FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PUTUS OBAT PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KOTA DENPASAR
on
ISSN: 2597-8012
JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.9,SEPTEMBER, 2019
DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PUTUS OBAT PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KOTA DENPASAR
Manik Parmelia1, Dyah Pradnyaparamita Duarsa2, Komang Ayu Kartika Sari2 1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan (DKM KP)
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana;
Email: manikparmelia96@gmail.com
ABSTRAK
Putus obat pada pasien tuberkulosis (TB) paru merupakan salah satu masalah dalam program penganggulangan TB. Ketidaktuntasan pengobatan TB meningkatkan risiko terjadinya multi-drug resistance tuberculosis (MDR-TB). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian putus obat pada pasien TB paru di puskesmas di Kota Denpasar tahun 2012 – 2015. Penelitian ini menggunakan metode kasus kontrol dengan 22 sampel kasus dan 44 sampel kontrol yang didapatkan dengan penelusuran register TB di Dinas Kesehatan Kota Denpasar serta formulir pengobatan TB (TB01) di 11 puskesmas di Kota Denpasar. Dalam penelitian ini keteraturan berobat berhubungan dengan kejadian putus obat TB paru dengan OR = 6,715, 95% IK 1,552 – 29,028 dan P = 0,011. Sedangkan faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, keterjangkauan fasilitas kesehatan, status HIV, dan hasil pemeriksaan dahak awal tidak berhubungan dengan kejadian putus obat TB paru (P>0,05). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa keteraturan berobat merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam mencegah kejadian putus obat TB paru di puskesmas di Kota Denpasar.
Kata kunci: Tuberkulosis paru, putus obat, Puskesmas Kota Denpasar
ABSTRACT
Treatment default among pulmonary tuberculosis (TB) patients is one of the problems in overcoming tuberculosis. Incomplete TB treatment will lead to new problems and increase the risk of multi-drug resistance tuberculosis (MDR-TB). The purpose of this study is to determine the factors associated with treatment default among pulmonary TB patients in public health centers in Denpasar from 2012 to 2015. This is a case control study with 22 cases and 44 controls obtained from TB register in Health Department of Denpasar and TB treatment form (TB01) in 11 public health centers in Denpasar. In this study, treatment compliance was found to be related to pulmonary TB treatment default with OR = 6.715, 95% CI 1.552 – 29.028 and P = 0.011. While factors such as age, gender, level of education, occupational status, accessibility of health facilities, HIV status, and initial sputum examination results were not associated with pulmonary TB treatment default (P>0.05). Thus, it can be concluded that treatment compliance is a crucial factor to be considered to prevent treatment default among pulmonary tuberculosis patients in public health centers in Denpasar.
Keywords: Lung tuberculosis, treatment default, Denpasar Public Health Centers
DOAJ

PENDAHULUAN
Berdasarkan data case notification rate (CNR) yang dimiliki Dinas Kesehatan Provinsi Bali, terdapat 73,91 orang diantara 100.000 penduduk Provinsi Bali yang menderita tuberkulosis dimana Denpasar menduduki peringkat pertama dengan angka tertinggi yaitu 122,05 orang dari 100.000 penduduk Kota Denpasar.1
Tingginya angka morbiditas TB dipengaruhi oleh beberapa hal yang mempersulit upaya pengendalian TB, salah satu diantaranya adalah kejadian putus obat. Kejadian putus obat TB Paru akan menimbulkan masalah baru seperti resistensi obat anti tuberkulosis (OAT).2 Selain itu, ketidaktuntasan pengobatan akan meningkatkan risiko penularan, menurunkan produktivitas, meningkatkan angka kematian, serta meningkatkan angka TB-MDR yang pengobatannya membutuhkan waktu lebih lama untuk diobati dengan jumlah obat yang lebih banyak.3
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Denpasar tahun 2014, dari seluruh kasus baru TB paru di Kota Denpasar, sebanyak 4,6% diantaranya putus obat.
Beberapa penelitian mengenai putus obat TB telah dilakukan di Provinsi Bali namun belum ada yang dilakukan di 11 puskesmas di Kota Denpasar sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama yang banyak menangani kasus TB. Untuk itu, perlu diketahui lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang membuat pasien tidak menuntaskan pengobatannya, sehingga dapat menjadi suatu pertimbangan dalam meningkatkan angka keberhasilan pengobatan TB paru di Indonesia, khususnya di Bali.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol. Penelitian ini bertempat di Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan di 11 puskesmas di Kota Denpasar, Provinsi Bali. Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus hingga September tahun 2017.
