TINJAUAN YURIDIS EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA
on
TINJAUAN YURIDIS EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA
Oleh:
Ni Gusti Ayu Agung Febry Dhamayanti* Made Nurmawati**
Progam Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Pandangan masyarakat yang sangat tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga medis sering menjadi bahan perdebatan seiring dengan perkembangan penemuan teknologi dibidang kedokteran. Tindakan medis yang sering mendapat sorotan yakni euthanasia. Beberapa pihak ada yang mendukung tindakan ini atas alasan bahwa hidup atau mati seseorang merupakan HAM, namun pihak yang menolak tindakan ini beralasan bahwa tindakan euthanasia merupakan tindakan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Pengaturan mengenai euthanasia di Indonesia sampai saat ini belum diatur dalam KUHP maupun dalam UU Kesehatan. Kekosongan norma inilah, penulis ingin lebih memahami pengaturan mengenai tindakan euthanasia dan pertanggungjawaban pidana tenaga medis terhadap tindakan euthanasia. Penulisan ini menggunakan jenis penelitian normatif. Berdasarkan hasil penelitian, dalam praktiknya saat ini di Indonesia ada beberapa pasal dalam KUHP yang sering dikaitkan dengan masalah euthanasia, yakni Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359 KUHP. Belum adanya pengaturan mengenai tindakan euthanasia menyebabkan pertanggungjawaban yang melekat pada tenaga medis adalah tanggungjawab pidana, etis, dan profesi. Kesimpulan yang dapat diambil yakni belum adanya pengaturan secara yuridis mengenai euthanasia dan terdapat tiga jenis pertanggungjawaban yang melekat pada tenaga medis. Berangkat dari permasalahan inilah maka perlu dibuatkan suatu produk hukum yang mengatur tentang euthanasia dan mencari alternatif agar euthanasia tidak dijadikan alternatif bagi rakyat yang kurang mampu dalam biaya kesehatan.Berangkat dari permasalahan inilah maka perlu dibuatkan suatu produk hukum yang mengatur tentang euthanasia.
Kata kunci: euthanasia, pengaturan euthanasia,
pertanggungjawaban tenaga medis
ABSTRACT
Public view of health services nowadays are become more intent and frequently disputed along with the development of medical discoveries in the medical field. One of medical behaviours that getting more attention most of the time is euthanasiawhich is one of a person’s death process. There are some parties who support this behaviour because they believed that a person’s life or death is one of human rights, while the others who resist stated that euthanasia is an act of murder that causes someone dies. The regulation of euthanasia in Indonesia has not been regulated specifically in Criminal Code nor Health Act which makes there is no limitation on the practice of euthanasia.Due to no law controlling this norm, the writer wishes a better understanding concerning on the regulation of euthanasia and criminal liability of medical personnel on the practice of euthanasia in Indonesia. The writer used normative research method, also legislation and conceptual approaches by reviewing primary, secondary, and tertiary legal materials.Based on the research, there are several articles in Criminal Code which are frequently related to the practice of euthanasia in Indonesia i.e. Articles 344, 338, 340, 345, and 359 of Criminal Code on crimes against someone’s life that can be charged with Articles 48, 49, 50, and 51 of Criminal Code. The unclear
regulation of euthanasia causes inherent responsibility of medical personnel becomes criminal, ethical, and profession liability toward all medical behaviours which is conducted on the patient. Regarding to this issue, it would be necessary to create a legal product that regulates the practice of euthanasia in order to protect the rights of medical personnel in seeking legal certainty.
Keywords: euthanasia, euthanasia arrangement,
responsibility of medical personnel
Perkembangan teknologi dalam bidang kedokteran menyebabkan berbagai penemuan – penemuan baru yang semakin mendukung kehidupan masyarakat. Salah satu teknologi dalam bidang kedokteran yang berhubungan erat dengan hak untuk hidup seseorang yang akhir – akhir ini yang masih banyak diperdebatkan yakni tindakan euthanasia.Euthanasia berasal dari bahasa Yunani “Euthanatos” yang berarti mati dengan baik tanpa adanya penderitaan. Euthanasia berasal dari dua kata yakni kata “eu” yang berarti baik, dan “thanatos” yang berarti mati. Euthanasia juga dapa diartikan sebagai praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dengan memberikan suntikan yang mematikan.1
Secara garis besar dari cara dilakukannya, euthanasia dibagi menjadi dua kelompok yakni euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Menurut Kartono Muhammad, euthanasia aktif terjadi jika masih terdapat tanda – tanda kehidupan pada pasien ketika tindakan euthanasia dilakukan. Tindakan yang dimaksud dalam hal ini yakni mempercepat kematian seseorang dengan memberi suntikan atau melepaskan alat – alat bantu yang dipergunakan oleh pasien. Sedangkan euthanasia pasif, yakni tindakan yang dilakukan baik atas permintaan pasien sendiri maupun keluarga pasien untuk secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan alat – alat yang dapat memperpanjang hidup pasien.
