PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK YANG SUDAH MENIKAH
on
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK YANG
SUDAH MENIKAH
Oleh :
Ni Wayan Diana Ariantari*
Anak Agung Ngurah Wirasila**
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Tulisan ini berjudul Pertanggungjawaban Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Oleh Anak yang Sudah Menikah. Pertanggungjawaban pidana anak dan orang dewasa tentu saja berbeda. Akan menjadi persoalan apabila pelaku tindak pidana dalam hal ini penyalahguna narkotika adalah anak yang sudah menikah. Disatu sisi karena sudah menikah anak dianggap sebagai orang dewasa yang mempunyai kematangan baik fisik, psikis dan sosial. Disisi lain karena umur masih dikategorikan sebagai anak-anak tidak tepat apabila dihukum sama seperti orang dewasa. Peneliti kemudian mengemukakan dua permasalahan yaitu pengertian anak menurut hukum positif Indonesia dan pertanggungjawaban pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak yang sudah menikah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan jenis pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengertian anak menurut hukum positif Indonesia sangat bervariasi, hal tersebut berdasarkan asas lex posteriori derogat legi priori sehingga pengertian anak dalam tulisan ini merujuk pada UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pertanggungjawaban pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak yang sudah menikah sama dengan yang dilakukan oleh orang dewasa. Dituntut dengan pasal 127 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika dan menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan Kerobokan.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Narkotika, Anak Sudah Menikah
Abstract
This paper titled Criminal Liability for Narcotics Abuse Conducted by Married Children. Criminal liability between children and adults is different. It will be an issue if the perpetrators of criminal acts in this case narcotics abuse are married children. On the one hand because married children are considered as adults who have good physical, psychological and social maturity. On the other hand because age is still categorized as children it is not appropriate to be punished as same as adults. Therefore the researcher proposes two problems,
namely the understanding of children according to Indonesian positive law and the criminal liability of narcotics abuse committed by married children. The research method used is normative legal research with the type of statue approach and case approach. The results showed that the understanding of children according to Indonesian positive law varies greatly, it is based on the principle of lex posteriori derogat legi priori so that the understanding of children in this paper refers to Law No. 35 of 2014 concerning Child Protection. Narcotics abuses committed by married children are the same as those carried out by adults. Prosecuted with article 127 paragraph (1) of Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics and serving a sentence in the Kerobokan Penitentiary.
Keywords : Criminal Liability, Narcotics, Married Children
Bali merupakan salah satu destinasi wisata yang paling populer didunia. Pesona Bali sudah diakui wisatawan baik wistawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Bali menawarkan mulai dari wisata alam, wisata kuliner, wisata spiritual dan lain sebagainya yang menjadikan Bali selalu ramai dikunjungi wisatawan setiap harinya. Tidak hanya karena hal tersebut saja Bali banyak dikunjungi oleh wisatawan namun juga karena di Bali banyak terdapat tempat hiburan malamnya. Hal tersebut tentunya membawa dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positifnya adalah semakin banyak wisatawan datang maka dengan otomatis bisa meningkatkan taraf hidup dari masyarakat Bali itu sendiri. Sementara dampak negatifnya adalah dengan banyaknya tempat hiburan menimbulkan peredaran Narkoba di Bali semakin tidak terkendali. Bali menjadi pasar yang menjanjikan untuk menjual Narkoba. Hal tersebut dikarenakan Bali merupakan tempat wisata yang paling populer didunia sehingga banyak wisatawan yang datang berlibur ke Bali.
