SISTEM BLOKIR DAN SITA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA AGRARIA DILUAR PENGADILAN UNTUK MELINDUNGI HAK PEMBELI BERITIKAD BAIK

Oleh:

Prianggieta Ayuni* Made Maharta Yasa** Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstark

Sengketa tanah sebuah permasalahan yang sering ditemui dalam proses berperkara di pengadilan, sehingga untuk mengantisipasi adanya peralihan hak atas tanah yang berujung pada kerugian bagi pihak yang telah membeli dengan itikad baik, maka tanah tersebut diberikan perlindungan hukum baik melalui ketentuan secara pidana yang diatur pada syarat dan tata cara penyitaan, dan atau melalui sistem blokir dan sita melalui Badan Pertanahan Nasional sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita. Penulisan Penelitian Hukum ini mengacu pada 2 (dua) rumusan masalah yakni : Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pembeli yang beritikad baik dengan menerapakan sistem pemblokiran tanah dan sita tanah oleh Badan Pertanahan Nasional?; dan Bagaimanakah subyek hukum dapat menerapkan sistem sita dan blokir terhadap penyelesaian sengketa tanah diluar pengadilan?. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan didukung oleh pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis dan konseptual. Hasil penelitian menunjukan bahwa : Memberikan jaminan Perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap pembeli beritikad baik. Kehadiran sistem sita dan blokir di Badan Pertanahan Nasional juga dapat membantu penyelesaian sengketa alternative, sehingga tahap awal, seperti negosiasi dan mediasi dapat dilakukan sebaik mungkin dalam hal melindungi kepentingan subyek hukum yang memiliki atau turut memiliki hak atas tanah tersebut, sehingga konflik masalah sengketa tanah dapat diperkecil.

Kata Kunci :  Perlindungan Hukum, Sistem Pemblokiran, Sita

Tanah.

Abstract

proce Land disputes that occur in the process of daily behavior make it possible to issue land rights which lead to losses for those who have bought in good faith, and the land is given properly and appropriately. Procedures for seizure, and or use of blocking and seizure systems through the National Land Agency in the Minister of Agrarian and Spatial Planning / Head of the National Land Agency Number 13 of 2017 concerning Procedures for Blocking and Seizure. Writing this research refers to two (2) formulation of the problem, namely: How is the legal protection of buyers with good intentions by applying the system of blocking land and seizure of land by the National Land Agency; and How can legal subjects apply the seizure system and block explicit land disputes outside the court?. The method used is a normative legal research method supported by an invitation-approach, analysis and conceptual approach. The results of the study indicate that: Legal protection and legal certainty towards buyers have good intentions. The presence of a seizure and blocking system at the National Land Agency can also help alternative alternatives, making it easier and possible to take possible actions for matters that are in accordance with the law that has rights to the land can minimize the disputes.

Keywords:    Legal Protection, Blocking, Seizure Systems.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Negara yang memiliki hak konstitusional dalam Kewenangan Pemerintah atas pertanahan telah mengatur tentang tanah, dan juga pemanfaatannya sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945) yang didalamnya memasukan unsur kesejahteraan masyarakat. Demi menjaga kestabilan dari fungsi sosial tanah tersebut, maka pemerintah menetapkan berbagai peraturan yang diharapkan dapat mengatur, mengelola serta menata penggunaan sebidang tanah sesuai dengan peruntukannya.1 Hal inilah yang disampaikan sebagai agenda kebijakan dalam proses pengaturan tanah oleh Badan Pertanahan Nasional.2

Kegentingan dalam proses penyelesaian masalah pertanahan di Indonesia kemudian menempatkan tanah sebagai sebuah obyek yang sangat bernilai ekonomi, alhasil nilai jual dari tanah semakin meningkat. Menanggapi persoalan ini, maka pemerintah melalui ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Pengelolaan dan Pemanfaatan Agraria berlakulah sebuah kebijakan yang mengharuskan masyarakat untuk ikut aktif dalam mendaftarkan tanah yang ia miliki.3 Hasil akhir dari pendaftaran tanah yakni sertifitkat sebagai bukti kepemilikan yang akan diberikan kepada pihak pendaftar.4

