ISSN: 2303-1395                  E-JURNAL MEDIKA, VOL. 8 NO.1,Januari, 2019

Il--∖z—S A I DIRECTORY OF OPEN ACCESS I -J . >f ∖^√ JOURNALS

AKTIVITAS DAYA HAMBAT EKSTRAK ETIL ASETAT KULIT PETAI (PARKIA SPECIOSA HASSK) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI KLEBSIELLA PNEUMONIAE

Kadek Surya Atmaja1, Made Agus Hendrayana2

1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali 2Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali

Email: [email protected]

ABSTRAK

Peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik golongan tertentu menyebabkan terbatasnya pilihan terapi yang tersedia. Salah satu bakteri yang menunjukan peningkatan resistensi terhadap antibiotik adalah Klebsiella pneumoniae. Kulit Petai (Parkia speciosa Hassk) dilaporkan memiliki kandungan senyawa antibakteri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas daya hambat ekstrak etil asetat kulit petai terhadap Klebsiella pneumoniae. Kulit petai yang telah terkumpul dikeringkan, kemudian diblender sehingga terbentuk serbuk halus. Serbuk halus di maserasi selama 2 hari menggunakan etil asetat, kemudian dievaporasi hingga terbentuk ekstrak kering. Ekstrak diencerkan dengan konsentrasi 100 mg/ml (P1), 250 mg/ml (P2), 500 mg/ml (P3), dan 1000 mg/ml (P4), selanjutnya diteteskan pada paper disc. Paper disc, kontrol positif berupa gentamicin (K2), kontrol negatif (K1) berupa etil asetat, diletakan diatas 7 cawan petri yang telah dinokulasikan Klebsiella pneumoniae dengan media agar Mueller Hinton. Sampel diinkubasi selama 18-24 jam dengan suhu 370 C. Ekstrak etil asetat kulit petai mampu menghambat pertumbuhan Klebsiella pneumonia dengan rerata zona hambat K1 = 0 mm, K2 = 20,47 mm, P1 = 6,14 mm, P2 = 9,71 mm, P3 = 12,28 mm, dan P4 = 18,00 mm.

Rerata zona hambat ada yang berbeda secara signifikan (P < 0,05) pada uji Kruskal Wallis, pada uji Mann-whitney didapatkan hasil yang signifikan antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan pada keempat konsentrasi. Ekstrak etil asetat kulit petai konsentrasi 100 mg/ml, 250 mg/ml, 500 mg/ml, dan 1000 mg/ml mampu menghambat pertumbuhan Klebsiella pneumoniae dibandingkan kontrol negatif.

Kata kunci : Klebsiella pneumoniae, Kulit Petai, Aktivitas Daya Hambat.

ABSTRACT

The number of bacterial resistance againts specific antibiotic has increased, hence the therapy option became limited. Klebsiella pneumoniae is one among many bacteria that exhibit resistance againts antibiotic. Petai peel (Parkia speciosa Hassk) had been reported exhibit antibacterial activity, therefore this research intend to test inhibition activities of Petai peel againts Klebsiella pneumoniae. Petai peel aerated until dry and then blended forming fine powder. Powder extracted by maceration for 2 days using ethyl acetat with ratio 5:1, and evaporated until dry. Extract diluted into concentration of 100 mg / ml (P1), 250 mg / ml (P2), 500mg / ml (P3), and 1000 mg / ml (P4), then dropped on paper disk. Paper disc, gentamicyn as positive control (K2) and ethyl acetate as negative control than placed on Klebsiella pneumoniae that had been cultured on 7 petri dishes with Mueller Hinton agar medium, incubated for 18-24 hours at a temperature of 370 C. Ethyl acetate extract of Petai peel inhibit the growth of Klebsiella pneumoniae with a mean inhibition

I--∖z—∖ A I DIRECTORY OF OPEN ACCESS

I__∕ V_>/ \~_J JOURNALS

zone : K1 = 0 mm, K2 = 20.47 mm, 6.14 mm = P1, P2 = 9.71 mm, P3= 12.28 mm, and P4 = 18.00 mm. There are significantly difference inhibition zone (P < 0.05) in the Kruskal Wallis test, the Mann-Whitney test showed significant difference between the negative control group againts all of the intervention group concentration. Ethyl acetat extract of petai peels concentration 100 mg/ml, 250 mg/ml, 500 mg/ml, and 1000 mg/ml was found exhibit inhibition activity againts Klebsiella pneumoniae bacterial compared with negative control.

