Mekanisme Sertifikasi Sebagai Proses Awal Pemeriksaan Dalam Pengajuan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)

Oleh:

I Wayan Didik Prayoga

Anak Agung Gede Agung Dharmakusuma

Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Salah satu pengaturan yang fundamental dalam proses pengajuan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) adalah terkait proses awal pemeriksaan (sertifikasi) yang bertitik tolak dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Proses sertifikasi ini penting untuk menentukan gugatan yang akan diajukan telah memenuhi persyaratan gugatan perwakilan kelompok. PERMA No. 1 Tahun 2002 secara khusus tidak memberikan penjelasan atas hal tersebut, sehingga dalam pelaksanaannya kemudian berpotesi menimbulkan kebingungan akibat ketidakjelasan pengaturan khususnya bagi segenap elemen penegak hukum terkait.

Tujuan penulisan jurnal hukum ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme sertifikasi sebagai proses awal pemeriksaan dalam pengajuan gugatan perwakilan kelompok. Penelitian hukum ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan sekunder yang dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian ini disajikan dalam satu laporan yang bersifat deskriptif analitis.

Ditinjau dari berbagai putusan pengadilan di tingkat pertama terdapat ketidakseragaman penerapan mekanisme sertifikasi. Pada tahun 2013 Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 036/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Lingkungan Hidup yang memuat mengenai mekanisme sertifikasi. Adapun mekanisme sertifikasi yang dimuat dalam BAB II dimulai pada tahapan pemeriksaan surat kuasa dan ijin pengacara sampai pada hakim mengeluarkan keputusan untuk menerima atau menolak gugatan perwakilan kelompok yang diajukan. Meskipun sudah ada pengaturan mengenai mekanisme sertifikasi, namun perlu dibuatkan pengaturan baru yang secara khusus mengatur

sertifikasi dan SK KMA tersebut dapat dijadikan rujukan sementara hingga lahirnya ketentuan tersebut.

Kata Kunci: Mekanisme, Sertifikasi, Gugatan Perwakilan Kelompok.

Abstract

One of the fundamental arrangements in the Class Action process is related to the initial process of examination (certification) which starts from the provision of Article 5 paragraph (1) of PERMA No. 1 of 2002 concerning the Class Action Event (PERMA No. 1 of 2002). This certification process is important to determine whether a lawsuit to be filed has met the requirements to be filed with the class action mechanism. PERMA No. 1 of 2002 specifically does not provide an explanation of it, so in its implementation then potentially cause confusion due to unclear arrangements, especially for all elements of law enforcement related.

The purpose of writing this legal journal is to know how the certification mechanism as a preliminary process of examination in the class action submission. This legal research uses normative juridical legal research method. The data used in this research is primary and secondary data. All data collected were analyzed using qualitative method. The results of this study are presented in an analytical descriptive report.

Judging from various court decisions at the first level there is a lack of application of the certification mechanism. In 2013 the Chief Justice of the Supreme Court issued SK No. KMA.036 / KMA / SK / II / 2013 on the Implementation of the Environmental Handling

Guidelines containing the certification mechanism. No matter how early the process of trial hearings is contained in Chapter II which begins at the inspection of power of attorney and the consent of the lawyer until the judge issues a decision to accept or reject the claim of the group representatives. Although there have been arrangements regarding the certification mechanism, but need to be made a new arrangement which specifically regulates it and SK KMA can be used as a temporary reference until the birth of these provisions.

Keywords: Mechanism, Certification, Class Action

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Dewasa ini pelanggaran hukum tidak hanya menimpa satu atau dua orang tetapi juga dapat menimpa sekelompok orang dalam jumlah yang besar seperti halnya kerugian yang dialami masyarakat

di Riau akibat kebakaran hutan pada tahun 2015 silam.1 Indonesia sebagai sebuah negara hukum, secara konstitusional ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Salah satu isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum ialah perlindungan Hak Asasi Manusia.2 Dengan demikian, berkaitan dengan pelanggaran hukum yang menimpa sekelompok orang dalam jumlah yang banyak perlu mendapatkan suatu perlindungan sekaligus mekanisme penegakkan hukum yang sesuai dengan asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.