Adapun populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien TB paru yang berobat di 11 puskesmas di Kota Denpasar dari tanggal 1 Januari 2012 – 31 Desember 2015.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah simple random sampling.
Sampel kasus pada penelitian ini yaitu pasien putus obat TB paru yang berobat di 11 puskesmas di Kota Denpasar dari tanggal 1 Januari 2012 – 31 Desember 2015 sebanyak 22 orang. Sedangkan, sampel kontrol yaitu pasien TB paru yang tidak putus berobat di 11 puskesmas di Kota Denpasar dari tanggal 1 Januari 2012 – 31 Desember 2015 sebanyak 44 orang.
Kasus dan kontrol didapatkan dari register TB elektronik tahun 2012-2015 di Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan telah memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien TB paru berusia diatas 15 tahun, dalam pengobatan regimen kategori I, dan merupakan pasien TB paru kasus baru.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, keterjangkauan fasilitas kesehatan, keteraturan berobat, hasil pemeriksaan dahak awal, dan status HIV. Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian putus obat pada pasien TB paru.
Data variabel usia, jenis kelamin, keterjangkauan fasilitas kesehatan, status HIV, dan hasil pemeriksaan dahak awal didapatkan dengan penelusuran register TB elektronik Dinas Kesehatan Kota Denpasar serta dokumen TB 01 di 11 puskesmas di Kota Denpasar. Sedangkan, data variabel tingkat pendidikan dan status pekerjaan pasien selama masa pengobatan didapatkan dengan wawancara singkat melalui telepon. Data keterjangkauan fasilitas kesehatan diukur menggunakan aplikasi google maps dengan memasukkan alamat pasien dan alamat puskesmas terkait ke dalam aplikasi kemudian dihitung jarak keduanya.
Data dianalisis secara bivariat dengan uji chi square, dan multivariat dengan regresi logistik metode enter. Variabel-variabel dengan hasil P<0,25 pada analisis bivariat dimasukkan dalam pemodelan regresi logistik.
Penelitian ini telah mendapatkan kelaikan etik dari Komisi Etik Penelitian (KEP) Fakultas Kedokteran Unversitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah pada tanggal 13 Juni 2017, Nomor: 1552/UN.14.2/KEP/2017.
HASIL
Karakteristik responden pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar sampel merupakan pasien berjenis kelamin lelaki (59,1%), berusia diatas 35 tahun (50%), dengan pendidikan menengah hingga tinggi (68,75%), bekerja saat masa pengobatan (72,9%), dekat
DOAJ

Positif 49 74,2
Negatif 17 25,8
dengan fasilitas kesehatan tempat melaksanakan pengobatan OAT (59,1%), teratur selama pengobatan TB paru (62,1%), memiliki hasil tes HIV non reaktif (88,5%), dan dengan hasil pemeriksaan dahak awal positif (74,2%).
Pada variabel tingkat pendidikan dan status pekerjaan terdapat responden yang tidak dapat dihubungi sebanyak 18 responden, begitu pula pada variabel status HIV terdapat beberapa responden yang belum melaksanakan atau menolak pemeriksaan status HIV sebanyak 14 responden sehingga data tidak bisa didapatkan.
Hasil analisis bivariat disajikan pada Tabel 2 dan didapatkan hasil bahwa jenis kelamin dan keteraturan berobat secara statistik berhubungan dengan kejadian putus obat pada pasien TB paru di puskesmas di Kota Denpasar. Sedangkan usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan, keterjangkauan fasilitas kesehatan, status HIV, dan hasil pemeriksaan dahak awal secara statistik tidak berhubungan dengan kejadian putus obat pada pasien TB paru di puskesmas di Kota Denpasar.