Keywords: Klebsiella pneumoniae, Petai Peel, Inhibitory Activitity

Pendahuluan

Pelayanan rumah sakit dalam mencegah pasien mendapatkan infeksi yang bersumber dari rumah sakit menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir. Infeksi yang didapatkan pasien rawat inap setelah 48 jam dari pasien mulai menjalani perawatan rumah sakit disebut dengan infeksi nosokomial1. Infeksi nosokomial yang paling sering terjadi adalah infeksi pneumonia nosokomial2.

Proporsi kasus infeksi pneumonia nosokomial mencapai 59,5% dari total kasus infeksi nosokomial pada studi yang dilakukan di Iran. Terdapat empat hingga tujuh kasus per 1000 pasien rawat inap yang dilaporkan di Amerika2. Insiden pneumonia nosokomial pada balita di negara berkembang sebesar 0,05 kasus per anak tiap tahunnya. Terdapat 156 juta kasus pneumonia pada balita tiap tahunnya, 61 juta diantaranya terjadi di wilayah Asia Tenggara3.

Peningkatan resistensi bakteri penyebab infeksi nosokomial terhadap golongan antibiotik tertentu menyebabkan terbatasnya pilihan terapi pada pasien tersebut . Hal tersebut menjadi masalah yang serius beberapa tahun terakhir dan mendorong penelitian untuk menemukan golongan antibiotik baru. Tingginya

biodiversitas di Indonesia menyebabkan peningkatan usaha pencarian senyawa

yang memiliki potensi daya hambat bakteri yang bersumber dari alam, yaitu tanaman4.

Selama berabad-abad beberapa tanaman telah digunakan oleh masyarakat lokal sebagai pengobatan. Salah satu tanaman yang memiliki aktivitas daya hambat bakteri adalah Parkia speciosa Hassk. Parkia speciosa Hassk sering disebut dengan “petai” merupakan tanaman hutan yang banyak dijumpai di Indonesia5.

Petai sering digunakan oleh masyarakat lokal sebagai pengobatan alami penyakit diabetes, gangguan ginjal dan kolera. Petai umumnya dikonsumsi dengan bumbu lokal seperti bawang putih, cabai dan terasi. Petai dilaporkan memiliki efek hipoglikemik, antiangiogenik, aktivitas antioksidan dan aktivitas antimikrobial. Efek tersebut didapat dari biji dan kulit petai6,7.

Kulit petai memiliki kandungan senyawa fitokimia berupa alkaloid, saponin, flavonoid, tanin dan triterpenoid. Kandungan polifenol, tanin dan flavonoid dari petai dilaporkan mempunyai potensi menghambat pertumbuhan bakteri. Kulit petai memiliki aktivitas daya hambat terhadap beberapa bakteri 7.

Penelitiani ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas daya hambat kulit biji Parkia speciosa Hassk terhadap pertumbuhan bakteri Klebsiella pneumoniae.

Bahan dan Metode

Pengeringan,pembuatan ekstrak etil asetat kulit petai, dan pengujian fitokimia dilakukan di Laboratorium Forensik Sain

I--∖z—∖ A I DIRECTORY OF OPEN ACCESS

I__∕ V_>/ \~_J JOURNALS

dan Kriminologi Universitas Udayana. Pembiakan bakteri, persiapan perlakuan dan uji aktivitas daya hambat dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian ini dilaksanakan pada Maret 2016 hingga Desember 2016.

Perhitungan besar sampel atau jumlah pengulangan dilakukan dengan menggunakan metode federer, didapatkan jumlah minimal pengulangan adalah sebanyak enam pengulangan. Pada penelitian ini dilakukan jumlah pengulangan sebanyak tujuh kali.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan True Experimental Post Test Only Control Group Design, untuk mengetahui aktivitas daya hambat ekstrak etil asetat kulit petai (Parkia speciosa Hassk) terhadap pertumbuhan bakteri Klebsiella pneumoniae, dinilai berdasarkan konsentrasi hambat dan diameter zona hambat. Sampel dibagi menjadi kelompok kontrol (K) dan kelompok perlakuan (P). Kelompok kontrol terdiri dari kontrol negatif berupa etil asetat (K1) dan kontrol positif berupa gentamisin (K2) sedangkan kelompok perlakuan terdiri atas ekstrak etil asetat kulit petai konsentrasi 100 mg/ml (P1), 250 mg/ml (P2), 500 mg/ml (P3), dan 1000 mg/ml (P4).