Dalam memenuhi tuntuan tersebut, Mahkamah Agung berdasarkan kewenangan yang dimiliki telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perawakilan Kelompok (yang selanjutnya disebut PERMA No. 1 Tahun 2002). Pasal 1 angka 1 PERMA No. 1 Tahun 2002 memberikan penjelasan tentang pengertian Gugatan Perwakilan Kelompok yaitu:

“suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.”

Jadi dalam gugatan perwakilan kelompok terdapat orang atau sekelompok orang sebagai wakil kelas (class representative) dan sekelompok orang yang jumlahnya banyak sebagai anggota kelas (class member).

Salah satu hal penting dan fundamental dalam gugatan perwakilan kelompok adalah tahap sertifikasi atau proses awal pemeriksaan yang bertitik tolak dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2002. Proses awal pemeriksaan ini penting untuk menentukan apakah gugatan yang diajukan memenuhi persyaratan untuk diajukan dengan mekanisme Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action).3 Namun pentingnya hal tersebut tidak sejalan dengan pengaturannya karena PERMA No. 1 Tahun 2002 tidak memberikan penjelasan secara prosedural bagaimana mekanisme awal proses pemeriksaan persidangan dalam Gugatan Perwakilan Kelompok dilaksanakan. Hal ini kemudian berpotensi menimbulkan kebingungan ditataran pelaksanaan akibat ketidakjelasan pengaturan dalam Perma No. 1 Tahun 2002.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Adapun secara khusus tulisan ilmiah ini membahas permasalahan terkait Bagaimana Mekanisme Sertifikasi Sebagai Proses Awal Pemeriksaan Dalam Pengajuan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)?

  • 1.3.    Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan jurnal hukum ini adalah untuk mengetahui Bagaimana Mekanisme Sertifikasi Sebagai Proses Awal Pemeriksaan Dalam Pengajuan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action).

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu untuk mengalisis suatu atau beberapa gejala hukum dan memeriksa terhadap fakta hukum guna mengusahakan suatu pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul dari gejala hukum.4

Penelitian hukum ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku hukum dan jurnal hukum. Bahan hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian ini disajikan dalam satu laporan yang bersifat deskriptif analitis.

  • 2.2.    Hasil dan Analisis

Pada hakikatnya pengajuan tuntutan hak dalam hukum acara perdata bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum dari pengadilan untuk mencegah tindakan eigenrichting atau main hakim sendiri. Sudikno Mertokusumo menyatakan perlu disyaratkan adanya kepentingan dalam mengajukan tuntutan hak, karena seseorang atau sekelompok orang yang tidak menderita kerugian yang mengajukan tuntutan hak maka tuntutan hak tersebut tidak dapat diterima.5

Hukum  acara perdata  mengenal tiga tahapan dalam

pemeriksaan perkara, yakni tahapan pendahuluan, tahapan

penentuan dan tahapan pelaksanaan. Tahapan pendahuluan merupakan persiapan menuju tahapan selanjutnya yakni tahapan penentuan dan tahapan pelaksanaaan. Dalam tahapan ini ditentukan apakah gugatan yang diajukan telah memenuhi syarat formal atau tidak. Adapun tahapan penentuan dimaksudkan untuk membuktikan dalil-dalil yang disampaikan oleh para pihak hingga nantinya majelis hakim menjatuhkan putusan. Sedangkan tahapan pelaksanaan merupakan tahapan pelaksanaan daripada putusan yang diputus dalam sidang yang terbuka untuk umum.6

