KONTEKS SEDERHANA DAN CEPAT SEBAGAI BAGIAN DARI ASAS TRILOGI PERADILAN DALAM PENGAJUAN PERKARA KUMULASI OBJEKTIF DI PENGADLAN AGAMA
on
KONTEKS SEDERHANA DAN CEPAT SEBAGAI BAGIAN DARI ASAS TRILOGI PERADILAN DALAM PENGAJUAN PERKARA KUMULASI OBJEKTIF DI PENGADLAN
AGAMA
Oleh:
Alberto Rischi Putra Bana* I Gede Artha**
Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Prinsip trilogi peradilan pada penyelesaian perkara kumulasi dipersoalkan dalam aspek perwujudan asas sederhana dan cepat. Permasalahan yang diangkat pada penyusunan jurnal ini adalah pertama, apakah pengajuan gugatan kumulatif objektif dalam proses beracara di pengadilan agama memberikan dampak terhadap asas trilogi peradilan dalam konteks sederhana dan cepat? Kedua, bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan pasca tidak diterimanya salah satu gugatan kumulatif objektif dalam beracara di pengadilan agama? Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui apakah pengajuan gugatan kumulatif objektif dalam proses beracara di pengadilan agama memberikan dampak terhadap asas trilogi peradilan dalam konteks terwujudnya asas sederhana dan cepat serta untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan pasca tidak diterimanya salah satu gugatan kumulatif objektif dalam beracara di pengadilan agama. Metode yang digunakan dalam pembuatan jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif didukung oleh pendekatan perundang-undangan serta analisis dan konseptual. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengajuan perkara kumulasi yang diharapkan dapat mewujudkan asas sederhana dan cepat justru menjadi rumit dan lambat sehingga belum mencerminkan prinsip sederhana dan cepat; dan tidak diterimanya salah satu gugatan kumulasi yang tidak dilengkapi dengan piranti hukum yang jelas akan mengakibatkan ketidakadilan bagi masyarakat dan dilema hakim dalam memutus perkara.
Kata Kunci: Cepat, Sederhana, Kumulasi Objektif, Pengadilan Agama.
Abstract
The principle of the judicial trilogy in the settlement of the cumulation case is questioned in the aspect of the realization of a simple and fast principle. The problem raised in the preparation of this journal is first, whether the submission of objective cumulative claims in the proceedings at the religious court has an impact on the principle of the judicial trilogy in a simple and fast context? Second, how do the legal consequences of post-receipt of one objective cumulative claim in a trial at a religious court? The purpose of writing this journal is to find out whether the objective cumulative claim in the court proceedings has an impact on the principle of the judicial trilogy in the context of the realization of simple and fast principles and to know the legal consequences after not receiving an objective cumulative claim in court proceedings religion. The method used in making this journal is a normative legal research method supported by a legal approach and analysis and conceptual. The results of the study show that the submission of cumulative cases that are expected to be able to realize simple and fast principles actually becomes complicated and slow so that it has not reflected a simple and fast principle; and the failure to accept one of the cumulative claims that is not equipped with legal instruments that clearly will lead to injustice for the community and the judge's dilemma in deciding cases.
Keywords: Fast, Simple, Objective Cumulative, Religious Courts.
Proses penyelesaian perkara secara litigasi merupakan tahap yang paling aman dan di tuntut oleh masyarakat apabila tidak menemukan suatu titik terang dalam menyelesaikan suatu kasus perdata. Lazimnya kasus perdata diselesaikan secara litigasi dan jarang menggunakan poses non litigasi yang dalam hal ini dapat diilustrasikan dengan kasus perceraian yang sering susah dalam
menemukan titik terang dalam permasalahannya.1 Putusnya hubungan perkawinan dapat dilatarbelakangi oleh 3 (tiga) faktor diantaranya meliputi (1) Kematian; (2) Perceraian; dan (3) Atas Putusan Pengadilan seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan menjadi motivasi ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.2 Proses penyelesaian masalah perceraian menjadi sebuah pertimbangan yang kompleks ketika mengidentifikasi materi muatan dari pemohon dan termohon. Salah satu karakter yang tidak dapat dipisahkan dari Permohonan Perceraian adalah jumlah gugatan yang diajukan cenderung lebih dari satu. kasus ini sudah tidak asing lagi dalam kasus perceraian antara suami dan istri yakni perebutan harta bersama, sehingga tidak menutup kemungkinan pengajuan gugatan perceraian langsung digabungkan dengan pembagian harta bersama. Hal ini merupakan kecerobohan dari masyarakat akibat tidak dibuatnya perjanjian perkawinan terkait dengan harta bersama.
