KENDALA DAN TANGGUNG JAWAB PENYITAAN BARANG BUKTI NARKOTIKA OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN (Penelitian di Wilayah Hukum Polres Buleleng)
on
KENDALA DAN TANGGUNG JAWAB PENYITAAN BARANG BUKTI NARKOTIKA OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN (Penelitian di Wilayah Hukum Polres Buleleng)∗
Oleh:
Komang Andyana Prayoga∗∗
I Gusti Ketut Ariawan∗∗∗
I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti∗∗∗∗
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak :
Penyalahgunaan narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Buleleng rentan terjadi dikarenakan letak posisi kabupaten Buleleng sangat berdekatan dengan pelabuhan Gilimanuk dan Padangbai. Penanganan tindak pidana penyalahgunaan narkotika tersebut dilakukan dengan penyitaan sebaga langkah awal penyidik guna mengumpulkan barang bukti sebagai dasar penuntutan. Barang bukti dalam penyitaan sangat penting, sehingga perlu disimpan sebaik mungkin oleh penyidik. Faktanya kehilangan barang bukti dapat terjadi. Berdasarkan hal ini perlu dikaji mengenai kendala dalam proses penyitaan barang bukti kasus penyalahgunaan narkotika oleh penyidik Kepolisian Resor Buleleng dan tanggung jawab atau resiko yang diterima penyidik akibat dari hilang atau rusaknya barang bukti yang disita penyidik kepolisian Polres Buleleng. Penelitian ini menggunakan metode penelitian empiris, yang dilakukan dengan pendekatan perundang-undangan dan fakta. Hasil yang didapat dari penelitian ini bahwa penyidik menemukan berbagai macam kendala dalam melakukan tindakan penyitaan barang bukti diantaranya penyitaan secara paksa seringkali barang bukti tidak ada pada tersangka, sulitnya mendapatkan saksi saat penyitaan di tempat sepi, belum adanya Laboratorium Forensik di Buleleng dan penerapan teknik pembelian terselubung yang sulit. Anggota kepolisian yang terbukti bersalah dalam sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) dijatuhi hukuman berupa hukuman disiplin, hukuman pelanggaran kode etik, pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dan hukuman pidana.
Kata Kunci : Penyitaan, Barang Bukti, Tanggung Jawab Penyidik Kepolisian.
∗Makalah ilmiah ini disarikan dan dikembangkan lebih lanjut dari Skripsi yang ditulis oleh Penulis atas bimbingan Pembimbing Skripsi I Dr.I Gusti Ketut Ariawan, S.H., M.H., dan Pembimbing Skripsi II I Gusti Agung Ayu Dike
Widhiyaastuti, S.H., M.H.
∗∗Komang Andyana Prayoga adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi: andyanaprayoga@gmail.com.
∗∗∗I Gusti Ketut Ariawan adalah dosen Fakultas Hukum Universitas
Udayana.Korespondensi : gustiketutariawan@gmail.com.
∗∗∗∗I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.Korespondensi : dikewidhiyaastuti@gmail.com.
Abstract :
The abuse of narcotics in the jurisdiction of Buleleng Resort Police is vulnerable because of the location of the Buleleng regency very close to the ports of Gilimanuk and Padangbai. The handling of criminal acts of narcotics abuse is carried out by seizure as an initial step for investigators to collect evidence as a basis for prosecution. The evidence in confiscation is very important, so it needs to be kept as good as possible by the investigator. The fact that losing evidence can occur. Based on this, it is necessary to examine the obstacles in the process of confiscating narcotics abuse cases by the Buleleng Police Police investigator and the responsibilities or risks received by the investigator as a result of missing or damaged evidence seized by the Buleleng police police investigator. This study uses empirical research methods, which are carried out with a legal approach and facts. The results obtained from this study that investigators found various kinds of obstacles in carrying out confiscation of evidence including forced confiscation of evidence was often not available to suspects, difficulty in obtaining witnesses during quiet confiscation, the absence of Forensic Laboratories in Buleleng and the application of covert purchasing techniques the hard one. Members of the police who were found guilty in the session of the Professional Ethics Code Commission (KKEP) were sentenced in the form of disciplinary penalties, penalties for violating the code of ethics, disrespectful dismissal (PTDH) and criminal penalties.