Pemberian sertifikat tersebut memberikan sircherkeit des rechts selbst (kepastian hukum) kepada seorang masyarakat akan kepemilikan sebidang tanah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1997.5

Beberapa kasus yang terjadi telah memberikan sebuah bukti bahwa sertifikat sebagi bukti Hak masih menjadi permasalahan. Perlindungan hukum pembeli yang beritikad baik belum maksimal. Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam jual beli hak atas tanah harus memiliki kelengkapan formil salah satunya berupa bukti kepemilikan tanah yakni dibuktikan dengan sertipikat. Fenomena sertifikat ganda dan sengketa jual diatas jual atas kepemilikan tanah banyak terjadi. Sertifikat yang didapatkan atas hasil jual-beli tanah tersebut sejatinya memiliki kedudukan hukum sebagai alat bukti6, namun keabsahan sertipikat atas Hak tanah tersebut yang sering menjadi sengketa tanah pada jual beli, apakah dengan lahirnya peraturan terbaru agraria tentang sita dan blokir mampu menjadi pembaharuan dalam hukum agraria dalam menyelesaikan sengketa tahap awal diluar pengadilan sehingga sengketa tidak meluas? Pertanyaan tersebut yang akan menjadi arah penulisan jurnal ini.

  • 1.2    Rumusan Masalah

    • 1.2.1    Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pembeli yang beritikad baik terhadap penerapan sistem pemblokiran tanah dan sita tanah oleh Badan Pertanahan Nasional?

    • 1.2.2    Bagaimana subyek hukum dapat menerapkan sistem sita dan blokir terhadap penyelesaian sengketa tanah diluar pengadilan?

  • II.    Isi Makalah

    2.1    Metode Penulisan

Metode ditafsirkan sebagai sebuah alternatif yang digunakan untuk dapat mencapai sebuah hasil.7 Metode yang digunakan dalam proses penulisan jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif yang menurut Dyah Ochtorina dengan mengutip pendapatnya Soejono Soekanto dijelaskan sebagai bentuk penelitian kepustakaan.8 Penelitian ini bersifat monodisipliner yang didukung oleh pendekatan peraturan perundang-undangan (the statue approach), pendekatan analisis dan konseptual (analitical and conseptual approach), dan pendekatan kasus (the case approach).9

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Perlindungan Hukum terhadap Pembeli Beritikad Baik dalam Penerapan Sistem Pemblokiran dan Penyitaan Tanah

Perlindungan hukum merupakan sebuah wacana yang dipropagandakan dengan maksud untuk menjamin hak seseorang.10 Lazimnya, sistem pemblokiran tanah dan penyitaan tanah  diterapkan  untuk sebuah tanah yang sedang

disengketakan.11 Iwan menjelaskan bahwa konteks sengketa tanah juga dapat dikarenakan adanya permasalahan kepemilikan tanah secara ganda yang dibuktikan dengan sertifikat.12 Mengantisipasi persoalan yang terjadi, pemerintah kemudian menetapkan kebijakan berupa penyitaan dan pemblokiran tanah dengan maksud untuk memberikan jaminan atas kepemilikan tanah melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita (untuk selanjutnya disebut Permenag 13 Tahun 2017 tentang Blokir dan Sita). Secara konseptual, blokir dan sita tanah merupakan sebuah istilah sah yang digunakan untuk mengindikasikan aktifitas pemblokiran dan penyitaan tanah di wilayah Republik Indonesia.

Pada tataran prosedural, Pasal 1 angka 1 Permenag 13 Tahun 2017 tentang Sita dan Blokir menetapkan bahwa pemblokiran tanah hanya diperkenankan untuk dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan ataupun pejabat yang memiliki otoritas agar dapat menentukan status quo atas sebidang tanah. Permohonan pencatatan blokir dapat diajukan secara perseorangan, badan hukum ataupun penegak hukum. Iwan Parmadi menjelaskan bahwa dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pencatatan pemblokiran tanah ditujukan untuk memberikan kepastian hukum atas obyek dan subyek yang bersengketa.13 Namun, penting untuk memahami bahwa sekalipun pencatatan pemblokiran tanah dipegang oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional akan tetapi sifatnya tidak mutlak, sebab mengacu pada Pasal 19 ayat 2 Permenag 13 Tahun 2017 tentang Sita dan Blokir hanya dapat dilaksanakan melalui

perintah atau instruksi dari beberapa pejabat ataupun instansi tertentu.