Sampel kulit petai diperoleh di Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Kulit petai yang telah dikumpulkan dipisahkan dari bijinya dan dicuci bersih kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan pada suhu ruangan. Kulit petai yang telah kering, diblender hingga terbentuk serbuk halus.

Serbuk halus kulit petai di ekstraksi dengan metode maserasi dengan pelarut etil asetat. Maserasi dilakukan dengan perbandingan pelarut etil asetat berbanding kulit petai 5:1. Ekstrak yang telah di

maserasi kemudian dilakukan evaporasi hingga terbentuk ekstrak kering. Ekstrak etil asetat kulit petai diambil sebagian lalu dilakukan pengujian kandungan fitokimia berupa Alkaloid, Flavonoid, Saponin, Tanin, Steroid/Triterpenoid, serta Fenol.

Bakteri yang digunakan untuk uji aktivitas daya hambat ekstrak etil asetat kulit petai adalah bakteri Klebsiella pneumoniae dengan metode Kirby-Bauer. Bakteri Klebsiella pneumoniae disetarakan dengan standar kekeruhan 0.5 McFarland kemudian diinokulasikan pada tujuh agar Mueler-Hinton. Ekstrak kering etil asetat kulit petai kemudian dilakukan pengenceran dengan pelarut etil asetat dengan konsentrasi 100, 250, 500, dan 1000 mg/ml. Konsentrasi ekstrak yang telah disiapkan di teteskan sebanyak 20 µL pada paper disk. paper disk yang telah ditetesi pelarut, kontrol positif berupa gentamisin dan kontrol negatif berupa etil asetat, kemudian diletakan diatas agar Mueler-Hinton yang telah diinokulasikan bakteri Klebsiella pneumoniae. Tujuh agar Mueler-Hinton yang telah diinokulasikan bakteri dan diletakan paper disk yang telah ditetesi pelarut, kontrol positif berupa gentamisin dan kontrol negatif berupa etil asetat, di inkubasi pada suhu 370 C selama 18-24 jam. Pengamatan dilakukan menggunakan jangka sorong dengan mengukur diameter zona jernih yang dihasilkan.

Pengukuran dilakukan setelah ± 24 jam setelah media uji dimasukan kedalam inkubator. Pengamatan dilakukan menggunakan jangka sorong dengan mengukur diameter zona jernih yang dihasilkan. Data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif berupa diameter zona jernih yang dihasilkan.

Teknik analisis data yang digunakan adalah: Uji normalitas dengan Shapiro-Wilk test, Uji homogenitas antar kelompok dengan Levene test, menentukan apakah

I--∖z—∖ A I DIRECTORY OF OPEN ACCESS

I__∕ V_>/ \~_J JOURNALS

antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terdapat perbedaan yang bermakna, dengan melakukan uji Kruskal-wallis test. uji Mann-whitney selanjutnya dilakukan untuk melihat perbedaan yang bermakana antara kelompok kontrol negatif dan kelompok perlakuan. Derajat kemaknaan dalam penelitian ini adalah λ = 0,05

Hasil

Bakteri yang telah diinkubasi didalam inkubator selama 18-24 jam, dengan suhu 370 C dan telah ditanam kertas cakram dengan konsentrasi berbeda, serta kontrol positif dan kontrol negatif kemudian dilakukan pengukuran zona bening yang terdapat disekitar kertas

cakram yang ditanam tersebut. Pengukuran zona bening dilakukan dengan mengukur diameter zona bening tersebut menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,05 mm.

Pengukuran dilakukan pada ketujuh cawan petri dan dirata-ratakan. Rerata yang didapatkan berupa, K1 = 0 mm, K2 = 20,47 mm, P1 = 6,14 mm, P2 = 9,71 mm, P3 = 12,28 mm, dan P4 = 18,00 mm. Hasil dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Data Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Ekstrak Etil Asetat Kulit Petai (Parkia speciosa Hassk) terhadap pertumbuhan Bakteri Klebsiella pneumoniae


Pengulangan

K1 (mm)

K2 (mm)

P1 (mm)

P2 (mm)

P3 (mm)

P4 (mm)

1

0,00

21,00

6,00

8,00

12,00

18,00

2

0,00

20,00

6,00

9,00

12,00

19,00

3

0,00

20,00

6,00

10,00

13,00

20,00

4

0,00

22,00

6,00

10,00

12,00

17,00

5

0,00

22,00

7,00

11,00

12,00

18,00

6

0,00

20,00

6,00

11,00

13,00

16,00

7

0,00

18,00

6,00

9,00

12,00

18,00

K1 kontrol negatif; K2 kontrol positif ; P1 kelompok perlakuan konsentrasi 100 mg/ml , P2 : kelompok perlakuan konsentrasi 250 mg/ml; P3 : Kelompok perlakuan konsentrasi 500 mg/ml dan P4 : kelompok perlakuan konsentrasi1000 mg/ml.