Pada tahun 2017 dalam kasus narkoba mayoritas tersangka berperan sebagai pemakai atau yang mengkonsumsi narkoba yaitu sebanyak 679 orang. Mayoritas pelaku paling banyak latar
belakang pendidikannya adalah SMA yaitu sebanyak 632 orang.1 Hal ini jelas membuktikan bahwa Bali sebagai pasar yang menjanjikan dalam menjual narkoba dan juga membuktikan bahwa peredaran narkoba banyak menyasar generasi muda. Generasi muda sebagai generasi penerus bangsa yang akan menggantikan generasi tua pada masa yang akan datang, apabila hal ini terus dibiarkan maka bangsa Indonesia akan semakin terpuruk akibat dari pengaruh narkoba itu sendiri.
Pada bulan Maret 2017 lalu, anggota polisi Polresta Denpasar menangkap seorang remaja yang masih berusia 17 tahun di daerah Kuta Utara. Remaja ini ditangkap atas kepemilikan narkotika jenis sabu.2 Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi generasi penerus bangsa kita selanjutnya. Peredaran narkoba harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Pemberantasan peredaran narkoba tidak hanya menjadi tugas dari aparat penegak hukum saja namun juga menjadi tugas kita semua agar terhindar dari bahaya narkoba itu sendiri.
Selain hal yang telah disebutkan diatas, dalam pemberantasan peredaran narkoba juga di perlukan suatu aturan yang memadai. Agar penyalahguna narkoba mendapatkan hukuman yang setara dengan apa yang telah diperbuatnya. Hukuman tersebut dijatuhkan dengan tujuan tidak lain agar penyalahguna narkoba tersebut jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Penjatuhan hukuman tersebut akan menjadi persoalan jika penyalahgunaan narkoba dilakukan oleh anak yang sudah menikah. Pada satu sisi, anak penyalahguna narkoba
tersebut sudah menikah yang mana anak yang bersangkutan dianggap sudah mempunyai kematangan baik dalam fisik, psikis maupun sosial, sehingga tidak lagi dapat dikategorikan sebagai anak-anak. Pada sisi lain jika anak yang bersangkutan dikategorikan sebagai orang dewasa maka secara otomatis hukuman yang dijatuhkan akan sama seperti yang dijatuhkan kepada orang dewasa dan anak yang bersangkutan akan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan (selanjutnya disebut lapas) untuk orang dewasa bukan lapas untuk anak-anak
meskipun anak yang bersangkutan masih berusia anak-anak.
-
1. Apa pengertian anak jika dilihat dari hukum positif di Indonesia?
-
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak yang sudah menikah?
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pertanggungjawabaan pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak yang sudah menikah.
Tujuan Khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
-
1. Untuk memahami pengertian anak jika dilihat dari hukum positif yang ada di Indonesia.
-
2. Untuk memahami pertanggungjawaban pidana
penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak yang sudah menikah.
Dalam tulisan ini jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisis permasalahan yang ada lalu dihubungkan dengan teori-teori hukum terkait serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.3 Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (the statue approch) dan pendekatan kasus (the case approch).
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam tulisan ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang sifatnya mengikat seperti UUD 1945, peraturan perundang-undangan serta yurisprudensi. Dalam tulisan ini menggunakan KUHP, KUHPer, UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebagai bahan hukum primernya. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang mempunyai fungsi menjelaskan bahan hukum primer yang mana berupa buku-buku hukum, doktrin, ataupun hasil-hasil penelitian yang berkaitkan dengan permasalahan yang diangkat. Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang digunakan untuk memberi penjelasan dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus maupun ensiklopedia.
Dalam tulisan ini teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik studi kepustakaan. Studi dokumen merupakan suatu cara yang digunakan untuk melakukan pengumpulan bahan hukum melalui bahan hukum tertulis dengan menggunakan content analisys.4 Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskripsi.