Beberapa pro kontra muncul dalam permasalahan euthanasia. Ada yang beranggapan bahwa tindakan euthanasia merupakan tindakan bunuh diri atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang yang mana hal ini dilarang oleh agama manapun dan melanggar hukum. Ikatan Dokter Indonesia (IKI) juga menentang tindakan euthanasia kepada pasien dengan alasan apapun. Jika tindakan euthanasia dilakukan karena alasan ekonomi, Ikatan Dokter Indonesia (IKI) merekomendasikan kepada pemerintah untuk membantu meringankan setiap beban pengobatan bagi setiap keluarga pasien. Beberapa pihak menyetujui tindakan euthanasia karena beranggapan bahwa tindakan euthanasia merupakan suatu tindakan yang sejajar kedudukannya dengan hak seseorang untuk hidup, apalagi jika tindakan euthanasia adalah tindakan yang diinginkan sendiri oleh pemohon euthanasia atau pasien.
Tindakan euthanasia belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang - undangan. Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) hanya mengatur secara eksplisit tindakan euthanasia atas permintaan sendiri oleh pemohon euthanasia atau pasien. Pasal 338, 340,
-
345, dan 359 KUHP juga sering dihubungkan dengan tindakan euthanasia, meskipun pasal – pasal tersebut belum memberikan batasan yang tegas mengenai pengaturan euthanasia ini.
Berdasarkan hal tersebut maka jurnal ilmiah ini berjudul “TINJAUAN YURIDIS EUTHANASIA DARI ASPEK HUKUM PIDANA”.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, rumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut :
-
1. Bagaimana pengaturan mengenai tindakan euthanasia di Indonesia ?
-
2. Bagaimana pertanggungjawaban tenaga medis terhadap tindakan euthanasia di Indonesia ?
Tujuan penulisan jurnal ilmiah ini dimaksudkan untuk lebih memahami pengaturan mengenai tindakan euthanasia di Indonesia dan pertanggungjawaban pidana tenaga medis terhadap tindakan euthanasia di Indonesia.
-
II. Isi Makalah
-
2.1. Metode Penelitian
-
2.1.1. Jenis Penelitian
-
-
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ini adalah jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder.2
Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan pendekatan perundang – undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan yang digunakan pertama adalah jenis pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang merupakan pendekatan yang menggunakan legislasi dan regulasi3 yang dalam hal ini penulis menelaah isi dari KUHP, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesetahan), dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran). Selanjutnya yang kedua dengan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Pendekatan konseptual merupakan pendekatan yanng digunakan untuk memahami dan menemukan konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan tindak pidana euthanasia.
Berikut bahan hukum yang dipergunakan dalam jurnal ilmiah ini yaitu :
-
1. Bahan hukum primer yang terdiri atas peraturan perundang – undangan yaitu Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
-
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan – bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, adalah rancangan peraturan perundang – undangan, hasil karya ilmiah para sarjana, dan hasil – hasil penelitian.
-
3. Bahan hukum tensier, yaitu bahan hukum yang memberikan informasi mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jurnal yang menggunakan penelitian hukum normatif, yaitu dengan cara mengumpulkan sumber data sekunder di bidang hukum yang dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya, kemudian mengkaji dan melakukan penafsiran hukum terhadap peraturan perundang – undangan. Dengan mengumpulkan pembahasan dalam buku – buku yang berkaitan dengan permasalahan yang sudah diteliti untuk kemudian dikutip bagian – bagian yang penting, serta menyusunnya secara sistematis.
Pada metode penelitian normatif digunakan berbagai bahan – bahan kepustakaan yang sesuai dengan permasalahan hukum yang sedang diteliti. Kerangka acuan tersebut pada penelitian kepustakaan dapat dipergunakan sebagai kerangka konsepsional. Adapun tahapannya terdiri atas, merumuskan pengertian hukum serta kaidah – kaidah hukum, dan pembentukan standar – standar hukum.
