IMPLEMENTASI ASAS PRADUGA TAK BERSALAH OLEH PENGGUNA MEDIA SOSIAL DALAM PEMBERITAAN PIDANA DI MEDIA SOSIAL

Satria Fajar Putra Dipayana* I Gede Artha**

Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Asas praduga tak bersalah disebut sebagai asas umum hukum acara. Namun dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya di media sosial banyak dari kalangan pengguna media sosial melakukan pelanggaran penghormatan pada asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan pidana. Hal tersebut, dapat dilihat dalam berita dan komentar pengguna media sosial yang berisi penghakiman serta tuduhan terhadap tersangka/terdakwa yang belum mendapatkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht van geweiside). Tulisan ilmiah ini mendapat permasalahan terkait, Bagaimanakah penerapan Asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan pidana di media sosial dan faktor apa saja yang mempengaruhi pelanggaran terhadap asas tersebut oleh pengguna media sosial. Tujuan penulisan ini adalah untuk menerapkan asas yang seharusnya digunakan oleh pengguna media sosial sebagai pedoman dalam berinteraksi di media sosial serta memahami faktor apa saja yang mempengaruhi pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis empiris yaitu penelitian dengan pengambilan data melalui studi lapangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa sadar atau tidak masih banyak dari kalangan pengguna media sosial sama sekali tak menghormati Asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan dan komentar di media sosial, sehingga dapat memengaruhi pola pikir dan pandangan pengguna lainya. memahami dan mengetahui apa itu asas praduga tak bersalah dan Undang-Undang yang mengaturnya didalam media sosial.

Kata Kunci: Asas Praduga Tak Bersalah, Media Sosial.

Abstract

The principle of presumption of innocence is referred to as the general principle of procedural law. But with the development of information technology, especially on social media, many of the social media users violate respect for the presumption of innocence in criminal reporting. This can be seen in the news and comments of social media users that contain judgments and allegations against suspects / defendants who have not received a court decision that has permanent legal force (Inkracht van geweiside). This scientific paper gets related problems, How is the application of the principle of the presumption of innocence in criminal reporting on social media and what factors influence the violation of these principles by users of social media. The purpose of this paper is to apply the principle that should be used by users of social media as a guide in interacting on social media and understanding what factors influence violations of the presumption of innocence. The research method used in this paper is empirical juridical, namely research with data collection through field studies. The results of the study show that there are still many or not many social media users who do not respect the principle of the presumption of innocence in reporting and commenting on social media, so that it can influence the mindset and views of other users. understand and know what is the principle of presumption of innocence and the Law that regulates it in social media.

Keywords: The Principle of the Presumption of Innocence, Social Media

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Saat ini dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, peran media sosial begitu penting, pesat dalam rangka memberikan informasi kepada masyarakat indonesia. Seseorang kebanyakan mengakses media sosial dikarnakan memudahkan untuk berinteraksi sosial, sebagai cara baru untuk berkomunikasi, menjalin silahturahmi, mengupdate status, sebagai wadah berdiskusi dan, bahkan menjadi gaya hidup. Media sosial dapat diakses dimanapun dan kapanpun

selama masih terhubung dengan jaringan data. Dengan demikian setiap orang dapat berekspresi dan bebas mengeluarkan pendapat, kritik ataupun saran melalui jejaring sosial yang dimiliki.

Seiring pula dengan kemanfaatan media sosial di masyarakat, munculnya pihak-pihak yang memanfaatkan peluang untuk berkompetisi berbagi berita bohong (hoax). Berita ini bukan semata memuat berita bohong, namun juga menebarkan kebencian, pencemaran nama baik, fitnah, isu SARA, dan ketidak percayaan kepada pemerintah.1 Dengan banyaknya berita hoax yang disajikan oleh situs-situs yang mengaku sebagai situs berita. Saat ini masyarakat sulit membedakan mana berita yang dapat dipercaya dan mana yang hoax.

Pertumbuhan berita hoax yang marak, mengakibatkan diabaikanya asas-asas hukum. Maka salah satu asas hukum yang sering diabaikan dalam pemberitaan dimedia sosial ialah asas praduga tak bersalah yang diatur dalam Pasal 8 (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan di dalam penjelasan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana butir 3 huruf c.