Dengan diterbitkannya PERMA No. 1 Tahun 2002 maka dalam aspek prosedural terdapat sedikit perbedaan dengan prosedur pada umumnya yang mengacu pada ketentuan dalam HetHerzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), karena PERMA No. 1 Tahun 2002 mengenal tahapan awal proses pemeriksaan persidangan (sertifikasi) atau dalam negara-negara anglo saxon disebut certification motion.7 Proses sertifikasi ini, pada pengadilan federal (federal court) Amerika Serikat dilakukan melalui mekanisme preliminary certification test untuk menentukan apakah suatu gugatan dapat diajukan melalui prosedur gugatan perwakilan kelompok. Tujuan dari pemberlakuan mekanisme sertifikasi ini adalah untuk (1) menjamin bahwa persyaratan gugatan perwakilan kelompok (numerousity, commonality, typicality, dan adequacy of representation) telah terpenuhi dan (2) menjamin agar kepentingan dari anggota kelas potensial secara memadai terlindungi.8

Ketentuan Pasal 5 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2002 sebagai landasan pemeriksaan awal (sertifikasi) menyatakan bahwa pada

awal proses pemeriksaan persidangan hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan persyaratan maupun kriteria-kriteria gugatan perwakilan kelompok sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002. Apabila ditelusuri, Pasal 5 ayat (1) diatas tidak memberikan penjelasan bagaimana mekanisme awal proses pemeriksaan persidangan dilaksanakan. Sehingga hal ini menimbulkan multitafsir dikalangan para hakim yang berdampak padaaspek prosedural di pengadilan. Ketidakseragam tersebut dapat dilihat dalam putusan yang telah diputus di tingkat pertama, misalnya dalam Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung No. 33/Pdt.G/2014/PN.Tlg. Dalam putusan a quo majelis hakim mempertimbangkan keabsahan tata cara pengajuan gugatan perwakilan kelompok menjadi satu kesatuan dengan pemeriksaan pokok perkara. Apabila diperhatikan ketentuan Pasal 5 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2002, “pada awal proses pemeriksaan persidangan…” itu artinya pemeriksaan keabsahan tata cara pengajuan gugatan perwakilan kelompok terpisah dengan pemeriksaan pokok perkara. Hal ini pula disampaikan oleh Susanti Adi Nugroho yang menyatakan bahwa pada hakikatnya PERMA No. 1 Tahun 2002 membagi menjadi dua bagian yaitu proses awal pemeriksaan atau sertifikasi dan proses pemeriksaan substansi perkara, sehingga pada awal proses pemeriksaan persidangan belum masuk pada substansi perkara melainkan mempertimbangkan terlebih dahulu syarat materiil dan formil gugatan perwakilan kelompok sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 2 dan 3 PERMA No. 1 Tahun 2002.9 Dalam putusan yang berbeda, yakni Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh No. 21/Pdt.G/2012/PN.Mbo. Putusan a quo telah sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (5) PERMA No. 1 Tahun 2002 karena dalam

pelaksanaan awal proses pemeriksaan persidangan tidak dicampur adukkan dengan pemeriksaan substansi perkara. Dalam amar putusan tersebut majelis hakim menyatakan gugatan yang diajukan tidak memenuhi syarat sebagai gugatan perwakilan kelompok, sehingga tepat dituangkan dalam putusan.

Pada Tahun 2013, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 036/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut SK KMA) yang didalamnya memuat mekanisme awal proses pemeriksaan persidangan. Dalam BAB IV huruf B SK KMA dijelaskan mengenai mekanisme awal proses pemeriksaan persidangan dalam gugatan perwakilan kelompok adalah sebagai berikut:

  • 1)    Pemeriksaan keabsahan surat kuasa dan ijin pengacara.

Secara umum surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab ke-16, Buku III KUHPerdata, sedangkan aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan Rbg.Dalam Pasal 4 PERMA No. 1 Tahun 2002 menentukan bahwa wakil kelas yang mewakili anggota kelompoknya tidak disyaratkan memperoleh surat kuasa khusus, namun dalam hal wakil kelompok menguasakanproses beracara pada pengacara (advokat), maka diperlukan surat kuasa khusus dan ijin pengacara.

