KEABSAHAN PEMERIKSAAN SAKSI MELALUI TELECONFERENCE DALAM SIDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh :

Ni Made Rit Meidyana Ida Bagus Wyasa Putra ∗∗

Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Praktek di persidangan kerapkali menghadapi berbagai kesulitan, antara lain dalam menghadirkan saksi, khususnya dalam kasus tindak pidana korupsi. Kendala tersebut mungkin diselesaikan melalui pemanfaatan teleconference. Namun demikian, pemanfaatan itu juga belum secara jelas dibenarkan oleh KUHAP. Karya ilmiah ini mengedepankan masalah tersebut dan menggunakan metode normatif dalam menganalisa masalah dengan dukungan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan berbagai literatur terkait. Kesimpulan yang dihasilkan dari analisa masalah tersebut adalah bahwa keterangan saksi melalui media teleconference dianggap sah sebagai alat bukti dalam perkara pidana khususnya dalam kasus korupsi dengan syarat penyelenggaraan kesaksian teleconference tersebut harus memenuhi ketentuan terkait keterangan saksi sebagai alat bukti yaitu jenis kejahatannya dapat menggunakan sarana teleconference, pengaturan yang jelas mengenai tempat pelaksanaan dalam memberikan kesaksian dan adanya kehadiran para pihak yang ikut mendampingi saksi pada waktu pelaksanaan teleconference.

Kata Kunci : Keabsahan, Keterangan Saksi, Teleconference, Alat Bukti, Korupsi

Abstract

The practice in the court often facing many difficulties to present witness in the court especially in a corruption case. This problem may be encountered by Teleconference. However, this

Penulis Pertama Ni Made Rit Meidyana adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, Korespondensi dengan penulis melalui email : [email protected].

∗∗ Ida Bagus Wyasa Putra adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.

solution might contrary to the Criminal Code. This scientific paper taken up this issue and uses normative method in analyzing the problem as commonly supported with legislations and relevant literatures. Under such analyzing, it has been concluded the testimony via teleconference is considered valid under the Indonesian law of court of criminal procedure under a certain condition that the use of teleconference shall fulfill the requirements ordered by the rules, such as rules regarding : the method of delivering witnessing, kind crime that in its proceedings is allowed by law to be supported by teleconference, the place where the teleconference may be conducted,    and parties during the

teleconference.

Keywords:   Legitimacy, Witness Testimony, Teleconference,

Evidence, Corruption.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Kasus Korupsi di Indonesia semakin sistematis, meluas dan hampir melibatkan seluruh lapisan kekuasaan, dilakukan oleh oknum yang berlindung dalam Undang-Undang. Mereka mengeruk kekayaan negara untuk memperkaya diri maupun kelompoknya. Kondisi ini diperkeruh dengan keadaan di mana penegak hukum yang satu per satu terbukti menjadi mafia hukum (judicial corruption),1 sampai pada akhirnya berakhir di jalur hukum. Namun, menemukan pelaku tindak pidana korupsi sungguh tidak mudah. Seperti fenomena gunung es, hanya sejumlah kecil yang terlihat, namun sesungguhnya terdapat banyak pelaku yang terkait dan berkontribusi sehingga menimbulkan dampak buruk terhadap perekonomian negara. Sifat masalah demikian itu mengakibatkan pengungkapan saksi menjadi bagian tersulit dalam penyelesaian kasus korupsi. Tidak jarang saksi atau pihak

yang terkait melarikan diri ke luar negeri sehingga menyulitkan pembuktian dalam penyelesaian kasus.

Perkembangan teknologi informasi memungkinkan perubahan dalam proses pemeriksaan perkara korupsi. Pemanfaataan teknologi digital terutama untuk berkomunikasi atau berinteraksi membuka peluang pemeriksaan saksi secara tidak langsung. Begitu juga dengan keterangan saksi yang telah mengalami perkembangan dalam praktek peradilan pidana, keterangan saksi dapat diberikan secara tidak bertatap muka secara langsung di dalam persidangan.

