Deteksi Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Synthetic Aperture Radar (SAR) di Pesisir Tenggara Bali (Kabupaten Gianyar dan Klungkung)
on
Journal of Marine and Aquatic Sciences 5(2), 278-288 (2019)
Deteksi Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Synthetic Aperture Radar (SAR) di Pesisir Tenggara Bali (Kabupaten Gianyar dan Klungkung)
Kadek Dwi Artama a*, I Wayan Gede Astawa Karang a,b, I Nyoman Giri Putra a
a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Kampus UNUD Bukit Jimbaran, Bali 80361, Indonesia b Laboratorium Remote Sensing dan GIS, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Kampus UNUD Bukit Jimbaran, Bali 80361, Indonesia
* Penulis koresponden. Tel.: +62-819-3312-3849
Alamat e-mail: dwiartama.da@gmail.com
Diterima (received) 23 Januari 2019; disetujui (accepted) 20 Desember 2019; tersedia secara online (available online) 21 Desember 2019
Abstract
Coastline change is a phenomenon caused by sediment decrease or increase in the coastal area that occurs continuously. This phenomenon is caused by abrasion, erosion, and accretion. Bali is one of the provinces that have coastal with quite noticeable conditions, which is the southeast coast of Bali, the coast of Gianyar and Klungkung Regencies. Identification of coastline changes is important to determine policies that can be taken to maintain coastal balance. Remote sensing is one way to identify coastline change. In this study, the image used is SAR images of ALOS PALSAR and Sentinel-1 satellites with a resolution of 10 meters to extract the coastlines of Gianyar and Klungkung in 2007 and 2018. Method used for shoreline extraction is Image Threshold pproach. Coastline changes analysis in this study used the Digital Shoreline Analysis System (DSAS) application. Analysis results of coastline changes in Gianyar and Klungkung for 11 years in range shown the highest erosion and accretion occurred in the Klungkung coastal with erosion area reached 168,142.05 m2, and the accretion area reached 207,531.2 m2. Coastal change in Gianyar Regency caused by erosion reached 124,930.5 m2, and the accretion area reached 85,123.86 m2. The highest change rate in Gianyar occurred in Saba village at the rate of 2.63 m/year in erosion, whereas in Klungkung it occurred in Gunaksa village reaching 13.25 m/year in accretion.
Keywords: coastline change; Gianyar and Klungkung Coastal ; remote sensing; synthetic aperture radar
Abstrak
Perubahan garis pantai merupakan fenomena yang disebabkan oleh berkurang atau bertambahnya sedimen kawasan pantai yang terjadi secara terus menerus. Fenomena ini disebabkan oleh abrasi, erosi, dan akresi. Bali merupakan salah satu provinsi yang memiliki pesisir dengan kondisi yang cukup memprihatinkan, yaitu pesisir tenggara Bali, pesisir Kabupaten Gianyar dan Klungkung. Identifikasi perubahan garis pantai penting dilakukan untuk menentukan kebijakan yang dapat diambil untuk menjaga keseimbangan pesisir. Penginderaan jauh merupakan salah satu cara untuk melakukan identifikasi perubahan garis pantai. Pada penelitian ini citra yang digunakan adalah citra SAR satelit ALOS PALSAR dan Sentinel-1 dengan resolusi 10 meter untuk mengekstraksi garis pantai Gianyar dan Klungkung tahun 2007 dan 2018. Metode ekstraksi garis pantai yang digunakan adalah pendekatan nilai ambang batas (image threshold). Analisis perubahan garis pantai pada penelitian ini menggunakan aplikasi Digital Shoreline Analysis System (DSAS). Hasil analisis perubahan garis pantai di Gianyar dan Klungkung selama 11 tahun menunjukkan perubahan erosi dan akresi tertinggi terjadi di pesisir kabupaten Klungkung dengan luas pesisir yang tererosi mencapai 168.142,05 m2, dan luas akresi mencapai 207.531,2 m2. Sedangkan luas perubahan di Kabupaten Gianyar yang disebabkan oleh erosi mencapai 124.930,5 m2, dan luas akresi mencapai 85.123,86 m2. Laju perubahan tertinggi di Gianyar terjadi di Desa Saba dengan laju 2,63 m/th bersifat erosi, sedangkan di Klungkung terjadi di Desa Gunaksa mencapai 13,25 m/th bersifat akresi.
