IMPLIKASI HUKUM PENGATURAN EKSEKUSI PUTUSAN PTUN DALAM UU PTUN TERHADAP EFEKTIFITAS PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
on
IMPLIKASI HUKUM PENGATURAN EKSEKUSI PUTUSAN PTUN DALAM UU PTUN TERHADAP EFEKTIFITAS PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
Oleh:
Ida Ayu Rara Dwi Maharani* Putu Tuni Cakabawa Landra**
Program Kekhususan Peradilan
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi tujuan dari para pihak agar dapat menyelesaikan perkara dari gugatan yang diajukan pada suatu sistem peradilan. Ketika terdapat permasalahan penormaan dalam pengaturan mekanisme eksekusi putusan, maka akan mempengaruhi efektifitas dari penyelesaian sengketa tata usaha negara. Jurnal ini membahas mengenai bagaimanakah implikasi hukum yang ditimbulkan dari pengaturan mengenai eksekusi putusan PTUN dalam UU PTUN terhadap efektifitas penyelesaian sengketa tata usaha negara serta upaya apakah yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan eksekusi putusan PTUN terhadap penyelesaian sengketa tata usaha negara. Jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder dimana seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dan hasil penelitian disajikan dalam bentuk laporan yang bersifat deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implikasi hukum yang timbul dari pengaturan mengenai eksekusi putusan PTUN yang tercantum dalam pasal 116 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 adalah pengaturan mengenai uang paksa yang belum jelas dan tidak terdapat penyelesaian akhir dari putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ketika presiden tidak mengambil tindakan setelah pengajuan oleh ketua pengadilan. Sehingga menurut penulis upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan eksekusi tersebut adalah menerapkan upaya pidana dan perdata, serta merevisi peraturan-peraturan yang sudah ada seperti PP No. 43 Tahun 1991 agar dapat menjadi tolak ukur yang jelas dan mengurangi peluang bagi badan/pejabat TUN untuk tidak melaksanakan putusan TUN.
Kata Kunci : Implikasi Hukum, Eksekusi, Putusan, Sengketa, Peradilan Tata Usaha Negara.
Abstract
Verdict that has permanent legal force remain the aim of the parties to be able to settle the case from the lawsuit filed. When there is legal issues in regulating mechanisms of verdict’s execution, it will affect effectiveness from settlement of state administrative disputes. This journal will discuss about
how the legal implications arising from arrangement about PTUN verdict’s execution in UU PTUN against state administrative disputes effectiveness and what efforts can be made to maximaze mechanisms of PTUN verdict’s execution against state administrative disputes. This journal uses normative legal research methods. The data used is secondary data. All data collected is analyzed using qualitative method and the research result are presented in the form of descriptive analysis report. The research result indicate that the legal implications arising from arrangement about PTUN verdict’s execution that listed in UU No. 51 of 2009 about Second Change Over UU No. 5 of 1986 is arrangement about the forced money is unclear and there is no final resolution of the verdict that has permanent legal force when the president doesn’t take action after submission by chief justice. So according to the author, efforts that can be made to maximize that execution is implement criminal and civil efforts, and then revise existing regulations such as PP No. 43 of 1991 so that it becomes a clear benchmark and reduce opportunities for agency or TUN officials not to carry out PTUN verdict’s.
Keywords : Legal Implications, Execution, Verdict, Dispute, State Administrative Court.
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam menyelesaikan sengketa yang timbul apabila orang atau badan hukum perdata merasa hak-haknya dilanggar akibat tindakan-tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan (pejabat tata usaha negara yang selanjutnya disebut pejabat TUN). Hal tersebut menunjukkan bahwa PTUN hanya berwenang menyelesaikan sengketa yang ada kaitannya dengan negara serta pelaksanaan kekuasaan publik (public power).1
Penyelesaian sengketa ini sebagai bentuk pelaksanaan dari perlindungan hukum yang diberikan kepada warga negara entah di pusat ataupun di daerah ketika dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).2
Orang atau badan hukum perdata yang mengajukan gugatan ke PTUN harus memastikan terlebih dahulu apakah KTUN yang digugatnya sesuai dengan pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (yang seterusnya disebut UU PTUN) yaitu ketika keputusan tersebut berselisih dengan hukum positif atau peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku, ada maksud lain dari wewenang badan atau pejabat TUN ketika mengeluarkan keputusan tersebut, dan tidak dipertimbangkannya kepentingan semua pihak yang terkait dengan keputusan tersebut oleh badan atau pejabat TUN. Namun, gugatan yang telah diajukan tersebut tetap tidak dapat menunda ataupun menghalangi keputusan tersebut, dengan kata lain keputusan tersebut tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Setiap putusan yang dikeluarkan oleh hakim PTUN pasti diharapkan dapat menyelesaikan perkara dari gugatan yang diajukan tersebut.3 Dalam PTUN, ketika hakim menjatuhkan putusan, maka putusan tersebut dapat berbentuk gugatan ditolak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima, dan gugatan gugur (Pasal 97 ayat (7) UU PTUN).