Berbeda halnya dengan blokir yang dicatatkan dalam pencatatan blokir, sita memiliki pengaturan yang terpisah. Pasal 1 angka 3 Permenag 13 Tahun 2017 tentang Sita dan Blokir menetapkan bahwa pencatatan penyitaan tanah merupakan tindakan administratif dalam rangka mewujudkan akuntabilitas administratif.14 Penyitaan sendiri ditujukan demi kepentingan dari penyidikan ataupun perkara dari aparat penegak hukum yang bersangkutan. Penyitaan tersebut akan menjadi sebuah dasar yuridis yang menghapuskan semua bentuk prestasi jual-beli yang terjadi di atas lahan ataupun tanah yang telah ditentukan.15 Pasal 26 Permenag 13 Tahun 2017 tentang Sita dan Blokir juga telah menetapkan klasifikasi penyitaan sesuai dengan peruntukan kondisi yang dihadapi diantaranya meliputi perkara, utang-piutang dan kepentingan pidana.

Akan tetapi, lemahnya penegakan hukum untuk tindakan penyitaan dan pemblokiran tanah juga turut menjadi persoalan yang masih belum dapat terselesaikan.16 Pada umumnya, penyitaan dan pemblokiran tanah diikuti dengan ketentuan untuk membekukan sertifikat hak milik atas tanah yang merupakan syarat otentik kepemilikan atas tanah jika mengacu pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.17 Lebih jauh lagi, Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juga telah

menetapkan bahwa hak milik memegang kedudukan paling tinggi sebagai legitimasi penguasaan tanah secara individual ataupun secara berkelompok.18 Lemahnya pengecekan tersebut akan mengakibatkan kerugian terhadap pembeli tanah yang telah melunasi pembayaran sebagai bentuk perpindahan kepemilikan atas tanah dengan dibuktikan melalui AJB.19

Dengan demikian, konsep itikad baik akan lebih menunjukan performanya apabila disandingkan dengan asas nemo plus juris transfere quam ipse habet.20 Pasal 1491 KUHPerdata juga telah menentukan bahwa penjual bertanggungjawab atas prestasi yang dilakukannya serta harus mengantisipasi adanya kecacatan dibalik semua itu, dan wajib memastikan tidak adanya praktik cacat tersembunyi pada sebuah barang.21

  • 2.3.2    Peluang Bagi Masyarakat dalam Menerapakan Peraturan Sita dan Blokir Pada Penyelesaian Senketa Diluar Pengadilan

Pemblokiran dan penyitaan terhadap tanah memiliki dampak secara langsung kepada hak milik atas tanah yang dimiliki secara perseorangan ataupun berkelompok. Jika mengacu pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak milik menempati posisi teratas yang sekaligus menampilkan bahwa hak milik merupakan hak tertinggi atas tanah yang dapat dimiliki oleh

seorang individu ataupun badan hukum.22 Sehingga, dapat pula disimpulkan bahwa pemblokiran dan penyitaan tanah merupakan sebuah tindakan legal yang bertujuan untuk melemahkan kedudukan hak milik, implikasinya adalah seseorang tidak dapat melakukan prestasi atas hak milik tersebut.

Lebih lanjut, beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa hak milik yang dapat diblokir ataupun disita bukan semata-mata diperuntukan untuk hak milik pribadi atau perseorangan namun pada hak milik berkelompok sesuai dengan kebutuhan hukum. Iwan Parmadi juga menjelaskan bahwa bentuk hak yang dapat dijadikan sebagai obyek dari blokir dan sita tanah diantaranya meliputi hak manusia yang bersifat individual yang diindikasikan pada pengelolaan hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; hak tanah yang bersifat pribadi yang diindikasikan pada penggunaan tanah sesuai dengan kebutuhannya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; serta hak atas tanah yang mengandung unsur kebersamaan yang diidentifikasi sebagai hak bangsa dalam pengelolaan tanah nasional dengan menjadikan negara sebagai pengurus hak bangsa.23