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Pengertian Anak Jika Dilihat dari Hukum Positif di Indonesia
-
Dalam suatu perkara pidana, mengetahui batasan usia seseorang sangatlah penting adanya, dengan mengetahui batasan usia seseorang para penegak hukum dapat mengkualifikasikan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang telah dilakukan. Dalam hal memberikan pengertian tentang anak disini lebih menitikberatkan pada batasan usia. Menurut Romli Atmasasmita, yang dimaksud dengan anak adalah orang yang belum dewasa serta dibawah umur dan belum pernah melakukan perkawinan. 5
Menurut Sugiri anak dikatakan sebagai anak-anak apabila masih mengalami masa pertumbuhan dan dikatakan dewasa apabila masa pertumbuhannya sudah berhenti serta batas umur dewasa sama dengan batas umur anak-anak dimulai dari delapan belas tahun (18 Tahun) untuk perempuan dan dua puluh satu tahun (21 Tahun) untuk laki-laki.6 Apabila kita melihat masyarakat Indonesia yang masih berpegang teguh dengan adat istiadat dimana seseorang sudah dikatakan dewasa apabila dilihat dari segi fisik sudah mencirikan kedewasaan. Sejalan dengan yang
dikemukan oleh Ter Haar, dimana orang yang dikatakan dewasa apabila orang tersebut baik laki-laki maupun perempuan sudah menikah dan tidak lagi tinggal dirumah orang tua mereka serta mempunyai rumah tangga sendiri.7
Berikut adalah pengertian anak menurut hukum positif yang ada di Indonesia yakni sebagai berikut :
-
1) Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam pasal 45 walaupun secara eksplisit tidak implisit dapat dikatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai usia enam belas tahun (16 Tahun).
-
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Dalam pasal 33O menyatakan bahwa anak adalah orang yang belum mencapai usia dua puluh satu tahun (21 Tahun) dan belum pernah menikah sebelumnya. Pada pasal tersebut juga dijelaskan meskipun anak yang bersangkutan sudah bercerai namun usianya belum mencapai 21 Tahun, status anak yang bersangkutan tidak kembali lagi sebagai anak – anak tapi statusnya sudah dewasa.
-
3) Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (UU KA).
Dalam pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan anak adalah orang yang belum mencapai usia dua puluh satu tahun (21 Tahun) dan belum pernah melakukan pernikahan sebelumnya.
-
4) Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
Dalam pasal 1 angka 5 yang dimaksud anak adalah orang yang belum mencapai usia delapan belas tahun (18 Tahun) dan
belum pernah menikah sebelumnya serta termasuk yang masih dalam kandungan.
-
5) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Dalam undang-undang ini terdapat istilah anak yang berkonflik dengan hukum yang disingkat dengan ABH dimana tertuang dalam pasal 1 angka 3 yang memberikan definisi, anak adalah orang yang sudah mencapai usia dua belas tahun (12 Tahun) serta belum mencapai usia delapan belas tahun (18 Tahun).
-
6) Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU PA).
Dalam pasal 1 angka 1 memberikan pengertian anak adalah orang yang belum mencapai usia delapan belas tahun (18 Tahun) termasuk yang masih dalam kandungan.
Pengertian anak menurut hukum positif yang ada di Indonesia jika melihat batasan usia sangatlah bervariasi. Dalam tulisan ini pengertian anak yang dipergunakan adalah pengertian anak menurut UU PA. Hal tersebut didasarkan pada asas preferensi yakni lex posteriori derogat legi priori yang mana menyatakan bahwa peraturan yang baru mengalahkan peraturan yang lama.8 Mengingat UU PA diundangkan tahun 2014 sehingga undang-undang lain yang memuat pengertian anak yang terbit sebelum tahun 2014 dikesampingkan.