Tabel 1. Distribusi faktor sosiodemografi
Variabel |
Jumlah |
Persentase (%) |
Usia (n = 66) | ||
> 35 tahun |
33 |
50 |
≤ 35 tahun Jenis kelamin (n = 66) |
33 |
50 |
Lelaki |
39 |
59,1 |
Perempuan Tingkat pendidikan (n = 48) |
27 |
40,9 |
Rendah (≤ 9 tahun) |
15 |
31,25 |
Menengah – tinggi (>9 tahun) Status pekerjaan (n = 48) |
33 |
68,75 |
Tidak bekerja |
13 |
27,1 |
Bekerja Keterjangkauan fasilitas kesehatan (n = 66) |
35 |
72,9 |
Jauh (> 3 km) |
27 |
40,9 |
Dekat (≤ 3 km) Keteraturan berobat (n = 66) |
39 |
59,1 |
Tidak teratur |
25 |
37,9 |
Teratur Status HIV (n = 52) |
41 |
62,1 |
Reaktif |
6 |
11,5 |
Non-reaktif |
46 |
88,5 |
Hasil pemeriksaan dahak awal (n = 66)
DOAJ

Analisis multivariat pada Tabel 3 menunjukkan bahwa keteraturan berobat merupakan satu-satunya faktor yang berhubungan
dengan kejadian putus obat pada pasien TB paru di puskesmas di Kota Denpasar.
Tabel 2. Analisis hubungan antara faktor sosiodemografi, keterjangkauan fasilitas kesehatan, keteraturan berobat, status HIV, dan hasil pemeriksaan dahak awal dengan kejadian putus obat
Kejadian putus obat
Variabel |
TB paru |
OR |
IK 95% |
P | |||
Putus |
Tidak putus | ||||||
Σ |
% |
Σ |
% | ||||
Usia (n = 66) | |||||||
>35 tahun |
8 |
36,4 |
25 |
56,8 |
0,434 |
0,151 – |
0,117 |
≤35 tahun |
14 |
63,6 |
19 |
43,2 |
1,246 | ||
Jenis kelamin (n = 66) | |||||||
Lelaki |
17 |
77,3 |
22 |
50 |
3,400 |
1,067 – |
0,034 |
perempuan |
5 |
22,7 |
22 |
50 |
10,836 | ||
Tingkat pendidikan (n = 48) | |||||||
Rendah |
6 |
35,3 |
9 |
29 |
1,333 |
0,378 – |
0,654 |
Menengah – tinggi |
11 |
64,7 |
22 |
71 |
4,707 | ||
Status pekerjaan (n = 48) | |||||||
Tidak bekerja |
7 |
41,2 |
6 |
19,4 |
2,917 |
0,784 – |
0,104 |
Bekerja |
10 |
58,8 |
25 |
80,6 |
10,854 | ||
Keterjangkauan fasilitas | |||||||
kesehatan (n = 66) | |||||||
Jauh (>3 km) |
10 |
45,5 |
17 |
38,6 |
1,324 |
0,470 – |
0,595 |
Dekat (≤ 3 km) |
12 |
54,5 |
27 |
61,4 |
3,728 | ||
Keteraturan berobat (n = 66) | |||||||
Tidak teratur |
16 |
72,7 |
9 |
20,5 |
10,370 |
3,154 – |
0,000 |
Teratur |
6 |
27,3 |
35 |
79,5 |
34,100 | ||
Status HIV (n = 52) | |||||||
Reaktif |
2 |
14,3 |
4 |
10,5 |
1,417 |
0,229 – |
0,707 |
Non-reaktif |
12 |
85,7 |
34 |
89,5 |
8,748 | ||
Hasil pemeriksaan dahak awal (n = |
66) | ||||||
Positif |
17 |
77,3 |
32 |
72,7 |
1,275 |
0,385 – |
0,691 |
Negatif |
5 |
22,7 |
12 |
27,3 |
4,223 |
Tabel 3. Analisis multivariat kejadian putus obat TB paru
Variabel |
B OR IK 95% P |
Keteraturan berobat Jenis kelamin Status pekerjaan Usia |
1,904 6,715 1,553 – 29,028 0,011 1,412 4,106 0,882 – 19,110 0,072 1,144 3,139 0,680 – 14,487 0,143 0,315 1,371 0,318 – 5,918 0,673 |
PEMBAHASAN
Keteraturan berobat berhubungan dengan kejadian putus obat TB paru di puskesmas di Kota Denpasar dengan nilai OR = 6,715, IK 95% 1,552 – 29,028 dan P = 0,011. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan di Hong Kong
DOAJ

yang menunjukkan bahwa rendahnya keteraturan berobat pada awal pengobatan merupakan faktor risiko terjadinya putus obat pada pasien TB paru yang melaksanakan program DOTS (OR 117,21,IK 95% 13,52-1015,92).4
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga keteraturan pasien yang menjalankan pengobatan jangka panjang, termasuk pasien TB. Pada beberapa penelitian didapatkan hasil bahwa motivasi untuk sembuh merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam menjaga kepatuhan berobat pasien TB, disusul dengan peran keluarga di posisi kedua dan peran petugas kesehatan dan pengawas minum obat (PMO) di posisi terakhir.6 Selain itu terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa peran PMO berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku berobat pasien TB paru.7
Maka dari itu, untuk menjaga dan meningkatkan kepatuhan serta keteraturan pengobatan OAT pasien TB paru di puskesmas di Kota Denpasar, petugas kesehatan dan PMO sebagai pengawas pengobatan dianjurkan secara konsisten memberikan motivasi dan edukasi kepada pasien agar timbul keinginan untuk menuntaskan pengobatannya.
