PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL

Oleh:

Ni Made Ayu Dewi Mahayanti* Putu Tuni Cakabawa Landra**

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Judul jurnal ini adalah Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual. Dewasa ini, tindak pidana yang melibatkan anak sangat sering terjadi. Salah satunya adalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak. Jurnal ini membahas mengenai hak- hak yang melekat pada anak yang berhadapan dengan hukum dan perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku tindak pidana pelecehan seksual. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif digunakan karena belum adanya pengaturan secara khusus mengenai perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku pelecehan seksual yang mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa hak yang melekat pada anak yang berhadapan dengan hukum adalah berhak untuk mendapatkan bantuan hukum dan apabila kasus tersebut merupakan pelecehan seksual maka identitas anak berhak dirahasiakan. Pada kasus pelecehan seksual dimana anak adalah pelakunya belum diatur secara khusus didalam Undang-Undang. Undang-Undang 35 Tahun 2014 Pasal 76E digunakan untuk mengindari adanya kekosongan hukum, sehingga anak yang melakukan pelecehan seksual dikenakan pidana 15 tahun. Upaya diversi tidak dapat dilakukan karena masa pidananya lebih dari 7 (tujuh) tahun. Apabila upaya diversi tidak dapat dilakukan maka pidana penjara merupakan upaya terakhir.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Anak Sebagai Pelaku, Pelecehan Seksual.

Abstract

The title of this journal is Legal Protection Against Children as Actors of Sexual Harassment. Today, criminal acts involving children are very common. One of them is sexual harassment by children. This journal discusses the rights inherent in children who are faced with the law and legal protection for children as perpetrators of sexual harassment. This study uses normatif research methods, by examining legal materials such as legislation

and books. The results of the study indicate that the rights inherent in children who are faced with the law are entitled to get legal assistance and if the case is sexual harassment the child's identity has the right to be kept confidential. In the case of sexual harassment where the child is the perpetrator subject to criminal treatment for a maximum of 15 years. Diversion efforts cannot be made because the criminal period is more than 7 (seven) years. If diversion efforts cannot be made, imprisonment is the last resort.

Keywords: Legal Protection, Children as Perpetrators, Sexual Harassment.

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1.  Latar Belakang

Pada hakikatnya anak merupakan bagian dari keberlangsungan hidup manusia serta keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara yang mana hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.1 Berdasarkan pada konstitusi di Indonesia, anak memiliki peran yang sangat penting dan strategis dimana telah dinyatakan secara tegas bahwa Negara akan menjamin hak dari setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh serta perkembangan anak dan juga perlindungan terhadap adanya diskriminasi dan kekerasan.

Dewasa ini, tindak pidana yang melibatkan anak sangat sering terjadi. Salah satunya adalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak. Baik anak itu menjadi korban pelecehan ataupun pelaku pelecehan seksual. Hal ini terjadi karena kurangnya pengawasan dari orangtua terhadap anak dalam penggunaan internet.2

Perbuatan jahat yang tertanam pada diri anak timbul karena pengaruh bacaan yang buruk, gambar serta film dimana

akan membuat anak memiliki keinginan dan berkehendak untuk melakukan perbuatan jahat kepada seseorang atau anak lainnya.3 Apabila anak mengisi waktu senggangnya dengan tontonan yang buruk seperti gambar porno maka akan memberikan pengaruh negatif terhadap perkembangan anak. Terutama pada rangsangan seksual bagi anak.

Pelecehan seksual menurut pendapat Collier adalah segala bentuk perlakuan yang tidak diinginkan bagi yang mendapat perlakuan tersebut dimana perlakuan tersebut merupakan segala bentuk perilaku yang bersifat seksual, dan pelecehan seksual bisa saja terjadi atau dialami oleh setiap perempuan. Pada masa sekarang pelecehan seksual sangat sering terjadi pada anak. Berdasarkan pada catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyebutkan, bahwa angka korban pelecehan seksual yang terjadi pada anak semakin meningkat setiap tahun. Dapat dilihat dari persentase yang meningkat 100 persen dari Tahun 2013 hingga tahun 2014 baik itu anak yang menjadi korban pelecehan seksual ataupun anak yang berbuat sebagai pelaku pelecehan seksual.4

Berdasarkan hasil dari penelitian KPAI, terhitung sebanyak 70 persen orangtua yang dianggap belum mampu mengasuh anak mereka dengan menerapkan metode yang lebih tepat sesuai dengan perkembangan zaman. Lemahnya pengawasan orangtua dengan tidak membatasi penggunaan internet terhadap anak yang mengakibatkan anak menjadi lebih leluasa menggunakan internet tanpa adanya batasan cakupan yang diperbolehkan maupun tidak diperbolehkan.5

Perlindungan hukum terhadap anak menurut Barda Nawawi Arif merupakan upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.6 Saat diterapkannya hukum pidana kepada anak, sering kali akan menjadikan pengalaman pahit bagi anak. Hal tersebut berupa diberikannya cap buruk (stigmatisasi) yang berkepanjangan. Masyarakat seringkali melakukan pengasingan terhadap orang yang pernah menjalani proses pidana.

