PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENIPUAN YANG LAHIR DARI HUBUNGAN KONTRAKTUAL*

Oleh :

Putu Meida Anny Liestarini** Ida Bagus Surya Dharmajaya*** Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penipuan secara umum diatur dalam KUHP dan dimuat dalam pasal 378 dan tidak memiliki undang - undang secara khusus. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui bagaimana terjadinya tindak   penipuan    dalam   hubungan   kontrak   dan

pertanggungjawaban pidana dalam penyelesaian diluar jalur pengadilan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian hukum normatif, dengan mengkaji mengenai norma yang terdapat dalam undang – undang dan pendapat para sarjana. Disimpulkan suatu penipuan dapat terjadi apabila salah satu pihak lengah dalam melakukan hubungan kontraktual. Selanjutnya Pembedaan konsep wanprestasi dan penipuan sampai saat ini masih belum mendapatkan acuan, pendapat dan penafsiran yang sama antara hakim dalam pengadilan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penipuan yang lahir dari hubungan kontraktual yang dijatuhi pasal 378 KUHP, dibutuhkan suatu upaya pemahaman untuk aparat penegak hukum tentang adanya arti penting suatu prinsip pembuktian terkait perkembangan penggunakan alat bukti berupa surat kontrak, agar mempunyai suatu pemikiran yang sama tentang nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat yang terdapat dalam KUHAP apakah kejahatan tersebut dapat ditindak secara pidana dan dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan atau wanprestasi.

Kata Kunci :Hubungan Kontraktual, pertanggungjawaban

pidana, penipuan

ABSTRACT

Criminal liability against perpetrators of fraudulent acts is generally regulated in the Criminal Code (KUHP) and contained in Article 378 and does not have a specific law. The purpose of this paper is to find out how a criminal act of fraud in contractual relations and criminal liability can occur in a settlement outside the court. The method used in this study is the normative legal research method, by examining the norms contained in the laws and opinions of scholars. It was concluded that a fraud could occur if one party was negligent in contractual relations. Furthermore, the application of the concept of default and fraud in jurisprudence on cases born of contractual relations, there is no reference, understanding and interpretation of the same, between the Court of First instance, Appeal Level and Cassation. The results obtained from this research are criminal liability for fraudsters born of contractual relations that are subject to Article 378 of the Criminal Code, an effort is needed to understand law enforcement officials about the importance of a proof principle related to the development of the use of evidence in the form of a contract, in order to have a the same thoughts about the value of the power of proof of letter evidence contained in the Criminal Procedure Code whether the crime can be acted criminal and categorized as a crime of fraud or default.

Keywords: criminal liability, contractual relations, fraud

I.


PENDAHULUAN


  • 1.1.    Latar Belakang

Didalam era globalisasi dan perkembangan zaman serta teknologi yang semakin canggih, menambah terjadinya tindak kejahatan di Indonesia. Dalam bidang ekonomi, bisnis menjadi salah satu ajang dilakukannya wanprestasi yang berujung penipuan. Kejahatan bisnis sendiri tidak sedikit yang berujung pada terjadinya tindak pidana khususnya dalam hal perjanjian/kontrak. Kelalaian dan kurang pahamnya salah satu pihak yang melalukan perjanjian atau kontrak dimanfaatkan pelaku untuk meraup keuntungan diluar perjanjian yang tertulis dan disepakati. Suatu perbuatan yang diawali dengan hubungan kontraktual tidak selalu dapat dikatakan sebagai wanprestasi namun dapat juga berujung pada penipuan.

Didalam konteks tersebut, pelanggaran dalam bisnis sudah mendekati tingkat yang mengkhawatirkan dan bahkan perangkat hukum untuk menemukan pelakunya hamper tidak memadai lagi. Singkatnya dalam bisnis hamper sudah tidak ditemukan lagi ketertiban dan kepastian hukum yang berujung itikad baik. Konsekuensi logika dari masalah tersebut adalah diperlukan perangkat hukum lain yaitu hukum pidana untuk membantu menemukan pelaku dan beritikad baik kepada korban.1

Penipuan yang terjadi dalam hubungan kontraktual tidak sedikit diselesaikan dalam ranah hukum pidana karena pada dasarnya kepolisian tidak bisa menindaklanjuti kasus perdata yang dilaporkan oleh korban, maka korban dengan legasnya mengatakan suatu tindakan yang merugikan pihaknya dan merasa haknya tak terpenuhi atau disebut wanprestasi yang

terjadi dalam hubungan kontraktual sebagai tindak pidana penpiuan. Maka dalam pelaporan tersebut, kepolisian yang terkait dapat menganalisis secara khusus apakah tindakan tersebut dikatakan wanprestasi atau tindak pidana penipuan.