-
2.2.2 Pertanggungjawaban Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan oleh Anak yang Sudah Menikah
Seseorang tidak mungkin dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya serta tidak mungkin dapat dipidana kalau tidak mempunyai suatu kesalahan. Akan dirasa tidak adil jika seseorang secara tiba-tiba dengan alasan yang tidak jelas bertanggungjawab atas kesalahan yang tidak diperbuat olehnya. Pada hakikatnya pertanggungjawaban pidana adalah suatu pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang telah diperbuat oleh seseorang. Dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban pidana timbul setelah adanya tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan.9
Tidaklah cukup apabila dipidananya seseorang karena orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Maksudnya meski dalam rumusan tindak pidana yang tercantum dalam undang-undang perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang tidak dibenarkan, akan tetapi syarat penjatuhan pidananya belum terpenuhi. Syarat penjatuhan pidana yang dimaksud adalah orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus mempunyai kesalahan.10 Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa dalam hal memidana seseorang unsur kesalahan merupakan unsur yang sangat penting yang harus ada sebelum memidana seseorang. Sama halnya dengan bunyi salah satu asas dalam hukum pidana yakni : “tiada pidana tanpa kesalahan”.
Kesalahan dalam bahasa Belanda disebut dengan “schuld”. Menurut Moeljatno, seseorang dapat dikatakan mempunyai kesalahan apabila pada saat melakukan tindak pidana jika dilihat
dari sudut pandang masyarakat perbuatan yang dilakukan orang tersebut dapat dicela. Hal itu dikarenakan orang tersebut harusnya sudah tahu apabila perbuatan yang ia lakukan dapat merugikan orang banyak. Sementara orang tersebut sebetulnya bisa melakukan perbuatan lain apabila tidak ingin melakukan perbuatan tersebut serta seharusnya orang tersebut harus mampu menghindari perbuatan yang demikian.11
Dalam pengertian kesalahan diatas didapatkan tiga poin utama yakni : dapat dicela, sudut pandang masyarakat dan bisa melakukan perbuatan lain. Yang dimana akan dijelaskan sebagai berikut :
-
1. Dapat dicela, dimana disini mempunyai dua arti yaitu : Pertama, dapat dipertanggungjawabkan dihukum pidana. Kedua, dapat dijatuhi suatu pidana.
-
2. Sudut pandang masyarakat, dimana terdapat penekanan pada penilaian normatif terhadap keadaan batin dari pembuat serta kaitan keadaan batin itu dengan tindak pidana yang diperbuat olehnya sehingga disini pembuat dapat dicela karena melakukan tindak pidana tersebut.
-
3. Bisa melakukan perbuatan lain, dimana suatu kesalahan terjadi apabila ada aturan atau norma dilanggar sehingga dalam hal ini pembuat bisa berbuat lain agar tidak melanggar suatu norma yang ada ataupun melakukan suatu tindak pidana.12
Kemampuan bertanggungjawab merupakan suatu kondisi seseorang dalam keadaan yang normal serta sudah mampu membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Dalam hal kemampuan bertanggungjawab, ada dua faktor yang
menentukan orang mampu bertanggungjawab atau tidak mampu bertanggungjawab yaitu akal dan kehendak. Faktor akal adalah kemampuan dimana seseorang bisa membedakan mana hal yang diperbolehkan dan mana hal yang dilarang. Sementara faktor kehendak adalah kemampuan dimana seseorang bisa menyelaraskan prilakunya dengan kesadaran atas hal mana yang diperbolehkan dan hal mana yang dilarang.
Dalam KUHP pertanggungjawaban pidana didasarkan pada dua aspek yakni : kemampuan fisik dan kemampuan moral yang mana tertuang dalam pasal 44 ayat 1 dan ayat 2 KUHP. Kemampuan fisik disini artinya seseorang tidak mengalami cacat dalam pertumbuhan ataupun cacat dikarenakan penyakit seperti buta tuli, idiot, anak dibawah umur dan sejenisnya. Sementara kemampuan moral disini artinya seseorang tidak terganggu jiwanya seperti sakit jiwa, epilepsi dan penyakit jiwa lainya.13 Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa, apabila kemampuan fisik dan kemampuan moral seseorang sudah baik maka orang yang bersangkutan sudah bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Persoalannya disini apabila pelaku tindak pidana dilakukan oleh seorang anak yang sudah menikah. Apabila dilihat dari sisi anak dimana anak-anak dianggap belum mempunyai kemampuan fisik dan kemampuan moral yang matang sehingga belum bisa membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Pada sisi lain anak yang bersangkutan sudah menikah. Anak yang sudah menikah tidak bisa dikatakan sebagai anak lagi jika dilihat dari perspektif UU HAM. Dalam pasal 1 angka 5 UU HAM telah dijelaskan pengertian anak adalah seorang yang belum mencapai usia delapan belas tahun (18 Tahun) dan belum pernah menikah
sebelumnya. Artinya meski usianya anak bersangkutan belum mencapai usia 18 Tahun namun anak tersebut sudah pernah menikah maka anak tersebut dianggap sebagai orang dewasa. Hal ini akan berdampak pada pertanggungjawaban pidananya.