Keywords : Foreclosure, Evidence,Police Investigators Responsibility.
Peredaran narkotika di Indonesia dewasa ini semakin merebak, hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan dan fakta di masyarakat sekarang bahwa Indonesia sudah tidak lagi sebagai tempat peredaran narkotika melainkan menjadi tempat untuk memproduksi
narkotika.1 Faktor utama dapat berjalannya hukum dengan baik adalah penegakan hukumnya itu sendiri karena merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan dalam hierarki tertinggi, atau mereka yang memegang kedaulatan, sistem hukum yang logis, tetap dan sifatnya tertutup.2 Struktur hukum dilihat dari efektivitas
operasionalnya atau lembaga hukum di dalam organisasi negara sangat ditentukan oleh kedudukannya.3
Pemeriksaan dengan sistem inkuisitoir sebisa mungkin ataupun diharuskan untuk dikesampingkan oleh aparat penegak hukum, karena tidak dibenarkan di dalam pemeriksaan menempatkan tersangka/terdakwa sebagai obyek yang nantinya dapat diperlakukan sewenang-wenang.4 Penyitaan sangat mutlak di dalam proses penyidikan, penyitaan bertujuan untuk menunjuk barang bukti sebagai hal utama dalam kepentingan pembuktian di muka persidangan, sebab barang bukti bersifat mutlak untuk dapat atau tidaknya, perkara diajukan ke pengadilan.5 Barang bukti yang kedudukannya sangat penting untuk proses penuntutan harus dijaga dan di rawat sebaik mungkin oleh penyidik, karena ketika diperlukan dalam proses persidangan barang bukti dapat ditunjukan dengan jelas. Rusaknya barang bukti atau tanpa adanya barang bukti akan berdampak besar sehingga menimbulkan keraguan bagi hakim. Sebagai contoh beberapa tahun lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pernah terjadi kasus yaitu barang bukti narkoba yang ada di pengadilan yang diperlihatkan saat proses peradilan ternyata tepung, sehingga pengacara terdakwa mengatakan bahwa pengadilan harus membebaskan terdakwa dari tuduhan sebagai bandar narkoba. Terdakwa pada saat itu ditangkap polisi karena membawa tepung
dan membawa tepung bukanlah tindak pidana, kasus ini kemudian menghilang.6
Terkait dengan banyaknya kasus narkotika di Indonesia dewasa ini, Kabupaten Buleleng kini berada dalam urutan ketiga di Provinsi Bali sebagai daerah yang rawan terjadinya peredaran narkotika maupun penyalahgunaan narkotika. Kondisi ini dikarenakan kabuten Buleleng berbatasan dengan empat kabupaten di Bali dan memiliki garis pantai terpanjang di Bali didukung dekatnya wilayah dengan pelabuhan Gilimanuk dan Padangbai sehingga potensi masuknya narkoba ke Bali Utara lebih mudah.7
Selain letak posisinya yang strategis, Kabupaten Buleleng terutama kota Singaraja sampai saat ini sudah terus berkembang menjadi kota maju dan modern sehingga memicu rentannya terjadi peredaran narkotika, maka Kepolisian Resor Buleleng terus melakukan upaya penekanan agar tidak terjadi peningkatan kejahatan narkotika setiap bulan hingga setiap tahunnya.
Karya tulis yang diangkat ini akan membahas dua permasalahan sebagai berikut :
-
1. Apakah yang menjadi kendala dalam proses penyitaan
barang bukti kasus penyalahgunaan narkotika oleh
penyidik kepolisian Polres Buleleng ?