Asas praduga tak bersalah kerap sekali diabaikan oleh pemberitaan hoax di media sosial. Pemberitaan dapat dengan sangat mudah memengaruhi pola pikir, pola sikap dan pandangan seseorang atau masyarkat terkait proses hukum yang sedang berlangsung. Sebagai akibat dari pemberitaan tersebut, dinilai melanggar hak asasi tersangka atau terdakwa yang dituduh melalui media sosial atas asas praduga tak bersalah. Dengan diabaikan Asas tersebut, maka

berdampak pada suatu tindakan pidana yang dapat mengancam pengguna media sosial.

Sudah sewajarnya jika pemerintah bertekad pula untuk melaksanakan pembangunan dibidang hukum. Dalam hal ini perlu adanya perumusan peraturan perundangan baru di Indonesia yang khusus membahas tentang penggunaan media sosial. Hal ini berdasarkan pada tingkat kepentingan dan fakta pengguna media sosial memiliki dampak luas pada kehidupan masyarakat di masa depan. Maka dari itu dipandang penting untuk melakukan penelitian dan penelahaan secara mendalam tentang penerapan terhadap asas praduga tak bersalah dalam praktiknya dimedia sosial dan konsekuensi hukum bagi yang melanggar dalam pemberitaan di media sosial.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah penerapan Asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan pidana di media sosial?

  • 2.    Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah oleh pengguna media sosial?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menerapkan asas yang seharusnya digunakan oleh pengguna media sosial sebagai pedoman dalam berinteraksi di media sosial serta memahami konsekuensi hukum apabila bertentanggan dengan asas praduga tak bersalah.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penulisan

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah yuridis empiris. Pada metode penelitian jenis ini, hukum yang berupaya untuk melihat hukum dalam artian yang nyata atau

dapat dikatakan melihat dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat.2

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Penerapan Asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan pidana di media sosial

Makna dari Asas praduga tak bersalah adalah bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka persidangan, wajib dianggap tak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Makna kata ”bersalah” dalam prinsip ini merujuk pada makna unsur kesalahan sebagai salah satu unsur untuk menentukan apakah seseorang terbukti melakukan tindak pidana atau tidak. Suatu tindak pidana atau peristiwa pidana oleh Simons diartikan sebagai bahwa suatu perbuatan yang oleh hukum diancam hukuman, bertentanggan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu boleh dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya.3

Kesalahan tidak dapat dilihat dengan kasat mata bahwa terdakwa melakukan perbuatan tertentu yang merupakan tindak pidana. Namun kesalahan harus dibuktikan dengan menjalankan proses pemeriksaan baik pada proses pemeriksaan penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan disidang pengadilan, serta memberikan hak-hak tersangka /terdakwa sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 50 s/d 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana. Dengan memposisikan Asas praduga tak bersalah sebagai asas utama perlindungan hak warga negara melalui proses hukum yang adil (due process of law), yang mencangkup sekurang-kurangnya:

  • 1.    Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenangnya dari pemerintah.

  • 2.    Bahwa pengadilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya terdakwa.

  • 3.    Bahwa sidang pengadilan harus terbuka (tidak boleh bersifat rahasia), dan

  • 4.    Bahwa tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuh-penuhnya.4

Faktanya, tersangka/terdakwa akibat tindakanya sangat meresahkan masyarakat. Untuk itu sebagaimana yang dijelaskan oleh Yahya Harahap, bahwa: “Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tetapi tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukanyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Kearah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tak bersalah sampai diperoleh putusan berkekuatan hukum tetap.5

Saat ini, media sosial merupakan salah satu media dalam pemberitaanya yang sering melanggar asas praduga tak bersalah. Pelanggaran asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan media sosial tidak terlepas dari peran Pers dalam mewujudkan cita-cita negara Indonesia. Selain itu, media juga berperan sebagai media massa, media cetak, dan media elektronik sebagai mana telah

dirumuskan dalam Pasal 5 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers. Tanggung jawab Pers nasional yang berkewajiban memberitakan dan menemukan pendapat dengan norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat dan asas praduga tak bersalah, Pers wajib melayani Hak Jawab, Pers wajib melayani Hak Tolak.