Pada kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak, diversi sangat diperlukan dalam proses peradilan pidana anak yang berupa pengalihan dari proses yustisial ke non yustisial, selain itu diversi juga bermanfaat untuk mencegah kemungkinan terjadinya prisonisasi terhadap anak yang dapat mengakibatkan anak tersebut menjadi lebih buruk lagi, karena yang sering diketahui bahwa penjara merupakan sarana transfer kejahatan.7 Pada jurnal ini akan membahas mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang di atas dapat ditemukan rumusan masalah sebagai berikut:

  • 1.    Apa saja hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum

  • 2.    Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pelecehan seksual ?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan karya ilmiah ini memiliki dua tujuan yakni tujuan umum dan tujuan khusus.

  • 1.    Tujuan Umum

Tujuan umum dari penulisan karya ilmiah ini adalah untk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pelecehan seksual.

  • 2.    Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penulisan karya ilmiah ini adalah:

  • 1)    Untuk mengetahui hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum.

  • 2)    Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku tindak pidana pelecehan seksual.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.   Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap penelitian data sekunder. Penelitian hukum normatif dikatakan sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumenter disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder.8 Digunakannya penelitian hukum normatif dikarenakan tidak adanya undang-undang

mengenai perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku pelecehan seksual sehingga mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan. Pendekatan perundang-undangan digunakan karena penulis mengutamakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian.

Bahan hukum yang diperlukan terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer dapat berupa Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, dan Undang-Undang. Bahan hukum sekunder berupa karya-karya ilmiah, rancangan undang-undang dan hasil-hasil penelitian. Bahan hukum tersier dapat berupa bibliografi dan kamus.9

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan pada jurnal ini adalah teknik studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, menelaah mencatat dan membuat ulasan-ulasan yang ada kaitannya dengan perlindungan hukum pada anak yang berkonflik dengan hukum. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskripsi.

  • 2.2.    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1.    Hak-Hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Anak merupakan pribadi yang sangat unik dan memiliki ciri yang khas. Meski tidak dapat bertindak berdasarkan perasaan, pikiran, dan kehendak sendiri, ternyata lingkungan

sekitar berpengaruh cukup besar dalam membentuk prilaku seorang anak. Dalam hukum positif Indonesia, perlindungan hukum terhadap hak anak dapat dijumpai dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berhadapan dengan hukum dibagi menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang berhadapan dengan hukum memilik hak-hak yang harus tetap dijaga. Hak-hak tersebut terdapat dalam Pasal 64 Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yaitu:

  • a)    perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;

  • b)    pemisahan dari orang dewasa;

  • c)    pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d) pemberlakuan kegiatan rekreasional;

  • e)    pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya;

  • f)    penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup;

  • g)    penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

  • h)    pemberian keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

  • i)    penghindaran dari publikasi atas identitasnya.

  • j)    pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;

  • k)    pemberian advokasi sosial dan pemberian kehidupan pribadi; l) pemberian aksesibilitas, terutama bagi Anak Penyandang Disabilitas;

  • m)    pemberian pendidikan, pemberian pelayanan kesehatan; dan pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada umumnya bagi anak yang berkonflik dengan hukum terutama anak sebagai pelaku tindak pidana pelecehan seksual, pada persidangan identitas dari anak tersebut haruslah dirahasiakan. Dirahasiakannya identitas anak baik sebagai pelaku dikarenakan agar tidak terjadi labelisasi pada anak tersebut. Labelisasi pada anak bisa saja merusak kondisi psikis pada anak.

  • 2.2.2.    Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual

Menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.10 Berdasarkan pada hukum internasional anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang disangka atau dituduh melakukan tindak pidana dan harus

berhadapan dengan sistem peradilan pidana diaman anak tersebut berumur di bawah 18 tahun. Sistem peradilan pidana anak tidak hanya memaknai dengan sekedar penanganan saja akan tetapi harus dicari akar permasalahannya mengapa anak melakukan tindak pidana dan juga mencari upaya untuk mencegah perbuatan tersebut terulang kembali.11

Berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), ada 3 (tiga) golongan mengenai anak yang berhadapan dengan hukum, yakni:

  • 1.    Anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dimana

anak tersebut berusia 12 tahun namun belum mencapai 18 tahun dapat dikatakan sebagai anak yang berkonflik dengan hukum.