Kata Kunci: perubahan garis pantai; Pesisir Gianyar dan Klungkung; penginderaan jauh; synthetic aperture radar
Garis pantai dapat diidentifikasikan ketika batas air laut pada waktu pasang tertinggi telah mencapai daratan (Tarigan, 2010). Garis pantai setiap saat selalu mengalami perubahan. Menurut Wibowo (2012) dalam Hapsari dkk. (2018), perubahan garis pantai merupakan salah satu bentuk berkurang atau bertambahnya sedimen kawasan pantai yang terjadi secara terus menerus. Fenomena berkurang atau bertambahnya sedimen pantai diantaranya abrasi, erosi dan akresi. Abrasi dan erosi pantai dapat menyebabkan sedimen pantai berkurang ke arah darat, sedangkan akresi dapat berpengaruh terhadap bertambahnya sedimen pantai ke arah laut (Arief dkk., 2011). Abrasi atau erosi adalah kerusakan garis pantai akibat dari terlepasnya material pantai, seperti pasir atau lempung yang terus menerus dihantam oleh gelombang laut atau dikarenakan oleh terjadinya perubahan keseimbangan angkutan sedimen di perairan pantai atau hilangnya daratan di wilayah pesisir, sedangkan akresi merupakan peristiwa pendangkalan atau penambahan daratan pantai yang menyebabkan terjadinya pengendapan sedimen yang dibawa oleh air laut (Munandar dan Kusumawati, 2017).
Akibat perubahan garis pantai, banyak pengaruh yang ditimbulkan. Daerah-daerah yang mengalami erosi akan mengalami berbagai kerusakan lingkungan dan infrastruktur pantai serta penyempitan lahan pantai. Daerah yang mengalami peristiwa akresi, apabila sedimentasi terjadi pada muara sungai, berpotensi menimbulkan banjir, sehingga akan menimbulkan permasalahan baru pada lingkungan daerah aliran sungai itu. Peristiwa perubahan garis pantai ini perlu ditinjau dan dievaluasi sedemikian rupa sehingga masalah-masalah lingkungan daerah pantai dapat diminimalkan (Pranoto, 2007).
Provinsi Bali merupakan provinsi yang memiliki pantai dengan kondisi yang cukup memprihatinkan, khususnya pesisir tenggara Bali Kabupaten Gianyar dan Klungkung. Pantai di pesisir tenggara Bali mengalami erosi dan akresi akibat dampak hidro-oseanografi seperti gelombang laut. Penelitian di daerah ini telah dilakukan oleh Nugraha dkk. (2017), menggunakan sistem penginderaan jauh dengan citra satelit Landsat dimana penelitian tersebut mendapatkan laju perubahan garis pantai di Kabupaten Gianyar
akibat akresi diantara 0,5096 sampai 8,6074 m/th, sedangkan akibat erosi diantara 1,3201 sampai 3,7343 m/th dan laju perubahan garis pantai di Kabupaten Klungkung akibat akresi diantara 0,6337 hingga 2,6875 m/th, sedangkan akibat erosi diantara 0,8833 sampai 8,8795 m/th.
Penelitian mengenai perubahan garis pantai di Bali juga dilakukan oleh Purnaditya dkk. (2011), dengan metode oneline model di Nusa Dua Bali dengan hasil terjadinya erosi di ujung pemecah gelombang. Penelitian di Jasri Karangasem Bali yang memperoleh hasil adanya erosi disepanjang pantai daerah tersebut (Hidayah dkk., 2012) dan penelitian Aryastana dkk. (2016), menggunakan citra satelit SPOT untuk mendeteksi perubahan garis pantai di Kabupaten Gianyar, Bali tahun 20092015 dengan rata-rata laju erosi 3,2 m/tahun.
Identifikasi perubahan garis pantai penting dilakukan untuk menentukan kebijakan yang bisa diambil oleh pihak pemerintah serta berbagai upaya yang diperlukan semua pihak untuk menjaga daratan. Studi perubahan garis pantai sangat tergantung pada skala waktu, dimana pemilihan waktu yang tepat dapat mempengaruhi studi garis pantai yang diobservasi. Metode yang dapat diterapkan untuk mengidentifikasi perubahan garis pantai diantaranya adalah metode oneline model, penginderaan jauh dengan menggunakan aplikasi pemetaan tertentu.
Analisis perubahan garis pantai dengan teknologi penginderaan jauh di Indonesia, di Bali khususnya masih menggunakan citra satelit multispektral yang masih dipengaruhi cuaca dan iklim seperti tutupan awan yang merupakan salah satu faktor yang menghambat dalam proses pengolahan citra. Oleh sebab itu, diperlukan teknologi penginderaan jauh yang tidak dipengaruhi cuaca, waktu perekaman dan memiliki resolusi spasial yang tinggi untuk pendeteksian perubahan garis pantai, dimana satelit yang memiliki kemampuan tersebut adalah satelit Synthetic Aperture Radar (SAR).