Keberadaan blokir dan sita tanah yang melekat pada tanah yang bermasalah mengakibatkan ditangguhkannya hak atas tanah untuk sementara waktu. Blokir dan sita memiliki dampak yang berbeda namun secara serentak akan membekukan hak milik atas tanah. Keberadaan blokir dan sita tanah juga mempengaruhi kecakapan dari seorang subyek hukum untuk melakukan sebuah prestasi jual-beli atas tanah yang diawali dengan sebuah

perjanjian sebagaimana dikodifikasikan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata.24 Dengan menempatkan mayarakat sebagai target dari pemberlakuan kebijakan, aturan tersebut secara potensial diharapkan mampu menjadi solusi atas permasalahan yang sementara dihadapi. Meskipun demikian, pemberlakuan Peraturan Menteri ATR Nomor 13 Tahun 2017 tentang Sita dan Blokir (Permenag 13 Tahun 2017 tentang Sita dan Blokir) memiliki penjabaran yang lebih kompleks dari Peraturan Menteri ATR Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan yang selanjutnya disingkat (Permenag 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan). Sengketa tanah yang dimaksudkan pada peraturan tersebut dimungkinkan peran serta secara terbatas dari inisiatif pejabat agraria dan pengaduan masyarakat, sedangkan Permenag 13 Tahun 2017 tentang Sita dan Blokir memiliki pengaturan yang lebih jelas dengan mengklasifikasikan partisipasi permohonan berdasarkan jenisnya yakni blokir maupun sita.

Pada kerangka teoritis kasus pertanahan secara kontekstual dibagi atas tiga yakni (1) Sengketa tanah yang dinilai tidak memberikan dampak luas; (2) Konflik tanah yang merupakan konflik yang melibatkan banyak pihak disamping memberikan dampak luas; sedangkan (3) Perkara tanah yang cangkupan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan. Kaitannya dengan konteks ini, penyelesaian sengketa tanah yang memberikan dampak tidak secara luas dimungkinkan untuk diselesaikan oleh para pihak secara kekeluargaan dengan memanfaatkan penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau lazimnya disebut Alternative Dispute Resolution (ADR) yang telah diatur secara formil

dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Meninjau dalam Pasal 2 ayat (2) Permenag 13 Tahun 2017 tentang Sita dan Blokir, maksud dan tujuan penjabaran yang lebih kompleks adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan standarisasi serta tertib administrasi sebagaimana yang dibenarkan dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang memuat kettentuan unsur kepastian hukum dan pelayanan yang baik. Permenag 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan berdasarkan asas preferensi yakni lex spesialis dapat dikesampingkan dengan maksud melaksanakan pembaharuan administrasi progresif di Indonesia. Menarik untuk dicermati bahwa Pasal 4 ayat (1) Permenag 13 Tahun 2017 tentang Sita dan Blokir, turut menentukan subyek yang memiliki kualifikasi untuk dapat mengajukan permohonan blokir sedangkan sita dalam Pasal 27 permen a quo dengan subyeknya yakni juru sita pengadilan dan pihak yang berkepentingan. Permenag 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, pada Pasal 4 menjelaskan konteks subyek yang mampu memohonkan sebuah penyelesaian masalah pertanahan namun turut ditegaskan kembali pada Pasal 50 Permenag 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, dengan indikasi pihak yang berkepentingan. Sekalipun memiliki pengaturan yang lebih kompleks, Permenag 13 Tahun 2017 tentang Sita dan Blokir, pada Pasal 9 membenarkan adanya pengkajian dan pencatatan sehingga sekalipun memiliki kompleksifitas atau kesulitan yang kompleks pada subyeknya, setiap permohonan yang diajukan tidak dapat semata-mata diterima.