Eksekusi terhadap putusan PTUN tersebut diatur dalam pasal 116 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (yang selanjutnya disebut Perubahan Kedua Atas UU PTUN) yang menyatakan bahwa ketika putusan tersebut sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka masing-masing pihak harus melaksanakannya dan
ketika tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka putusan PTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dengan begitu maka penggugat harus mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar memerintahkan tergugat agar putusan PTUN tersebut dilaksanakan. Namun, apabila tergugat tetap tidak bersedia maka pejabat yang bersangkutan akan dikenakan upaya paksa (uang paksa/sanksi administratif) dan ketika pejabat tersebut tetap tidak melaksanakan putusan PTUN, maka panitera akan mengumumkan pada media massa cetak setempat dan ketua pengadilan harus mengajukan hal tersebut kepada Presiden.
Meskipun sudah terdapat pengaturan mengenai eksekusi putusan PTUN, muncul implikasi hukum yang menyebabkan efektifitas penyelesaian sengketa tata usaha negara di Indonesia masih belum maksimal. Sehingga, bukannya menemukan keadilan, eksekusi putusan tersebut terkadang menimbulkan persoalan baru. Kondisi inilah yang kemudian membuat penulis melakukan penelitian dengan mengambil judul “Implikasi Hukum Pengaturan Eksekusi Putusan PTUN Dalam UU PTUN Terhadap Efektifitas Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara.”
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang di atas dapat ditemukan rumusan masalah sebagai berikut:
-
1. Bagaimanakah implikasi hukum yang ditimbulkan dari pengaturan mengenai eksekusi putusan PTUN dalam UU PTUN terhadap efektifitas penyelesaian sengketa tata usaha negara?
-
2. Apakah upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan eksekusi putusan PTUN terhadap penyelesaian sengketa tata usaha negara?
Penulisan karya ilmiah ini memiliki dua tujuan yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
-
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari pelaksanaan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui implikasi hukum pengaturan eksekusi putusan PTUN dalam UU PTUN terhadap penyelesaian sengketa tata usaha negara.
-
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus dari penulisan karya ilmiah ini adalah:
-
1) Untuk mengetahui implikasi hukum pengaturan eksekusi putusan PTUN dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta segala perubahannya terhadap penyelesaian sengketa tata usaha negara.
-
2) Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan eksekusi putusan PTUN terhadap penyelesaian sengketa tata usaha negara.
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan jurnal ini adalah penelitian hukum normatif. Dimana digunakan data sekunder berupa bahan kepustakaan dan penyusunan kerangka konsepsional yang menggunakan
rumusan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.4 Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dan hasil penelitian disajikan dalam laporan yang bersifat deskriptif analisis.
-
2.2 Hasil dan Pembahasan
-
2.2.1 .Implikasi Hukum yang Ditimbulkan dari Pengaturan Mengenai Eksekusi Putusan PTUN Dalam UU PTUN Terhadap Efektifitas Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara.