Dunia peradilan khususnya Acara Pidana di Indonesia telah memperkenalkan model pemeriksaan saksi jarak jauh dengan pemanfaatan teknologi teleconference. Teleconference bukan lagi merupakan penemuan baru, yang dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih melalui media komunikasi, telepon dan televisi atau layar komputer, yang telah tersambung dengan sebuah koneksi jaringan. Pertemuan secara tidak langsung tersebut dapat menggunakan suara (audio conference) atau video (video conference) yang memungkinkan kedua belah pihak dapat saling melihat seperti bertatap muka secara langsung.2

Model pemeriksaan saksi dengan bantuan teknologi multimedia ini pertama kali dipraktekkan dalam sidang perkara pidana atas nama terdakwa Rahardi Ramelan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berdasarkan Surat Penetapan Nomor : 354/Pid.B/2002/PN.Jakarta Selatan. Saksi yang akan didengar keterangannya yaitu B.J Habibie saat itu tidak memungkinkan untuk hadir ke persidangan untuk memberikan kesaksian. Sejak pengadilan memberikan kemungkinan terhadap pemeriksaan alat

bukti saksi dengan memanfaatkan teknologi ini, mulailah dipraktekkan dalam persidangan lainnya sampai saat ini seperti kasus mega proyek e-KTP. Dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menghadirkan Paulus Tannos yang merupakan Direktur Utama PT. Sandipala Arthapura, namun dalam persidangan saat itu Paulus tidak dapat hadir dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, keterangannya pun didengar melalui teleconference. Humas Pengadilan Tipikor memberikan keterangan bahwa perusahaan milik Paulus Tannos tersebut meraup keuntungan paling banyak pada proyek e-KTP ini yaitu mencapai 145,8 miliar rupiah.

Praktek pemeriksaan saksi melalui teleconference berkaitan dengan kesaksian dari saksi yang akan didengar keterangannya namun tidak memungkinkan untuk hadir dalam persidangan, seperti halnya kasus mega proyek e-KTP tersebut. Cara ini merupakan langkah baru dalam sistem hukum acara pidana Indonesia. Namun, cara ini sampai saat ini masih menjadi perdebatan terutama berkenaan dengan keabsahan teleconference itu, karena belum diatur secara jelas dan tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana meskipun sering digunakan dalam beberapa persidangan dan masih banyak ahli yang beranggapan bahwa cara ini bertentangan dengan asas kompetensi peradilan.

  • 1.2    Rumusan Masalah

    • 1.2.1    Bagaimanakah Pengaturan Pemeriksaan Saksi Secara Teleconference sebagai Alat Bukti?

    • 1.2.2    Apa Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memeriksa Keterangan Saksi Melalui Teleconference Pada Kasus Rahardi Ramelan?

  • II.    Isi Makalah

    2.1    Metode Penulisan

Penulisan jurnal “Keabsahan Keterangan Saksi Melalui Teleconference Dalam Persidangan Tindak Pidana Korupsi” menggunakan metode penelitian hukum normatif yang didukung oleh pendekatan perundang-undangan. Metode penelitian hukum normatif adalah metode yang mengedepankan penggunaan bahan pustaka.3

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Pengaturan Pemeriksaan Saksi Secara Teleconference

Sebagai Alat Bukti

Keterangan seorang saksi sangat penting dalam proses penyelesaian perkara. Tetapi, keterangan saksi bukanlah satu-satunya instrumen dalam penyelesaian perkara. Terdapat empat alat bukti sah lainnya yang juga diatur secara tegas dalam hukum positif Indonesia. Suatu perkara akan buntu apabila tidak ada satu pun alat bukti yang dapat mendukung atau hanya terdapat alat bukti saksi untuk menyelesaikan perkara tersebut, terlebih perkara tersebut menyangkut tindak pidana korupsi apalagi jika ditambah saksi kunci yang berhalangan hadir secara langsung ke persidangan untuk memberikan kesaksian, baik karena terhalang oleh faktor jarak maupun faktor lainnya. Sebagaimana yang terjadi

dalam beberapa kasus yang terjadi belakangan. Keadaan demikian itu sangat mengkhawatirkan. Jika tidak didukung cukup bukti, maka kasus demikian itu berpotensi berlarut-larut dalam penyelesaiannya. Hal itu akan sangat menyulitkan dan membutuhkan jalan keluar yang memadai demi kepastian hukum dan keadilan. Dalam kondisi kebutuhan demikian itu, kehadiran teknologi komunikasi merupakan jalan keluar. Bantuan teknologi demikian ini sangat diperlukan karena keterangan saksi merupakan instrumen penting dalam proses pembuktian dalam suatu proses peradilan pidana.

