TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN CATCALLING (PELECEHAN VERBAL) DI INDONESIA

Oleh :

Livia Jayanti Putri** I Ketut Suardita***

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Tulisan ini berjudul "Tinjauan Yuridis Perbuatan Catcalling (Pelecehan Verbal) di Indonesia" akan membahas apa itu catcalling, bagaimana aturan yang digunakan dalam penyelesaian perkara perbuatan catcalling, serta bagaimana perlindungan korban perbuatan catcalling di Indonesia. Hal ini penting untuk dibahas mengingat semakin sering catcalling muncul di masyarakat serta dasar hukum mengenai perbuatan catcalling masih belum jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Bertujuan untuk memahami dan menganalisa aturan hukum terkait catcalling serta memberikan penjelasan mengenai perlindungan hukum korban perbuatan catcalling, metode penelitian normatif menjadi pilihan untuk mengkaji kekosongan norma perbuatan catcalling. Penggabungan pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 281 ayat (2) serta Pasal 315 dan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 34, dan Pasal 35 Undang-Undang Pornografi biasanya digunakan untuk menyelesaikan perkara perbuatan catcalling (pelecehan verbal) di Indonesia. Perlindungan korban perbuatan catcalling (pelecehan verbal) di Indonesia diatur pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan korban berhak mendapat perlindungan, kebebasan memilih perlindungan, bebas dari tekanan dalam memberikan keterangan, terlindungi dari pertanyaan bersifat menjerat, mendapat informasi perkembangan kasus dan putusan pengadilan, memperoleh identitas baru, mendapat ganti rugi biaya transportasi, mendapat nasehat hukum, serta biaya bantuan sementara. Selain undang-undang tersebut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga dapat dijadikan sebagai dasar hukum perlindungan korban catcalling di Indonesia.

Kata Kunci : catcalling, pelecehan, verbal, Indonesia.

Abstract

Research entitled "Juridical Observation on Catcalling (Sexual Verbal Harassment) in Indonesia" will discuss what is catcalling, how the rules used in the settlement case of catcalling, and how victims protection of catcalling in Indonesia. It is important to be discussed because right now it often appear in public and legal fundament for catcalling are still not clearly regulated in Indonesia. Intend to understand and analyze the relevant legal law on catcalling and provide an explanation regarding the legal protection catcalling's victim, normative research method chosen assessing this research. Consolidation articles in the Code of Penal (Penal Code) Article 281 paragraph (2) and Article 315 and Law No. 44 of 2008 on Pornography Article 8, Article 9, Article 34, and Article 35 is usually used to complete the case of catcalling in Indonesia. Catcalling victim protection in Indonesia is regulated in Article 5 of the Act Number 31 of 2014 on the Amendment of the Act Number 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims, explain the victim is have the rights of protection, free from pressure in providing information, protected from ensnare questions, get information on the progress of cases and court decisions, acquire a new identity, received compensation of transportation costs, gain legal advice, and the cost of temporary assistance. Beside that act, Act Number 39 of 1999 on Human Rights can also be used as a legal basis protection of catcalling's victim in Indonesia.

Keywords: catcalling, sexual harassment, verbal, Indonesia.

  • I.    Pendahuluan

    1.1 . Latar Belakang

Penegakan hak asasi manusia yang tidak tegas menyebabkan mudah munculnya perbuatan pidana di masyarakat. Kekosongan norma yang mengatur perbuatan yang sejatinya melanggar hukum menyebabkan mudah terjadinya perbuatan tersebut di masyarakat. Salah satu akibat dari kekosongan norma hukum adalah catcalling. Dipergunakan istilah catcalling dalam tulisan ini karena istilah catcalling dipergunakan secara global diberbagai negara.