Uji normalitas data dilakukan untuk menentukan distribusi data yang didapatkan berdistribusi normal atau diambil dari populasi normal. Penelitian ini menggunakan sampel yang berjumlah kurang dari 50 sampel, oleh karena itu digunakan metode uji Saphiro-Wilk, sebab jumlah sampel data yang digunakan kurang dari 50 sampel. Hasil uji analisis dinyatakan terdistribusi normal apabila P > 0,05 (α=5%).

Berdasarkan uji analisis tersebut diketahui bahwa data diameter zona

hambat K2, P2, dan P4 terdistribusi normal dengan P > 0,05, sedangkan data diameter zona hambat P1 dan P3 tidak terdistribusi normal, data diameter zona hambat untuk K1 dihilangkan karena hasil yang konstan.

Uji Homogenitas data digunakan untuk mengetahui apakah beberapa varian populasi sama atau tidak, uji homogenitas antar kelompok diuji dengan metode uji Levene. Pada peneitilian ini didapatkan data zona hambat yang tidak homogen (P < 0,05).

I--∖z—∖ A I DIRECTORY OF OPEN ACCESS

I__∕ V_>/ \~_J JOURNALS

Analisis efek perlakuan dilakukan dengan metode Kruskal-wallis disebabkan data yang dihasilkan tidak terdistribusi normal dan tidak homogen. Pada uji menggunakan Kruskal-wallis didapatkan rerata diameter zona hambat bakteri Klebsiella pneumoniae pada kelompok kontrol negatif dan empat kelompok perlakuan ada yang berbeda secara bermakna (nilai P < 0,05). Analisis kemudian dilakukan untuk melihat adanya perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok kontrol negatif dan kelompok perlakuan dengan mempergunakan metode uji Mann-whitney. Pada uji ini terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol negatif (K1) dengan keempat kelompok perlakuan (P1, P2, P3, P4) dengan nilai P < 0,05.

Uji Fitokimia dilakukan di Laboratorium Forensik Sains dan Kriminologi Universitas Udayana, dengan hasil pengujian ekstrak kulit petai yang diambil dari Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, positif mengandung Flavonoid, Saponin, Tanin, dan fenol sedangkan ektrak kulit petai tersebut tidak mengandung Alkaloid dan Steroid/Triterpenoid. Hasil dapat dilihat pada tabel 2

Tabel 2. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Kulit Petai

No

Parameter pengujian

Hasil pengujian

1

Alkaloid

Negatif

2

Flavonoid

Positif

3

Saponin

Positif■

4

Tanin

Positif

5

Steroid/triterpen

Negatif

6             Fenol           Positif.

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukan terdapat aktivitas daya hambat dari ekstrak kulit petai dengan konsentrasi 100 mg/ml, 250 mg/ml, 500 mg/ml dan 1000 mg/ml. Terdapat perbedaan yang bermakna untuk konsentrasi 100 mg/ml, 250 mg/ml, 500 mg/ml dan 1000 mg/ml terhadap kontrol negatif. Kemampuan daya hambat kulit petai diakibatkan beberapa kandungan metabolit sekunder kulit petai seperti flavonoid, saponin, tanin, serta fenol yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri Klebsiella pneumoniae.

Hasil Uji Fitokimia yang telah dilakukan menunjukan kulit petai positif mengandung flavonoid, saponin, tanin, dan fenol. Mekanisme kerja antibakteri dari masing-masing senyawa tersebut masih belum sepenuhnya diketahui, namun terdapat beberapa mekanisme antibakteri dari senyawa tersebut yang telah diketahui6.

Flavonoid menghambat pertumbuhan bakteri dengan merusak membran sitoplasma sel dari bakteri tersebut. Mekanisme tersebut terjadi akibat penghambatan Flavonoid pada DNA girase, aktivitas dehidratase protein pembawa hydroxyacyl-acyl, serta menghambat aktivitas enzim ATPase. Ketiga mekanisme tersebut menyebabkan peningkatan permeabilitas bakteri, mengganggu potensial membran sehingga terjadi kematian dan penghambatan pertumbuhan bakteri8-10.