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan garis pantai dan laju perubahan garis pantai tahun 2007 dan 2018 disepanjang pantai Kabupaten Gianyar dan Klungkung menggunakan citra SAR serta membandingkan hasil ekstraksi garis pantai citra SAR dengan hasil citra Landsat yang telah dilakukan oleh Nugraha dkk. (2016).
Penelitian ini dilakukan di sepanjang pantai Gianyar dan Klungkung dengan koordinat 8o 38’45” LS, 115o 16’ 47” BT dan 8o 33’ 03” LS, 115o 28’ 45” BT (Gambar 1). Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu citra Satelit Sentinel-1 SAR yang diperoleh dari website https://scihub.copernicus.eu dan citra satelit ALOS PALSAR yang diperoleh dari JAXA melalui Centre for Remote Sensing and Ocean Sciences (CRESOS) Udayana. Citra satelit yang digunakan adalah citra tahun 2007 dan 2018. Kegiatan analisis dan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian.
-
2.2 Tahap Penelitian
-
2.2.1. Pra Pengolahan Citra
-
Pra pengolahan data citra pada penelitian ini merupakan tahapan pengolahan data citra sebelum dilakukan interpretasi dan ekstraksi untuk menghasilkan data perubahan garis pantai. Citra satelit yang digunakan adalah citra satelit ALOS PALSAR dengan polarisasi HV dan HH sebagai data tahun 2007 yang terakuisisi tanggal 9 Oktober 2007 dengan elevasi pasut saat perekaman citra pukul 11:10 WITA yang diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG) adalah -0,02 m (ditunjukkan dengan garis merah pada Gambar 2 (A)) dan citra satelit Sentinel-1 dengan polarisasi VH dan VV sebagai data tahun 2018 yang terakuisisi tanggal 25 April 2018 dengan elevasi pasut saat perekaman citra pukul 05:52 WITA
adalah -0,33 m (ditunjukkan dengan garis merah pada Gambar 2 (B)).
Gambar 2. Grafik pasut citra ALOS PALSAR akuisisi tanggal 9 Oktober 2007 (A) dan Sentinel-1 akuisisi tanggal 25 April 2018 (B).
Pra pengolahan citra dilakukan pada aplikasi SNAP S1Toolbox versi 5.0 meliputi empat tahapan yaitu koreksi geometrik, pemotongan citra, kalibrasi radiometrik, dan speckle filter. Metode Range Doppler Terrain Correction digunakan pada proses koreksi geometrik untuk memperbaiki kesalahan antara koordinat dari citra satelit dengan koordinat sebenarnya di lapangan.
Citra yang telah terkoreksi kemudian dipotong sesuai dengan daerah penelitian untuk memperkecil ukuran file citra dan mempercepat proses pengolahan selanjutnya pada aplikasi.
Setelah proses pemotongan citra (cropping), dilakukan proses kalibrasi radiometrik untuk mengkoreksi citra satelit SAR sehingga nilai piksel merepresentasikan hamburan balik radar yang dipantulkan oleh objek. Proses terakhir adalah speckle filter. Speckle filter dilakukan untuk
mengurangi kesalahan yang diakibatkan oleh titik-titik putih (speckle) dan menyisakan bagian penting pada citra saat deteksi garis pantai (Raju et al., 2013).
-
2.2.2. Pengolahan Citra
Citra SAR yang telah melalui tahapan pra pengolahan citra selanjutnya melalui tahapan pengolahan citra meliputi penentuan kualitas polarisasi citra, masking, image threshold dan tumpang susun citra. Untuk menentukan citra
mana yang digunakan diperlukan perhitungan Coefficient of Variation (CV) dan Equivalent Number of Look (ENL). CV dapat dihitung dengan persamaan (1) (Martinez and Toan, 2007).
Standar deviasi
CV =----------
Rata - rata
(1)
dimana CV adalah koefisien variasi citra. Persamaan untuk menghitung ENL dapat dilihat pada persamaan (2) (Martinez and Toan, 2007).
2
(Rata - rata)
ENL = (2)
Varian
dimana ENL adalah Equivalent Number of Look.