Surat kuasa dan ijin pengacara inilah yang akan diperiksa keabsahannya pada tahap ini, tujuannya adalah untuk memeriksa apakah surat kuasa sudah sesuai dengan syarat keabsahan sebagaimana ditentukan dalam SEMA No. 6 Tahun 1994 dan apakah orang yang dikuasakan memiliki kapasitas

beracara di pengadilan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

  • 2)    Ketua Majelis Hakim memberikan penjelasan tentang Hukum Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action).

Telah diuraikan diatas bahwa Hukum Acara Gugatan Perwakilan Kelompok berbeda dengan prosedur beracara yang secara umum diatur dalam HIR dan Rbg. Dalam tahap ini, Ketua Majelis Hakim juga patut menjelaskan hal tersebut. Tujuannya adalah agar para pihak atau kuasanya memahami hal-hal khusus yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 yang secara umum tidak termuat dalam HIR dan Rbg, misalnya mengenai awal proses pemeriksaan persidangan (sertifikasi), Notifikasi atau Pemberitahuan kepada anggota kelompok berkaitan apakah diterima atau tidaknya gugatan yang diajukan melalui tata cara gugatan perwakilan kelompok dan pernyataan keluar (option out).

  • 3)    Sertifikasi keabsahan wakil kelompok

Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002 mensyaratkan wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan dalam melindungi kepentingan anggota kelompoknya yang diistilahkan dengan adequacy of representation atau kelayakan perwakilan.10 Pada dasarnya, PERMA No. 1 Tahun 2002 tidak memberikan penjelasan bagaimana wakil kelas yang jujur dan sungguh-sungguh, sehingga hal inilah yang patut dipertimbangan dengan objektif oleh hakim.

Susanti Adi Nugroho memberikan penjelasan kriteria wakil kelompok yang jujur dan dapat melindungi kepentingan

anggota kelompoknya adalah pertama, wakil kelompok yang mengetahui kasusnya secara lengkap. Dengan mengetahui kasusnya secara lengkap maka wakil kelompok dapat menyusun suatu gugatan yang komprehensif dan melingkupi semua kepentingan anggota kelompoknya. Kedua, tidak adanya konflik kepentingan diantara wakil kelompok yang satu dengan wakil kelompok lainnya, karena hakikatnya wakil kelompok juga merupakan bagian dari anggota kelompok. Dan yang ketiga, wakil kelompok juga diisayaratkan mampu secara finansial, karena harus membiayai gugatan, menanggulangi biaya notifikasi dan membiayai hal-hal lain yang berkaitan dengan perkara. Ketidakmampuan secara finansial juga menentukan ketidaklayakan wakil kelompok.11

Sementara, apabila wakil kelompok menguasakan perkara kepada pengacara maka pengacara juga diisyaratkan memenuhi kualifikasi pengalaman, reputasi dan senantiasa komunikatif dengan wakil kelompok.12 Lebih lanjut dalam Pasal 2 huruf d PERMA No. 1 Tahun 2002 menentukan bahwa hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk mengganti pengacara yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kewajibannya dalam membela dan melindungi kepentingan anggota kelompok. Dalam hal ini, Susanti Adi Nugroho menyatakan bahwa dalam mempertimbangkan Pasal 2 huruf d diatas harus dikaitkan dengan Pasal 2 huruf c yang menentukan wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan membela kepentingan anggota kelompoknya, maka atas permintaan anggota kelompok, hakim dapat mengganti wakil kelompok yang tidak

sesuai dengan persyaratan Pasal 2 huruf c diatas. Dengan demikian tidak hanya pengacara tetapi juga wakil kelompok yang bertentangan dengan ketentuan diatas dapat diganti atas persetujuan hakim.13

  • 4)    Pembacaan gugatan (gugatan harus memenuhi Pasal 2, 3, dan 5 PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok dan dalam petitum gugatan harus termuat adanya tuntutan ganti kerugian)

Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002 menyatakan bahwa untuk dapat diajukan secara class action, maka suatu gugatan wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • a.    Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak, sehingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan;

  • b.    Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya;

  • c.    Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya; dan

  • d.    Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok juntuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompok.