-
Putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap merupakan hal yang paling diharapkan setiap orang yang mempunyai sengketa dan bertujuan memperoleh penyelesaian akhir berdasarkan gugatan yang diajukan ke pengadilan.5 Ketika tergugat dan penggugat telah memberikan pernyataan bahwa telah menerima putusan yang dikeluarkan dan selama waktu yang telah ditentukan tidak mengajukan upaya hukum, maka putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 6 Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bersifat berlaku bagi siapapun (erga omnes), sehingga, putusan tersebut wajib untuk dilaksanakan baik oleh penggugat maupun tergugat. Putusan tersebut tidak hanya bertujuan untuk menyelesaikan sengketa antara pihak tergugat dan penggugat saja, namun juga memperhatikan kepentingan dan
hak-hak yang lebih luas, baik pihak yang berkepentingan secara langsung maupun yang tidak ikut berperkara.7
Para pencari keadilan tentunya tidak ingin putusan yang dihasilkan hanya sebatas diatas kertas semata, dengan kata lain putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut harus dilaksanakan atau dieksekusi sebagaimana mestinya. Pengaturan mengenai eksekusi putusan PTUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tercantum dalam pasal 116 Perubahan Kedua Atas UU PTUN dimana panitera menyerahkan putusan baik yang sudah berkekuatan hukum tetap maupun belum kepada para pihak yang bersengketa, kemudian ketika pihak yang menjadi tergugat tidak melaksanakan kewajiban yang tercantum dalam putusan setelah 60 (enam puluh) hari maka putusan tersebut kehilangan kekuatan hukum, sehingga pihak yang menjadi penggugat berkewajiban untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan terkait perintah kewajiban pelaksanaan putusan kepada tergugat. Apabila setelah itu tergugat tetap tidak menjalankan kewajibannya, maka tergugat akan dikenakan upaya paksa berupa uang paksa atau sanksi administratif dan jika setelah itu pejabat tersebut tetap tidak melaksanakan putusan PTUN, maka panitera akan mengumumkan melalui media massa setempat dan ketua pengadilan harus mengajukan hal tersebut kepada presiden untuk memerintahkan pejabat tersebut agar melaksanakan putusan PTUN.
Namun, dalam pengaturan mengenai eksekusi tersebut muncul implikasi hukum yang menghambat efektifitas dari penyelesaian sengketa tata usaha negara. Salah satu implikasinya adalah pengaturan mengenai uang paksa masih belum jelas, dimana tidak diatur mengenai berapa jumlah uang paksa yang harus dibayarkan, terhadap siapa uang paksa dibebankan dan dari mana sumber pembiayaannya ketika dibebankan kepada instansi atau badan pemerintah pejabat TUN tersebut. Meskipun sudah terdapat PP No. 43 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1129/KM.01/1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara, namun merupakan pasal karet karena sangat dimungkinkan untuk ditunda-tunda sampai beberapa tahun anggaran.
Disamping itu, mekanisme eksekusi terakhir ketika pejabat TUN tidak menjalankan putusan PTUN adalah ketua pengadilan mengajukan kepada presiden agar memerintahkan pejabat tersebut untuk melaksanakan putusan juga menimbulkan implikasi hukum, yaitu apabila Presiden mendiamkan upaya tersebut maka tidak terdapat penyelesaian akhir dari putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut.
Dengan berbagai implikasi hukum yang muncul dari pengaturan tersebut, penyelesaian sengketa tata usaha negara turut menjadi tidak efektif. Bahkan dalam beberapa perkara, banyak pejabat yang berani menekan hakim secara halus di media dengan menyiratkan peringatan mengenai perintah atau putusan perkara tersebut yang dianggap dapat berbahaya bagi stabilitas masyarakat ataupun politik. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pertimbangan politik dapat berpengaruh pada sejumlah putusan.8
Adanya kepentingan pribadi dari para pejabat serta lemahnya kesadaran akan hukum juga berpengaruh besar sebab secara normatif eksekusi dari putusan PTUN lebih cenderung pada kesadaran diri para pejabat TUN. 9Jabatan yang dipegang oleh para pejabat sesungguhnya merupakan amanah yang harus dipertanggung jawabkan secara hukum dan moral. Namun, belum ada kesepakatan penuh dari birokrasi pemerintahan yang tertinggi hingga terbawah untuk mentaati dan mematuhi secara sukarela dan ikhlas tanpa upaya paksa untuk melaksanakan putusan PTUN yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Tidak efektifnya pengaturan mengenai eksekusi putusan PTUN ini tentu menjadi problematika yang besar bagi eksistensi PTUN kedepannya. Hal ini sedikit banyak akan berpengaruh pada kewibawaan PTUN, pelecehan terhadap PTUN, dan apabila hal ini terus terjadi berulang-ulang maka kepercayaan masyarakat terhadap PTUN akan berkurang dan akan menimbulkan perbuatan masyarakat yang cenderung main hakim sendiri.10
-
2.2.2 .Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Memaksimalkan Eksekusi Putusan PTUN Terhadap Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Dalam pengaturan eksekusi putusan TUN (pasal 116 Perubahan Kedua Atas UU PTUN) telah dijabarkan bahwa ketika badan atau pejabat TUN tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan putusan PTUN maka pihak penggugat harus mengajukan kembali permohonan kepada hakim PTUN untuk memberikan perintah melalui instansi atasan pejabat TUN tersebut agar pejabat TUN melaksanakan putusan yang telah ditetapkan. Namun apabila tetap tidak dieksekusi maka akan dikenakan upaya paksa dan ketika putusan tersebut tetap tidak dieksekusi, maka panitera akan mengumumkan pada media massa setempat dan ketua pengadilan menyampaikan kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk memberikan perintah agar pejabat TUN terkait mengeksekusi putusan tersebut.
