LEGALITAS OPERASI TANGKAP TANGAN OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI*

Widya Parameswari Resta**

Anak Agung Istri Ari Atu Dewi***

Program Kekhususan Peradilan

Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Pengertian tertangkap tangan telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dimana tertangkap tangan yaitu keadaan seseorang yang berbuat suatu tindak pidana dan diketahui oleh penyidik saat melakukan atau setelah melakukan tindak pidana tersebut tanpa adanya penjebakan. Sedangkan, dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak mengatur mengenai operasi tangkap tangan. Sehingga, terjadi kekosongan norma hukum yakni tidak diaturnya operasi tangkap dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan operasi tangkap tangan dan kualifikasi tertangkap tangan dengan operasi tangkap tangan dalam tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, dan laporan penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara tertangkap tangan dan operasi tangkap tangan. Karena tidak diaturnya pengertian operasi tangkap tangan dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, menimbulkan multitafsir apakah Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan operasi tangkap tangan sah atau tidak. Dengan demikian maka ke depannya perlu diatur mengenai pengaturan khusus mengenai operasi tangkap tangan beserta teknis pelaksanaanya sehingga tidak menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan operasi tangkap tangan.

Kata Kunci : Tertangkap Tangan, Operasi Tangkap Tangan, Korupsi

ABSTRACT

Definition of red-handed has been regulated in the Criminal Procedure Code, where red-handed is a situation where a person commits a crime and is known by the investigator when committing or after committing the crime without entrapment. While, in the Corruption Eradication Commission Law it does not regulate of handcatching operations. Thus, there is a vacuum of legal norms, because not regulated about hand-catching in the Corruption Eradication Commission Law. This legal research aims to find out the settings for hand-catching operations and

qualifications to be caught red-handed with hand-catching operations in corruption by the Corruption Eradication Commission. This study uses normative legal research, through a legal approach and conceptual approach, and this research report is descriptive analytical. The results of this study indicate that there is a difference between red-handed and hand-catching operations. Because the regulation of hand-catching operations is not regulated in the Corruption Eradication Commission Law, it creates multiple interpretations whether the Corruption Eradication Commission doing hand-catching operations is legal or not. So that, in the future it is necessary to regulate specific arrangements about hand-catching operations and their technical implementation so as not to cause abuse of authority by the Corruption Eradication Commission in hand-catching operations.

Keywords : Red-handed, Hand-catching Operations, Corruption.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Tindak pidana korupsi (yang selanjutnya disingkat Tipikor) yaitu suatu kejahatan pidana yang berkaitan dengan kuasa seseorang yang menggunakan kekuasaan atau jabatannya sebagai kepentingan pribadinya.1 Menurut Andi Hamzah pengertian tipikor jika diartikan secara harfiah yaitu: kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan menghina atau memfitnah.2 Dalam tipikor pada umumnya dilakukan oleh pemerintah yang memiliki kekuasaan, dengan kekuasaan yang dimiliki itulah pemerintah dapat menggunakan uang rakyat dengan semaunya. Namun kekuasaan tidaklah menjadi faktor yang utama bagi seseorang untuk melakukan korupsi.

Ancaman terbesar bagi negara Indonesia ini adalah kasus korupsi itu sendiri.3 Kasus Korupsi yang terjadi semakin membludak dari tahun ke-tahun, seperti peningkatan kasus, peningkatan dari jumlah kerugian uang negara, ataupun yang

lainnya. Kasus korupsi yang meningkat dapat memberikan dampak bagi kehidupan perekonomian bangsa dan negara.4 Atas dasar tersebut, kasus tipikor disebut sebagai kejahatan transnasional (transnational crime). Selain itu, kasus korupsi adalah salah satu kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) karena telah mencuri harta negara dan memiskinkan rakyat.

Dalam pemberantasan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) maka diperlukan tindakan yang bersifat luar biasa (extraordinary measures).5 Tindakan luar biasa yang dimaksud salah satunya adalah dengan melakukan Operasi Tangkap Tangan (yang selanjutnya disingkat OTT) yang dilakukan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK) yang mampu mengungkap tindak pidana korupsi hingga divonis terbukti dan meyakinkan bersalah oleh Pengadilan. Namun, OTT yang dilakukan oleh KPK seringkali disebut dengan tindakan ilegal karena dianggap sama dengan Controlled Delivery (penyerahan yang diawasi) maupun Undercover Buying (pembelian terselubung) dimana kewenangan ini hanya terdapat di penyidikan kasus Narkotika dan telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (selanjutnya disingkat UU Narkotika) sedangkan tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat UU KPK).6