Lemahnya kesadaran masyarakat untuk mempertimbangkan kegentingan pembuatan perjanjian perkawinan mengakibatkan penggabungan harta antara pasangan suami istri atau dengan kata lain, semua bentuk unsur kebendaan menjadi harta bersama. Konsep harta bersama dapat diidentifikasi dalam Pasal 119 sampai dengan Pasal 138 Undang-Undang Hukum Perdata. Keberadaan pasal tersebut telah menjadi titik terang atas konsep “harta bersama” yang merupakan harta gabungan antara suami dengan istri setelah perkawinan dilangsungkan. Harta atau kekayaan suami dan istri yang sudah bergabung tidak dapat
ditiadakan maupun di ubah oleh suami istri itu sendiri selama masih terikat dalam perkawinan.3 Sejalan dengan itu penggabungkan gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama seperti yang telah diilustrasikan di atas dapat dikategorikan sebagai permohonan ganda dalam bidang hukum diistilahkan dengan frasa “kumulasi” namun tetap dibatasi pada penilaian subyektif dan obyektif dari gugatan tersebut. Jumlah lebih dari standar yang ditentukan tersebut kemudian dilabelkan dalam sebuah Perkara Kumulasi. Berkenaan dengan konteks Perkara Kumulasi, ilustrasi perceraian dan pembagian harta bersama sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya menjadi sebuah contoh eksistensi dari Perkara Kumulasi yang lazimnya dipraktekan pada tingkatan masyarakat namun hanya sebatas pada kelompok kumulasi obyektif.
Sebagaimana yang telah diuraikan dari kasus diatas Perkara kumulasi/gugatan kumulatif dikelompokan menjadi 2 (dua) macam yakni kumulasi subjektif dan kumulasi objektif. Dalam gugatan subjektif harus lebih dari dua orang dalam hal ini gugatan harus terdapat beberapa penggugat melawan beberapa tergugat, sedangkan kumulasi objektif dalam satu perkara terdapat beberapa gugatan. Pengadilan bertaut pada Prinsip Tri Logi yang mencangkup konsep sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas trilogi peradilan merupakan suatu yang telah diregulasikan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan menjadi patokan bagi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sehingga bisa tercapainya suatu keadilan bagi masyarakat.
Proses beracara di pengadilan agama terkait perkara kumulasi sangat berpengaruh terhadap asas trilogi peradilan
dalam konteks sederhana dan cepat. Perkara yang gugatannya lebih dari satu ini akan menimbulkan permasalahan bagi hakim dalam memutus sebuah perkara kumulasi, dikarenakan masing-masing perkara mempunyai hukumnya sendiri dan beda penyelesaian hukumnya. Dalam penyelesaian perkara kumulasi tentunya ada salah satu gugatan yang diterima ataupun ditolak dan ada juga yang di terima keduanya, hal tersebut yang kemudian mengakibatkan adanya ketidakpuasan antara salah satu pihak baik penggugat maupun tergugat. Dari pernyataan tersebut tidak menutup kemungkinan adanya proses lanjutan yaitu banding dari salah satu pihak yang merasa dirugikan sehingga membuat proses peradilan tidak sesuai dengan asas trilogi peradilan. Berdasarkan hal tersebut penulis melihat ada beberapa masalah dalam pengajuan gugatan kumulatif dalam beracara di pengadilan agama, hal ini tentunya sangat mengganggu dan memberikan dampak kepada asas trilogi peradilan dalam konteks sederhana dan cepat. Selain itu bagaimana akibat yang ditimbulkan pasca tidak diterimanya salah satu gugatan kumulasi dalam hal ini adalah kumulasi objektif dalam proses beracara di pengadilan agama.
-
1. Apakah penggunaan gugatan kumulatif (objektif) dalam proses beracara di pengadilan agama memberikan dampak terhadap terwujudnya asas trilogi peradilan dalam konteks sederhana dan cepat?
-
2. Bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan pasca tidak diterimanya salah satu gugatan kumulatif (objektif) dalam beracara di pengadilan agama?