Secara yuridis euthanasia belum diatur dalam hukum positif di Indonesia termasuk dalam UU Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran, sehingga belum ada batasan yang jelas yang mengatur mengenai tindakan euthanasia. Terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang sering dikaitkan dengan masalah euthanasia ini, salah satunya yakni Pasal 344 KUHP yang menyatakan bahwa “barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun.” Rumusan pasal ini menyatakan bahwa siapapun termasuk pasien itu sendiri yang menghilangkan nyawa seseorang dianggap sebagai suatu kejahatan dan diancam pidana. Rumusan pasal ini menentang adanya euthanasia aktif.
Melihat bahwa ancaman hukuman penjara yang dikenakan paling lama duabelas tahun dan dibandingkan dengan alasan bahwa tindakan euthanasia dilakukan karena alasan untuk menghilangkan penderitaan pasien dan keluarga pasien karena kemungkinan pasien untuk dapat sembuh sangat kecil, tentunya memberikan situasi yang memberikan pilihan yang berbeda antara
mempertahankan hidup seseorang dengan memperpanjang penderitaan atau mempercepat kematian untuk menghilangkan penderitaan.
Selain Pasal 344 KUHP, masalah euthanasia juga
dihubungkan dengan Pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP. Pasal 338 KUHP mengatur mengenai kejahatan terhadap nyawa
seseorang yang dilakukan secara sengaja, Pasal 340 KUHP mengatur mengenai kejatahan terhadap nyawa seseorang dengan cara membunuh yang direncanakan, Pasal 345 KUHP mengatur mengenai kejahatan terhadap nyawa seseorang dengan menganjurkan atau membantu kepada orang lain untuk bunuh diri dan Pasal 359 KUHP yang mengatur kejahatan terhadap nyawa seseorang yang terjadi karena kealpaan. Meskipun keempat pasal – pasal tersebut sering dikaitkan dengan tindakan
euthanasia, namun keempat pasal – pasal tersebut juga masih belum bisa memberikan batasan yang jelas mengenai euthanasia. 2.2.2. Pertanggungjawaban Tenaga Medis Terhadap Tindakan
Euthanasia Di Indonesia
Tanggungajwab tenaga medis di bidang hukum khususnya dalam hukum pidana diatur dalam KUHP sebagai suatu ketentuan yang bersifat umum dan/atau peraturan perundang-undangan lain sebagai ketentuan khusus4. Perbedaan mendasar antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medis terletak pada fokus tindak pidana tersebut. Fokus tindak pidana biasa terletak pada akibat dari tindak pidana, sedangkan dalam tindak pidana medis fokus utamanya terletak pada sebab/kausa dari tindak pidana. Tindak pidana medis pertanggungjawaban pidananya haruslah dapat dibuktikan tentang adanya kesalahan profesional yang dilakukan tenaga medis.
Penjatuhan sanksi dalam hukum pidana dapat dilakukan apabila terbukti telah memenuhi tiga unsur penjatuhan pidana yakni5 :
-
a) . Adanya kemampuan untuk bertanggung jawab
-
b) . Kesalahan
-
c) . Tidak adanya alasan pemaaf
Perkara euthanasia memang belum diatur secara khusus baik dalam UU Kesehatan, dan UU Praktik Kedokteran. Namun selama ini pasal yang paling mendekati adalah Pasal 344 KUHP yang secara eksplisit melarang adanya euthanasia aktif. Euthanasia aktif dapat dikategorikan sebagai malpraktik medis yang dilakukan secara sengaja atau dapat dikatakan sebagai malpraktik medis Kriminal.6
Siapapun yang menghilangkan nyawa seseorang dalam situasi apapun tanpa hak yang dimilikinya, kecuali ia dibenarkan oleh undang – undang dianggap sebagai suatu kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Meskipun dalam suatu perkara pasien sendirilah yang meminta untuk dilakukannya tindakan euthanasia, maka tenaga medis yang bersangkuan dapat dikenakan sanksi pidana.
Melihat Pasal 9 Bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajiban dokter untuk melindungi setiap orang. Hal ini berarti, bahwa seorang dokter tidak boleh mengakhiri hidup seseorang yang sedang sakit, meskipun dalam hal ini kemungkinan untuk dapat sembuh atau pulih sangat kecil. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan
dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hypocrates secara jelas menyatakan bahwa “saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya”.Pertanggungjawaban yang melekat pada tenaga medis apabila terjadi tindakan euthanasia adalah tanggungjawab pidana, etis dan profesi.
Melihat Pasal 344 KUHP sebagai ancaman terhadap tindakan euthanasia, maka hal yang sulit dibuktikan adalah unsur apakah tindakan euthanasia tersebut merupakan permintaan sendiri oleh pasien yang dinyatakan dengan kesungguhan hati si pasien. Sangatlah tidak mungkin membuktikan bahwa orang yang menyatakan dengan kesungguhan hati tersebut telah tidak mampu untuk berkomunikasi apalagi telah meninggal dunia. Alternatif lain jika perkara euthanasia tidak memenuhi unsur – unsur sebagaimana rumusan Pasal 344 KUHP maka tenaga medis yang bersangkutan dapat diancam dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa.