-
2. Bagaimana tanggung jawab atau resiko akibat dari hilang atau rusaknya barang bukti yang disita penyidik kepolisian Polres Buleleng ?
Penelitian ini memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Tujuan umum dari tulisan ini untuk mengetahui kendala dan tanggung jawab penyitaan barang bukti narkotika oleh penyidik Kepolisian Resor Buleleng. Tujuan khusus dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis kendala penyitaan dan tanggung jawab atau resiko akibat dari hilang atau rusaknya barang bukti yang disita oleh penyidik Kepolisian Polres Buleleng.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis empiris.Pendektan yuridis yaitu mengkaji permasalahan dari segi hukum dengan peraturan perundang-undangan. Pendekatan empiris merupakan penelitian ilmiah yang menjelaskan fenomena hukum tentang terjadinya kesenjangan antara norma dengan perilaku masyarakat (kesenjangan antara das Sollen dan das Sein atau antara the Ought dan the Is atau antara yang seharusnya dengan senyatanya di lapangan).8 Penelitian yuridis empiris ini dilakukan untuk mengkaji permasalahan dengan melakukan pendekatan langsung di Polres Buleleng, kajian dalam hal penyitaan barang bukti tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh penyidik lalu dikaitkan dengan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik Wawancara (interviewer) dengan penyidik satuan narkoba Polres Buleleng selaku responden atau informan guna memperoleh data dan jawaban-jawaban yang relevan terkait dengan permasalahan yang diangkat pada tulisan ini. Data primer yakni hasil wawancara yang diperoleh kemudian diolah dan di analisis bersama dengan data sekunder menggunakan teknik Analisis Kualitatif. Data disusun secara sistematis, dihubungkan antara satu data dengan yang lainnya, kemudian dilakukan penafsiran dari perspektif penulis setelah memahami keseluruhan kualitas data sehingga data dapat disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis.
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Kendala Dalam Proses Penyitaan Barang Bukti Kasus Penyalahgunaan Narkotika Oleh Penyidik Kepolisian Polres Buleleng
-
Ipda Choiril Amam Soleh selaku kepala unit penyidik satuan narkoba Polres Buleleng pada tanggal 9 Juni 2018 memberikan keterangan bahwa dalam tindakan penyidikan berupa penyitaan barang bukti kerap kali menemukan berbagai macam kendala diantaranya :
-
a. Sering kali ketika melakukan penyergapan, barang bukti tidak ada pada tersangka baik itu disembunyikan atau dibuang saat penyidik melakukan tindakan pengejaran, maka dilakukan penyisiran di area tempat kejadian perkara. Pasal 17 KUHAP merumuskan bahwa bukti permulaan yang cukup secara praktis mengartikan bukti permulaan sebagai bukti minimal yakni 2 (dua) alat bukti seperti ketentuan yang ada di Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dimana penyidik nantinya akan merasa
terjamin atau tidak menjadi terpaksa menghentikan penyidikan terhadap seseorang yang sebelumnya diduga telah melakukan tindak pidana, setelah dilakukan penangkapan terhadap orang tersebut.9
-
b. Penyitaan barang bukti yang dilakukan di tempat sepi seperti kuburan yang kecil kemungkinannya ada saksi yang melihat, maka dengan demikian dicarilah warga setempat/tetanga dekat tersangka yang mengetahui dengan jelas gerak-gerik pelaku tindak pidana tersebut untuk dapat dijadikan saksi.
-
c. Laboratoriun Forensik untuk pengujian status benda sitaan atau barang bukti apakah mengandung zat-zat adiktif narkotika atau tidak, hanya ada di Denpasar Bali sehingga akan memakan waktu lebih lama. Penerapan Justice System oleh Polri bertujuan memudahkan kendala seperti ini, yakni pembuktian jenis golongan barang bukti dapat dilakukan di Prodia atau tempat yang sudah memiliki kualifikasi seperti Rumah Sakit Daerah (RSD).