-
1. Untuk mengetahui dan mengkaji penggunaan gugataan kumulatif objektif dalam proses beracara di pengadilan memberikan dampak terhadap asas trilogi peradilan dalam konteks sederhana dan cepat.
-
2. Untuk mengetahui dan mengkaji akibat yang ditimbulkan pasca tidak diterimanya salah satu gugatan kumulatif objektif dalam proses beracara di pengadilan agama.
II ISI MAKALAH
Menggunakan metode, maka penelitian akan terurai secara jelas, sistematis dan terkontrol sesuai dengan prosedur penelitian hukum yang ada.4 Berdasarkan hal tersebut metode yang digunakan penulis adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang diambil berdasarkan asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah dan perbandingan hukum sesuai dengan pendapat Bambang Sunggono.5 Pendekatan sebagai alternatif pendukung metode yang digunakan pada penyusunan jurnal ini adalah pendekatan perundang-undangan, analisis dan konseptual. Sedangkan sifat penelitian pada jurnal ini adalah eksplanasi monodisipliner.6 Selain itu penulis juga menggunakan studi pustaka yakni bahan hukum primer seperti undang-undang dasar, bahan hukum sekunder seperti buku-buku hukum.7
Penyelesaian perkara di pengadilan agama terdapat beberapa perkara yang bisa dilakukan penggabungan, contohnya adalah perkara kumulasi atau samenvoging van vondering. Dalam aturan hukum yang berlaku saat ini tidak mengatur mengenai penggabungan gugatan kumulasi terutama dalam HIR, RBG dan Rv, dalam hal ini belum ditemukan substansi terkait penyelesaian bagi perkara kumulasi tersebut terkecuali dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 86 ayat (1) yang mengatur terkait kumulasi gugatan.8 Gugatan kumulasi di bagi menjadi 2 jenis yaitu pertama, kumulasi subjektif, berfokus pada subjeknya/orang yang berhak melakukan perbuatan hukum dalam hal ini adalah para pihak yang terkait harus lebih dari satu baik penggugat maupun tergugat, maksud dari “lebih dari satu pihak” disini adalah beberapa penggungat melawan beberapa orang tergugat.9 Kedua, Kumulasi objektif, berfokus pada objeknya dalam hal ini adalah gugatannya. Contonya: kasus peceraian yang digabung dengan pembagian harta bersama.10
Penggabungan gugatan dapat memberikan manfaat dan tujuan dalam proses beracara di pengadilan yaitu pertama, dapat mewujudkan asas trilogi peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Perkara koneksitas yang dilakukan dalam satu proses peradilan dapat mempermudah jalannya suatu proses persidangan namun apabila diselesaikan secara terpisah perkara-perkaranya
maka asas trilogi peradilan tidak akan berlaku. Kedua, dapat menghindari putusan yang saling bertentangan, dikarenakan penyelesaian dalam proses yang tunggal, dan diputus oleh hanya seorang majelis maka terjadinya putusan yang saling bertentangan dapat terhindar.11
Berdasarkan uraian tersebut maka ada syarat-syarat pokok penggabungan gugatan yang perlu diperhatikan yakni pertama, terdapat suatu hubungan hukum, dalam hal ini adanya suatu hubungan hukum antara para penggugat ataupun para tergugat. Kedua, terdapat suatu hubungan yang erat, maksudnya hubungan erat disini adalah gugatan yang digabung tersebut harus mempunyai hubungan batin.12 Pada umumnya dalam proses beracara di pengadilan dikenal asas trilogi peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan, asas ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Sederhana, berarti dalam proses beracaranya harus jelas, benar-benar dapat dipahami dan terutama tidak berbelit-belit. Semakin sedikit peraturan yang digunakan maka semakin mudah untuk dipahami oleh masyarakat. Cepat, berarti proses beracaranya tidak berlarut-larut dan tidak menimbulkan konflik baru antara para pihak yang berperkara. Biaya ringan, berarti biaya yang dikenakan sesuai dengan kemampuan dan pendapatan masyarakat.13
Penyelesaian perkara yang berbelit-belit, dan berlarut-larut mengakibatkan terhambatnya proses beracara sehingga dalam proses beracara salah satu hal yang dituntut oleh publik adalah mereka harus memperoleh sebuah kemudahan yang didukung dengan sistem, dalam hal ini proses acara yang berbelit-belit dan
berlarut-larut akan membuat masyarakat akan semakin frustrasi terlebih terhadap pihak yang berperkara, sehingga hal tersebut menimbulkan suatu ketidakadilan secara universal.14
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, apakah penyertaan perkara kumulasi memberikan dampak terhadap asas trilogi peradilan dalam konteks sederhana dan cepat atau tidak?, berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya baik itu terkait asas trilogi peradilan maupun perkara kumulasi apabila kita lihat secara teori pemberlakuan gugatan kumulatif ini dapat membuat penyelesaian perkara di pengadilan menjadi lebih sederhana dan cepat, namun faktanya tidak demikian dalam kumulasi perkara perceraian yang dikumulasikan dengan permohonan pembagian harta bersama biasanya menimbulkan dampak yang tidak sesuai dengan aturan, sehingga menimbulkan proses beracara yang kemudian berlarut-larut, hal ini dapat kita lihat dalam proses beracaranya terutama dalam pembuktiannya.
