PERAN HAKIM AD HOC DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA DI MASA DEPAN

Oleh:

Putu Bagus Dananjaya* Ibrahim R.**

Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Jurnal ini berjudul Peran Hakim Ad Hoc Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Di Masa Depan. Kehadiran hakim ad hoc lebih merupakan reaksi terhadap kekecewaan atas keadaan hakim karier. Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mengkaji dan mengetahui bagaimana perbandingan konsep lay judges di Jerman dengan hakim ad hoc di Indonesia dan bagaimana peran hakim ad hoc dalam dunia peradilan pidana Indonesia di masa depan. Metode penulisan jurnal ini yaitu yuridis-normatif dengan pendekatan konseptual dan komparatif. Hasil penelitian menunjukan Lay judges di Jerman disebut dengan schoffen adalah perwakilan dari warga negara yang merefleksikan nilai-nilai dalam masyarakat dalam kedudukannya itu sedangkan konsep hakim ad hoc di Indonesia adalah bagian reformasi kelembagaan pengadilan untuk menjawab permasalahan aktual. Kedepannya pengadilan dengan bentuk mixed bench, lay judges dan hakim profesional diharapkan bekerja bersama untuk mencapai putusan dan dapat memberikan jenis hukuman yang lebih masuk akal sehingga putusan hakim itu dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat pencari keadilan.

Kata Kunci: Peran, Hakim ad hoc, peradilan pidana

ABSTRACT

This journal is entitled The Role of Ad Hoc Judges in the Indonesian Criminal Justice System in the Future. The presence of ad hoc judges is more a reaction to disappointment over the state of career judges. The purpose of this journal writing is to examine and know how to compare the concept of lay judges in Germany with ad hoc judges in Indonesia and how the role of ad hoc judges in the world of Indonesian criminal justice in the future. This journal writing method is juridical-normative with a conceptual and comparative approach. The results of the study show that Lay judges in Germany called schoffen are representatives of citizens who reflect the values

** Ibrahim R, Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.

in society in their position while the concept of ad hoc judges in Indonesia is part of the institutional reform of the court to answer actual problems. In the future, courts with mixed bench, lay judges and professional judges are expected to work together to reach a decision and can provide a more reasonable type of punishment so that the judge's decision can be accepted and carried out by justice seekers.

Keywords: The Role, Ad Hoc Judges, Criminal Justice

  • 1.1 . Latar belakang

Peradilan adalah kekuasaan negara guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Tempat peradilan itu dilaksanakan disebut pengadilan.1 Pengadilan merupakan tempat bagi seseorang untuk mendapatkan keadilan formal. Secara teoritis, keadilan merupakan harapan setiap orang dari suatu putusan pengadilan pidana. Harapan akan keadilan itu seharusnya dapat direspon dan diwujudkan melalui putusan pengadilan. Namun tentang bagaimanakah usaha untuk mencapai keadilan itu, di dalam pengadilan secara sistemik dari sejarah diketahui pula bukankah seluruhnya soal keahlian tetapi soal bagaimanakah menemukan sistem nilai yang hidup ditengah masyarakat.2

Pemegang tugas berat untuk menemukan sistem nilai yang hidup di masyarakat adalah hakim. Berdasarkan Pasal 1 angka 8 KUHAP hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Hakim dalam mengadili perkara dengan cara menetapkan apa faktanya, kemudian menafsirkan hukum apabila makna teksnya tidak jelas,

mengisi kesenjangan antara fakta dan hukum apabila ada.3 Guna mengisi kesenjangan (gaps of law) ini Seorang Hakim memiliki kewenangan melakukan rechtfinding sehingga tidak terjadinya kekosongan hukum dan putusannya pun mencerminkan rasa keadilan. Walaupun demikian tidak serta merta juga rasa keadilan dapat dirasakan oleh masyarakat. Ketidakadilan akan dirasakan bila terjadi kegagalan hakim dalam mengikuti hukum secara tepat termasuk interprestasinya ketika memutus suatu perkara.4