Teleconference belum diakui dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, karena pada masa Undang-Undang dibuat hal demikian itu tidak dapat diprakirakan. Revolusi dari ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan komunikasi yang saat ini berlangsung sedemikian pesat, mengakibatkan timbul keadaan-keadaan baru yang seharusnya dapat dipertimbangkan dalam proses penyelesaian perkara, termasuk dalam penerapan KUHAP. Dalam analisis hukum legalistik, yang cenderung bersifat kaku atau formal legalistik, teleconference tidak dapat diterima sebagai media pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 160 ayat (1) huruf a dan Pasal 167 KUHAP yang menghendaki kehadiran saksi di ruang persidangan. Namun, berbeda dengan ketentuan pada Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004 (sekarang diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman) mewajibkan Hakim menggali kebenaran materiil, sehingga terbuka peluang bagi hakim untuk mengesampingkan aspek formal.

Ada banyak negara telah menerapkan metode pemeriksaan saksi dengan memanfaatkan teknologi informasi ini diantaranya adalah Singapura, New Zealand, Inggris, Amerika Serikat dan

India. Mengenai pengaturan teleconference, di India juga tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangannya namun telah diterapkan pada beberapa kasus tindak pidana dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Hukum Internasional juga mulai mengatur prosedur pemeriksaan saksi melalui teleconference yaitu pada Pasal 21 Statuta Rwanda tahun 1995, Statuta Roma tahun 1998 dan beberapa ketentuan-ketentuan lainnya.

Melihat dari beberapa negara yang menerapkan metode pemeriksaan saksi ini, maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya penggunaan audio visual telah menjadi sarana yang mendukung dalam penyelesaian suatu perkara dan prosedurnya diatur dalam peraturan perundang-undangan masing-masing negara yang menerapkannya termasuk di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan asas penafsiran hukum yaitu lex specialis derogat legi generalis yang artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Walaupun sampai dengan saat ini, di Indonesia sendiri belum diatur dalam KUHAP tetapi telah dituangkan dalam sejumlah aturan termasuk Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah mengatur hal ini.

Penambahan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana korupsi yaitu berupa informasi yang diucapkan, dikirim, dan diterima atau bahkan disimpan secara elektronik sebagaimana yang diatur pada Pasal 26 A UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sedangkan pemberian kesaksian melalui audio visual ini sudah diatur juga didalam Pasal 9 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.4 Pada pasal 9 mengatur terdapat dua pilihan saksi tidak

harus dihadirkan ke persidangan, yaitu saksi diperkenankan untuk memberikan kesaksiannya secara tertulis di hadapan pejabat seperti notaris, hakim, ataupun camat, dan keterangan saksi dapat diperiksa melalui teleconference. Pemanfaatan teknologi guna membuktikan suatu perkara juga diatur dalam Pasal 44 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu mengenai alat bukti berbentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.

Pada dasarnya pertentangan yang selalu timbul berkaitan dengan pemeriksaan melalui teleconference yang tidak diatur dalam KUHAP, namun apabila memperhatikan prinsip dalam hukum acara pidana di Indonesia serta asas trilogi peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya murah, maka pelaksanaan pemeriksaan saksi melalui media teleconference ini memenuhi prinsip tersebut. Andi Hamzah berpendapat bahwa pemberian keterangan saksi melalui teleconference tidak salah atau dapat dibenarkan karena dalam KUHAP tidak ada larangannya, tetapi Pengacara dan Jaksa tetap harus hadir ditempat dimana saksi berada untuk memberikan keterangannya.5 Syamsul Muarif juga berpendapat bahwa teknologi telah mengubah pola masyarakat di segala bidang. Tentu keberadaan teleconference ini butuh penyesuaian untuk diharmonisasikan atau di sinkronisasi dengan peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, lalu selanjutnya dapat mengubah dan membuat peraturan yang baru.