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disingkat KUHAP) tidak mengenal istilah OTT. Istilah OTT mulai timbul sejak konfrensi pers yang dilakukan oleh KPK yang mengatakan telah melakukan OTT dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus pejabat-pejabat negara, kepala daerah, maupun yang lainnya. OTT yang dilakukan oleh KPK sering dilakukan penjebakan (entrapment) terlebih dahulu. KPK pertama kali menggunakan teknik penjebakan yaitu Undercover Agent yaitu pada perkara Mulyana Wirakusumah. Dimana Mulyana ingin menyuap orang dari BPK yang bernama Khairiansyah Salman. Pada saat itu orang dari KPK melakukan operasi dengan bekerjasama dengan pihak BPK untuk membantu mensukseskan penyergapan atau OTT pada Mulyana. KPK pun bekerjasama dengan Khairansyah untuk menjebak Mulyana.7 Teknik penjebakan (entrapment) terkait kasus korupsi di Indonesia belum pernah diatur dalam hukum di Indonesia ini. Selain itu pada "Pasal 1 angka 19 KUHAP" hanya dikenal istilah tertangkap tangan bukan OTT. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kekaburan norma hukum mengenai OTT yang dilakukan oleh KPK.

  • 1.2    Permasalahan

Dalam jurnal hukum ini terdapat dua rumusan masalah diantaranya:

  • 1.    Bagaimana pengaturan OTT dalam pemberantasan Tipikor yang dilaksanakan oleh KPK?

  • 2.    Bagaimana kualifikasi tertangkap tangan dengan OTT dalam pemberantasan Tipikor yang dilaksanakan oleh KPK?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal hukum ini memiliki tujuan umum dan khusus diantaranya

  • 1.    Tujuan umum dari penulisan ini yakni agar tidak ada penyalahgunaan kewenangan oleh KPK dalam melakukan OTT

  • 2.    Tujuan khusus dari dibuatnya penulisan ini yaitu untuk:

  • 1)    Mengetahui pengaturan operasi tangkap tangan dalam tindak pidana korupsi.

  • 2)    Mengetahui kualifikasi tertangkap tangan dengan operasi tangkap tangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Dalam penulisan jurnal hukum ini menggunakan jenis penelitian hukom normatif yang dilakukan melalui pengkajian kepustakaan.8 Norma hukum adalah objek penelitian dari sebuah metode penelitian hukum normatif. Text Books atau buku hukum, jurnal, surat kabar digunakan sebagai bahan hukum atau data sekunder yang dicantumkan di daftar pustaka di bagian akhirnya. Dan juga menggunakan bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-undang (statute approach). Undang-Undang yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pendekatan Konseptual (conceptual approach) digunakan dalam penulisan hukum ini untuk menjabarkan dan menelaah permasalahan dari adanya norma kosong pada penelitian ini. Yang berarti tidak ada atau belum ada aturan yang mengatur tentang permasalahan hukum yang ditulis pada penelitian ini.9 Dan hasilnya dituangkan dalam laporan yang bersifat deskriptif analitis yang berupa gambaran atau uraian terhadap objek yang diteliti, dan membuat kesimpulan secara umum.

  • 2.2 . Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Pengaturan Operasi Tangkap Tangan dalam Penyidikan

Tindak Pidana Korupsi

OTT KPK sering diawali dengan teknik penyadapan, setelah penyadapan dilakukan jika benar ditemukan suatu tindak pidana kemudian penyelidik KPK melakukan OTT. 10 Dalam melakukan OTT terdapat dua teknik yang memiliki kelemahan secara hukum. Yang pertama yaitu penyadapan yang hanya diatur secara umum dalam UU KPK, yang kedua yaitu penjebakan tidak dikenal dalam berbagai aturan tentang korupsi di Indonesia. Akibatnya dalam penggunaannya, kedua teknik tersebut sering menimbulkan opini bahwa KPK melakukan pelanggaran hukum dan HAM. 11