Pemberitaan media sosial oleh Pers semata-mata hanya berisi penghakiman serta tuduhan terhadap tersangka/terdakwa yang belum mendapatkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht Van Geweiside). Hal ini diatur didalam Pasal 3 kode etik jurnalistik (KEJ) Wartawan Indonesia bahwa selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Ini merupakan intervensi pada proses pengadilan. Selain itu ditambah komentar pembaca berita/Netizen sangat beragam karena berasal dari berbagai kalangan yang tidak semua mengetahui dan memahami istilah-istilah hukum. Sehingga dapat dengan mudah tersisipnya opini-opini publik yang dapat merubah pola pikir secara halus. Komentar berita yang berlebihan hingga menyudutkan akan menimbulkan stigma di masyarakat karena tersangka dianggap telah bersalah. Keinginan media sangat besar hingga harus mempengaruhi pola pikir dan pandangan seseorang terkait kasus tersebut dengan sedikit menambah provokasi dalam beritanya.

Wartawan yang merupakan peran penting terhadap pengguna media sosial, baik blog, face book, twitter, Instagram, dan lain-lain memugkinkan akan dapat terjadi penyebaran informasi yang salah dengan cepat. Bukan hanya itu, wartawan yang lebih cendrung menggunakan kata-kata penghakiman atau penuduhan dalam pemberitaan pidana pada khususunya seperti Contohnya yaitu

penyebutan seseorang sebagai “gembong narkoba”, “penjahat kelas kakap”, “koruptor”, dan berbagai julukan kasar lainnya. Dalam pemberitaan pidana ini dengan sengaja agar menarik perhatian pembaca. Sehingga pengguna media sosial terprovokatif dengan penyebutan-penyebutan yang dapat menggiring opini, penghakiman, dan tuduhan. Hal ini sangat berbahaya baik wartawan itu sendiri maupun pihak masyarakat umum.

Berikut ini, contoh kasus terjadi yang menimpa Risang Bima Wijaya dengan publikasi artikel dengan judul Bos Koran Dipidanakan. Pemberitaan ini berkaitan dengan Soemadi Martono Wonohito. Direktur eksekutif dari Koran Kedaulatan Rakyat, yang dilaporkan ke kepolisian atas tindakan pelecehan seksual yang dilakukan atas karyawanya Sri Wahyuni dengan dua karyawan lain yang menjadi saksi mata. Berbekal atas dasar berita acara yang dipegang pihak kepolisian, Risang Bima Wijaya melakukan wawancara dengan Sri Wahyuni dan dia melakukan pengkajian dan penelitian ulang atas kasus ini selama dua puluh hari kemudian diterbitkan. Namun, polisi memutuskan penutupan pada kasus ini karena kekurangan bukti. Soemadi kemudian melaporkan Sri Wahyuni, pengacaranya, dan Risang kepada pihak kepolisian atas tuduhan fitnah berdasarkan Pasal 310 (2) j.o. 64 ayat (1) KUHP. Keputusan hakim, didasarkan pada tiga argumentasi hukum yang diajukan oleh penuntut umum, yaitu terdakwa telah menulis dan menerbitkan sejumlah artikel yang menuduh Soemadi melakukan pelecehan seksual, bahwa artikel ini merugikan reputasi Soemadi.6 Meninjau kasus terkait bahwa Risang sebagai wartawan dengan tidak menghormati Asas praduga tak

bersalah hingga berujung atas perbuatannya yang merusak nama baik Soemadi terancam dipidanakan.

Kebebasan dalam pengguna media sosial merujuk pada ketentuan yang ditetapkan dalam sebuah negara tentang hal-hal yang berkaitan dengan media sosial. Ketentuan tersebut cenderung berbeda-beda antara suatu negara dengan negara yang lain, bahkan, masih terdapat negara yang belum memiliki aturan khusus mengatur media sosial. Permasalahan yang berkaitan dengan media sosial diselesaikan berdasarkan perundang-undangan yang memiliki relevansi, misalnya Indonesia menggunakan Undang-undang ITE jika terdapat kasus yang berkaitan dengan pengguna media sosial oleh individu. Pembahasan mengenai Asas praduga tak bersalah oleh pengunaan media sosial secara menyeluruh harus juga menampilkan pembahasan diluar aspek Pers, atau dalam kaitanya pengguna media sosial oleh individu/masyarakat. Penggunaan asas praduga tak bersalah oleh Pers telah memiliki aturan perundang-undangan yang jelas, namun pengguna media sosial oleh individu/masyarakat belum diatur secara spesifik dalam perundang-undangan.7 Sehubungan dengan hal tersebut, maka dipandang penting untuk melakukan pengembangan hukum secara mendalam terhadap penerapan asas praduga tak bersalah dalam praktek penanganan di media sosial dalam perspektif sistem peradilan pidana.