  • 2.    Anak yang belum berusia 18 tahun yang telah mengalami

penderitaan serta menyebabkan kerugian baik fisik maupun mental pada anak, dimana hal ini disebut juga dengan anak yang menjadi korban tindak pidana.

  • 3.    Anak yang belum berusia 18 tahun dimana anak tersebut

dapat memberikan keterangan untuk kepentingan penerapan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan dialaminya. Maka dari itu anak tersebut dikatagorikan sebagai anak yang menjadi saksi tindak pidana.12

Perlindungan hukum harus diberikan kepada anak yang sedang berkonflik dengan hukum dikarenakan agar tidak terjadi diskriminasi dalam sistem peradilan pidana anak. Perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum memiliki hak untuk mendapat perlindungan-perlindungan yang meliputi:

  • a.    Perlakuan secara manusiawi terhadap anak sesuai

dengan martabat dan hak-hak anak.

  • b.    Penyedian petugas pendampingan khusus sejak dini.

  • c.    Untuk kepentingan terbaik anak, maka sanksi yang

diberikan harus sesuai dan tepat.

  • d.    Dalam melindungi anak dari labelisasi, maka harus

diberikan perlindungan dari pemberitaan yang disiarkan di media massa.13

Jenis pemidanaan anak tidak diatur secara tegas dalam KUHP. Sebelum dihapuskannya Pasal 45 KUHP, hakim dapat memberikan putusan secara alternatif yaitu:

  • a.    Dikembalikan kepada orangtua atau walinya tanpa

pidana.

  • b.    Diserahkan kepada pemerintah atau lembaga social

untuk dididik sebagai anak Negara tanpa dijatuhi pidana.

  • c.    Dipidana terhadap seseorang yang belum dewasa, yang

belum berusia 16 tahun yang dituntut atas perbuatan yang telah dilakukan.

Apabila tidak adanya upaya hukum lain yang memberikan keuntungan bagi anak, maka penjatuhan pidana terhadap anak merupakan upaya hukum terakhir yang diberikan dimana upaya hukum tersebut bersifat ultimum remedium.14 Penjatuhan pidana bagi anak diberikan apabila kejahatan yang dilakukan sudah sangat meresahkan keluarga dan masyarakat. Masyarakat mengganggap kejahatan tersebut sudah tidak dapat ditolerir dan merugikan banyak orang. Hakim dapat menerapkan Pasal 47 ayat (1,2, dan 3) KUHP apabila

hakim memang harus menjatuhkan pidana kepada anak yang telah melakukan tindak pidana.

Penerapan sanksi pidana tidak hanya diterapkan kepada orang dewasa saja, tetapi juga diterapkan kepada anak apabila sudah tidak ada lagi upaya hukum yang menguntungkan bagi anak. Penerapan sanksi pidana ini terjadi apabila kejahatan yang dilakukan berupa suatu tindakan pelecehan seksual.

Anak yang melakukan pelecehan seksual, secara khusus belum diatur dalam undang-undang. Mengatasi hal tersebut maka digunakanlah Pasal 76 E Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menjelaskan mengenai larangan kepada setiap orang untuk melakukan kekerasan dan ancaman kekerasan serta serangkaian kebohongan dan membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul.

Bagi setiap orang yang diketahui telah melanggar Pasal 76 E tersebut akan dikenakan pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 82 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yaitu akan dikenakan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun serta paling lama 15 tahun dan akan dikenakan denda paling banyak sebesar lima milyar rupiah. Apabila pelaku kejahatan seksual tersebut adalah orang tua, wali, pendidik, dan pengasuh anak maka pidananya akan ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana yang seharusnya.

Pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan ke anak apabila umur anak telah mencapai 14 tahun. Seorang anak akan dimintai pertanggungjawaban pidana dengan ancaman pidana yang diberikan paling lama 1/2 (setengah) dari masa pidana orang dewasa apabila anak tersebut ketika melakukan tindak pidana telah berumur di atas 12 tahun akan tetapi belum mencapai 14 tahun. Pidana penjara dapat dijatuhkan paling

lama 10 (sepuluh) tahun apabila anak tersebut diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup.