Proses penyelesaian perkara pembagian harta bersama, seringkali terjadi hambatan dalam proses pembuktiannya dalam hal ini terdapat pada objek sengketanya, objek sengketa yang dimaksud di sini adalah harta bersama yang kemudian diperebutkan. Biasanya dalam penyelesaian perkara pembagian harta bersama terjadi kesulitan dikarenakan adanya pihak ketiga dalam hal ini terjadinya kecurangan antara salah satu pihak dengan cara mengalihkan atau menjual harta bersama tersebut kepada pihak ketiga untuk keuntungan individual, sehingga demikian tidak menutup kemungkinan perkara perceraian yang kemudian di kumulasikan dengan harta bersama bisa berlarut-larut dari tingkat pertama, banding, kasasi, dan tidak menutup
kemungkinan bisa sampai tingkat peninjauan kembali. Dalam penyelesaian perkara di pengadilan apabila dihitung berdasarkan cepatnya suatu penyelesaian perkara maka pada tingkat pertama penyelesaiannya kira-kira mencapai dua bulan, sedangkan dalam tingkat banding kira-kira empat bulan dan pada tingkat kasasi kira-kira bisa mencapai satu tahun, apabila dijumlahkan total dari keseluruhan bisa mencapai-kira-kira satu setengah tahun. Dalam penghitungan ini dilakukan pada perkara tunggal yang proses beracaranya normal dan tidak dicampuri pihak ketiga, namun apabila perkara tersebut kemudian dikumulasikan dengan perkara lain dan dicampuri oleh pihak ketiga maka proses tersebut sudah tidak sederhana dan cepat dan bagi para pihak akan menunggu sangat lama dikarenakan proses persidangan yang lama dan berbelit-belit. Dikarenakan hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi para pihak yang berperkara untuk melakukan perbuatan yang menyimpang, contohnya nikah bawah tangan dikarenakan ingin terpenuhinya kebutuhan biologis, yang mana hal tersebut terjadi akibat para pihak yang nikah bawah tangan tidak bisa langsung melakukan perkawinan akibat masih menunggu lamanya proses perceraian yang berbelit-belit dikarenakan masih menunggu selesainya proses persidangan untuk pembagian harta bersama.15
Terhambatnya proses pembuktian harta bersama maka hal ini tentunya berpengaruh terhadap proses perceraian dikarenakan perkara perceraian tidak dapat diselesaikan apabila pembagian harta bersama belum selesai, sehingga dapat disimpulkan dengan menggabungkan kedua perkara tersebut menimbulkan hambatan dan ketidakadilan bagi masyarakat, yang mana proses yang
seharusnya sederhana tidak berbelit-belit dan cepat kemudian menjadi lama dan terhambat dikarenakan perkara yang kemudian di kumulasikan. Dalam penyelesaian perkara kumulasi semua tergantung pada individu yang berperkara dan pada masing-masing situasi permasalahan yang dihadapi pihak berperkara tersebut, dalam perkara perceraian dan pembagian harta bersama, ketika perkara ini diselesaikan sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku dan antara pihak yang berperkara sudah saling sepakat dan tidak kontra dalam proses beracaranya maka dapat dimungkinkan tercapainya proses acara yang sederhana dan cepat.
-
2.2.2 Akibat yang Ditimbulkan Pasca Tidak Diterimanya Salah Satu Gugatan Kumulatif Objektif dalam Proses Beracara di Pengadilan Agama.