Catcalling sendiri yang sampai saat ini belum ada padanan katanya di Indonesia, atau yang paling mendekati adalah pelecehan verbal dapat diartikan melakukan suatu perbuatan seperti melontarkan kata bersifat porno/seksual maupun perilaku

genit, gatal atau centil1 kepada orang lain yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Catcalling termasuk kedalam pelecehan seksual nonfisik yang terjadi kepada seseorang tanpa kesukarelaan orang tersebut.2 Keberadaan catcalling yang pengaturan hukumnya belum jelas di Indonesia saat ini semakin marak terjadi di masyarakat. Perbuatan catcalling dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku catcalling terhadap korbannya dapat memberikan korban rasa tidak nyaman, terganggu, ketakutan, trauma bahkan gangguan secara mental.

Perbuatan catcalling telah mengurangi hak asasi orang lain yaitu hak untuk merasakan kehidupan yang damai, merasa aman beraktifitas, tentram membangun hidup dan kehidupan serta bahagia lahir dan batin di masyarakat sehingga keberadaanya penting untuk dihilangkan.

Kebiasaan masyarakat yang menormalisasi catcalling kurang cakapnya pranata hukum dalam menyelesaikan perkara catcalling serta kurang beraninya korban untuk melaporkan bahwa telah terjadi perbuatan catcalling haruslah berubah. Catcalling sudah tidak boleh dianggap suatu hal wajar di masyarakat. Walaupun hal ini sulit untuk dirubah mengingat catcalling sejak jaman dulu dinormalisasi oleh masyarakat tetapi dengan melibatkan semua elemen masyarakat serta aparat penegak hukum perbuatan catcalling pasti dapat dihilangkan.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Penulisan ini memiliki dua pokok permasalahan, yaitu :

  • 1.    Bagaimana aturan hukum terkait penyelesaian perkara perbuatan catcalling di Indonesia saat ini ?

  • 2.    Bagaimana perlindungan hukum korban catcalling di Indonesia ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan pemahaman dan analisa aturan hukum terkait catcalling dan memberikan penjelasan mengenai perlindungan hukum korban perbuatan catcalling di Indonesia.

  • II.    Isi Makalah

    2.1    Metode Penelitian

Metode penelitian normatif yang digunakan dalam penulisan ini mengkaji kekosongan norma pada peraturan perundang-undangan terkait perbuatan catcalling serta menganalisis bagaimana perlindungan korban perbuatan catcalling.

Penelitian menggunakan sumber data primer yaitu, aturan perundang-undangan dan menggunakan bahan sekunder seperti buku, literatur, serta jurnal yang memiliki keterkaitan dengan perbuatan catcalling maupun mengenai perlindungan korban.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    • 2.2.1    Aturan Hukum Terkait Penyelesaian Perkara Perbuatan Catcalling di Indonesia.

Perbuatan catcalling merupakan suatu perbuatan pidana yang termasuk ke dalam pelecehan seksual. Perbuatan pidana merupakan suatu proses perbuatan yang dilarang karena melanggar aturan hukum dan memiliki ancaman sanksi terhadap orang yang melanggar aturan tersebut, larangan ditunjukan kepada perbuatannya dan sanksi ditunjukan kepada orang yang menimbulkan perbuatan.3 Perbuatan pidana sendiri memiliki berbagai istilah lainya,yaitu peristiwa pidana dan tindak pidana.

Catcalling dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan pidana karena telah memenuhi unsur -unsur suatu tindak pidana. Unsur - unsur tindak pidana menurut Prof. Simons adalah adanya suatu perbuatan manusia, diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.4 Unsur-unsur tindak pidana catcalling sebagai berikut :

  • 1.    Adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia.

Catcalling memenuhi unsur perbuatan manusia. Perbuatan yang dilakukan adalah melontarkan komentar berbau porno atau perilaku yang memberikan rasa risih terhadap orang lain misalnya bersiul atau berekspresi tidak pantas seperti memanyunkan bibir.

  • 2.    Diancam pidana.

Perbuatan catcalling yang termasuk pelecehan bersifat verbal dapat diancam dengan pidana tentang kejahatan terhadap kesusilaan karena termasuk perbuatan asusila dan mengandung unsur pornografi.