Dalam putusan pengadilan Nomor 8/Pid.Sus-Anak/2017/PN Dps mengenai penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan seorang anak yang masih berusia 17 tahun 4 bulan dan anak tersebut sudah menikah sebelumnya. Dalam tuntutan Penuntut Umum menuntut agar Majelis Hakim memutus agar terdakwa anak dinyatakan bersalah, dijatuhi pidana penjara 1 tahun 6 bulan, dan agar terdakwa anak ditempatkan di lembaga pembinaan khusus anak (selanjutnya disingkat LPKA) di Karangasem.
Berdasarkan fakta hukum putusan pengadilan Nomor 8/Pid.Sus-Anak/2017/PN Dps yang ada dipersidangan, Majelis Hakim menyatakan anak yang berkonflik dengan hukum (selanjutnya disingkat ABH) telah melanggar pasal 127 ayat (1) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika). ABH telah memenuhi unsur “setiap orang” dan unsur “penyalahguna narkotika golongan I bagi diri sendiri”. Unsur “setiap orang” diartikan sebagai subyek hukum yang telah melakukan tindak pidana dan mampu bertanggung jawab. Pertimbangan Majelis Hakim menyatakan bahwa dalam persidangan ABH mampu menjawab pertanyaan yang ditanyakan oleh Majelis Hakim serta ABH mampu mengingat kejadian masa lampu sehingga unsur “setiap orang” terpenuhi.
Sementara dalam unsur “menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri” dimana sesuai dengan pasal 1 angka 5 UU Narkotika yang memberikan pengertian penyalahguna adalah seseorang yang menggunakan narkotika dengan cara melawan
hukum. Pada saat penggeledahan yang dilakukan oleh pihak kepolisian ditemukan barang bukti narkotika golongan I yakni 1 klip kristal bening shabu. Narkotika golongan I hanya boleh dipergunakan untuk perkembangan ilmu pengetahuan bukan digunakan untuk kepentingan lainnya dan juga kepemilikannya harus mendapat ijin dari pihak yang berwenang. Apabila tidak mempunyai ijin dari pihak yang berwenang maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Pada saat persidangan ABH juga mengaku bahwa shabu tersebut akan digunakan di sebuah rumah kos, sehingga dengan uraian tersebut unsur “menyalahgunakan Narkotika golongan I bagi diri sendiri” terpenuhi.
Dalam amar putusan putusan pengadilan Nomor 8/Pid.Sus-Anak/2017/PN Dps, Majelis Hakim menyatakan bahwa ABH secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 127 ayat (1) UU narkotika dan menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun kepada ABH. ABH menjalani masa hukumannya di Lapas Kerobokan sesuai dengan permintaan ABH pada saat persidangan. Tentu hal tersebut bertentangan dengan amanat dari pasal 85 UU SPPA. Pasal 85 UU SPPA mengamanatkan bahwa anak yang dijatuhi pidana penjara menjalani masa hukumannya di LPKA. Kecuali pada daerah anak tersebut tinggal belum ada LPKA maka anak ditempatkan di Lapas.