Penyelesaian perkara yang berbelit-belit dan waktu lama tentunya tidak sesuai dengan asas peradilan yang sederhana dan cepat, sehingga penyelesaiannya bisa melewati waktu yang lama dan dapat menimbulkan ketidakpuasan dalam berperkara di pengadilan, sehingga penyelesaiannya tidak hanya berakhir di pengadilan tingkat pertama tapi juga bisa sampai ke tingkat banding, kasasi dan tidak menutup kemungkinan sampai pada tahap peninjauan kembali. Dalam proses penyelesaian perkara kumulasi, sistemnya sama dengan penyelesaian perkara perdata biasa seperti yang tertera dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, namun ada penambahan dalam proses beracaranya yakni:16
-
1. Proses perdamaian antara kedua belah pihak dan mediasi sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
-
2. Setelah tidak berhasil proses mediasi maka akan dilanjutkan ke tahap pembacaan surat gugatan untuk perkara pokok.
-
3. Setelah pembacaan surat gugatan perkara pokok, dilanjutkan dengan tanggapan tergugat atas gugatan yang diberikan serta dilanjutkan dengan replik dan duplik dari pihak yang berperkara sampai mencapai titik terang.
-
4. Setelah tahapan replik dan duplik, dilanjutkan ke tahap pembuktian, yang mana antara pihak tergugat dan penggugat dapat memberikan alat bukti yang selengkap-lengkapnya.
-
5. Setelah tahapan ini proses untuk gugatan pokok berakhir, dan dilanjutkan ke gugatan accesoir/tambahan dengan penyelesaian yang sama seperti tahap sebelumnya hingga sampai pada tahap pembuktian.
-
6. Tahap terakhir adalah tahap kesimpulan, atas gugatan pokok dan gugatan accesoir dengan dilakukan rapat musyawarah antara para majelis hakim setelah itu pembacaan putusan oleh majelis sesuai dengan pertimbangan rapat musyawarah tersebut.
Dalam proses di persidangan putusan yang disampaikan hakim ada yang merugikan salah satu pihak dan ada juga yang menguntungkan salah satu pihak, namun putusan tersebut diberikan bukan untuk membela siapapun tapi putusan tersebut telah diberikan sesuai dengan pertimbangan penuh dan sesuai dengan hukum positif yang ada di indonesia, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan upaya hukum terhadap putusan di pengadilan tingkat pertama.
Upaya hukum merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh pihak atau badan hukum yang tidak puas pada putusan hakim pada tingkat pertama yang mana merasa bahwa putusan tersebut tidak sesuai dengan yang diinginkan dan tidak memenuhi rasa keadilan.17 Dalam upaya hukum dikenal berbagai macam tingkatan yakni tingkat banding, kasasi serta peninjauan kembali. Sesuai yang telah diuraikan sebelumnya dalam perkara kumulasi (objektif) yang diperiksa terlebih dahulu adalah gugatan perceraian, setelah itu baru gugatan pembagian harta bersama, hal tersebut sesuai dengan prinsip hukum acara perdata yang mana gugatan perceraian merupakan gugatan pokok sedangkan gugatan pembagian harta bersama merupakan gugatan tambahan (accesoir), gugatan accesoir ini merupakan tambahan dari gugatan pokok bisa dibilang untuk melengkapi gugatan pokok.18
Gugatan accesoir merupakan gugatan tambahan terhadap gugatan pokok yang mana tujuan dari gugatan accesoir ini adalah untuk melengkapi gugatan pokok itu sendiri sehingga mempermudah para pihak yang berperkara dalam menyelesaikan perkara di muka pengadilan. Gugatan accesoir ini bisa dibilang tidak dapat berdiri sendiri sehingga hanya bisa ditempatkan bersama dengan gugatan pokok, keberadaan dari gugatan accesoir ini sangat ketergantungan dengan gugatan pokok, sehingga apabila gugatan pokok tidak diterima maka gugatan accesoir juga tidak dapat di terima. Adapun syarat dalam mengajukan gugatan accesoir yakni:
-
a. Gugatan pokok dan gugatan tambahan tidak boleh saling bertantangan.
-
b. Gugatan pokok dan gugatan tambahan harus saling berkaitan.