Salah satu pandangan tentang euthanasia yakni dikemukakan oleh Indriyatno Seno Aji yang menyatakan bahwa hakim bisa saja mengeluarkan penetapan perkara euthanasia berdasarkan doktrin – doktrin sarjana hukum dan persyaratan medis yang bersifat limitatif. Memang ada alasan pembenar atas perbuatan euthanasia, namun harus dipandang secara kasuistis dan bersifat limitatif. Perbuatan euthanasia yang dilakukan atas bantuan dokter dapat dibenarkan dengan peniadaan sifat melawan hukum materiil dengan berdasarkan pada hukum
negatif. Doktrin ini dibernarkan di Belanda, dengan persyaratan limitatif yang akhirnya dibuatlah undang-undang euthanasia.7
Di Indonesia ada kecenderungan yang mengartikan beberapa bentuk pengakhiran hidup yang menyerupai tindakan euthanasia sebagai suatu tindakan euthanasia, yang pada dasarnya tindakan ini tidak boleh diartikan sebagai suatu tindakan euthanasia. Fred Ameln selaku Wakil Ketua Perhimpunan Hukum Kedokteran Indonesia, dalam makalahnya pada Kongres I Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 8 – 9 Agustus 1986 bertempat di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan judul “Berbagi Kecenderungan Dalam Hukum Kedokteran di Indonesia”, bentuk – bentuk semu euthanasia tersebut yakni8 :
-
a) . Mati otak dan mengakhiri pengobatan
-
b) . Menghentikan pengobatan yang tidak ada gunanya
-
c) . Menolak perawatan medis atau pengobatan
Indonesia menganut asas legalitas, namun salah satu kelemahan belum adanya pengaturan yang jelas dan tegas mengenai tindakan euthanasia. Hal ini tentunya akan menjadi tuntutan tersendiri bagi tenaga medis ketika harus berurusan dengan tindakan euthanasia.
-
III. PENUTUP
-
3.1 Kesimpulan
-
3.1.1 Secara yuridis euthanasia memang belum diatur dalam hukum positif di Indonesia termasuk dalam UU Kesehatan,
-
dan UU Praktik Kedokteran, sehingga belum ada batasan yang jelas yang mengatur mengenai tindakan euthanasia. Pasal 344, Pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa sering dikaitkan dengan tindakan euthanasia yang dapat dijerat dengan Pasal 48, 49, 50 dan 51 KUHP.
3.2.1 Pertanggungjawaban yang melekat pada tenaga medis adalah tanggungjawab pidana, etis, dan profesi terhadap segala bentuk tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien.
3.2 Saran
Pemerintah agar segera membuatkan produk hukum yang mengatur tindakan euthanasia yang telah disesuaikan dengan kebutuhan – kebutuhan dan perkembangan yang ada pada saat ini. Hal ini juga dimaksudkan untuk melindungi hak – hak tenaga medis agar lebih mendapatkan kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Amiruddin, 2004, Pengantar Metode dan Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
M. Achadiat, 2007, Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman, Sinar Grafika, Jakarta; h. 189
Mariyanti, Ninik; 1988, Malapraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, PT Bina Aksara, Jakarta
Ohoiwutun, Triana; 2007, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayumedia Publishing
Petter Mahmud Marzuki, 2015, Penelitian Hukum, Prenamedia Group, Jakarta
Sujiyatini dan Nilda Synta, 2011, Etika Profesi Kebidanan, Rohima
Press, Yogyakarta
Sutarno, 2014, Hukum Kesehatan, Euthanasia, Keadilan Dan
Hukum Positif Di Indonesia, Setara Press
Tongat; 2009, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam
Perspektif Pembaharuan, UMM Press
JURNAL
Tjahjaningtyas, Supriati, 1986,”Euthanasia Ditinjau dari Hukum Pidana
Yang Berlaku di Indonesia ”, Milik Perpustakaan Universitas Airlangga Surabaya.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009
tentang Kesehatan
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran
INTERNET
Minggu, 24 Oktober 2004, “Euthanasia Dimungkinkan dengan Syarat Limitatif”, URL :
https://m.hukumonline.com/berita/baca/hol11434/euthanasia -dimungkinkan-dengan-syarat-limitatif. Diakses tanggal 4 Maret 2017
13
Discussion and feedback