Semakin kecil nilai CV dan semakin besar nilai ENL maka kualitas dari polarisasi citra akan semakin baik. Nilai CV dan ENL dibedakan menjadi 2 kelas, yaitu kelas daratan dan kelas lautan (Bioresita dan Hayati, 2016). Polarisasi yang telah ditentukan dimasking pada SNAP S1Toolbox. Masking dilakukan untuk membedakan kelas daratan dan lautan dengan cara menghilangkan nilai dari salah satu kelas. Tahap ini digunakan untuk memudahkan dalam mencari rentang nilai piksel dari daratan dan lautan, dimana nilai-nilai tersebut akan digunakan untuk mencari nilai untuk proses image threshold. Nilai threshold dicari untuk mengetahui batas antara daratan dan lautan dan nilai tersebut akan digunakan untuk memisahkan daratan dengan lautan. Garis pantai yang telah diperoleh melalui proses image threshold kemudian ditumpang susun citra (overlay) untuk
mempermudah analisis perubahan garis pantai yang dihitung dengan Digital Shoreline Analysis System (DSAS) versi 4.3.
laut pasang tertinggi serta mengambil titik koordinat setiap 50 meter (Nugraha dkk., 2016).
-
2.3 . Analisis Data
-
2.3.1. Perhitungan Laju Perubahan Garis Pantai
-
Analisis dengan DSAS menggunakan garis acuan (baseline), membuat garis transek tegak lurus dengan baseline dengan jarak 50 meter antar transek, dan menghitung tingkat perubahan garis pantai. Statistik yang digunakan adalah Net Shoreline Movement (NSM) dan End Point Rate (EPR). Statistik NSM menunjukkan jarak antara garis pantai waktu yang terlama dengan waktu termuda, sedangkan statistik EPR menunjukkan laju perubahan garis pantai terlama dengan waktu termuda (Gambar 3).
Gambar 3. Statistik NSM (A) dan EPR (B) (Thieler et al., 2009).
Secara matematis, statistik EPR dapat dicari dengan persamaan (3) (Kasim, 2010).
2.2.3. Validasi Hasil Ekstraksi
Vc
Lae
∑ Nae
xY
—
1
(3)
Validasi bisa dari berbagai sumber seperti dari Badan Informasi Geospasial (BIG) atau data langsung di lapangan. Pada penelitian ini yang digunakan adalah data yang diambil langsung di lapangan pada saat pasang purnama (Spring tide) terjadi. Data berupa marking titik koordinat yang diambil menggunakan GPS dengan jarak antar titik 50 meter yang kemudian akan dikonversi menjadi garis. Data Lapangan didapatkan dengan cara menentukan posisi dan mengikuti kontur garis pertemuan pasir dan air terjauh pada kondisi air
dimana Vc adalah rerata kecepatan perubahan maju/mundur garis pantai (m/tahun); Lae adalah jumlah panjang keseluruhan transek (m); ∑Nae adalah jumlah transek yang digunakan; Y adalah rentang waktu garis pantai yang dianalisis (tahun).
-
2.3.2. Koreksi Pasang Surut
Deteksi perubahan garis pantai menggunakan citra satelit yang mempunyai waktu akuisisi tidak bersamaan dengan waktu pasang tertinggi perlu dilakukan koreksi. Adapun rumus koreksi pasang
surut menurut Aryastana dkk. (2016) dapat dilihat pada persamaan (4).
dari masing-masing polarisasi ditunjukkan pada Tabel 1.
Y =
Tk
Tk
Tb
Tx
x tan φ
(4)
dimana Y adalah koreksi garis pantai (m); Tk adalah High Water Level (HWL) kawasan (m); Tb adalah HWL Benoa (m); Tx adalah tinggi pasang surut saat perekaman citra (m); dan tan Ø adalah perbandingan slope di wilayah pesisir. Data HWL dan perbandingan slope diperoleh dari Badan Wilayah Sungai Bali Penida (BWS-BP).
2.3.3. Perbandingan Hasil Citra Sentinel dan Landsat
Hasil ektraksi garis pantai pada penelitian ini kemudian dibandingkan dengan penelitiannya sebelumnya. Garis pantai yang dibandingkan adalah garis pantai hasil ekstraksi citra Sentinel-1 tahun 2018 dengan garis pantai hasil ekstrasi citra Landsat 8 pada penelitian yang dilakukan oleh Nugraha dkk. (2016). Selain itu, shapefile dari revetment yang telah terpasang di beberapa lokasi juga ditampilkan sebagai patokan garis pantai sebenarnya.