-
c. Gugatan pokok dan tambahan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, gugatan accesoir
merupakan gugatan yang tidak dapat berdiri sendiri sehingga harus ditempatkan dalam gugatan pokok, jadi apabila salah satu gugatan kumulasi objektif tidak diterima maka ada 2 (dua) kemungkinan yang dapat terjadi dalam proses beracara di pengadilan agama:
-
1. Apabila gugatan perceraian yang merupakan gugatan pokok tidak diterima maka gugatan pembagian harta bersama dalam hal ini gugatan accesoir juga tidak dapat diterima/diproses lebih lanjut.
-
2. Apabila gugatan perceraian yang merupakan gugatan pokok diterima maka gugatan pembagian harta bersama juga dapat diterima dan dapat diproses lebih lanjut.
Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa penerapan gugatan kumulasi dalam proses beracara di pengadilan agama sangat tidak efektif. Dengan tidak diterimanya salah satu gugatan dapat mengakibatkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat maupun pihak yang berperkara, sehingga terjadi kebimbangan dari hakim dalam menjalankan proses beracara bagi perkara kumulasi tersebut. Apakah gugatannya dilaksanakan dalam sekali proses persidangan agar terpenuhinya asas trilogi peradilan itu sendiri dalam konteks sederhana dan cepat, dan menghindari putusan yang bertantangan ataukah dilaksanakan secara terpisah yang kemudian dapat mengakibatkan terjadinya putusan yang saling bertantangan.
-
III. PENUTUP
-
1. Pengajuan perkara kumulasi dilakukan agar mewujudkan asas sederhana dan cepat dan dapat menghindari putusan yang saling bertantangan namun dalam prakteknya penyertaan perkara komulasi mengakibatan proses beracara menjadi rumit dan lambat hal tersebut terjadi akibat (1) perbedaan tata penyelesaian/beda peraturan hukum, sehingga dalam proses penyelesaiannya harus diselesaikan dalam 2 tahap. (2) minim alat bukti yang dihadirkan tergugat sehingga proses pembuktian sangat rumit. (3) perkara percseraian tidak akan mendapat putusan apabila dalam perkara pembagian harta bersama belum selesai prosesnya. (4) objek sengketa yang kemudian dijual oleh tergugat.
-
2. Gugatan accesoir yang merupakan gugatan tambahan tidak dapat dipisahkan dari gugatan pokok, sebab dengan tidak diterimanya salah satu gugatan dapat mengakibatkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat maupun pihak yang berperkara, sehingga terjadi kebimbangan dari hakim dalam menjalankan proses beracara bagi perkara komulasi tersebut.
-
1. Bagi pembentuk peraturan perundang-undangan, hendaknya diformulasikan aturan khusus terkait dengan gugatan kumulasi agar hakim tidak hanya berpatokan pada asas sederhana, cepat dan pada UUPeradilan Agama.
-
2. Bagi para pencari keadilan di lingkungan peradilan agama sebaiknya menghindari gugatan secara kumulasi karena memerlukan waktu yang lama dalam proses peradilan sebaiknya dihindari dikarenakan memakan waktu yang lama dan tidak sederhana.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Asikin, Zainal. 2013. “Hukum Acara Perdata Di Indonesia”. Mataram: Prenadamedia Group.
Anwar, Yesmil dan Adang. 2009. “Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, Dan Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia”. Bandung: Widya Padjadjaran.
Dirdjosisworo, Soedjono. 1983. “Pengantar Ilmu Hukum”. Bandung: Rajawali Pers.
Djamali, Abdoel. 1983. “Pengantar Hukum Indonesia”. Bandung: Rajawali Pers.
Jono. 2007. “Hukum Kepailitan”. Tangerang: Sinar Grafika.
Susanti, Diyah Ochtorina dan A’an Efendi. 2012. “Penelitian Hukum, Legal Research”. Surabaya: Sinar Grafika.
Sunggono, Bambang. 1996. “Metodologi Penelitian Hukum”.
Jember: Rajawali Pers.
Jurnal:
Ali, Moh. “Menakar Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Pengajuan Gugatan Komulasi di Pengadilan Agama”. Jurnal Hukum Acara Perdata. Universitas Tanjung Pura. Vol. 03. No. 02. 2017.
Daud, Mohd Kalam dan Ridha Saputra. 2017. “Problematika Penyelesaian Perkara Komulasi Gugatan Perceraian dan Harta Bersama”. Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam. Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry. Vol. 01. No. 02. 2017.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 1970 yang Telah Dicetak Ulang.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3050.
Discussion and feedback