Terdapat kelebihan dari pemeriksaan saksi melalui Teleconference apabila diterapkan pada proses pemeriksaan saksi di pengadilan, yaitu selain karena memenuhi salah satu asas

trilogi peradilan, pemanfaatan audio visual ini juga akan membantu dan mendukung para pencari keadilan untuk mencari kebenaran meteriil. Sebagaimana yang disampaikan oleh Shri Seidman Diamond, Loocke E. Bowman, dan kawan-kawan menyatakan bahwa para terdakwa secara signifikan diuntungkan oleh proses pembuktian ini yang juga turut melindungi dan mendukung korban, saksi dan para pihak lainnya.6

Dengan begitu, yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam pembuktian melalui sarana teleconference terutama dalam pada kasus korupsi adalah frase “..... pada perkara tindak pidana

korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini” yang terdapat pada ketentuan pasal 26 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang artinya pemeriksaan dalam persidangan mengacu pada hukum pidana formal sebagaimana yang diatur dalam KUHAP namun juga adanya kekhususan hukum acara pada UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu pada pasal 26A yang memperluas cakupan pembuktian tidak hanya sebatas pada keterangan surat dan saksi namun juga alat bukti lainnya yang berupa informasi elektronik dan disampaikan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana.

  • 2.2.2    Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memeriksa Keterangan Saksi Melalui Teleconference Pada Kasus Rahardi Ramelan

Pemeriksaan saksi melalui teleconference dalam Persidangan Tindak Pidana Korupsi atas nama terdakwa Rahardi Ramelan didasarkan atas Surat Penetapan Nomor

:354/Pid.B/2002/PN. Jakarta Selatan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

  • 1.    Pemeriksaan terdakwa telah sampai pada pemeriksaan saksi-saksi terkait yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran materiil ;

  • 2.    Salah satu saksi yang tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan pada tahap penyidikan adalah B.J. Habibie yang hingga persidangan hari ini berada dan atau berdomisili di kota Hamburg Jerman sehingga yang bersangkutan tidak dapat hadir dimuka persidangan untuk memberikan keterangan sebagai saksi yang dikarenakan keluarga / istrinya yang bernama Nyonya Haris Habibie dalam keadaan sakit yang tidak dapat ditinggalkan ;

  • 3.    Keterangan saksi B.J. Habibie menurut majelis hakim sangat perlu di dengar untuk kepentingan pemeriksaan terdakwa dalam rangka mencari kebenaraan materiil ;

  • 4.    Berkenaan dengan adanya kendala keberadaan saksi B.J. Habibie di Jerman, sedangkan persidangan pengadilan dilaksanakan di Jakarta majelis hakim melihat salah satu solusinya adalah dengan menggunakan / memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada saat ini ;

  • 5.    Majelis hakim berpendapat keterangan saksi B.J. Habibie tetap dipandang perlu untuk didengar secara langsung dimuka persidangan dengan memanfaatkan teleconference;

  • 6.    Pemanfaatan teknologi teleconference selain dimaksudkan untuk mempermudah mendengar keterangan saksi B.J. habibie dimaksudkan juga agar masyarakat luas dapat mengikuti pemeriksaan perkara terdakwa secara transparan ;

  • 7.    Dalam rangka pelaksanaan persidangan jarak jauh melalui tehnik dan sarana video teleconference tersebut, diharapkan peran serta dari jaksa penuntut umum untuk memberitahukan saksi B.J. Habibie dan melakukan approach dengan konsultan Jenderal Republik Indonesia di kota Hamburg Jerman sebagai tempat yang ditentukan majelis hakim untuk persidangan dimaksud ;

  • 8.    Saat persidangan berlangsung saksi B.J. Habibie didampingi oleh seorang Konsultan Jenderal Republik Indonesia;