Selain memenuhi syarat materill diatas, gugatan perwakilan kelompok juga harus memenuhi syarat formil sebagaimana ditentukan dalam HIR/Rbg sebagai lex generalis dan Pasal 3 PERMA No. 1 Tahun 2002 sebagai lex specialis, diantaranya: a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok;

  • b.    Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu;

  • c.    Keterangan tentang anggota kelompok yang kaitannya dengan kewajiban melakukan pemberitahuan;

  • d.    Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci;

  • e.    Pengelompokkan dalam subkelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;

  • f.    Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan perinci, memuat usulan tentang mekanisme pendistribusian ganti kerugian.

  • 5)    Tanggapan terhadap formalitas gugatan yang diajukan secara class action

Susanti Adi Nugroho mengemukakan bahwa dalam tahap awal pemeriksaan ini, meskipun tidak perlu dilakukan melalui hearing yang rumit sebagaimana diterapkan di Amerika, tetapi kepada pihak tergugat juga perlu diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan mengenai syarat materiil dan formil gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 diatas, tetapi tanggapan terhadap formalitas gugatan ini belum membicarakan mengenai pokok perkara.14 Hal ini sebagai

cerminan asas yang lazim dianut dalam hukum acara perdata yaitu audi et alteram partem.

  • 6)    Pembuktian secara sederhana

Pembuktian secara sederhana dimaksudkan sebagai tahapan untuk menentukan apakah wakil kelompok benar-benar layak menjadi wakil kelompok. Hal ini ditinjau dari syarat dalam Pasal 2 huruf b PERMA No. 1 Tahun 2002 karena landasan utama konsep class action adalah kesamaan, yakni kesamaan fakta atau peristiwa, kesamaan dasar hukum dan kesamaan jenis tuntutan antara wakil kelompok dan anggota kelompok.15

SK KMA memberikan suatu contoh pembuktian sederhana yakni definisi kelas korban Liquified Petroleum Gas (LPG) wilayah Jakarta Pusat. Secara sederhana wakil kelompok harus bisa membuktikan bahwa:

  • a.    Dia adalah salah satu korban;

  • b.    Orang ber-Kartu Tanda Penduduk Jakarta Pusat;

  • c.    Berlangganan LPG yang dibuktikan dengan kuitansi pembayaran.

Makna kesamaan dalam Pasal 2 huruf b diatas bukan berarti dalam gugatan perwakilan kelompok tidak boleh ada perbedaan. Perbedaan dapat diterima sepanjang perbedaan tersebut bukan perbedaan yang subtansial. Misalnya perbedaan jenis dan besarnya kerugian dari masing-masing anggota kelompok, namun dengan catatan sumber kerugian berasal dari suatu peristiwa yang sama.16

  • 7)    Keputusan Hakim untuk menerima atau menolak gugatan yang diajukan secara class action

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 yang pada pokoknya menyatakan bahwa apabila hakim memutuskan bahwa penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah sebagaimana dimaksud ayat (1) maka dituangkan dalam penetapan pengadilan, yang amarnya:

  • a.    Menyatakan sah gugatan perwakilan kelompok (class action);

  • b.    Memberi izin untuk berperkara melalui prosedur gugatan perwakilan kelompok (class action);

  • c.    Memerintahkan penggugat segera mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim.17

Dalam hal sebaliknya, hakim memutuskan bahwa prosedur gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah, maka berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (5) PERMA No. 1 Tahun 2002 pemeriksaan dihentikan dengan suatu putusan hakim, yang amarnya:

  • a.    Menyatakan gugatan perwakilan kelompok (class

action) tidak sah;