3. Hasil dan Pembahasan
Tabel 1
Nilai CV dan ENL pada citra ALOS dan Sentinel-1
Polarisasi satelit |
CV |
ENL |
ALOS HH darat |
5.851343 |
0.029207 |
ALOS HH laut |
1.138638 |
0.771263 |
ALOS HV darat |
2.126347 |
0.221221 |
ALOS HV laut |
1.090802 |
0.719104 |
Sentinel VH darat |
4.948447 |
0.040839 |
Sentinel VH laut |
1.418605 |
0.534361 |
Sentinel VV darat |
10.88658 |
0.008438 |
Sentinel VV laut |
4.322205 |
0.053569 |
3.1 Penentuan Kualitas Sinyal Polarimetrik Citra
Citra SAR yang digunakan pada penelitian ini memiliki produk dengan 2 polarisasi berbeda, VV-VH pada Sentinel-1 dan HH-HV pada ALOS PALSAR. Nilai CV dan ENL dihitung untuk memilih kualitas dari sinyal polarimetrik dan menentukan polarisasi terbaik untuk digunakan dalam proses ekstraksi garis pantai. CV dan ENL
Berdasarkan Tabel 1, nilai CV dan ENL untuk satelit ALOS menunjukkan bahwa citra yang memiliki kualitas lebih baik adalah citra dengan polarisasi HV dan untuk satelit Sentinel-1 adalah citra dengan polarisasi VH.
3.2 Pemisahan Wilayah Daratan dan Lautan
Nilai ambang batas atau threshold value dalam metode image threshold digunakan untuk menentukan titik perpotongan antara wilayah daratan dan lautan. Nilai threshold dari setiap citra satelit ditentukan berdasarkan jumlah nilai rata-rata distribusi kelas laut dan nilai rata-rata distribusi kelas tanah dibagi dua (Tabel 2).
Nilai threshold kemudian digunakan dalam proses masking. Proses masking dengan nilai threshold menghasilkan perpotongan darat dan laut yang lebih detail dibandingkan dengan citra yang dimasking menggunakan aplikasi SNAP S1Toolbox (Gambar 4).

Gambar 4. Citra yang di masking menggunakan SNAP (A) dan di masking menggunakan nilai threshold (B).
Tabel 2
Nilai threshold pada Citra ALOS dan Sentinel-1
Polarisasi satelit |
Rata-rata |
Nilai threshold |
ALOS HV darat |
0.009933 |
0.0053905 |
ALOS HV laut |
0.000848 | |
Sentinel VH darat |
0.011813 |
0.006272 |
Sentinel VH laut |
0.000731 |
-
3.3 Ekstraksi Garis Pantai dengan Citra SAR
Deteksi perubahan garis pantai menggunakan citra SAR dengan resolusi tinggi menghasilkan ekstraksi garis pantai yang memiliki keakuratan dengan garis pantai sebenarnya yang tinggi. Dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Nugraha dkk. (2016), menggunakan citra satelit Landsat, SAR memiliki kemampuan lebih detail dalam menunjukkan bentuk pesisir (Gambar 5). Citra dengan resolusi tinggi seperti ALOS PALSAR dan Sentinel-1 akan sangat berguna dalam pemantauan perubahan garis pantai di masa depan (Bioresita dan Hayati, 2016). Selain itu, data dari Sentinel-1 yang bersifat free access akan sangat memudahkan peneliti-
peneliti di masa depan untuk memperoleh data Sentinel-1.
Gambar 5. Perbandingan garis pantai hasil ekstrasi citra SAR dengan citra Landsat.
Hasil ekstraksi garis pantai menggunakan citra satelit Landsat 8 dengan resolusi piksel 30 meter yang telah dilakukan oleh Nugraha dkk. (2017) menunjukkan bahwa hasil ekstraksi masih terpikselisasi (ditunjukkan dengan garis berwarna merah pada Gambar 5). Dibandingkan dengan hasil

Gambar 6. Perubahan garis pantai Gianyar dan Klungkung dari tahun 2007 dan 2018.
Tabel 3
Perubahan dan Laju Perubahan Garis Pantai Tahun 2007 dan 2018.