Berbeda dengan variabel keteraturan berobat, jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian putus obat pada pasien TB paru di puskesmas di Kota Denpasar. Namun, pada analisis bivariat lelaki berisiko 3,4 kali untuk putus obat TB paru dibandingkan dengan perempuan (OR = 3,4 dengan IK 95% 1,067 – 10,836 dan P=0,034). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian-penelitian lain yang menyebutkan bahwa lelaki lebih berisiko putus pengobatan TB.8
Terdapat penelitian di India yang menunjukkan bahwa hasil pengobatan pasien wanita cenderung lebih baik daripada pasien lelaki karena interaksi pemegang program DOTS yang mayoritas adalah wanita terjalin lebih baik pada pasien yang sesama wanita dibandingkan pasien lelaki.9
Walaupun didapatkan kemiripan dimana sebagian besar pemegang program TB di puskesmas di Kota Denpasar merupakan wanita, belum diketahui apakah di puskesmas di Kota Denpasar terdapat juga kaitan antara interaksi pemegang program DOTS dengan hasil pengobatan yang lebih baik pada pasien wanita.
Status pekerjaan dan tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan kejadian putus obat TB paru di puskesmas di Kota Denpasar. Penelitian
Keteraturan berobat juga ditemukan menjadi salah satu hal yang mempengaruhi pasien untuk putus obat pada pengobatan penyakit selain tuberkulosis, yaitu HIV/AIDS.5
ini serupa dengan beberapa penelitian yang menunjukkan tidak adanya hubungan signifikan antara status pekerjaan dan tingkat pendidikan dengan kejadian putus obat TB.10
Usia tidak berhubungan dengan kejadian putus obat TB paru pada penelitian ini. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Riau yang mendapatkan hubungan bermakna antara usia dengan kejadian putus berobat TB paru dimana usia produktif meningkatkan risiko putus obat TB paru sebesar 3,5 kali.11 Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terdapat pada penggolongan usia yang digunakan yaitu usia produktif (15-55 tahun) dan non produktif (diatas 55 tahun).11 Sedangkan pada penelitian ini digunakan batas usia sesuai dengan nilai median usia responden yaitu 35 tahun.
Keterjangkauan fasilitas kesehatan tidak berhubungan dengan kejadian putus obat TB paru di puskesmas di Kota Denpasar. Hasil ini berbeda dengan penelitian di Balai Pengobatan Penyakit Paru di Salatiga yang menunjukkan bahwa jarak merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian putus obat TB paru. Penelitian tersebut menggunakan metode wawancara dengan kuesioner untuk mendapatkan waktu tempuh responden menuju fasilitas kesehatan,12 sedangkan pada penelitian ini digunakan aplikasi untuk mendapatkan jarak rumah pasien menuju fasilitas kesehatan dalam satuan kilometer.
Selain itu, modalitas transportasi juga dapat mempermudah pasien untuk menjangkau fasilitas kesehatan, sedangkan dalam penelitian ini hal tersebut tidak diukur. Sehingga, jarak rumah menuju fasilitas kesehatan yang lebih dari 3 km tidak selalu mencerminkan kesulitan pasien menjangkau fasilitas kesehatan.