  • 3.    Melawan hukum.

Catcalling dapat dikatakan melawan hukum karena telah mengganggu dan mengurangi hak asasi manusia lain, dimana mengganggu dan mengurangi hak asasi orang lain melanggar hukum.

  • 4.    Dilakukan dengan kesalahan.

Unsur-unsur kesalahan diantaranya adalah kapasitas dari diri pelaku kejahatan tersebut untuk mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya, hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan atau kealpaan dan tidak adanya alasan penghapus kesalahan yang berupa alasan pemaaf.5

  • 5.    Orang yang mampu bertanggung jawab.

Pertanggung jawaban pelaku catcalling berkaitan dengan kesalahan pelaku. Seorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila tidak ada alasan pembenar dan alasan pemaaf atas perbuatan yang dilakukannya.

Sejauh perkembangan hukum di Indonesia, penegakan hukum perbuatan catcalling belum memiliki kejelasan dasar hukum serta penanganan yang tegas dalam penyelesaian perkaranya.

Kekosongan norma hukum atas catcalling membuat aparat penegak hukum mengabunggkan beberapa pasal yang terdapat pada KUHP dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dalam penyelesaian perkara. Beberapa pasal yang digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian perkara tindak pidana catcalling adalah Pasal 281 ayat (2) dan Pasal 315 KUHP serta Pasal 8, Pasal 9, Pasal 34 dan Pasal 35 UU No.44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.

Pasal 281 KUHP ayat (2) ini menerangkan bahwa apababila ada seseorang yang dengan sengaja di depan orang lain diluar kesediaan orang tersebut melakukan suatu perbuatan asusila dapat dipidana penjara ataupun pidana denda.

Pasal 315 KUHP menggambarkan bahwa setiap penghinaan yang sengaja dilakukan terhadap seseorang dengan tulisan maupun lisan didepan orang tersebut maupun melalui surat dapat dikategorikan sebagai penghinaan ringan yang mampu dipidana dengan penjara maupun pidana denda.

Penggunaan Pasal 315 KUHP dalam penyelesaian perkara catcalling kuranglah tepat karena sesungguhnya catcalling bukanlah suatu penghinaan melainkan pujian yang memberikan rasa tidak nyaman mengingat diberikan oleh orang lain yang tidak dikenal. Contoh catcalling yang sering adalah kata-kata seperti "hai cewek, hi cantik, kemana sayang?", pada dasarnya bukanlah suatu penghinaan mengingat penghinaan tidak jauh dari penistaan atau celaan. Penistaan dapat berupa merendahkan dan

celaan dapat berupa kritik6, sementara kata-kata dalam catcalling lebih mengarah kepada pujian maupun hanya sapaan.

Penggunaan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dapat digunakan sebagai salah satu dasar hukum penyelesaian perkara perbuatan catcalling dikarenakan pada Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum menyatakan "Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya, melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau ekploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Perbuatan catcalling memenuhi unsur-unsur pornografi seperti bunyi, gerak tubuh, suara dan pesan yang memuat kecabulan.

Pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi secara garis besar menyatakan bahwa seseorang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model muatan yang mengandung konten pornografi walaupun dengan persetujuannya. Pernyataan Pasal 8 ini berkaitan dengan pernyataan Pasal 34 yang menentukan sanksi pidana yang didapatkan oleh seseorang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan pada Pasal 8.

Kemudian Pasal 9 yang kemudian berhubungan dengan Pasal 35 juga dapat dijadikan dasar hukum perbuatan catcalling karena dalam Pasal 9 menyatakan bahwa setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai model atau objek bermuatan

pornografi. Seseorang yang melakukan perbuatan ini dapat dipidana yatu pidana penjara dan pidana denda sesuai ketentuan pada Pasal 35.