Desa |
Kabupaten |
Rata-rata perubahan (m) |
Laju perubahan (m/th) |
Keterangan |
Batubulan |
Gianyar |
10,932 |
0,994 |
Erosi |
Ketewel |
Gianyar |
16,430 |
1,494 |
Erosi |
Sukawati |
Gianyar |
13,612 |
1,237 |
Erosi |
Saba |
Gianyar |
28,915 |
2,629 |
Erosi |
Pering |
Gianyar |
15,949 |
1,450 |
Erosi |
Keramas |
Gianyar |
1,569 |
0,143 |
Akresi |
Medahan |
Gianyar |
8,385 |
0,762 |
Erosi |
Lebih |
Gianyar |
11,004 |
1,000 |
Akresi |
Tulikup |
Gianyar |
11,110 |
1,010 |
Akresi |
Negari |
Klungkung |
14,582 |
1,326 |
Akresi |
Takmung |
Klungkung |
25,783 |
2,344 |
Erosi |
Satra |
Klungkung |
35,103 |
3,191 |
Erosi |
Tojan |
Klungkung |
16,146 |
1,468 |
Erosi |
Gelgel |
Klungkung |
2,846 |
0,259 |
Erosi |
Jumpai |
Klungkung |
39,233 |
3,567 |
Erosi |
Tangkas |
Klungkung |
9,035 |
0,821 |
Erosi |
Gunaksa |
Klungkung |
145,776 |
13,252 |
Akresi |
Kusamba |
Klungkung |
15,155 |
1,378 |
Akresi |
Kampung Islam Kusamba |
Klungkung |
10,390 |
0,945 |
Erosi |
Pesinggahan |
Klungkung |
28,744 |
2,613 |
Akresi |
Laju Erosi |
1,428 | |||
Rata-rata |
Gianyar |
Laju Akresi |
0,718 | |
Laju Erosi |
1,799 | |||
Klungkung |
Laju Akresi |
4,642 |
citra Landsat, hasil citra Sentinel-1 dengan resolusi piksel 10 meter (ditunjukkan dengan garis berwarna hitam pada Gambar 5) terlihat lebih detail dan halus. Perbandingan ini menunjukkan bahwa deteksi perubahan garis pantai menggunakan citra satelit akan semakin akurat apabila citra satelit yang digunakan memiliki resolusi piksel yang semakin tinggi.
-
3.4 Perubahan Garis Pantai
Berdasarkan dari keadaan elevasi pasut tiap citra yang berbeda (Gambar 2), maka perlu dilakukan penyamaan elevasi pasut untuk meminimalkan eror yang diakibatkan dari hal tersebut. Luas perubahan garis pantai tahun 2007 hingga tahun 2018 yang diperoleh berdasarkan hasil analisis menggunakan citra satelit ALOS PALSAR dan satelit Sentinel-1 setelah penyamaan elevasi pasut di Kabupaten Gianyar dan Klungkung menunjukkan bahwa adanya dampak erosi dan akresi (Gambar 6) dimana dampak tertinggi terjadi di Kabupaten Klungkung. Dengan perhitungan luas menggunakan shapefile manual dari tiap perubahan, luas perubahan di Kabupaten Gianyar yang disebabkan oleh erosi mencapai 124.930,5 m2,
sedangkan luas perubahan yang disebabkan oleh sedimentasi mencapai 85.123,86 m2. Untuk Kabupaten Klungkung, dampak erosi mencapai 168.142,05 m2, sedangkan dampak akresi mencapai 207.531,2 m2.
Gambar 7. Perubahan garis pantai di Desa Gunaksa.
Berdasarkan dari Tabel 3 perubahan garis pantai desa-desa di Kabupaten Gianyar dan Klungkung dari tahun 2007 dan 2018, laju perubahan garis pantai didominasi laju perubahan yang bersifat

Gambar 8. Peta pembagian slope di Pulau Bali (BWS-BP, 2015).
erosi. Pada Kabupaten Gianyar laju erosi tertinggi terdapat di Desa Saba mencapai 2,629 m/th. Sedangkan desa yang mengalami akresi tertinggi adalah Tulikup dengan laju perubahan 1,010 m/th. Rata-rata laju erosi di Kabupaten Gianyar diperoleh sebesar 1,43 m/th dan laju akresi sebesar 0,72 m/th. Untuk Kabupaten Klungkung, terdapat 7 desa yang memiliki laju perubahan yang bersifat erosi dan 4 desa mengalami akresi. Laju erosi tertinggi terdapat di Desa Jumpai mencapai 3,567 m/th dan yang mengalami akresi tertinggi adalah Desa Gunaksa mencapai 13,252 m/th, dimana akresi yang terjadi di desa ini disebabkan oleh pembangunan pelabuhan (Gambar 7). Rata-rata laju erosi di Kabupaten Klungkung diperoleh sebesar 1,799 m/th dan laju akresi diperoleh sebesar 4,642 m/th.
-
3.5 Koreksi Pasang Surut
Deteksi perubahan garis pantai menggunakan citra satelit sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Oleh sebab itu, perlu dilakukan koreksi mengingat waktu perekaman citra yang tidak bersamaan dengan waktu pasang tertinggi. Perhitungan koreksi garis pantai yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data perbandingan kemiringan pantai yang berdasarkan penerapan teori segitiga (Aryastana dkk., 2017). Berdasarkan data perbadingan kemiringan pantai BWS-BP tahun 2015, Pulau Bali dibagi menjadi 45 bagian (Gambar 8). Perbandingan kemiringan pantai dan HWL untuk Kabupaten Gianyar dan Klungkung ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4
Pembagian slope dan HWL tiap ruas di Kabupaten Gianyar dan Klungkung (BWS-BP, 2015).