  • 2.2.2    Faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah oleh pengguna media sosial

Berdasarkan analisis refrensi-rerensi dan pendapat narasumber yang ada. Dari hasil wawancara pada tanggal 19 Oktober 2018 oleh Firman Bakti Samudra dari wartawan Tribun Bali Ada beberapa faktor bagi pengguna media sosial yang melakukan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah antara lain.

  • 1.    Faktor individu itu sendiri

Faktor kejiwaan individu itu sendiri dapat menyebabkan diabaikanya asas praduga tak bersalah. Faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap pengguna media sosial yang melakukan penghakiman atas dasar keadaan psikologis individu yaitu tidak terkontrolnya daya emosi yang berlebihan, malu yang disertai amarah, dendam, sakit hati, menyiksa batin dan, mudah terprovokasi terutama yang menyinggung pribadi Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).

  • 2.    Faktor ketidaktahuan masyarakat

Faktor ketidaktahuan masyarakat juga merupakan penyebab terjadinya pelanggaran asas praduga tak bersalah oleh pengguna media sosial. Penerapan asas ini sesungguhnya sudah di atur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain Kitab Undang-undang acara pidana (KUHAP), Undang-undang 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan Undang-undang 40 Tahun 1999 tentang pers. Namun dengan kurangnya sosialisasi/penyuluhan oleh praktisi hukum dan pemerintah kepada masyarakat, inilah yang menyebabkan pelanggaran asas ini terjadi di media sosial yang tergolong tidak tahu akan adanya esensi asas tersebut. Dengan adanya sosialisasi/penyuluhan oleh penegak hukum dan pemerintah, masyarakat mengetahui bahwa adanya peraturan yang mengatur

mengenai dampak jika melakukan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah.

  • 3.    Faktor sarana dan fasilitas teknologi

Faktor sarana dan fasilitas juga berpengaruh pada era modern seperti saat sekarang ini, dan berpengaruh pada tingkah laku masyarakat dalam penggunaan media sosial sehingga penyebaran informasi semakin mudah, cepat dan efisien untuk diperoleh. Dengan mudahnya masyarakat menggunakan media sosial tanpa batasan, ditambah kurang bijaknya masyarakat dalam menggunakannya. Hal ini menjadi faktor pelanggaran terhadap penegakan asas praduga tak bersalah.

  • 4.    Faktor Kurangnya Kontrol Sosial

Faktor kurangnya kontrol sosial yaitu Kontrol dari keluarga dan lingkungan masyarakat menjadi suatu mekanisme awal untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku8. Namun, kurangnya kontrol keluarga dan lingkungan masyarakat yang seringkali tidak mau tahu akan keadaan anggota keluarganya di media sosial, menjadi suatu hambatan dalam penegakan asas praduga tak bersalah yang sering dilanggar. Dalam faktor kurangnya kontrol sosial ini, unsur aparat penegak hukum juga harus bertindak lebih konsisten dalam melakukan sosialisasi maupun penyuluhan mengenai pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan setelah terjadi pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah di media sosial, sehingga dapat menghilangkan atau meminimalisir terjadinya tindak pidana di media sosial.

  • 5.    Faktor lingkungan

Menurut teori differential association bahwa lingkungan adalah tempat utama dalam mendukung terjadinya pola prilaku kejahatan yang dilakukan oleh seseorang.9 Teori ini mengarahkan bahwa pengguna media sosial memiliki kecenderungan bisa melakukan pelanggaran karena proses meniru keadaan sekelilingnya atau yang lebih dikenal dengan proses imitation. Asas praduga tak bersalah yang seharusnya di tegakan di dalam media sosial dikarnakan lingkungan yang tak mendukung di tegakannya asas hukum maka tanpa disadari menjadi suatu hal yang biasa apabila melakukan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah di media sosial.