Oleh karena tidak terpenuhinya kompetensi berupa kepemilikan atas tanah maka seseorang tidak dapat melakukan transfer hak milik melalui aktifitas jual-beli ataupun melakukan aktifitas lain diatas tanah yang disengketakan. Dalam kondisi seperti ini, berlaku asas nemo plus juris yang menghendaki bahwa setiap orang tidak dapat untuk melakukan transfer atas barang yang tidak penuh dalam penguasaannya.25 Alhasil, jika barang tersebut tetap untuk diperjual belikan maka dampak yang akan timbul yakni perjanjian jual-beli atas tanah ataupun aktifitas lain yang sudah terlanjut dilaksanakan diatas tanah yang bersengketa tersebut akan dikatakan batal demi hukum. Penerapan dari asas nemo plus juris dalam segi keperdataan cenderung dibarengi dengan tindakan yang berdasar pada itikad baik. Dampak dari pembatalan tersebut mengakibatkan terputusnya prestasi antara penjual dan pembeli sehingga akan mengakibatkan kerugian bagi kedua belah pihak.

Dengan adanya Permenag 13 Tahun 2017 tentang Sita dan Blokir, maka setiap pihak yang berperkara ataupun yang hendak menyelesaikan sengketa tanah mampu untuk secara dominan mengambil peran dalam proses penyelesaian persoalan yang dihadapinya tanpa adanya intervensi sebagaimana pada prosedur litigasi pada umumnya. Aturan tersebut akan lebih menjamin penyelenggaraan tertib administrasi sesuai prosedur yang ditetapkannya, disamping memungkinkan para pihak untuk menyelesaikan persoalannya sendiri tanpa takut dan khawatir akan proteksi hukum yang dilekatkan padanya. Eksistensi dari pengaturan yang kompleks tersebut juga membuktikan bahwa

prosedur sita yang dibenarkan dalam konteks penegakan hukum tidak semata-mata diperuntukan untuk sengketa pidana akan tetapi juga turut dibuat untuk sengketa perdata dengan kata lain mampu mengkondisikan penerapan aturan itu sendiri.

  • III.  Penutup

    3.1  Kesimpulan

Hasil akhir dari jurnal ini mengarah pada 2 (dua) kesimpulan bahwa:

  • (1)    Perlindungan hukum yang diberikan kepada pembeli yang beritikad baik dalam melakukan aktifitas jual beli tanah dengan diterapkannya sistem blokir dan sita tanah oleh badan pertanahan nasional melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita atau Permenag 13 Tahun 2017 tentang Sita dan Blokir terbagi menjadi dua yakni perlindungan hukum preventif melalui pertimbangan yang berdasar pada itikad baik

terhadap pengajuan perkara inspraak serta tindakan represif melalui denda, penjara atau dapat dibebankan dengan tindak pidana tambahan lainnya.

  • (2)    Kehadiran Peraturan Menteri ATR Nomor 13 Tahun 2017 tentang Sita dan Blokir atau Permenag 13 Tahun 2017 tentang Sita dan Blokir memberikan kepastian hukum terhadap para pihak yang hendak menyelesaikan masalah diluar pengadilan atas prosedur, tata cara, serta syarat dan beberapa pengaturan lain yang secara formil memberikan pencerahan dan perlindungan hukum kepada pembeli beritikad baik dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. Pengesampingan terhadap Peraturan Menteri ATR Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan atau Permenag 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan telah mencerminkan adanya pembaharuan hukum yang menjamin hak dari pembeli beritikad baik dalam penyelenggaraan Negara. Penyelesaian sengketa

alternatif melalui jalur mediasi dan negosiasi sehingga tidak menyebabkan melebarnya sengketa tersebut.

  • 3.2  Saran

  • (1)   Terkait lemahnya perlindungan hukum dalam bentuk

pengawasan oleh Badan Pertanahan Nasional dalam sistem pengecekan sertifikat atas tanah maka perlu adanya responsitas atau kehati-hatian sehingga penting bagi para pihak dalam instansi Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan pembenahan atas kebijakan yang sebelumnya diterapkan. Penting untuk pemerintah agar terus bersosialisasi untuk mengurangi rendahnya pemahaman masyarakat atas peraturan yang berlaku serta rendahnya kesadaran dari penegak hukum menjadi sebuah batu sandungan bagi masyarakat untuk mencapai keadilan.

  • IV.    Daftar Pustaka

    1.    Buku

Fajar, Mukti. et.all. 2009. “Dualisme Penelitian Hukum Normatif

dan Empiris”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Subekti. 1987. “Hukum Perjanjian”. Bandung.