  • b.    Memerintahkan pemeriksaan perkara dihentikan.18

PERMA No. 1 Tahun 2002 tidak memberikan penjelasan mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap penetapan maupun putusan diatas. Apabila ditelaah Pasal 9 Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan

Peradilan Ulangan maka yang dapat diajukan banding adalah putusan akhir, sedangkan putusan sela dapat diupayakan banding bersamaan dengan putusan akhir. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 9 diatas maka penetapan atau putusan dalam awal proses pemeriksaan persidangan berdasarkan Pasal 5 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2002 tidak dapat diupayakan banding.19

Pemaparan diatas memberikan pemahaman bahwa belum diaturnya mekanisme sertifikasi dalam Pasal 5 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2002 menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pendayagunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok, serta terjadinya perbedaan-perbedaan dasar argumentasi yuridis hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan menggunakan prosedur gugatan perwakilan kelompok.20 Selain itu, SK KMA yang telah diterbitkan pada tahun 2013 dinilai belum cukup mengakomodir seluruh perkara yang menurut undang-undang dapat diajukan melalui gugatan perwakilan kelompok.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

Berdasarkan SK KMA No. 036/KMA/SK/II/2013, mekanisme sertifikasi sebagai proses awal pemeriksaan dalam pengajuan gugatan perwakilan kelompok dimulai dari tahap pemeriksaan surat kuasa dan ijin pengacara. Selanjutnya secara berturut-turut adalah penjelasan mengenai hukum acara gugatan perwakilan kelompok oleh ketua majelis hakim, sertifikasi keabsahan wakil kelompok, pembacan gugatan oleh penggugat serta tanggapan

mengenai syarat formil dan materiil gugatan dari tergugat sebagai cerminan asas audi et alteram partem. Pada tahap akhir dilaksanakan pembuktian sederhana untuk menentukan kelayakan wakil kelompok dan diakhiri oleh keputusan hakim yang menyatakan menerima ataupun menolak gugatan perwakilan kelompok yang diajukan.

  • 3.2.    Saran

Timbulnya ketidakpastian hukum yang tercermin dari disparitas penerapan mekanisme sertifikasi adalah dampak ketidakjelasan pengaturan dalam Pasal 5 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2002. Selain itu, keberadaan SK KMA No. 036/KMA/SK/II/2013 belum cukup mengakomodir seluruh perkara yang menurut undang-undang dapat diajukan melalui prosedur gugatan perwakilan kelompok. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu segera dibuatkan pengaturan baru dengan mengadopsi mekanisme sertifikasi dalam SK KMA yang dapat diberlakukan sebagai pedoman pengaturan mekanisme sertifikasi secara umum dalam pengajuan gugatan perwakilan kelompok.

Daftar Pustaka

Buku

Adi Nugroho, Susanti, 2010, Class Action dan Perbandingannya dengan Negara Lain, Kencana, Jakarta.

Assiddiqie, Jimlly, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Harahap, M. Yahya, 2016, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.

Sigianto, Indro, 2013, Class Action: Konsep dan Strategi Gugatan Perwakilan Kelompok untuk Membuka Akses Keadilan Bagi Rakyat, Setara Press, Malang.

Sunggono, Bambang, 2015, Metodelogi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Jurnal Ilmiah

Dewa Gede Angga Pratipta, Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) dan Hak Gugat Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Jurnal Ilmiah, Universitas Udayana, Vol. 06, No. 01 Januari 2017.

Internet (Situs Resmi)

Riyan Nofitra, 2016, Warga Riau Bakal Gugat Koorporasi Secara Class Action, Serial Online 12 Maret 2016 01:07 WIB, URL : http//nasional.tempo.co diakses tanggal 1 Oktober 2017.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Het Herzien Inlandsch Reglement(HIR)

Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg)

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok

Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 036/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup

Bahan Hukum Lainnya

Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh No.21/Pdt.G/2012/PN/Mbo.

Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung No.33/Pdt.G/2014/PN.Tlg.

17