  • 6.    Faktor kepentingan masyarakat

Faktor kepentingan masyarakat merupakan faktor ekternal. Faktor ini sendiri cukup besar mempengaruhi terjadinya pelanggaran asas praduga tak bersalah di media sosial, bahkan berujung pada suatu tindak kejahatan seperti tindak penghinaan/pencemaran nama baik, fitnah, prasangka, penghakiman dan, ujaran kebencian yang dilakukan melalui media sosial. Masyarakat cenderung tidak memikirkan jangka panjang dampak yang akan terjadi dikemudian hari, tanpa disadari dan dirasakan akan semakin bertambah pelaku yang melakukan penghakiman yang sama. Kebanyakan pengguna media sosial melakukan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah karena faktor kepentingan pribadi atau golongan yang berkaitan dengan hal yang menyinggung Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), kepentingan politik, tersinggung dan sakit hati

karena seseorang yang dikagumi dan diidolakan dikriminalisasi atau bahkan hanya bertujuan untuk menjadi terkenal.10

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Simpulan

Berdasarkan hasil dan analisis dari permasalahan, dapat disimpulkan bahwa :

  • 1.    Banyak dari kalangan pengguna media sosial sama sekali tak menghormati Asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan dan komentar di media sosial. Selain itu, wartawan media sosial turut serta dalam pelanggaran penghormataan Asas praduga tak bersalah. Kesengajaan mengunakan kata-kata penghakiman atau penuduhan dalam pemberitaan pidana seperti contohnya penyebutan seseorang sebagai “gembong narkoba”, “penjahat kelas kakap”, “koruptor”, dan berbagai julukan lainnya, sudah menjadi tujuan tersendiri dalam memengaruhi pola pikir dan pandangan seseorang atau masyarakat terkait kasus tersebut. Hal ini sangat berbahaya baik bagi wartawan itu sendiri maupun pihak penguna media sosial lainnya.

  • 2.    Faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah oleh pengguna media sosial yaitu Faktor kejiwaan individu dan keadaan psikologis, faktor eksternal individu yaitu faktor ketidaktahuan masyarakat, faktor sarana dan fasilitas teknologi, faktor kurangnya kontrol sosial, faktor lingkungan dan, faktor kepentingan masyarakat.

  • 3.2    Saran

Diperlukan adanya kerjasama antara para pihak terkait, baik itu aparat penegak hukum, pemerintah dan masyarakat dalam upaya melakukan pencegahan dan penanggulangan atas maraknya pemberitaan pidana di media sosial dengan pelaksnaan sosialisasi secara berkala yang menekankan pada pentingnya asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan di media sosial sesuai perundang-undangan yang berlaku

DAFTAR PUSTAKA

A.    BUKU

Amiruddin, H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Komariah E. Sapardjaja, 1987, Konsep Dasar Hak Asasi Manusia, Diterjemahkan Hasanuddin, Yogyakarta.

Nyanda Fatmawati Octariani, 2018, Pidana Pemberitaan Media Sosial, Setara Pers, Malang.

Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa, 2001, Kriminologi, Rjawali Pers, Jakarta.

Tolib Effendi, 2014, Dasar-dasar Hukum Acara Pidana, Setara Press, Malang.

Yahya Harahap M, 2008, Pembahasan Permasalahandan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafis, Jakarta

Zainuddin Ali, 2015, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

  • B.    JURNAL ILMIAH

Hanugrah Titi Habsari S, 2017, Implikasi Hukum Asas Praduga Tak Bersalah Yang Digunakan Wartawan Dalam Pemberitaan Perkara, Jurnal Lembaga Bantuan Hukum Rumah Keadilan, Vol 10, No 2, 2017

Meri Febriani, 2018, Analisis Penyebab Pelaku Melakukan Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam Media Sosial, Jurnal Bagian

Hukum Pidana Universitas Lampung, Lampung, Vol 6, No 3, 2017

  • C.    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76.

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 5952, Jakarta.

15