Susanti, Dyah Ochtorina. et.all. 2013. “Penelitian Hukum, Legal Research”, Surabaya: Sinar Grafika.

Widjaja, Gunawan. et.all. 2003. “Jual Beli”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Andi Hartanto, 2014, Hukum Pertanahan Karakteristik Jual Beli Tanah yang belum terdaftar Hak Atas Tanahnya,Surabaya.

Adrian Sutedi, 2014, Sertifikat Hak Atas tanah ,Jakarta.

  • 2.    Hasil Penelitian dan Jurnal

Anggoro, Denny Widi. et.al. 2016. “Tinjauan Yuridis Normatif

Terhadap Peralihan Hak Atas Tanah Karena Pewarisan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah”. Jurnal Panorama. Program Studi Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang.

Halolo, Cahriyah. 2015. “Perlindungan Hukum Kepada Pembeli

Yang Beritikad Baik Dalam Hal Dilakukannya Pencatatan Blokir Dan Sita Pada Sertipikat Hak Atas Tanah Oleh Kantor Pertanahan Kota Medan”. Premise Law Journal. Universitas Sumatera Utara (USU).

Hapsari, Sawin Dwi. 2014. “Peran Notaris Dalam Implementasi

Asas Nemo Plus Yuris Dan Itikad Baik Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Sebagai Dasar Pembuktian Bagi Pemiliknya”. Jurnal Akta. Program Studi Magister Kenotariatan. Fakultas Hukum Universitas Sulawesi Utara.

Kumalasari, Yulia. 2016. “Perlindungan Hukum Terhadap Pihak

Pembeli Beritikad Baik Dalam Jual Beli Tanah Bengkok”. Jurnal Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.

Permadi, Iwan. 2016. “Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Tanah Bersertifikat Ganda Dengan Cara Itikad Baik Demi

Kepastian Hukum”. Jurnal Yustitia. Program Studi Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Putera, Fani Martiawan Kumara. 2015. “Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah Karena Cacat Administratif Serta Implikasinya Apabila Hak Atas Tanah Sedang Dijaminkan”. Jurnal Perspektif. Program Studi Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

Putro, Widid Dwi. et.al. 2016. “Penelitian Sosio-Legal Terhadap

Pembeli Beritikad Baik dan Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli”. Natherland: Kingdom Of The Natherlands Press.

Putri, Kurnia Martini Dwi. 2016. “Status Hukum Peralihan Hak Atas Tanah Yang Diperoleh Dari Lelang Berdasarkan Hak Mendahulu Negara”. Jurnal Fiat Justitia. Badan Pertanahan Nasional Kota Bandar Lampung.

Rusmanto. 2015. “Pelaksanaan Pengecekan Sertifikat Hak Atas

Tanah Dalam Jual Beli Hak atas Tanah”. Jurnal. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi.

  • 3.    Skripsi

Ismail, Ismaniar. 2013.  “Efektivitas Layanan Rakyat Untuk

Sertifikasi Tanah (Larasita) Di Kota Makassar”. Skripsi. Program Studi Administrasi Negara. Jurusan Ilmu Administrasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

Lestari, Ningrum Puji. 2008. “Kecakapan Bertindak Dalam Melakukan Perbuatan Hukum Setelah Berlakunya Undangundang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris”. Tesis. Program Studi Magister Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

Nurkholis, Agus. 2009. “Strategi Pelayanan Sertifikasi Tanah di Kantor Pertanahan Karanganyar”. Skripsi. Jurusan Ilmu Administrasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Putri, Chintiya Agnisya. et.all. 2018.  “Efektivitas Pengecekan

Sertifikat Terhadap Pencegahan Sengketa Tanah Dalam Proses

Peralihan Hak Atas Tanah”. Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UNISSULA.

  • 4.    Bahan Hukum

Undang-Undang Dasar Negara Repblik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, diundangkan di Jakarta pada tanggal 24 September 1960. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 Januari 2012. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2280.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris Untuk Kepentingan Umum, Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Untuk Kepentingan Umum, Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 October 2014. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita, diundangkan di Jakarta pada 9 Agustus 2017. Berita Acara Republik Indonesia Nomor 1112.

18