Berbagai cara pun digunakan untuk dapat mencapai rasa adil dalam putusan-putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Keahlian para hakim merupakan faktor kunci untuk menjatuhakn putusan yang disertai penalaran hukum dalam pertimbangan putusan (reasoned decision) yang adil dalam masalah yang harus diselesaikan. Masalah-masalah yang menjadi perkara di pengadilan bukan masalah yang umum saja, namun masalah yang bersifat khusus. Sehingga keahlian hakim harus mempunyai karakteristik khusus untuk menangani suatu perkara-perkara bersifat khusus. Adanya sifat khusus inilah yang melahirkan konsep hakim khusus yang ikut menangani perkara-perkara tertentu dimana hakim tersebut disebut dengan hakim Ad Hoc. Hakim ad hoc adalah sama dengan hakim karier, yang hanya dibedakan dari sumber rekrutmentnya saja. Kehadiran hakim ad hoc lebih merupakan reaksi terhadap kekecewaan atas keadaan hakim karier.5

Namun di Indonesia hakim ad hoc dibentuk hanya pada ranah pengadilan khusus meliputi; PTUN, Niaga, HAM, Tipikor dan Perikanan. Sedangkan penyalahgunaan wewenang (detournement

de pouvoir), pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, terjadi tidak hanya pada ranah pengadilan khusus saja, namun melainkan terjadi ranah pengadilan umum sehingga asas pengadilan sederhana, cepat dan biaya ringan tidak dapat terwujud dan rasa keadilan itu jauh dari masyarakat.6 Pada akhirnya adanya persepsi kurang baik terhadap pengadilan pidana sesungguhnya bukan hal baru dalam literatur.7

Dari rumusan masalah diatas maka diangkatlah karya ilmiah yang berjudul “Peran Hakim Ad Hoc Dalam Dunia Peradilan Pidana Indonesia Di Masa Depan”.

  • 1.2    Masalah Yang Diangkat

Adanya latar belakang diatas maka timbul permasalahan (1) Bagaimanakah perbandingan konsep lay judges di Jerman dan konsep hakim ad hoc di Indonesia? ; (2) Bagaimanakah peran

hakim ad hoc dalam dunia peradilan pidana Indonesia di masa depan?.

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mengkaji dan mengetahui bagaimana perbandingan konsep lay judges di Jerman dengan hakim ad hoc di Indonesia dan bagaimana peran hakim ad hoc dalam dunia peradilan pidana Indonesia di masa depan.

  • II.    Isi Makalah

    2.1.    Metode Penelitian

Penulisan jurnal hukum ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Sedangkan jenis pendekatakan yang penulis

gunakan ialah Pendekatatan analisis konsep hukum (analytical conceptual) dan Pendekatan Komparatif (Comparative Approach).8 2.2. Hasil dan Analisis

  • 2.2.1. Konsep lay judges di Jerman dan konsep hakim ad hoc di Indonesia

Lay judges di Jerman disebut dengan schoffen adalah merupakan perwakilan dari warga negara yang merefleksikan nilai-nilai dalam masyarakat dalam kedudukannya itu. Schoffen dalam pengadilan anak disebut dengan judgenschoffen tetapi hadir di pengadilan pidana anak dengan alasan yang berbeda dengan schoffen. Kehadiran judgenschoffen dalam pengadilan diharapkan membawa keahlian dibidang pendidikan, bidang yang sangat diperlukan untuk menjalankan pekerjaan di pengadilan anak. Kehadiran lay judges dalam sistem pengadilan pidana dapat dilihat sebagai “right-duty” of a democratic citizenry. Oleh karena itu lay participant selain bisa diharapkan akan memberikan legitimasi penjatuhan hukuman pidana juga sekaligus memberikan pendidikan pada mereka untuk menjadi warga negara yang taat hukum.