-
d. Sulitnya menerapkan teknik pembelian terselubung
(undercover buy) yang dilakukan penyidik sebagai upaya
khusus dalam penyelidikan, penyidikan dan tindakan prekursor narkotika.
Pembelian Terselubung atau undercover buy yang diatur dalam Pasal 75 huruf J UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 adalah teknik penyidik dalam penanggulangan tindak pidana narkotika serta prekursor narkotika yang pengertianya ditegaskan lebih lanjut dalam Petunjuk Lapangan Nomor Polisi Juklap/04/VIII/1983 tentang Taktik dan Teknik Pembelian Narkotika menegaskan bahwa pembelian terselubung atau undercover buy sebagai teknik khusus
yang penyidik lakukan pada penyelidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, menugaskan anggota polisi dalam selubung yang dalam hal ini sebagai informan, bertugas dan menyamar sebagai pembeli narkotika padakegiatan transaksi narkotika atau transaksi gelap, dengan tujuan ketika hal tersebut berlangsung maka orang yang menjual baik itu perantara ataupun pihak-pihak yang bersentuhan dengan penyedia layanan narkotika dan prekursor narkotika bisa diringkus termasuk dengan barang bukti yang ada.
Hasil wawancara dengan Ipda Choiril Amam Soleh selaku kepala unit penyidik satuan narkoba Polres Buleleng pada tanggal 9 Juni 2018 mengenai teknik pembelian terselubung oleh penyidik kepolisian Resor Buleleng dapat berjalan sukses apabila telah memenuhi beberapa hal yakni :
-
1. Peralatan yang diperlukan haruslah memadai guna melakukan penyadapan.
-
2. Biaya operasional proses penyelidikan dan penyidikan harus mencukupi.
-
3. Penyidik nantinya siap menerima segala terror dan menjadi saksi dalam persidangan.
-
4. Adanya pihak informan/spionase yang bersedia menjalankan tugasnya sampai teknik pembelian terselubung tersebut mendapatkan hasil yang pasti.
-
5. Lokasi pembelian terselubung harus ditentukan secara jelas agar transaksi berjalan lancar.
-
6. Penyidik telah memiliki solusi untuk menghadapi segala macam teknik ranjau yang diberikan jaringan narkoba nantinya.
-
2.2.2 Tanggung Jawab Atau Resiko Akibat dari Hilang Atau Rusaknya Barang Bukti yang Disita Penyidik Kepolisian Polres Buleleng
Pasal 46 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa benda sitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang memiliki benda tersebut apabila tidak diperlukan dalam kepentingan penyidikan dan penuntutan atau tidak merupakan tindak pidana. Pasal 46 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa apabila perkara sudah diputus, maka benda sitaan dikembalikan kepada orang yang disebut dalam putusan tersebut kecuali hakim memutuskan benda itu dirampas oleh negara untuk dimusnaskan atau untuk dirusak sampai tidak dapat dipergunakan lagi sebagai contoh benda sitaan narkotika.
Yahya Harahap memberikan pembahasan pada Alinea terakhir penjelasan Pasal 46 ayat (1) KUHAP, dalam pengembalian benda sitaan hendaknya sejauh mungkin diperhatikan kemanusiaan, dengan mengutamakan pengembalian benda sitaan yang menjadi sumber kehidupan. Adapun resiko yang harus ditanggung penyidik apabila ada kerusakan atau hilangnya benda sitaan:
-
a. “Barang bukti harus diperbaiki agar seperti semula meskipun dengan biaya pribadi.
-
b. Barang bukti yang hilang sebisa mungkin diganti dengan barang yang sama atau serupa.