Untuk melindungi hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum, maka dibuatlah UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai dasar acuan dalam perlindungan hak terhadap anak. Upaya diversi yang diberikan pada anak yang berkonflik dengan hukum merupakan bentuk implementasi dari keadilan restorative (Restorative Justice) guna untuk melindungi hak-hak pada anak yang berkonflik dengan hukum.15

Perkara anak yang tidak wajib diupayakan diversi adalah perkara anak yang tindak pidananya diancam dengan pidana penjara diatas 7 (tujuh) tahun atau merupakan pengulangan tindak pidana.16 Diversi memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak Indonesia. Diversi dan pendekatan keadilan restoratif dimaksudkan untuk menghindari anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum serta diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial seperti sebelumnya.

Diversi pada anak pelaku pelecehan seksual tidak dapat diupayakan dikarenakan dalam kasus pelecehan seksual dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak lima milyar rupiah, dimana hal tersebut sesuai dalam ketentuan Pasal 76 E Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan pada pasal yang

dilanggar oleh anak sebagai pelaku pelecehan seksual maka putusan berupa diversi tidak dapat diupayakan oleh hakim, dan sanksi yang diberikan berupa sanksi tindakan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pada kasus pelecehan seksual, anak yang berkonflik dengan hukum telah mendapat perlindungan hukum berupa pemenuhan hak-hak anak seperti mendapat bantuan hukum, terhindar dari penangkapan dan penahanan, pemberian keadilan di muka pengadilan, identitas anak dirahasiakan dari publik serta persidangan yang dilakukan tertutup. Meskipun hak-hak anak telah terpenuhi akan tetapi anak yang melakukan tindak pidana pelecehan seksual tidak dapat diupayakan diversi. Diversi dapat diupayakan apabila masa pidananya maksimal 7 tahun sedangkan dalam kasus pelecehan seksual dijatuhkan pidana paling lama 15 tahun. Apabila diversi tidak dapat diupayakan, maka anak yang melakukan tindak pidana pelecehan seksual akan dikenakan pidana penjara sebagai upaya terakhir.

  • III.   PENUTUP

  • 3.1.   Kesimpulan

  • 1.    Anak yang berkonflik dengan hukum memiliki hak-hak yang harus tetap dijaga yaitu penangkapan, penahanan serta penjatuhan pidana penjara merupakan upaya terakhir, penempatan anak yang dirampas kemerdekaannya harus dipisahkan dari orang dewasa, pada kasus pelecehan seksual baik korban maupun pelaku harus dirahasiakan guna mencegah terjadinya labelisasi, dan anak yang berkonflik

dengan hukum berhak mendapat bantuan hukum untuk memenuhi seluruh hak-haknya.

  • 2.    Anak sebagai pelaku pelecehan seksual secara khusus belum diatur dalam undang-undang, untuk mengatasi adanya kekosongan hukum maka dapat digunakan Pasal 76 E Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Upaya hukum berupa diversi tidak dapat diupayakan oleh hakim dikarenakan pidana yang dikenakan bagi anak yang melakukan pelecehan seksual lebih dari 7 (tujuh) tahun, dengan tidak dapat diupayakannya diversi maka akan dikenakan pidana penjara sebagai upaya hukum terakhir.

  • 3.2.    Saran

  • 1.    Kepada orangtua disarankan untuk lebih mengawasi gerak-gerik anak apabila dilihat mencurigakan. Orangtua juga harus lebih memahami kondisi psikis anak dan juga lebih memperhatikan perkembangan anak. Penggunaan gadget pada anak harus dalam pengawasan orangtua.

  • 2.    Kepada Penegak Hukum, Hakim dalam memberikan putusannya harus mempertimbangkan kondisi anak sebagai pelaku kejahatan, mengenai kesanggupan dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selain itu hakim juga harus mempertimbangkan masa depan anak yang melakukan tindak pidana pelecehan seksual.

DAFTAR PUSTAKA

I.   BUKU

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Hidayat, Bunadi, 2010, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, P.T. Alumni, Bandung.

R. Wiyono, 2016, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sigit Pramukti, Angger dan Fuady Primaharsya, 2014, Sistem Peradilan Pidana Anak, Medpress Digital, Yogyakarta.

Suharsil, 2016, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, PT. Rajagrafindo Persada, Depok.

Suratman dan H. Phillips Dillah, 2015, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung.

Swardhana, Gde Made, 2016, Pengendalian Kenakalan Anak Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Bali, Genta, Yogyakarta.

  • II.    JURNAL

Febrina Annisa, “Penegakkan Hukum Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana Pencabulan dalam Konsep Restorative Justice”, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama, Sumatera Barat, Vol 7 No. 2.

  • III.    INTERNET

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2016, “Pelecehan Seksual Anak Meningkat 100%”, URL : http://www.kpai.go.id. Diakses tanggal 1 September 2018.

  • IV.    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606.

16