Seleksi schoffen dimulai dengan membuat daftar calon oleh dewan masyarakat setempat. Selanjutnya dikirim ke pengadilan negeri setempat dimana suatu komite memilih dengan 2/3 seorang untuk menjadi schoffen. Schoffen dapat dipilih kembali setelah 8 tahun dari partisipasi terakhir. Pengadilan menetapkan 1 formula beberapa jumlah warga negara yang diperlukan. Sebagian warga negarayang dipanggil akan menjadi lay judges utama (hauptschoffen) dan sebagian lagi menjadi pengganti (hilfschoffen). Suatu persidangan pengadilan pidana hukum Jerman tidak memisahkan pemeriksaan untuk pernyataan bersalah dan

pemeriksaan untuk penjatuhan hukuman. Suatu persidangan di Jerman susunan hakim untuk mixed court kecil terdiri dari satu profesional dan dua lay judges dan dapat diperluas dengan majelis tiga hakim profesional dan dua lay judges untuk perkara pidana ysng lebih serius.9

Konsep lay judges didasari atas konsep-konsep pemikiran yaitu sebagai bentuk penerimaan demokrasi dalam pengadilan, sebagai cara menghindari berkembangnya vested interest dalam pengadilan dan mencegah campur tangan ekesekutif dalam pengadilan, mendapatkan public trust karena pengadilan menerima partisipasi dari masyarakat. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan ikut berpartisipasi dan menentukan termasuk urusan keadilan, dapat masuknya hukum yang tidak tertulis (keadilan) dalam putusan pengadilan, pengawasan hakim. Pada saat yang sama, dalam satu konferensi tentang lay participation.

Sedikit berbeda dengan konteks waktu diperkenalkannya, agaknya kehadiran hakim ad hoc dalam pengadilan khusus pidana adalah hanya sebagai respon terhadap permasalahan aktual yang sedang dihadapi lembaga pengadilan, yakni antara lain rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pengadilan.10 Jadi sederhananya hakim ad hoc diadakan untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengadilan khusus pidana. Periode pembentukan pengadilan khusus pidana ini adalah awal pemerintahan setelah orde baru; pemerintahan yang dikenal mempunyai pengaruh formal maupun informal dan langsung atau tidak langsung pada kekuasaan kehakiman. Sebagaimana sudah dijelaskan di awal tulisan ini bahwa orientasi pemerintahan orde baru pada hukum adalah lebih sebagai rule by law dari pada rule of law.

Dari waktu pembentukannya, hakim ad hoc pada Pengadilan HAM mulai pada tahun 1999, hakim ad hoc pada pengadilan Tipikor mulai pada tahun 2002 dan hakim ad hoc pada Pengadilan Perikanan pada tahun 2004. Dalam program pemerintahan setelah orde baru yang sering disebut pemerintahan reformasi, yang dicanangkan melalui TAP MPR 1988, disebutkan bahwa akan melakukan reformasi pada kelembagaan pengadilan karena “...telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan , kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat”. Program ini oleh karena itu adalah putusan politik hukum negara yang ditetapkan melalui lembaga tertinggi negara, MPR. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembentukan hakim ad hoc merupakan putusan politik seiring dengan perubahan pemerintahan dengan karakter yang berbeda, dari rule by law kembali pada prinsip rule of law.

Secara lebih konkrit dapat dikatakan bahwa keberadaan hakim ad hoc adalah bagian reformasi kelembagaan pengadilan untuk menjawab permasalahan aktual yang ada yaitu antara lain (i) adanya penyalahgunaan wewenang, (ii) pelecehan hukum, (iii) pengabaian rasa keadilan, (iv) kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Kelembagaan pengadilan yang berhubungan dengan keempat masalah ini mencakup semua aspek mengadili yakni menerima, memeriksa, dan memutus suatu perkara pidana.