-
c. Apabila hasil pemeriksaan sidang terbukti telah lalai dalam meminjamkan barang bukti meskipun karena alasan
hukum tetap harus mengganti, selain itu dikenakan
tindakan administratif dan tindakan fisik berupa penahanan dalam sel tahanan.”10
Anggota kepolisian yang terbukti telah menghilangkan ataupun melakukan tindakan tercela terhadap barang bukti akan diberikan
sanksi tegas. Sanksi tersebut diantaranya sanksi pelanggaran disiplin, sanksi karena melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian, sanksi berat hingga Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dan sanksi pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat KUHP.
-
1. Sanksi hukuman disiplin
Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian yang selanjutnya disingkat PP Nomor 2 tahun 2003 memberikan pengertian bahwa Hukuman Disiplin adalah penjatuhan hukuman yang dilakukan oleh atasan yang berhak menghukum (Ankum), kepada anggotanya yang terbukti bersalah dalam melaksanakan amanat dan tanggung jawab melalui Sidang Disiplin. Penegakan Hukuman Disiplin sekiranya harus terpenuhi terlebih dahulu tiga unsur penting yaitu :
-
a. Pasal 1 angka (9) PP Nomor 2 tahun 2003 menegaskan bahwa atasan adalah anggota Polri yang memiliki jabatan atau kedudukan yang lebih tinggi dari bawahannya atau anggota kepolisian dalam satuan yang lain.
-
b. Pasal 1 butir (13) PP Nomor 2 tahun 2003 memberikan penjelasan bahwa Ankum atau atasan yang berhak menghukum, adalah atasan yang memiliki wewenang atau kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada anggota bawahaannya yang terbukti bersalah.
-
c. Pasal 1 angka (8) PP Nomor 22 tahun 2003 memberikan penjelasan bahwa Sidang Disiplin adalah peradilan yang bertujuan untuk memeriksa dan menjatuhkan hukuman perkara disiplin terhadap anggota Polri yang telah terbukti bersalah dalam melaksanakan tugas.
-
2. Sanksi Pelanggaran Kode Etik
Pasal 14 huruf (h) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri yang selanjutnya disingkat Perkap 14 tahun 2011 menegaskan bahwa anggota Polri baik itu penyelidik, penyidik dan penyidik pembantu dilarang keras dalam melaksanakan tugasnya untuk merekayasa status barang bukti yang menyebabkan dampak pada barang bukti tersebut sehingga menjadi barang temuan atau barang tanpa pemilik.
-
3. Sanki Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH)
Pasal 21 ayat (3) Perkap Nomor 14 ahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia menegaskan penjatuhan sanksi dalam bentuk pemberhentian tidak dengan hormat haruslah memenuhi 3 (tiga) unsur yaitu :
-
a. Hukuman disiplin telah dikenakan lebih dari 3 (tiga) kali atau minimal telah dijatuhi hukuman disiplin sebanyak 4 (empat) kali.
-
b. Status sebagai anggota kepolisian dirasa sudah tidak patut dan tidak pantas dipertahankan.
-
c. Pemberhentian tersebut haruslah melalui Sidang Komisi Kode Etik.
-
4. Sanksi Pidana Menurut KUHP
Meskipun tidak diatur secara tegas dalam KUHP, namun perbuatan menghilangkan barang bukti dapat digolongkan ke dalam perbuatan pencurian atau penggelapan seperti yang dirumuskan pada Pasal 362 KUHP yang menegaskan seseorang yang mengambil barang sesuatu milik orang laindengan melanggar hukum, diancam karena melalukan pencurian, pidana lima tahun paling lama atau sembilan ratus rupiah sebagai dendanya. Pasal 372 KUHP
menegaskan bahwa seseorang yang mengambil barang milik orang lain yang masih dalam kuasanya dengan tujuan memilikinya secara melanggar hukum digolongkan dalam penggelapan, empat tahun pidana penjara paling lama yang dapat dijatuhkan atau sembilan ratus rupiah sebagai denda.
Demikian anggota kepolisian yang terbukti bersalah akan dijatuhi hukuman berlapis mulai dari hukuman internal institusi kemudian meningkat menjadi hukuman pidana oleh pengadilan diantaranya :
-
a. Hukuman berupa Tindakan Disiplin dan Hukuman Disiplin.