Penggunaan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 34, dan Pasal 35 sesungguhnya juga tidak dapat menjamin kepastian hukum akan perbuatan catcalling karena penekanan pada keempat pasal tersebut hanyalah dilarang menjadikan orang lain sebagai model atau objek perbuatan pornografi. Perbuatan apa yang dilarang belum diatur secara jelas.

  • 2.2.2    Perlindungan Hukum Korban Catcalling di Indonesia

Perlindungan korban tindak pidana catcalling sama seperti perlindungan korban tindak pidana lainya. Korban dari tindakan catcalling di Indonesia yang mendapatkan stigmatisasi masyarakat bukan pelakunya. Masyarakat terbiasa menuduh korban karena menggunakan pakaian yang memancing tindakan catcalling atau beranggapan tingkah laku korban yang memancing perbuatan catcalling.7

Akibatnya berdampak pada psikis korban yaitu rasa malu sehingga korban kehilangan keberanian untuk melaporkan hal yang dialaminya. Sesungguhnya bagaimana seseorang berpakaian dan bertingkah laku tidak menjadi jaminan akan aman dari suatu perbuatan pidana. Hal tersebut menandakan harusnya ada suatu tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap korban perbuatan catcalling yang dapat menghapus rasa malu

akibat stigmatisasi masyarakat, memulihkan psikis korban serta perlu adanya edukasi pemerintah pada masyarakat untuk tidak lagi menormalisasi dan menstigmatisasi korban perbuatan catcalling.

Saat ini perlindungan kepada korban tindak pidana catcalling diatur pada Pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain Undang-Undang tersebut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga dapat di gunakan sebagai dasar hukum perlindungan korban tindak pidana catcalling.

Pasal 1 angka 2 menyatakan secara garis besar korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental dan/atau kerugiaan ekonomi akibat suatu tindak pidana. Korban catcalling adalah seseorang yang mengalami kerugian secara mental dan psikisnya karena perbuatan catcalling menyebabkan rasa malu, terganggu dan ketakutan. Korbannya termasuk kedalam korban langsung. Korban langsung memiliki karakteristik8 : korban ialah setiap orang, individu maupun kolektif, menderita suatu kerugian baik fisik/mental/emosional, kehilangan pendapatan, penindasan terhadap hak asasi manusia, disebabkan oleh adanya perbuatan atau kelalaian yang dianggap suatu tindak pidana dalam hukum pidana dan disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.

Selama proses awal peradilan sampai dengan selesai, korban mendapat perlindungan dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi Korban) sesuai dengan yang diatur oleh perundang-undangan.

LPSK membantu pemberian hak-hak dan bantuan hukum yang harus diterima oleh korban. Kemudian apabila korban perbuatan pidana adalah perempuan mengingat proporsi laki-laki menjadi korban pelecehan seksual jarang terjadi9, korban juga dapat meminta perlindungan dan bantuan dari Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan.

Korban tindak pidana catcalling sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 secara garis besar berhak untuk mendapatkan perlindungan dalam bidang keamanan, serta dibebaskan untuk memilih jenis perlindungan yang akan diberikan kepada korban, dibebaskan dari segala tekanan untuk memberikan keterangan, terlindungi dari segala jenis pertanyaan yang bersifat menjerat, terus diberikan mengenai perkembangan informasi mengenai kasus yang sedang berlangsung, mendapatkan informasi perihal putusan pengadilan pelaku, diberitahu apabila terpidana bebas dari segala tuntutan, memperoleh identitas baru, diberikan kediaman baru, mendapat jaminan penggantian biaya ganti rugi perihal transportasi, diberikan nasihat hukum dan juga mendapatkan biaya bantuan untuk menyokong kehidupan sementara.