  • 9.    Pemeriksaan saksi B.J. Habibie yang berada di Kantor Konsultan Jenderal Republik Indonesia di Hamburg Jerman merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan proses persidangan yang berlangsung di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ;

  • 10.    Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, majelis hakim memandang perlu untuk menetapkan hari persidangan dalam rangka pemeriksaan saksi B.J. Habibie dengan memanfaatkan teknologi teleconference sebagaimana tersebut pada bagian akhir penetapan ini ;

Dari pertimbangan tersebut majelis hakim menetapkan :

  • 1.    Menyatakan pemeriksaan saksi B.J. Habibie dalam perkara pidana No. 354/Pid.B/2002/PN. Jakarta Selatan, atas nama terdakwa Rahardi Ramelan, dilakukan dengan cara persidangan jarak jauh dengan tehnik teleconference ;

  • 2.    Menetapkan tempat pemeriksaan saksi di Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hamburg Jerman;

  • 3.    Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum mengahadirkan saksi B.J. Habibie di Kontor Konsulat Jenderal Republik

Indonesia di kota Hamburg Jerman, pada hari selasa, tanggal 2 Juli 2002 pukul 09.00 waktu Hamburg Jerman dan atau pukul 14.00 WIB, guna didengar kesaksiannya dalam perkara Terdakwa Rahardi Ramelan, dengan didampingi staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia setempat.7

Penggunaan teleconference yang menyajikan gambar secara detail dan koneksi dari sebuah jaringan yang mendukung tentu akan menghasilkan kualitas suara yang jelas sehingga hakim dapat mengamati serta melihat secara langsung sorot mata, wajah, maupun gestur yang ditunjukan oleh saksi dalam persidangan. Dapat dikatakan bahwa saat itu saksi hadir di ruang sidang secara virtual. Oleh karena itu, pada prinsipnya kehadiran seorang saksi dalam persidangan sebagaimana dimaksud secara fisik telah terpenuhi dengan media teleconference.8

Dalam ketentuan pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP, sumpah merupakan syarat mutlak.9 Artinya, walaupun saksi dihadirkan secara virtual melalui Audio atau Video Conference tentu diwajibkan untuk mengucapkan sumpah terlebih dahulu sesuai dengan keyakinannya masing-masing, sehingga nilai pembuktiaanya sama dengan saksi yang datang langsung ke persidangan. Hal tersebut pun ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 661K/Pid/1988 tanggal 19 Juli 1991 yang menegaskan bahwa keterangan saksi yang diberikan pada pemeriksaan tahap penyidikan dan saat memberikan

kesaksiannya saksi telah disumpah, namun atas suatu alasan dan halangan yang sah ia tidak dapat hadir secara langsung di persidangan dan keterangannya tersebut dibacakan maka nilai keterangannya tersebut adalah sama dengan keterangan saksi yang disumpah dalam persidangan.

Namun tidak ada kewajiban bagi hakim untuk menggunakan teleconference dalam pemeriksaan alat bukti saksi karena berdasarkan KUHAP yaitu pada pasal 167 ayat (1), seorang saksi dituntut hadir untuk memberikan kesaksiannya dalam persidangan. Tetapi, apabila kita cermati dalam ketentuan pasal 187 ayat (1) sudah jelas menegaskan bahwa keterangan yang diberikan oleh seorang saksi sebagai alat bukti adalah keterangan yang dinyatakan di persidangan. Kalimat “dinyatakan disidang pengadilan” ini menjadi abscur atau tidak jelas karena KUHAP tidak menegaskan apakah saksi dapat menyatakan kesaksiannya secara langsung atau tidak, sehingga menjadi celah untuk ditafsirkan.

Model pemeriksaan saksi melalui teleconference ini pun dapat ditafsirkan memenuhi pasal 185 ayat (1) KUHAP karena saksi memberikan keterangannya di depan persidangan namun tidak secara langsung hadir di persidangan. Pasal 160 ayat (1) huruf a dan pasal 167 KUHAP telah menjelaskan kehadiran saksi dalam sidang pengadilan adalah mutlak, tetapi pada prakteknya sudah mulai ditinggalkan untuk mencari kebenaran materiil demi terciptanya suatu keadilan. Pada prinsipnya, esensi pemeriksaan saksi melalui teleconference adalah sama dengan pemeriksaan di depan persidangan sepanjang syarat-syarat pemeriksaan sesuai dengan KUHAP telah dipenuhi.