Pasal 116 UU PTUN yang awalnya pelaksanakan perintah berdasarkan hierarki jabatan suatu instansi, pada pasal 116 Perubahan Kedua Atas UU PTUN menjadi pemberian sanksi berupa pemberian sanksi administrasi, pembayaran uang paksa, dan publikasi dalam media cetak ketika pejabat TUN tidak mau melaksanakan putusan tersebut. Sebab, disamping adanya perintah dan larangan, dalam normativisasi hukum harus juga memuat sanksi sebagai sarana yang paling kuat dalam menjaga kewibawaan hukum sehingga setiap orang patuh pada hukum.11 Perubahan tersebut membawa harapan agar para pejabat TUN mau secara sukarela menjalankan kewajiban sesuai dengan putusan PTUN yang dihasilkan
sehingga perlindungan hukum terhadap rakyat dapat berjalan sesuai dengan tujuan negara Indonesia.
Meskipun sudah kearah yang lebih baik, perubahan terhadap pasal 116 UU PTUN ini belum memberikan perlindungan hukum serta memenuhi kepentingan dari penggugat dalam pelaksanaan putusan PTUN. Sanksi yang diberikan kepada pejabat TUN yang tidak mau melaksanakan putusan seharusnya dianggap sebagai hukuman tambahan dan tidak sebagai pengganti atas putusan yang tidak mau dilaksanakannya. Ketika sanksi tersebut dianggap sebagai pengganti putusan PTUN maka penggugat akan merasa dirugikan sebab kepentingannya tetap tidak terpenuhi.
Selain itu, apabila perilaku pejabat TUN yang tidak mau dengan sukarela melaksanakan kewajiban yang sudah tercantum dalam putusan hingga sampai melibatkan presiden ini sering terjadi, maka secara tidak langsung sedikit tidaknya akan mengurangi kewibawaan dari seorang presiden yang tidak hanya sebagai kepala pemerintahan tetapi juga menjabat sebagai kepala negara dan mandataris MPR.12
Ketika penggugat mengajukan gugatan maka hal yang sudah pasti menjadi keinginan penggugat adalah dikabulkannya tuntutan pokok seperti tuntutan agar putusan PTUN yang dikeluarkan oleh tergugat menjadi tidak sah ataupun tuntutan agar putusan PTUN yang dimohonkan penggugat dapat dikabulkan oleh tergugat. Tetapi, ketika eksekusi tersebut tidak efektif terhadap penyelesaian sengketa para pihak maka percuma saja.
Untuk memaksimalkan efektifitas dari pengaturan mengenai eksekusi putusan PTUN tersebut, upaya yang dilakukan dapat berupa upaya pidana dan upaya perdata.
Upaya pidana yaitu pihak penggugat dapat melaporkan badan/pejabat TUN dengan menggunakan dasar hukum pasal 216 KUHP yang menyatakan bahwa diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah bagi siapapun yang dengan sengaja tidak melaksanakan perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya dan seterusnya. Paling tidak, dengan upaya pidana ini, badan/pejabat TUN tersebut akan jera sehingga dapat menghormati dan menghargai putusan PTUN serta melaksanakannya.