Status HIV tidak berhubungan dengan kejadian putus obat pada pasien TB paru di puskesmas di Kota Denpasar. Semua pasien TB paru dengan status HIV positif yang tercatat dalam penelitian ini telah menjalani terapi antiretroviral (ART). Hasil ini serupa dengan penelitian di Afrika Selatan yang tidak menemukan perbedaan signifikan pada angka kejadian putus obat antara pasien TB paru dengan status HIV positif yang menjalani ART (HIV-

positive on ART) dengan pasien TB paru dengan status HIV negatif.13
Namun, dalam penelitian tersebut juga disebutkan bahwa pasien TB paru dengan status HIV positif yang tidak menjalani ART (HIVpositive not on ART) berisiko 2,27 kali untuk putus obat dibandingkan dengan pasien TB paru dengan status HIV positif yang menjalani terapi anti-retroviral (adjusted OR = 2,27; IK 95% 1,15 – 4,47). Hal ini menunjukkan bahwa terapi
antiretroviral dapat mempengaruhi hasil
pengobatan TB paru.13
Hasil pemeriksaan dahak awal juga tidak berhubungan dengan kejadian putus obat TB paru di puskesmas di Kota Denpasar. Terdapat penelitian di Nigeria yang menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan dahak negatif yang menjadi faktor risiko terjadi nya putus obat TB paru (AOR 2,3; IK 95% 1,5-3,6). Namun, belum jelas
diketahui mengapa pasien dengan BTA negatif meningkatkan risiko putus obat TB paru.14
SIMPULAN
Keteraturan berobat berhubungan dengan kejadian putus obat di puskesmas di Kota Denpasar sedangkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, keterjangkauan fasilitas kesehatan, status HIV, dan hasil pemeriksaan dahak awal tidak berhubungan dengan kejadian putus obat di puskesmas di Kota Denpasar.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Dinkes Provinsi Bali. Situasi derajat
kesehatan: morbiditas penyakit menular tuberkulosis. dalam: profil kesehatan Provinsi Bali tahun 2014. 2015. h. 27–8.
-
2. WHO. Global tuberculosis report 2015.
Edisi ke-20. 2015. h. 1-192.
-
3. PDPI. Pedoman penatalaksanaan TB
(konsensus TB). dalam: pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan
tuberkulosis di Indonesia. 2004. h. 1–55.
-
4. Chang KC, Leung CC, Tam CM. Risk
factors for defaulting from antituberculosis treatment under directly observed treatment in Hong Kong. Int J Tuberc Lung Dis. 2004;8(12):1492–8.
-
5. Miller CM, Ketlhapile M, Rybasack-
Smith H, Rosen S. Why are antiretroviral treatment patients lost to follow-up? a
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
qualitative study from South Africa. Trop Med Int Heal. 2010;15:48–54.
Gunawan ARS, Simbolon RL, Fauzia D. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan tuberkulosis paru di lima puskesmas sekota Pekanbaru. J Online Mhs Fak Kedokt Univ Riau. 2017;4(2):1–20.
Pare AL, Amiruddin R, Leida I. Hubungan antara pekerjaan, pmo, pelayanan kesehatan, dukungan keluarga dan diskriminasi dengan perilaku berobat pasien TB paru. 2010;1–13.
Erawatyningsih E, Purwanta, Subekti H. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada penderita tuberkulosis paru. Ber Kedokt Masy. 2009;25(3):117–24.
Mukherjee A, Sarkar A, Saha I, Chowdhury R. Gender differences in notification rates, clinical forms and treatment outcome of tuberculosis patients under the RNTCP. Lung India. 2012;29(2):120.
Bagiada IM, Primasari NLP. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketidakpatuhan penderita tuberkulosis dalam berobat di poliklinik DOTS RSUP sanglah Denpasar. J Penyakit Dalam. 2010;11:158–63.
Khamidah, Susmaneli H. Faktor-faktor yang berhubungan dengan putus berobat pada penderita TB paru BTA positif (+) di wilayah kerja puskesmas harapan raya. J Kesehat Komunitas. 2016;3(2):88–92.
Fauziyah N. Faktor yang berhubungan dengan drop out pengobatan pada penderita TB paru di balai pengobatan penyakit paru-paru (BP4) Salatiga. 2010.
Nglazi MD, Bekker L-G, Wood R, Kaplan R. The impact of HIV status and antiretroviral treatment on TB treatment outcomes of new tuberculosis patients attending co-located TB and ART services in South Africa: a retrospective cohort study. BMC Infect Dis. 2015;15(1):536.
Alobu I, Oshi SN, Oshi DC, Ukwaja KN. Risk factors of treatment default and death among tuberculosis patients in a resourcelimited setting. Asian Pac J Trop Med. 2014;7(12):977–84.
Discussion and feedback