Semakin maraknya kejahatan dalam bidang ekonomi khususnya didalam hubungan kontraktual mengharuskan kita sebagai pihak yang terkait dan terlibat dalam kontrak tersebut tidak mudah lengah dan mengerti terlebih dahulu apa yang akan diperjanjikan dan kaitan hukumnya dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Untuk mencegah terjadi hal-hal yang merugikan salah satu pihak yang melakukan hubungan kontraktual.

Secara sosiologis, kejahatan dalam hubungan kontraktual meunjukkan bahwa begitulah keadaan nyata didalam dunia bisnis dan menunjukkan bahwa tidak adanya lagi keramahan (unfriendly business atmosphere) dalam bisnis bahkan seperti sudah tidak ada lagi yang dapat dipercaya selaku pelaku bisnis.2 1.2 Rumusan Masalah

  • 1.    Apakah penyebab terjadinya suatu tindak pidana penipuan dalam kontrak?

  • 2.    Bagaimana pertanggungjawaban pidana yang lahir dari hubungan kontraktual jika diselesaikan diluar pengadilan?

  • 1.3 Tujuan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur pidana dalam penipuan yang terjadi dalam hubungan kontraktual. Serta mengetahui bagaimana penyelesaiannya jika dilakukan diluar pengadilan yang secara umum penyelesaiannya hanya menggunakan jalur pengadilan. Tujuan penulisan ini secara khusus untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban berupa pemidanaan yang dilakukan oleh pelaku, serta mengetahui

tanggungjawab yang dilakukan oleh pelaku penipuan dalam hubungan kontraktual.

  • II.   Isi Makalah

    2.1  Metode

Metode penelitian yang diguganakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif (normative legal research) yang dimana pendekatan yang digunakan dalam menjawab isu hukum yang terdapat didalamnya yaitu pendekatan kasus (the case approach),   pendekatan perundang-undangan (the statute

approach), dan pendekatan analisis konsep hukum (analytical & conseptual approach).

Dan dikatakan sebagai penelitian hukum normatif karena dalam penelitian ini lebih mengedepankan berlakunya norma dalam memfungsikan norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang - undangan.3

  • 2.2    Pembahasan

    2.2.1    Terjadinya Suatu Tindak Pidana Penipuan dalam Kontrak

Kontrak atau perjanjian dapat menghasilkan perikatan apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya seperti apa yang disepakati dalam perjanjian tersebut disebut wanprestasi, artinya prestasi yang seharusnya dipenuhi tidak dilakukan maka hak pihak yang lain yang bersangkutan menjadi tak terwujud dan disebut kerugian. Pihak yang mengalami kerugian jika secara perdata dapat mengajukan gugatan ke pengadilan karena mengalami kerugian atau tidak terpenuhinya hak salah satu pihak. Secara umum, suatu tindak pidana penipuan dapat saja terjadi dalam melakukan suatu perjanjian khususnya dalam hubungan kontraktual, karena ketidakpahaman salah satu pihak dalm melakukan perjanjian atau kontrak.

Kelengahan tersebut dilakukan oleh pelaku dalam melakukan aksinya untuk melakukan suatu penipuan, penipuan biasanya terjadi untuk menguntungkan diri sendiri dari pihak lain yang terlibat dalam kontrak. Keadaan tersebut membuat pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak dapat saja melakukan kecurangan. Maka terlebih dahulu pihak-pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak memahami isi kontrak tersebut.