  • 2.2.2. Peran hakim ad hoc dalam dunia peradilan pidana di

    Indonesia di masa depan

Hakim ad hoc muncul dalam sistem pengadilan di Indonesia adalah karena faktor perlunya "keahlian khusus" dalam memeriksa dan memutus perkara. Hakim ad hoc ini diharapkan

mampu membantu hakim karier untuk menegakkan keadilan.11 Faktor keahlian dalam majelis hakim ini pertama kali disebutkan dalam undang-undang tentang PTUN yang kemudian diikuti Pengadilan Niaga. Secara berturut-turut kehadiran hakim ad hoc ini kemudian diikuti pula dalam pengadilan HAM, Tipikor dan Pengadilan Perikanan. Pengadilan Perikanan diadakan disebutkan karena perlunya metode penegakan hukum yang bersifat spesifik. Oleh karena itu, hakim ad hoc ditentukan harus berasal antara lain dari perguruan tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan, dan mempunyai keahlian di bidang hukum perikanan. Dalam Pengadilan Tipikor tidak disebutkan soal keahlian secara tegas tetapi lebih menekankan pada konsep efisiensi dan efektivitas pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi. Sementara, dalam Pengadilan HAM disebutkan bahwa diperlukan "kepedulian" hakim ad hoc pada HAM.

Hakim ad hoc diperlukan dalam pengadilan PTUN adalah karena ada anggapan bahwa hakim karier dari segi keilmuan semuanya adalah generalist sehingga diperlukan specialist. Keperluan specialist ini sifatnya kondisional yakni hanya bila pemeriksaan perkaranya membutuhkan. Bila hal ini merupakan alasan pembentukan hakim ad hoc dalam pengadilan khusus pidana maka justru di sinilah komplikasinya. Sebab dalam hukum acara pidana sudah ditentukan bila memerlukan keahlian dalam pemeriksaan perkara pidana maka dapat memanggil ahli yang keterangannya adalah alat bukti. Setiap ahli yang dipanggil pengadilan wajib untuk datang. Dalam praktek, mendapatkan ahli lebih efisien dan efektif daripada menseleksi hakim ad hoc. Maka dari itu diragukan jawaban bahwa untuk keperluan

keahlian maka jawabannya adalah dalam bentuk hakim ad hoc sekarang ini bukan keterangan ahli sebagai alat bukti.

Konsepsi keahlian khusus dalam mengadili suatu perkara dalam Pengadilan Khusus Tipikor sebagai konsep hakim ad hoc dibentuk, sesungguhnya tidak benar. Sebab dalam Pengadilan Tipikor disebutkan hakim ad hoc diperlukan untuk "meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi". Sulit diterima akal sehat suatu aksioma bahwa untuk efisiensi dan efektitivitas Pengadilan Tipikor maka hakim ad hoc yang sekarang adalah jawabannya. Artinya konsep ini hanya berubah dari Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian ke hakim ad hoc, karena dulu untuk efisiensi dan efektitifitas pengadilan pidana dilakukan dengan forum Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian. Kenyataannya tidak ada beda kualifikasi hakim karier dan hakim ad hoc. Oleh karena itu, hakim ad hoc diadakan pastilah karena ada alasan lain. Apabila hakim ad hoc diadakan untuk public trust maka sebagaimana ditemukan dalam literatur hal itu dilakukan dengan menggunkan lay judges. Seandainya pun hakim ad hoc sekarang ini dimaksudkan agar supaya meningkat kepercayaan terhadap putusan Pengadilan Tipikor, namun tetap tidak ada alasan secara obyektif untuk lebih mempercayai hakim ad hoc daripada hakim karier. Kecenderungan menghukum lebih berat terdakwa sebagaimana diperlihatkan dalam perkara yang diadili dengan hakim ad hoc adalah tidak identik dengan fungsi pengadilan dalam memberikan keadilan sudah tercapai.

Dalam Pengadilan HAM misalnya ditentukan syarat adanya "integritas" untuk menjadi hakim ad hoc. Syarat ini tidak berbeda dengan syarat untuk menjadi hakim karier. Apalagi dalam banyak hal integritas ini bersifat absurd. Sebagai contoh Stephen L. Carter

mengatakan bahwa jujur saja tidak cukup untuk menilai adanya integritas. Pada saat yang sama dia juga mengatakan bahwa kejujuran tanpa integritas dapat menjurus pada malapetaka moral.12 Bila jujur saja untuk menilai integritas belum cukup maka masih diperlukan syarat yang lain. Syarat kejujuran itu disebutkan bahwa adalah terpuji apabila menghadapi resiko bagi diri kita sendiri tetapi kejujuran itu menjadi jauh kurang terpuji apabila kita sebagai gantinya menyebabkan resiko kerugian bagi orang lain, tidak ada keuntungan bagi siapa pun selain diri kita sendiri.