Nomor ruas |
Kabupaten |
Slope |
HWL (m) |
20 |
Klungkung |
1 : 15 |
2,6 |
21 |
Klungkung |
1: 16 |
2,6 |
22 |
Klungkung |
1 : 7 |
2,6 |
23 |
Klungkung dan |
1 : 7 |
2,6 |
Gianyar | |||
24 |
Gianyar |
1 : 10 |
2,6 |
25 |
Gianyar |
1 : 9 |
2,6 |
26 |
Gianyar |
1 : 10 |
2,6 |
Tabel 5
Koreksi garis pantai tahun 2018.
Ruas |
HWL kawasan (m) |
HWL Benoa (m) |
Pasut (m) |
Slope |
Korek -si (m) |
20 |
2,6 |
2,7 |
1 |
15 |
3,156 |
21 |
2,6 |
2,7 |
1 |
16 |
3,193 |
22 |
2,6 |
2,7 |
1 |
7 |
2,859 |
23 |
2,6 |
2,7 |
1 |
7 |
2,859 |
24 |
2,6 |
2,7 |
1 |
10 |
2,97 |
25 |
2,6 |
2,7 |
1 |
9 |
2,933 |
26 |
2,6 |
2,7 |
1 |
10 |
2,97 |
Berdasarkan data pasut saat perekaman citra Sentinel-1 pukul 5:52 WITA diperoleh hasil koreksi di setiap ruas (Tabel 5). Nugraha dkk. (2017), menyebutkan bahwa hasil ekstraksi garis pantai dapat dinyatakan akurat apabila jarak dengan

Gambar 9. Perbandingan posisi revetment dengan garis pantai sebelum koreksi dan data survei lapangan.
validator (data lapangan) kecil dimana rata-rata jarak didapatkan dengan menjumlahkan nilai jarak disetiap transek DSAS kemudian dirata-ratakan.
Hasil rata-rata jarak garis pantai ekstraksi dengan data lapangan ditunjukkan pada Tabel 6. Rata-rata jarak garis pantai setelah koreksi dengan data lapangan lebih tinggi dibandingkan sebelum koreksi. Hal ini diasumsi akibat dari data untuk koreksi yang masih bersifat prediksi. Namun hasil rerata jarak setelah koreksi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan rerata jarak yang diperoleh Nugraha dkk. (2017) yang menggunakan citra Landsat dengan rerata sebesar 4,82 meter.
Tabel 6
Rata-rata jarak garis pantai sebelum dan sesudah koreksi dengan data lapangan. | ||
Kabupaten |
Sebelum Koreksi (m) |
Sesudah Koreksi (m) |
Gianyar |
0,453 |
2,446 |
Klungkung |
0,713 |
1,917 |
Rata-rata |
0,583 |
2,182 |
Garis pantai hasil ektraksi dan data survei lapangan kemudian dibandingkan dengan posisi revetment atau dinding pantai yang sudah
terpasang di beberapa lokasi. Posisi revetment diasumsikan sebagai posisi garis pantai sebenarnya dan digunakan sebagai patokan untuk validasi. Berdasarkan dari Gambar 9, ditunjukkan hasil ekstraksi citra Sentinel-1 sebelum koreksi dekat dengan revetment. Pada Gambar 10 ditunjukkan hasil koreksi garis pantai berada pada revetment lebih akurat sedangkan garis pantai Landsat terlihat lebih jauh dengan revetment dibandingkan dengan garis pantai Sentinel-1 baik sebelum maupun sesudah koreksi sehingga dapat dikatakan bahwa ektraksi garis pantai dengan satelit Sentinel-1 mampu menampilkan hasil yang lebih detail dan lebih sesuai dengan garis pantai di lapangan.
Hasil analisis perubahan garis pantai Kabupaten Gianyar dan Klungkung dari tahun 2007 dan 2018 menunjukkan luas perubahan di Kabupaten Gianyar yang disebabkan oleh erosi mencapai 124.930,5 m2 dengan laju erosi tertinggi pada Desa Saba, sedangkan luas perubahan yang disebabkan oleh sedimentasi mencapai 85.123,86 m2 dengan laju akresi tertinggi pada Desa Tulikup. Untuk Kabupaten Klungkung, dampak erosi mencapai 168.142,05 m2 dengan laju erosi tertinggi pada Desa Jumpai, sedangkan dampak akresi mencapai

Gambar 10. Perbandingan posisi revetment dengan garis pantai setelah koreksi dan data survei lapangan.
207.531,2 m2 dengan laju akresi tertinggi pada Desa Gunaksa.