Saat KPK melakukan OTT seringkali KPK langsung menetapkan orang tersebut sebagai tersangka dan melakukan penahanan pada hari itu juga, inilah yang menjadi dasar Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa OTT yang dilakukan oleh KPK adalah sebuah teknik penyidikan yang tidak sah (ilegal). Lebih lanjut lagi Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa OTT tidak sama dengan keadaan tertangkap tangan. Hal ini dikarenakan OTT yang dilakukan oleh KPK dilakukan sehari setelah seseorang melakukan suatu tindak pidana artinya KPK telah memiliki calon tersangkanya dan peyelidik KPK saat melakukan OTT haruslah memiliki Surat Perintah Penyelidikan. 12 Dalam pasal 17 UU KPK menyebutkan bahwa seharusnya setelah mendapatkan bukti permulaan, penyelidik melaporkan hasil lidik ke pimpinan KPK terlebih dahulu dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari untuk kemudian dilanjutkan ke tingkat penyidikan atau tidak. Selain itu UU KPK juga menyebutkan bahwa penetapan tersangka harus dilakukan oleh pimpinan KPK pada saat akhir tahap proses penyidikan. Namun, dalam prakteknya orang yang terkena OTT akan langsung dijadikan tersangka dan langsung ditahan, hal ini melanggar prinsip due process model dan asas praduga tak bersalah. Romli juga mengemukakan tujuan dari penyadapan yang dilakukan KPK yaitu untuk melakukan pengintaian (interdiction) terhadap calon tersangka lalu kemudian dijadikan barang bukti dalam pemeriksaan tersangka dan saksi.13 Akan tetapi di sisi lain, Eddy Hiraej seorang Guru Besar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Gajah Mada mengatakan bahwa tidak selamanya penyelidikan dan penyidikan terpaut pada sekat yang tegas, ada

kalanya penyelidikan dan penyidikan menjadi satu terutama dalam hal tertangkap tangan.

Penyadapan yang dilakukan oleh KPK telah didasari pada Pasal 12 ayat (1) UU KPK yang berkaca dari Pasal 6 huruf c, wewenang KPK yaitu melakukan perekaman pembicaraan yang dilakukan kepada target operasinya. Namun, UU KPK kurang dijelaskan secara rinci tentang prosedur perekaman pembicaraan yang dilakukan oleh KPK. Jika dibandingkan dengan UU Narkotika sangatlah berbeda mengenai aturan penyadapannya. UU tersebut telah menjelaskan secara rinci tentang proses penyadapan.

Chairul Huda mengatakan bahwa salah satu tindakan yang dimungkinkann dalam penyidikan tindak pidana adalah penyadapan dan merekam pembicaraan. Hak untuk penyadapan yang dilakukan oleh KPK tetap harus ada prosedur dan aturan yang baik dan jelas, contohnya mengenai ijin dari pengadilan, pembatasan waktu dan wewenang seorang penyidik yang bertugas bukan lembaganya. 14 Penyadapan serta Penjebakan adalah hal yang berbeda, dalam hukum pidana ada teknik investigasi khusus, contohnya dalam UU Narkotika dikenal dengan istilah controlled delivery. Penjebakan bukanlah suatu yang baru dalam teknik penyidikan, namun harus ada batasan dimana kewenangan dari yang melakukan penjebakan tersebut tetap diberikan batas. Dengan kata lain teknik penjebakan (entrapment) sebagai teknik untuk mengungkap suatu kasus pidana merupakan hal yang benar dan tidak menjadi permasalahan yang harus diperdebatkan sepanjang terdapat suatu batasan-batasan kewenangan yang diatur dalam suatu aturan.15 Romli Atmasasmita menyebut bahwa OTT yang dilakukan oleh KPK bersifat ilegal, karena dalam pelaksanaan

penyadapan yang merupakan rangkaian dari OTT itu sendiri tidak tercantum peraturan yang jelas mengenai penyadapan dalam UU KPK, berbeda halnya dengan UU Narkotika dan UU Terorisme yang di dalam Undang-Undangnya terdapat prosedur dan tata cara yang jelas (pembatasan penggunaan kewenangan tersebut).

Teknik penjebakan melalui undercover agent dan delivery control seperti yang dilakukan dalam penyidikan dalam kasus tindak pidana narkotika juga dapat dilakukan oleh KPK sebelum melakukan OTT. Menurut Eddy Hiraej menyebutkan bahwa teknik undercover agent dan delivery control yang dilakukan oleh KPK tidaklah tanpa dasar hukum. Dalam pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, telah dijelaskan bahwa boleh melakukan pengamatan terhadap komunikasi elektronik, dan boleh melakukan undercover agent termasuk di dalamnya delivery control. Jadi pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi justru mengatur hal-hal yang boleh dilakukan sebagai bentuk teknis investigasi khusus melebihi dari Operasi Tangkap Tangan.