Sedangkan upaya perdata yang bisa dilakukan yaitu penggugat dapat mengajukan gugatan dengan menggunakan dasar hukum pasal 1365 KUHPer yang menyatakan bahwa orang yang menimbulkan kerugian karena kesalahannya wajib untuk menggantikan kerugian dari setiap perbuatannya yang melanggar hukum serta menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dengan begitu maka penggugat yang merasa dirugikan akibat badan/pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan PTUN dapat memperoleh haknya serta dapat menguji apakah benar pejabat tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum oleh penguasa.
Selain itu, aturan mengenai tata cara pelaksanaan uang paksa dalam praktik PTUN yang tercantum dalam PP No. 43 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Keuangan RI No.
1129/KM.01/1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara wajib untuk direvisi agar mempunyai tolak ukur yang jelas. Dengan begitu maka akan meminimalisir tidak efektifnya eksekusi putusan PTUN dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara di Indonesia.
-
1. Pengaturan eksekusi putusan PTUN dalam UU PTUN yang tercantum dalam pasal 116 menimbulkan implikasi hukum terhadap efektifitas penyelesaian sengketa tata usaha negara di Indonesia, dimana pengaturan mengenai uang paksa masih belum jelas, dimana PP No. 43 Tahun 1991 masih merupakan pasal karet karena sangat dimungkinkan untuk ditunda-tunda sampai beberapa tahun anggaran. Disamping itu apabila Presiden mendiamkan pengajuan yang diajukan oleh ketua pengadilan maka tidak terdapat penyelesaian akhir dari putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut.
-
2. Upaya-upaya yang dapat dilaksanakan untuk
memaksimalkan eksekusi putusan PTUN terhadap penyelesaian sengketa tata usaha negara adalah upaya pidana berupa pengajuan laporan yang menggunakan dasar hukum pasal 216 KUHP sehingga kedepannya akan memberikan efek jera kepada badan/pejabat TUN tersebut untuk menghargai, menghormati, dan melaksanakan
putusan PTUN; upaya perdata berupa pengajuan gugatan yang menggunakan dasar hukum pasal 1365 KUHPer
sehingga penggugat yang merasa dirugikan akibat
badan/pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan PTUN dapat memperoleh haknya serta dapat menguji apakah benar pejabat tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum oleh penguasa; dan merevisi serta membenahi PP No. 43 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1129/KM.01/1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara agar mempunyai tolak ukur yang jelas.
-
1. Kepada pemerintah khususnya pihak dan lembaga yang berwenang, untuk memaksimalkan efektifitas eksekusi putusan PTUN dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara, penulis menyarankan untuk merevisi peraturan-peraturan yang sudah ada, baik yang mengatur mengenai mekanisme eksekusi tersebut maupun yang mengatur upaya paksa dari eksekusi tersebut sehingga mempunyai tolak ukur yang jelas sehingga badan/pejabat TUN tidak mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan eksekusi dari putusan PTUN tersebut.
-
2. Kepada badan/pejabat TUN, penulis menyarankan untuk mentaati dan mematuhi secara sukarela dan ikhlas tanpa upaya paksa untuk melaksanakan putusan PTUN yang sudah berkekuatan hukum tetap, sebab jabatan tersebut merupakan cerminan dan amanah yang harus dipertanggung jawabkan secara hukum dan moral.
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Abdullah, Ali, Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-Amandemen,
Prenadamedia Group, Jakarta, 2014.
Abdullah, H. Rozali, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1991.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum Edisi Revisi, Rajawali Press, Jakarta, 2016.
Bedner, Adriaan W., Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, HuMa, Jakarta, 2010.
Efendi, A’An, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2016.
Harahap, Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Edisi Revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997.
Mohammad Afifudin Soleh, “Eksekusi Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang Berkekuatan Hukum Tetap”, Jurnal Mimbar Keadilan, Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya, Vol. 14, No. 28, Februari 2018.
Lubna, “Upaya Paksa Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Kepada Masyarakat”, Jurnal IUS, Univetsitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Vol. III, No. 7, April 2015.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344).
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079).
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara.
16
Discussion and feedback