Kemudian, selain berintegritas hakim ad hoc pengadilan HAM ditentukan juga harus memiliki "kepedulian" di bidang hak asasi manusia. Sekedar catatan, kepedulian terhadap tugas adalah merupakan salah unsur substansi integritas.13 Tetapi bila semua persyaratannya untuk menjadi hakim baik hakim karier maupun untuk menjadi hakim ad hoc adalah harus sarjana hukum dan sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum pertanyaannya bagaimanakah membedakan bahwa sarjana hukum yang satu kepeduliannya lebih tinggi daripada sarjana hukum yang lain. Dengan begitu, maka syarat keperdulian hakim ad hoc dalam pengadilan HAM ini pun sama absurdnya dengan syarat berintegritas itu.

Selain konsep bahwa hakim ad hoc adalah berdasarkan keahlian ternyata ada juga konsep lain yang agak berbeda tapi di pengadilan lain, yaitu Pengadilan Hubungan Industrial. Konsep itu berdasarkan pada diperlukannya keseimbangan kepentingan dalam pengambilan keputusan yang menjelma dalam majelis hakim yang bersifat kolaboratif yakni dengan cara para pihak ikut berperan dalam menunjuk daftar (pool) hakim ad hoc. Organisasi

pekerja menunjuk untuk daftar hakim ad hoc yang saatnya nanti dari daftar ini akan ditunjuk kelak untuk duduk sebagai anggota dalam majelis hakim yang bersifat kolegial oleh ketua Pengadilan Negeri. Konsep ini juga salah satu dasar konsep lay judges yang dipraktekkan dalam berbagai pengadilan di banyak negara. Namun konsep ini tidak menjadi dasar hakim ad hoc dalam Pengadilan HAM, Tipikor dan Perikanan.

Oleh karena itu, bila disimpulkan bahwa pengadilan khusus dengan hakim ad hocnya belum "dibentuk dalam kerangka pembaruan sistem peradilan" ada benarnya.14 Keahlian yang menjadi alasan utama adalah redundant dengan hakim karier yang sudah ada. Hakim ad hoc sebagai cara peningkatan public trust adalah absurd. Sebab, dilihat dari duduknya (bench) hakim karier dan hakim ad hoc tidak terpisah tapi tetap dalam satu majelis (kolegial). Dengan kata lain, struktur dasar pengadilan tidak berubah sama sekali karena sama dengan pengadilan pada umumnya. Dengan menghukum terdakwa lebih berat tentu bukanlah keinginan masyarakat pencari keadilan sebagai masyarakat yang agamis dan pula bukan merupakan tujuan peradilan pidana itu diadakan.

Dilihat dari sudut hukum acara pidana, pengadilan khusus pidana dengan hakim ad hoc ini dan jumlahnya mayoritas pula memang ditemukan ada perubahan tapi dilihat dari "models of criminal justice,15 perubahan ke arah yang lebih bersifat crime control model. Model ini fungsi sosialnya adalah punishment kemudian bentuk peradilannya memberikan peranan yang besar pada proses penyidikan dengan BAP, high conviction rate, implicit presumption of guilt, disregard of legal control. Sebagai contoh, sistem pembuktian terbalik terbatas, peniadaan rahasia jabatan,

perelatifan hak privasi dengan dapat melakukan penyadapan tanpa campur tangan pengadilan dalam Pengadilan Tipikor merupakan disregard of legal control. Keadaan ini akan bisa menimbulkan suatu judicial caprice atas keberadaan pengadilan itu.