Saponin berperan menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara meningkatkan permeabilitas dinding sel bakteri. Saponin juga bekerja dengan cara melisiskan dinding sel bakteri dengan cara masuk kedalam lapisan lipid bilayer dari

I!--∖z—∖ A I DIRECTORY OF OPEN ACCESS I_√<.√∕ JOURNALS

bakteri tersebut dan membentuk ikatan atau kompleks kolesterol-saponin11.

Tanin menghambat pertumbuhan bakteri dengan beberapa mekanisme seperti : menghambat enzim-enzim yang dibutuhkan oleh bakteri untuk mencerna nutrien sehingga menggangu metabolisme bakteri tersebut, menghambat proses forsforilasi oksidatif, merusak dinding sel bakteri, dan berikatan kuat dengan zat besi menyebabkan ketidaktersedian zat besi untuk pertumbuhan bakteri tersebut9,12,13.

Penelitian mengenai ekstrak kulit petai juga telah dilakukan sebelumnya oleh Hasim pada tahun 2015. Pada penelitian tersebut dilakukan pengujian ekstrak kulit petai dengan tiga pelarut yang berbeda, terhadap pertumbuhan bakteri Eschericia coli dan Staphylococus aureus. Ketiga hasil ekstrak dengan pelarut yang berbeda tersebut menimbulkan aktivitas daya hambat terhadap kedua bakteri tersebut, dan ekstrak yang paling kuat menimbulkan daya hambat pertumbuhan bakteri adalah ekstrak dengan pelarut etil asetat6.

Hasil uji fitokimia ekstrak etil asetat kulit petai yang telah dilakukan menunjukan hasil postif pada uji flavonoid, saponin, tanin dan fenol sedangkan negatif   pada uji alkaloid,

steroid dan triterpenoid namun belum diketahui kadar masing-masing senyawa. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Hasim tahun 2015, ekstrak etil asetat kulit petai dilaporkan positif mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, steroid dan teriterpenoid6.

Perbedaan hasil uji fitokimia dalam penelitian yang dilakukan oleh Hasim pada tahun 2015 dengan penelitian ini dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan kandungan metabolit sekunder pada ekstrak kulit petai tersebut. Kandungan metabolit sekunder pada tanaman dipengaruhi oleh variasi fisiologis

tanaman, kondisi lingkungan, variasi geografi, faktor genetik dan evolusi14.

Variasi fisiologi yang mempengaruhi kandungan metabolit sekunder seperti perkembangan organ, aktivitas siklus penyerbukan, struktur sekretorik, variasi musim serta cedera mekanik atau kimia. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi kandungan metabolit sekunder pada tanaman dapat berupa kondisi iklm, polusi dan adanya hama atau penyakit pada tanaman tersebut atau dilingkungannya. Perbedaan kondisi geografi dapat disebabkan oleh perbedaan ketinggian, perbedaan kandungan yang terdapat dalam tanah dan juga pajanan terhadap matahari14.

Faktor genetik dan evolusi dari tanaman mempengaruhi kandungan metabolit sekunder dari tanaman tersebut dari segi duplikasi gen yang diikuti divergensi dengan mempertahankan fungsi enzim sebelumnya dan mengembangkan fungsi baru dari gen yang turdiplikasi, evolusi konvergen merupakan peningktan fungsi secara independen berkali lipat, evolusi gen tanpa duplikasi gen adalah terbentuknya fungsi enzimatik baru dengan menghilangnya fungsi enzim yang lama. Jika produksi dari enzim baru tersebut membantu meningkatkan kemampuan adaptasi dari tanaman tersebut maka produksinya akan ditingkatkan14.

Penelitian lebih lanjut mengenai senyawa metabolit sekunder yang paling berperan menimbulkan hambatan pada pertumbuhan bakteri tersebut perlu dilakukan. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk mencari konsentrasi hambat minimal pertumbuhan bakteri Klebsiella pneumonia.