  • III.    Penutup

    3.1    Kesimpulan

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan diantaranya :

  • 1.    Keterangan saksi melalui teleconference dalam pembuktian pada tindak pidana korupsi adalah legal atau sah menurut hukum yang berlaku sepanjang saksi memenuhi syarat-syarat antara lain harus mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu sesuai Pasal 160 ayat (3) jo. Pasal 185 ayat (7) KUHAP).

  • 2.    Dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa keterangan saksi melalui Teleconference apabila saksi berhalangan hadir atas suatu halangan yang sah dan keterangannya dibutuhkan untuk membantu mencari kebenaran materil, maka nilai keterangannya sama dengan pemeriksaan saksi yang dihadirkan ke persidangan sepanjang syarat-syarat pemeriksaan dalam KUHAP terpenuhi.

  • 3.2    Saran

Adapun beberapa saran yang dapat penulis berikan dalam penulisan jurnal ini diantaranya adalah :

  • 1.    Pemerintah sebaiknya segera merevisi KUHAP agar tidak terjadi perbedaan pandangan dari para penegak hukum terkait pembuktian saksi dalam persidangan. Hendaknya KUHAP mengubah sistem pembuktian dalam hal penyelesaian sengketa dimuka pengadilan yang awalnya bersifat tertutup dan terbatas oleh apa yang ditentukan Undang-Undang sehingga dapat mengakomodir perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.

  • 2.    Hendaknya dalam Rancangan KUHAP, perlu ditegaskan mengenai pengaturan mekanisme pemeriksaan saksi, persyaratan yang harus dipenuhi sesuai peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagai syarat menjadi saksi dalam persidangan dan persyaratan berkaitan dengan tempat pemeriksaan yang harus berada dalam yurisdiksi hukum Negara Indonesia. Karena model pemeriksaan saksi melalui teleconference ini sangat membantu para penegak hukum khususnya hakim dalam menggali kebenaran materiil dan memperlancar jalannya sidang ketika saksi berhalangan hadir ke Pengadilan. Sehingga semua dapat menerapkan pembuktian atau pemeriksaan saksi melalui teleconference dengan mekanisme dan prosedur yang sama.

  • IV.    Daftar Pustaka

    1.    Buku

Arsyad Sanusi et. al., 2003, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pemanfaatan Media Elektronik (Teleconference) Untuk Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana. Badan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta.

Fahrojih Ikhwan, 2016, Hukum Acara Pidana Korupsi, Setara Press, Malang.

Hamzah Andi, 1993, Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.

Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta

Wahid Fathul, 2002, Kamus Istilah Teknologi Informasi, Ed. I. Yogyakarta, Andi.

Wyasa Putra, Ida Bagus, 2012, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Fikahati Aneska, Jakarta.

, 2016, Teori Hukum Dengan Orientasi Kebijakan. Udayana University Press, Denpasar.

  • 2.    Hasil Penelitian dan Jurnal

Damayanti, Ruth Marina, 2014, “Legalitas Keterangan Saksi

Melalui Teleconference Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Pidana”, Jurnal Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, Volume 5, Nomor 1, 2014.

  • 3.    Skripsi

Sinta Dewi HTP, 2012, “Kajian Yuridis Terhadap Keterangan Saksi Melaui Audio Visual (Teleconference) di Persidangan Perkara Pidana”, Skripsi Fakultas Hukum Program

Pascasarjana Hukum dan Sistem Peradian Pidana

Universitas Indonesia, Jakarta.

  • 4.    Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, TLNRI Nomor 3209)

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, TLNRI Nomor 4635)

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembar Negara

Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, TLNRI Nomor 4150)

Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, TLNRI Nomor 5076)

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Telekomunikasi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, TLNRI Nomor 4843)

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 354/Pid.B/2002/PN. Jaksel

17