Berdasarkan dari penelitian ini saran yang dapat diberikan adalah perlu dilakukan pengambilan data langsung dari lapangan selama waktu penelitian untuk data koreksi pasut agar menghasilkan koreksi yang lebih valid.
Ucapan terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Badan Wilayah Sungai Bali Penida dan Bapak Putu Aryastana, ST., M.Eng., M.Si. yang telah menyediakan data pendukung untuk koreksi pasang surut yang membantu terselesaikannya penelitian ini.
Daftar Pustaka
Arief, M., Winarso, G., & Prayogo, T. (2011). Kajian perubahan garis pantai menggunakan data satelit Landsat di Kabupaten Kendal. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital, 8, 71-80.
Aryastana, P., Eryani, I. G. A. P., & Candrayana, K. W. (2017). Perubahan garis pantai dengan citra satelit di Kabupaten Gianyar. PADURAKSA: Jurnal Teknik Sipil Universitas Warmadewa, 5(2), 70-81.
Aryastana, P., Ardantha, I. M., & Agustini, N. K. A. (2017). Analisis perubahan garis pantai dan laju erosi di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung dengan citra satelit SPOT. Jurnal Fondasi, 6(10), 100-111.
Bioresita, F., & Hayati, N. (2016). Coastline Changes Detection Using Sentinel-1 Satellite Imagery In Surabaya, East Java, Indonesia. Geoid Journal, 11(2), 190-198.
BWS-BP. (2015). Studi Updating Abrasi Pantai Provinsi Bali. Denpasar, Indonesia: Balai Wilayah Sungai Bali-Penida.
Hapsari, R. W., Hendrarto, B., & Muskananfola, M. R. (2018). Pemetaan Karakteristik Fisik Sedimen di Pantai Bermangrove di Pesisir Desa Timbulsloko, Kabupaten Demak. Journal of Management of Aquatic Resources, 6(3), 283-292.
Hidayah, R., Suntoyo, & Armono., H, D. (2012). Analisis perubahan garis pantai Jasri, Kabupaten Karangasem Bali. Jurnal teknik ITS, 1(1), 259-264.
Martinez, J. M., & Le Toan, T. (2007). Mapping of flood dynamics and spatial distribution of vegetation in the Amazon floodplain using multitemporal SAR data. Remote sensing of Environment, 108(3), 209-223.
Munandar, M., & Kusumawati, I. (2017). Studi analisis faktor penyebab dan penanganan abrasi pantai di wilayah Pesisir Aceh Barat. Jurnal Perikanan Tropis, 4(1), 47-56.
Nugraha, I. N. J., Karang, I. W. G. A., & Siladharma, I. G. B. (2016). Ekstraksi Garis Pantai Menggunakan Citra Satelit Landsat di Pesisir Tenggara Bali (Studi Kasus Kabupaten Gianyar dan Klungkung). Dalam Prosiding Seminar Nasional Kelautan 2016. Madura, Indonesia, 27 Juli 2016 (pp. 159-166).
Nugraha, I. N. J., Karang, I. W. G. A., & Siladharma, I. G. B. (2017). Studi Laju Perubahan Garis Pantai di Pesisir Tenggara Bali Menggunakan Citra Satelit Landsat (Studi Kasus Kabupaten Gianyar dan Klungkung). Journal of marine and aquastic sciences, 3(2), 204-214.
Pranoto, S. (2007). Prediksi perubahan garis pantai menggunakan model GENESIS. Berkala Ilmiah Teknik Keairan, 13(3), 145-154.
Purnaditya, N. P., Siladharma, I. G. B., & Dirgayusa, I. G. N. P. (2011). Prediksi perubahan Garis Pantai Nusa
Dua dengan One-Line Model. Jurnal Ilmiah Elektronik Infrastruktur Teknik Sipil, 11(1), 1-8.
Raju, K. S., Nasir, M. S., & Devi, T. M. (2013). Filtering techniques to reduce speckle noise and image quality enhancement methods on satellite images. IOSR Journal of Computer Engineering, 15(4), 10-15.
Tarigan, M. S. (2010). Perubahan garis pantai di wilayah pesisir Perairan Cisadane, Provinsi Banten. Makara Journal of Science, 11(1), 49–55.
Thieler, E. R., Himmelstoss, E. A., Zichichi, J. L., & Ergul, A. (2009). The Digital Shoreline Analysis System (DSAS) version 4.0 - an ArcGIS extension for calculating shoreline change (No. 2008-1278). Reston, USA: U.S. Geological Survey.
© 2019 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).
J. Mar. Aquat. Sci. 5: 278-288 (2019)
Discussion and feedback