izin Penjualan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi, Kertha Wicara.
Peraturan Perundang - Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134).
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara. Nomor 136 Tahun 2001).
Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 65/PMK.02/2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.02/2011 tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran dan Pertanggungjawaban Subsidi Jenis Bahan Bakar Tertentu.
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Jembrana.
Peraturan Bupati Jembrana Nomor 53 Tahun 2011 Tentang Rincian Tugas Pokok Dan Fungsi Dinas Perindustrian, Perdagangan Dan Koperasi Kabupaten Jembrana.
Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi No. 5 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber daya Mineral Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Harga Jual Eceran Jenis BBM Tertentu Untuk Konsumen Pengguna Tertentu.
15
Discussion and feedback