Bila hakim ad hoc ini hendak dilihat dari pengalaman secara umum pada sistem civil law maka menggunakan konsep lay participation. Lay participation yang digunakan itu dalam bentuk "mixed bench" atau "mixed court" yaitu pengadilan kolaboratif antara lay judges dan hakim profesional. Bentuk ini lebih disukai daripada sistem jury. Bentuk ini dipilih karena pendekatan kolaboratif atau campuran dianggap lebih cocok dengan konsep inquisitorial yang masih tetap berlaku. Dalam pengadilan dengan bentuk mixed bench, lay judges dan hakim profesional diharapkan bekerja bersama untuk mencapai putusan dan jenis hukuman yang lebih masuk akal sehingga putusan hakim itu dapat diterima oleh masyarakat pencari keadilan. Apabila konsep ini dapat diterima maka pemeriksaan perkara pidana pertama antara hakim ad hoc dan hakim karier dalam bentuk bench yang terpisah dengan pemilahan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Hakim ad hoc dalam bertanggung jawab pada fakta dan kesalahan sedangkan hakim karier bertangggung jawab pada hukum dan hukuman. Kemudian, secara konseptual hakim dalam pemeriksaan di pengadilan bersifat pasif dalam proses pembuktian sebagai zittende magistratur. Sebaliknya, pihak-pihak (penuntut umum dan terdakwa Advokat) yang bersifat aktif dalam proses pembuktian disebut staande magistratur. Dengan kata lain konsep inkusitorial dimodifikasi setidak-tidaknya dalam proses pembuktian fakta-fakta perkara dalam sidang.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

Lay judges di Jerman disebut dengan schoffen merupakan perwakilan dari warga negara yang merefleksikan nilai-nilai dalam masyarakat dalam kedudukannya itu, sedangkan konsep hakim ad hoc di Indonesia adalah bagian reformasi kelembagaan pengadilan untuk menjawab permasalahan aktual.

Hakim ad hoc belum dibentuk dalam kerangka pembaruan sistem peradilan pidana Indonesia. Pada masa depan pengadilan dengan bentuk mixed bench, yang berkolaborasi antara hakim ad hoc dan hakim profesional seharusnya yang digunakan dalam sistem peradilan pidana indonesia, sehingga dapat bekerja bersama untuk mencapai putusan dan jenis hukuman yang lebih masuk akal sehingga putusan hakim itu dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat pencari keadilan.

  • 3.2.    Saran

Maka saran yang dapat penulis berikan kepada pembentuk peraturan perundang-undangan konsep hakim ad hoc yang sudah ada dalam pengadilan khusus pidana sebaiknya direkontruksi kedudukan dan perannya dengan mengacu konsep lay judges di Jerman.

Daftar Pustaka

Buku:

Luhut M.P. Pangaribuan, 2014, Hukum Acara Pidana, Surat Resmi Advokat di Pengadilan, Penerbit Papas Sinar Sinanti, Jakarta.

Prof.Dr.Emeritus Jhon Gelissen dkk, 2005, Sejarah Hukum, Suatu Pengantar, PT Refika Aditama, Bandung.

John Rawls, 2003, A Theory of Justice, Revised Edition, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts.

Luhut M.P. Pangaribuan, 2017, Hukum Acara Pidana, Dan Hakim Ad Hoc, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan Penerbit Papas Sinar Sinanti, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Tjukup, I Ketut, et all, 2017, Dinamika Hukum Acara Dan Peradilan Di Indonesia Jilid I, Swasta Nulus, Denpasar.

Jurnal, Tesis/Disertasi

Ishar Helmi Dan Riko Hendra, 2016, Independensi Hakim Ad-Hoc Pada Lingkungan Peradilan Hubungan Industrial, UIN Syarif Hidayatullah, Volume 6 nomor 2.

Satrio Saptohadi, 2013, Eksistensi Pengadilan Hak Asasi Manusia Dalam Penegakan Hukum Di Timor Timur Pasca Jajak Pendapat, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Volume 13 Nomor 2.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258.

Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan tata Usaha Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079.

Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026.

Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Pengadilan Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250.

Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076

14