Simpulan

Ektrak etil atetat kulit biji petai konsentrasi 100 mg/ml, 250 mg/ml, 500

I--∖z—∖ A I DIRECTORY OF OPEN ACCESS

I__∕ V_>/ \~_J JOURNALS

mg/ml, dan 1000 mg/ml mampu menghambat    pertumbuhan    bakteri

Klebsiella pneumoniae dibandingkan kontrol negatif dengan nilai kebermaknaan sebesar 0,001. Pada keempat konsentrasi tersebut ekstrak kulit biji petai mampu menghambat pertumbuhan bakteri Klebsiella pneumoniae dengan rerata zona hambat berturut-turut 6,14 mm, 9,71 mm, 12,28 mm, dan 18,00 mm.

Kemampuan ekstrak etil asetat kulit biji petai dalam menghambat pertumbuhan bakteri Klebsiella pneumoniae diakibatkan oleh kandungan metabolit sekunder dari kulit petai tersebut. Kandungan metabolit sekunder dari petai tersebut berupa : flavonoid, saponin, tanin, dan Fenol.

Kandungan metabolit sekunder dari kulit petai menghambat pertumbuhan bakteri dengan mekanisme yang berbeda-beda.      Flavonoid      menghambat

pertumbuhan bakteri dengan beberapa merusak membran sitoplasma sel bakteri, Saponin menghambat pertumbuhan bakteri dengan meningkatkan permeabilitas dinding sel bakteri. Tanin menghambat pertumbuhan bakteri dengan, menghambat proses forsforilasi oksidatif.

Daftar Pustaka

  • 1.    Nair, G. and Niederman, M.

Nosocomial Pneumonia. Critical Care Clinics. 2013; 29(3):521-46.

  • 2.    Bruyere, H. 100 case studies in pathophysiology. 2009.

  • 3.    Ghimire, M., Bhattacharya, S. K., & Narain, J. P. Pneumonia in South-East Asia Region:     Public health

perspective. The Indian Journal of Medical Research. 2012;135(4), 459– 68.

  • 4.    Wonghirundecha, S. and Sumpavapol, P. Antibacterial Activity of Selected Plant By-products Against Foodborne

Pathogenic Bacteria. International Conference on Nutrition and Food Sciences IPCBEE. 2012;39:116-60.

  • 5.    Abdullah, M., Chang, P. and Lim, T. Some Physical Properties of Parkia speciosa      seeds.      International

Conference on Food Engineering and Biotechnology. 2011;9:43-47.

Kurniawati.Antibacterial activityof

Parkia speciosa Hassk. peelto

Escherichia coli and Staphylococcus aureus bacteria. Journal of Chemical and     Pharmaceutical     Research.

2015;7(4):239-43.

  • 7.    Kamisah, Y., Othman, F., Qodriyah, H. and Jaarin, K. Parkia speciosa Hassk.: A Potential Phytomedicine. EvidenceBased Complementary and Alternative Medicine, 2013, pp.1-9.

  • 8.    Godstime, O., Felix, E., Christopher, E. and Augustina. Mechanisms of Antimicrobial       Actions       of

Phytochemicals against Enteric Pathogens Review. Journal of Pharmaceutical,    Chemical and

Biological Sciences. 2014;2(2):77-85.

  • 9.    Radulovi, N., Blagojevio, P., Stojanovio, N. and Radi, Z. Antimicrobial Plant Metabolites: Structural Diversity and Mechanism of Action. Current Medicinal Chemistry. 2013;20(7):932-52.

  • 10.    Cushnie, T. and Lamb, A. Antimicrobial activity of flavonoids. International Journal of Antimicrobial Agents. 2005;26(5):343-56.

  • 11.    Arabski, M., Wagierek-Ciuk, A., Czerwonka, G., Lankoff, A. and Kaca, W. Effects of Saponins against Clinical E. coli Strains and Eukaryotic Cell Line. Journal of Biomedicine and Biotechnology. 2012;1-6.

  • 12.    Igbinosa, O., Igbinosa, E. and Aiyegoro, O. Antimicrobial activity and


phytochemical screening of stem bark extracts from Jatropha curcas (Linn). African Journal of Pharmacy and Pharmacology. 2009;3(2):58-62.

  • 13.    Usman, W., Jada, M. and Jideofor, R. In vitro Antimicrobial Activity of Crude Tannins Isolated from the Stem Bark of Annona senegalensis. British

Biotechnology                Journal.

2014;4(11):1175-81.

  • 14.    Figueiredo, A., Barroso, J., Pedro, L. and Scheffer, J. Factors affecting secondary metabolite production in plants:   volatile components and

essential oils. Flavour and Fragrance Journal. 2008;23(4):213-26.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

74