Sejatinya selain lembaga LPSK dan penegak hukum yang memiliki arti penting dalam perlindungan korban, masyarakat juga harus turut serta dalam membantu perlindungan korban tindak pidana catcalling. Masyarakat harus membantu memberikan dukungan kepada korban guna memulihkan nama

baik serta memulihkan keseimbangan batin korban perbuatan pidana catcalling.10

  • III.    Penutup

    3.1    Kesimpulan

Bersumber dari kajian diatas, secara garis besar dapat ditarik menjadi dua kesimpulan, diantaranya :

  • 1.    Catcalling artinya melakukan suatu perbuatan bersifat porno/seksual kepada orang lain diluar kehendaknya yang memberi rasa tidak nyaman. Perbuatan pidana catcalling di Indonesia belum memiliki dasar hukum yang pasti. Penyelesaian perkara tindak pidana catcalling saat ini di Indonesia menggunakan dasar hukum gabungan pasal pada KUHP dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Dalam KUHP Pasal 281 dan Pasal 315 serta pada Undang-Undang Pornografi menggunakan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 34 dan Pasal 35. Walaupun penggunaan pasal tersebut dapat dijadikan dasar hukum perbuatan catcalling tetapi belum mampu menjamin kepastian hukum secara maksimal.

  • 2.    Perlindungan terhadap korban perbuatan pidana catcalling diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hak-hak korban yang terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang

tersebut harus diberikan kepada korban, selain itu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 juga dapat menjadi dasar hukum perlindungan korban perbuatan catcalling di Indonesia.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Kekosongan norma hukum atas catcalling harus segara dibentuk untuk mengurangi terjadinya perbuatan catcalling dimasyarakat. Pemilihan dasar hukum yang menjadi dasar hukum perbuatan catcalling juga harus sesuai sehingga

pelaku perbuatan catcalling mendapat hukuman yang

setimpal.

  • 2.    Perlindungan terhadap korban tindak pidana catcalling harus secara maksimal di berikan terhadap korban. Perlindungan terhadap korban juga harus menjadi fokus pemerintah dalan penegakan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku :

Indah S Maya, 2014, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, Edisi Kedua, Prenadamedia, Jakarta.

Marpaung Leden, 2010, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Sinar Grafika, Jakarta.

Moeljatno, 2010, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Rubai Masruchin et.al., 2014, Buku Ajar Hukum Pidana, Bayumedika, Malang.

Jurnal Ilmiah :

Benedicta Alodia Santoso, Michael Bezaleel, 2018, “Perancangan Komik 360 Sebagai Media Informasi Tentang Pelecehan Seksual Catcalling”, Vol.04 No. 01, Februari 2018, Jurnal

Fakultas Teknologi Informasi  Universitas Kristen  Satya

Wacana.

I Gusti Ngurah Agung Brahmandya, 2013, Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Vol. 1 No. 3, Juli 2013, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Myrtati D.Artaria , 2002, “Efek Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus : Studi Parliminier”, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2002, Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik Universitas Airlangga.

Sri Endah Kinasih, 2007, "Penegakan HAM dan Perlindungan Terhadap Korban Pelecehan Seksual", Vol. 10 No. 4, Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik Universitas Airlangga.

Yayan Sakti Suryandaru, 2007, "Pelecehan Seksual Melalui Media Massa", Vol. 20 No. 4, Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik Universitas Airlangga.

Internet :

Beritagar.id, 2017, ''Catcalling'' adalah Pelecehan, Bukan Semata

Canda, https://beritagar.id/artikel/gaya-hidup/catcalling-adalah-pelecehan-bukan-semata-canda, diakses pada tanggal 19 Januari 2019.

Rappler, 2017, Mengapa Masyarakat Harus Berhenti Menganggap Pelecehan di Jalan itu Normal, https://www.rappler.com/ indonesia/ayo-indonesia/164042-masyarakat-berhenti-pelecehan-jalan-normal, diakses pada tanggal 19 januari 2019.

Peraturan Perundang-Undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Wetboek van Strafrecht, 2014, diterjemahkan oleh Moeljatno, Bumi Aksara, Jakarta.

Undang - Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.

Undang - Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, 2014, Sinar Grafika, Jakarta.

Undang - Undang Nomor. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban , 2014, Sinar Grafika, Jakarta.

15