Perjanjian atau kontrak dapat dibuat dengan cara dibawah tangan atau akte dibawah tangan dan dapat pula dengan akte notariil atau akte autentik. Dalam kontrak yg dilakukan didalam akte dibawah tangan tidak melibatkan pejabat yang pada umunya berwenang, hanya terbatas oleh para pihak. Namun berbeda hal nya dengan akte notarill yang didalamnya dapat terlibat pihak yang berwenang, dari pihak ketiga yaitu pejabat yang pada umunya berwenang. Secaara teoritis akte dibawah tangan yang tanpa keterlibtan dari pihak pejabat yang berwenang banyak terdapat rawannya adanya suatu penipuan, adanya penipuan disebabkan karena ketidaktauan dari pihak lainnya.

Dapat terjadi dengan tipuan atau muslihat, kebohongan, dengan memakai nama palsu salah satu pihak dalam menutup kontrak/perjanjian, padahal senyatanya mereka tidak tahu apa yang diakseptasikan. Meski tidak banyak bila dibandingkan dengan akte dibawah tangan, akte autentik pun diakseptasi karena adanya penipuan karena pejabat yang berwenang sebenarnya hanya mengkonstantir kesepakatan para pihak. Pejabat yang berwenang hanya meneliti kebenaran formil, tidak bertanggung jawab atas kebenaran materiil.4

  • 2.2.2    Pertanggungjawaban Pidana di Luar Pengadilan Terhadap Tindak Pidana Penipuan yang Lahir dari Hubungan Kontraktual

Syarat dalam dijatuhinya pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penipuan dari kontrak yaitu dengan terpenuhinya segala unsur-unsur kejahatan dan dapat dibuktikan bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja dan diperbuat dengan kondisi sadar perbuatan tersebut dilanggar oleh undang-undang. Kontrak yang telah dibuat, seringkali kewajibannya tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka timbul kerugian pada salah satu pihak. Maka pihak yang tidak memenuhi kewajibannya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana yang diselesaikan diluar pengadilan maupun didalam pengadilan berdasarkan dengan ketentuan umum dalam KUHP yang masih menganut asas-asas umum bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana akan mendapat sanksi melalui proses peradilan pidana.

Bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penipuan yang lahir dari hubungan kontraktual dapat dikenakan melalui pasal 378 KUHP. Namun juga tidak sedikit tindak pidana penipuan yang terjadi dalam kontrak diselesaikan diluar proses peradilan guna mencapai keselarasan yang baik tanpa terjadinya suatu konflik yang berkepanjangan secara kekeluargaan. Berbicara tentang penganggulangan kejahatan pada umumnya, khususnya kejahatan dalam tindak pidana penipuan membawa kasus ini ke dalam “kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan kriminal yang biasanya dilakukan ditujukan sebagaai usahha rasiional massyarakat dalampenanggulangan kejahatan. Menurut pendapat Sudarto, dalam gerak operasionalnya merujuk pada dua jalur yaitu:

  • a.    Kebijakan jalur Penal

  • b.    Kebijakan kriminal jalur Nonpenal5

Barda Nawwawi Arief juga mennyatakan bahwa upayya penanggullangan kejahattan secara garis besar dapat dikelompokkn mnjadi dua, yaitu melalui jalur “penal” (hukum pidana) yang meniitikberattkan pada tindakann yang bersiifat “represif” (penindakan, pemberantasan, dan penumpasan) setelah kejjahatan itu terjadi, dan menggunakan jalur “non penal” (diluar hukum pidana) lebih menitikberatkan pada sfat “prefentif” (pencegahan, penangkalan, pengendalian) sebelum kejjahatan itu terjadii.6 Pembahasan kali ini merujuk pada penyelesaian tindak pidana penipuan melalui jalur nonpenal atau jalur diluar pengadilan pidana. Penanggulangan atau penyelesaian secara jalur nonpenal, mempunyai tujuan yaitu penyadarran untuk meningkatkan kesadarran hukum untuk mencegah perbuatan yang dapat merugikan masyarakat. Penyelesaian diluar pengadilan biasanya melalui proses mediasi dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Penyelesaian melalui mediasi biasanya ditempuh oleh pihak yang ingin menyelesaikan suatu perkaranya tidak dengan proses pidana, namun ingin agar perkaranya dapat terselesaikan dengan memiliki jaminan kepastian hukum yang tetap. Penyelesaian melalui jalur mediasi, penyelesaian perkara melalui pengengah yaitu mediator. Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa nonlitigasi berdasarkan kesepakatan bersama para pihak melalui penengah (mediator) yang netral dan tidak membuat keputusan, tetapi secara aktif memfasilitasi dialog kedua pihak yang terbuka

dan jujur untuk mencapai mufakat.7 Mediaror yang tidak memihalk bekerja aktif dengan para pihak yang bersengketta unttuk membantu dalam mencari kesepakatan dalam perdamaian.8 Penyellesaian yaang diiwujudkan dallam mediasi ini adalah compromise atau kompromi di antara para pihak yang berperkara.