Penyadapan sebagai sebuah metode baru yang dinilai sebagai metode luar biasa dalam rangka mencegah dan memberantas atau bahkan pengungkapan tindak pidana memang menimbulkan kontroversi di kalangan praktisi hukum maupun kalangan akademisi hukum. Hasil rekaman dari penyadapan tidak dapat menjadi alat bukti, namun informasi dalam rekaman hasil penyadapan tersebut terbukti sangat efektid untuk dapat memperoleh alat bukti menurut KUHAP sehingga mampu mengungkap adanya kasus korupsi. Sebagian pihak menganggap bahwa penyadapan adalah pelanggaran huku, bahkan justri

dianggap sebagai pelanggaran HAM karena orang merasa dizalimi dengan adanya penyadapan KPK tersebut.16

Dalam hal KPK melakukan penyadapan, sebenarnya dapat dikatakan sah-sah saja. Tetapi yang menjadi polemik adalah tidak diaturnya tata cara dan prosedur mengenai penyadapan dalam UU KPK. Hal ini dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang bagi yang melakukan penyadapan. Hasil dari penyadapan tersebut dapat dijadikan alat bukti, setelah dilakukannya penyadapan, penyidik dapat melakukan OTT kepada tersangka dengan syarat harus memiliki surat tugas dari pimpinan untuk melakukan operasi tangkap tangan.

  • 2.2.2 . Kualifikasi tertangkap tangan dengan operasi tangkap tangan dalam tindak pidana korupsi

Adanya tindak pidana dapat diketahui melalui laporan maupun pengaduan orang melihat atau mengalami secara langsung atau kebetulan orang tersebut adalah korban dari peristiwa itu, serta melalui tertangkap tangan. 17 Adapun kualifikasi tertangkap tangan atau “heterdaad” seperti yang diatur angka 19 pasal 1 KUHAP yaitu keadaan dimana ditangkapnya seseorang saat:

  • 1.    Seseorang tengah melakukan suatu kejahatan.

  • 2.    Setelah tindak kejahatan tersebut selesai dilakukan.

  • 3.    Khalayak ramai menyerukan sesaat setelah kejahatan tersebut dilakukan.

  • 4.    Sesaat kemudian pada orang tersebut ditemukan sesuatu atau benda yang diduga keras dipergunakan untuk melakukan kejahatan tersebut.

Empat hal di atas merupakan unsur-unsur dari tertangkap tangan. Faktor yang menentukan dalam rumusan pasal di atas adalah adalah "dijumpainya sesuatu atau benda yang diduga milik seseorang yang digunakan untuk melakukan kejahatan tersebut". Alat bukti yang ditemukan tersebut dapat dijadikan petunjuk apakah orang tersebut adalah pelakunya atau orang hanya turut melakukan kejahatan tersebut. 18 Selain itu, pada ayat 2 pasal 18 KUHAP dijelaskan bahwa dalam tertangkap tangan penangkapan tidak memerlukan Surat Perintah Penyidikan saat melihat seseorang yang sedang melakukan tindak pidana.

Dalam KBBI, bahwa yang dimaksud dengan OTT yaitu pelaksanaan rencana yang telah dikembangkan. Unsur-unsur dari OTT adalah

  • 1.    adanya laporan bahwa seorang telah melakukan suatu tindak pidana korupsi,

  • 2.    lalu beranjak dari laporan tersebut KPK melakukan pengintaian dengan cara penyadapan atau penjebakan kepada orang yang telah dicurigai tersebut,

  • 3.    Setelah melakukan penyadapan atau penjebakan, KPK akan melakukan OTT pada orang tersebut.

Hal ini sangat berbeda dengan istilah "tertangkap tangan", yang dimana tertangkap tangan tidak memerlukan sebuah rencana dalam menangkap seseorang. Menurut Eddy Hiariej, rencana yang dimaksud dalam rangkaian OTT tersebut yaitu KPK akan penyadapan terlebih dahulu sebelum melakukan OTT. Pada pasal 1 angka 19 UU Narkotika telah diatur pengertian tentang penyadapan

yaitu kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya. Terdapat beberapa tahapan KPK dalam melakukan OTT, yaitu:

  • 1.    Sebelum melakukan OTT, KPK akan melakukan tindakan penyadapan dalam waktu tertentu.

  • 2.    Kewenangan KPK melakukan penyadapan yaitu pada tahap penyelidikan bukan tahap penyidikan. Hal ini didasari pada Pasal 12 UU KPK.

  • 3.    Penyadapan yang dilakukan oleh penyelidik KPK hanya untuk menambah konfirmasi bahwa benar sebelumnya telah terjadi suatu tindak pidana. Hasil penyadapan ini digunakan sebagai bukti permulaan yang cukup.