-
b. Hukuman Pelanggaran Kode Etik.
-
c. Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) oleh Sidang KKEP dan dapat dijatuhkan sebelum putusan pengadilan maupun setelah diperoleh kekuatan hukum tetap dari putusan pengadilan.
-
d. Hukuman Pidana melalui Putusan Pengadilan.
-
1. Kendala yang sering kali ditemui dalam penyitaan barang bukti oleh penyidik Polres Buleleng diantaranya :
-
a. Penyitaan secara paksa seringkali barang bukti tidak ada pada tersangka.
-
b. Sulitnya mendapatkan saksi yang melihat, mendengar dan menyaksikan secara langsung pada saat penyitaan barang bukti yang dilakukan di tempat sepi seperti kuburan.
-
c. Belum adanya Laboratorium Forensik di wilayah hukum Polres Buleleng menjadi kendala pembuktian barang sitaan.
-
d. Penyidik kerap menemui kesulitan dalam penerapan teknik pembelian terselubung (undercover buy).
-
2. Sampai saat ini belum ada kasus penyidik Polres Buleleng yang terbukti menghilangkan barang bukti narkotika. Anggota penyidik kepolisian yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri akan dilakukan pemeriksaan pendahuluan di Propam bidang pertanggungjawaban profesi. Apabila telah terbukti bersalah maka akan dilakukan sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) yang dalam sidang tersebut membahas penetapan administrasi penjatuhan hukuman diantaranya :
-
a. Hukuman berupa Tindakan Disiplin dan Hukuman Disiplin.
-
b. Hukuman Pelanggaran Kode Etik.
-
c. Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) oleh Sidang KKEP.
-
d. Hukuman Pidana melalui Putusan Pengadilan.
-
1. Polres Buleleng perlu mendesak Mabes Polri untuk menyetujui pembuatan Laboratorium Forensik di wilayah hukum Polres Buleleng. Dengan demikian asas trilogi peradilan khususnya asas peradilan cepat dapat terimplementasikan dengan baik.
-
2. Sebaiknya Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Buleleng melakukan pengecekan terhadap barang bukti sedini mungkin dan secara berkala sejak dimulainya pemberitahuan kepada pers dan media, agar kinerja Polres Buleleng lebih transparan dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat serta dapat mengontrol perilaku anggota kepolisian untuk tidak berbuat curang.
DAFTAR PUSTAKA
Fakultas Hukum, 2014, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Ishaq, 2008, Dasar-Dasar Limit Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
M. Hamzah Chandra, 2014, Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan yang Cukup, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI), Jakarta.
Makarao Mohammad Taufik, 2010, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor.
Sadjijono, 2015, Seri Hukum Kepolisisan Polri dan Good Governance, Laksbang Mediatama, Jakarta.
Sofyan, Andi, 2014, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Prenadamedia Group, Jakarta.
Yahya Harahap, M., 2007, Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.
Yoga Indra Abimaniu, I Putu, 2013, Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Indonesia, URL : https:/
/ojs.unud.ac.id., Vol. 01, No. 01, Diakses tanggal 28 Januari 2019.
Ali Rahman, 2018, “Hilangnya Barang Bukti Jadi Sorotan”,
INDOPOS.co.id, URL
:https://indopos.co.id/read/2018/08/10/146912/hilangnya-barang-bukti-narkoba-jadi-sorotan. diakses tanggal 12 November 2018.
Mudiarta, 2018, “BULELENG PERINGKAT TIGA DAERAH RAWAN
NARKOBA”, Blipost Portal Berita, URL
:http://www.balipost.com/news/2018/07/10/49958/Buleleng -Peringkat-Tiga-Daerah-Rawan...html. Diakses tanggal 18 Oktober 2018.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5145.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143.
Peraturan Kepala Kepolisisan Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian.
Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
15
Discussion and feedback