Sehubungan hal itu, di Bali sudah memiliki LPKA yang terletak di kabupaten Karangasem maka seharusnya anak di tempatkan di LPKA Karangsem. Secara tidak langsung hakim sudah menganggap anak yang bersangkutan ini sebagai orang dewasa sehingga anak menjalani masa hukumannya di Lapas Kerobokan bukan di LPKA Karangasem. Dalam hal ini perlu adanya suatu aturan yang jelas mengatur batasan usia seseorang
apakah termasuk kategori anak atau orang dewasa. Hal ini akan berkaitan pada saat anak mempertanggungjawabkan perbuatannya apakah dirasa tepat dan memberi manfaat bagi anak yang bersangkutan.14
-
1. Pengertian anak menurut hukum positif yang ada di Indonesia sangat bervariasi. Berdasarkan asas preferensi lex posteriori derogat legi priori maka digunakan pengertian anak menurut UU PA, anak adalah orang yang belum mencapai usia 18 tahun termasuk yang masih dalam kandungan
-
2. Pertanggungjawaban pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak yang sudah menikah sama halnya dengan pertanggungjawaban pidana
penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh orang dewasa. Hal tersebut dikarenakan anak yang sudah menikah dianggap sudah mempunyai kematangan dalam fisik, psikis dan mental sehingga dianggap sebagai orang dewasa. Dalam hal ini anak secara sah dan meyakinkan telah melanggar pasal 127 ayat (1) UU Narkotika. Anak dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan menjalani masa hukumannya di Lapas Kerobokan.
-
1. Sebaiknya pemerintah yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan memberikan pengertian yang seragam mengenai batasan usia dalam hal
pengertian anak, sehingga alam penerapannya jelas dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
-
2. Seharusnya dalam memidana seseorang harus melihat apakah orang yang bersangkutan mampu
bertanggungjawab atau tidak. Hal ini akan berdampak dalam penjatuhan pidananya apakah akan dianggap adil dan memberikan manfaat bagi yang bersangkutan. Dalam hal ini perlu adanya aturan yang memadai mengenai kapan orang dikategorikan sebagai anak-anak dan kapan dikategorikan sebagai orang dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Mahrus, 2015, Dasar- Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Gultom, Maidin, 2010, Perlindungan Hukum Terhadap Anak,
Bandung, Refika Aditama.
Hidayat, Bunadi, 2010, Pemidanaan Anak di Bawah Umur,
Alumni, Bandung.
Huda, Chairul, 2011, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’, Prenada Media Group, Jakarta.
Prasetyo, Teguh, 2015, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Swardhana, Gde Made, 2016, Pengendalian Kenakalan Anak Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Bali, Genta Publishing, Yogyakarta.
Jurnal Ilmiah
Meta Suriyani, 2016, Pertentangan Asas Perundang-undangan dalam Pengaturan Larangan Mobilisasi Anak pada Kampanye Pemilu, Jurnal Konstitusi Vol. 13 No. 3, URL : https://media.neliti.com/media/publications/113733-ID-pertentangan-asas-perundang-undangan-dal.pdf, diakses 8 Desember 2018.
Putu Wulan Sagita Pradnyani, 2018, Analisis Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps Mengenai Pemidanaan Pengguna Narkotika Anak, Jurnal Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana Vol. 07 No. 02, URL : https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/issue/view/2 701 , diakses 11 Juli 2018.
Internet
www.tribunbali.com, “Dua Pemuda Ditangkap di Indekos Muding Kelod Karena Punya Shabu, Satu Lagi di Pinggir Jalan”, Tribun Bali, URL :
http://bali.tribunnews.com/2017/03/08/dua-pemuda-ditangkap-di-indekos-muding-kelod-karena-punya-sabu-satu-lagi-di-pinggir-jalan, diakses pada tanggal 7 Juli 2018.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143).
Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).
Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062).
Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332).
Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).
Discussion and feedback