Pengertian tertangkap tangan dalam Pasal 1 Angka 19 KUHAP, memungkinkan orang yang tertangkap tangan saat proses OTT belum tentu ada di empat keadaan itu, bisa saja uang yang dijadikan barang bukti dalam kasus tersebut tidak ada dalam proses OTT. Dalam kata lain, kasus penyuapan masih dapat dikatakan belum selesai atau tahap percobaan.19 Prosedur penangkapan dalam OTT tentu disertai dengan surat perintah penangkapan. Hal ini jelas berbeda dengan tertangkap tangan. Perbedaan antara tertangkap tangan dan OTT adalah jika dalam hal tertangkap tangan, seseorang yang menangkap tidak memerlukan surat tugas saat melakukan penangkapan pada orang yang melakukan tindak pidana. Namun, berbeda dalam pelaksanaan OTT. Sebelum melakukan OTT, penyelidik KPK akan melakukan penyadapan hal ini bertujuan agar KPK memiliki bukti permulaan yang cukup sebelum menangkap tersangka.

  • III. PENUTUP

  • 3.1    Kesimpulan

  • 1)    OTT yang dilakukan oleh KPK tidak ada pengaturannya dalam KUHAP maupun UU KPK. Namun, salah satu unsur OTT yaitu penyadapan yang dilakukan oleh KPK telah diatur secara eksplisit pada Pasal 12 ayat 1 huruf (a) UU KPK dan pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, jelas bahwa boleh melakukan pengamatan terhadap komunikasi elektronik, juga boleh melakukan undercover agent termasuk di dalamnya delivery control.

  • 2)    Perbedaan yang paling mendasar dalam perbedaan antara tertangkap tangan dan OTT adalah pelaksanaan operasi tangkap tangan penyidik tidak langsung mendapati seorang yang melakukan suatu kejahatan pada saat melakukan kejahatan tersebut atau sesaat setelahnya. Namun dalam OTT, KPK biasanya mendapatkan laporan bahwa terjadi suatu tindak pidana korupsi, lalu KPK melakukan teknik pengintaian melalui penyadapan atau penjebakan. Setelah melakukan pengintaian barulah KPK melakukan sebuah OTT untuk menangkap pelaku.

  • 3.2    Saran

  • 1)    Kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia segera merevisi UU KPK untuk mengatur secara eksplisit mengenai OTT dalam tindak pidana korupsi.

  • 2)    Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi agar membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam melakukan OTT.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asikin, Amarrudin Zainal, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Atmasasmita, Romli, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Majuu, Bandung.

Diantha, I Made Pasek, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Prenada Media Group, Jakarta.

Hamzah, Andi, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Harahap, M. Yahya, 1986, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta.

Gunawan, Yopi dan Kristian, 2013, Sekelumit Tentang Penyadapan Dalam Hukum Positif di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung.

Masyahar, Ali, 2009, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme Sebuah Kritik Atas Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

Dewantara, Nanda Agung, 1987, Masalah Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan dan Pemeriksaan Surat di dalam Proses Acara Pidana, Aksara Persada Indonesia, Jakarta.

Zainuri, Achmad, 2007, Akar Kultural Korupsi di Indonesia, Cahaya Baru Sawangan, Depok.

Jurnal Ilmiah

Muhammad Rizal Akbar, 2017, Kebijakan KPK dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi melalui Operasi Tangkap Tangan. Jurnal poenale, Universitas Lampung, URL:http://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/pidana/article/v iew/752 , diakses pada tanggal 27 Februari 2019.

Nufrajrina Sastiya, 2018, Efektivitas Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Upaya

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Universitas Islam Jakarta,URL:http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstrea m/123456789/43791/1/NURFAJRINA   SASTIYA-FSH.pdf,

diakses pada tanggal 27 Februari 2018.

Yasmirah Mandasari Sarigih, Teguh Prasetyo, Jawade Hafidz, 2018, Analisis Yuridis Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Penuntut Pelaku Tindak Pidana Korupsi, Unifikasi: Jurnal Ilmu Hukum, Universitas Kuningan, Jawa Barat,URL:https://journal.uniku.ac.id/index.php/unifikasi/ article/view/763/622 , diakses pada tanggal 17 Mei 2018

Surat Kabar

Eddy Os Hiraej, "Memaknai Tertangkap Tangan", Kompas, 29 September 2017.

Romli Atmasasmita, 2017, "Apakah OTT KPK Legal Atau Ilegal?", Sindo, 3 Oktober 2017.

Website

Arsil, 2017, “OTT, Tertangkap Tangan dan Entrapment”, URL : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59e5e35ed478 6/ott--tertangkap-tangan-dan-entrapment-1,diakses tanggal 17 Mei 2018.

Jon, 2005, "Kronologi Kasus Mulyana Versi BPK",URL:https://news.detik.com/berita/346216/kronologi -kasus-mulyana-versi-bpk ,diakses tanggal 26 Juni 2018.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

15