Jika dalam penyelesaian hukum pidana, mediasi yang digunakan adalah mediasi penal karena ide dari mediasi penal adalah bagian dari Pembaharuan Hukum Pidana (Penal Reform) dengan alasan lain adalah perlindungan korban dengan upaya upaya alternatif pemidanaan (selain penjara).9 Mediasi penal juga merupakan upaya penerapan keadilan restoratif. Penyelesaian melalui mediasi penal dapat dilakukan oleh kepolisian yang sebagai pintu utama dalam sistem peradilan pidana, dengan kewenangan diskresinya dalam menyelesaikan suatu perkara perlindungan komsumen berdasarkan surat telegram rahasia Kepolisian Negara Republik Indoneisa No: STR/583/VII/2012 Tanggal 8-8-2012 Tentang Contoh Penanganan Kasus yang berkaitan dengankonsep Restoratif Justice.

Jika dalam pemenuhan kerugian melalui jalur diluar pengadilan masih tidak mendapatkan haknya maka pihak yang dirugikan dapat menuntut kembali melalui jalur penal atau pengadilan karena itikad baik pihak tersebut tidak dihargai. Dengan tujuan menyadarkan pelaku tidak terlepas sebagai hakikat manusia.

  • III.  Penutup

    3.1  Kesimpulan

  • 1.    Terjadinya tindak pidana penipuan dalam suatu bisnis/usaha    seringkali    terjadi    melalui    suatu

kontrak/perjanjian. Kontrak/perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan kedua pihak yang melakukan kontrak, dimana kedua belah pihak harus memahami isi yang disepakati dalam kontrak. Seringnya ketidakpahaman salah satu pihak akan hukum dan isi yang disepakati membuat mudahnya terjadi wanprestasi yang berujung penipuan.

  • 2.    Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penipuan yang lahir     dari     hubungan     kontraktual     dapat

dipertanggungjawabkan melalui jalur Penal dan Nonpenal, jika merujuk pada KUHP tidak mengenal adanya jalur Nonpenal. Pihak yang merasa dirugikan dalam suatu kontrak yang merujuk penipuan dapat menggugat pihak yang merugikan ke pengadilan dan dijerat dengan pasal 378 KUHP jika melalui jalur penal, namun penyelesaian melalui jalur nonpenal dilakukan dengan cara mediasi penal.

  • 3.2    Saran

Untuk menjatuhkan suatu tindak pidana, disarankan untuk mengkategorikan terlebih dahulu kasus tersebut apakah dapat dikatakan sebagai tindak pidana penipuan atau wanprestasi secara perdata, karena kebanyakan pihak yang dirugikan ingin menuntut balik kerugiannya dengan cara menggugat pelaku sedangkan pihak yang dirugikan sendiri tidak mengerti apakah itu penipuan atau wanprestasi. Dengan membuat berupa aturan baru yang mengatur tentang kejahatan dalam berbisnis apakah wanprestasi  dapat dijatuhi tindak pidana atau tidak.

Daftar Pustaka

Buku:

Atmasasmita, Romli. 2014, Hukum Kejahatan Bisnis: Teori dan Praktik di Era Globalisasi, Prenadamedia Group, Jakarta.

H. Zainuddin Ali, 2016, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Iswi Hariyani, 2018, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyaraka; Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung.

Jurnal Ilmiah:

Maadia, Roknel. 2015, Tindak Pidana Penipuan dalam Hubungan Kontraktual Menurut Hukum Pidana Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Natakharisma, Keyzha. 2013, Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Pidana di Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Peraturan Perundang-undangan:

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Surat Telegram Rahasia Kepolisian Negara Republik Indonesia No. STR/583/VII/2012 Tanggal 8-8-2012