PENGATURAN TERHADAP SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA (JUSTICE COLLABORATOR) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAJI DARI PERSPKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA
on
PENGATURAN TERHADAP SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA (JUSTICE COLLABORATOR) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAJI DARI PERSPKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA
Oleh:
Ayu Diah Pradnya Swari P.J* Ni Nengah Adiyaryani** Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Justice collaborator merupakan tersangka yang kedudukannya memberikan keterangan mengenai kejahatan atau tindak pidana yang di lakukannya guna mengungkapkan pelaku utama dari kejahatan. Istilah justice collaborator menjadi populer dalam ekstensi penegak hukum pidana pembuktian serta pengungkapan kasus korupsi. Justice Collaborator memiliki peran sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang bekerjasama dengan aparatur kepolisian dalam hal memberikan informasi yang ia ketahui guna menemukan pelaku dan barang bukti lainnya. Manfaat Justice Collaborator erat kaitanya dengan adanya tersangka dan alat bukti yang baru dalam pidana korupsi yang belum ditemukan oleh penegak hukum di Indonesia dengan berbagai macam upaya. Salah satunya dengan menggali keterangan dari tersangka yang bersedia bekerjasama kepada aparatur penegak hukum. Penulisan jurnal ini mengangkat dua rumusan masalah, yakni: Bagaimanakah pengaturan justice collaborator dikaji dari sistem peradilan pidana serta bagaimanakah ius constituendum terhadap pengaturan justice collaborator dalam sitem peradilan pidana di indonesia. Jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep hukum, dan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian menunjukan lemahnya aturan-aturan hukum yang mengatur mengenai justice collaborator dalam hal penanganan kasus tindak pidana korupsi yang setiap tahunnya mengalami peningkatan dan perkembangan modus operandi yang semakin kompleks membuat para penegak hukum kesulitan menemukan pelaku utama dikarenakan pengaturan justice collaborator di Indonesia masih mengalami kekosongan atau vacuum of law. Maka dari itu merupkan suatu hal yang penting untuk memprioritaskan pengaturan hukum secara khusus mengenai justice collaborator dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Kata Kunci : Justice Collaborator, Korupsi, Sistem Peradilan
Pidana.
Abstrack
Justice collaborator is a suspect whose position is to provide information about crimes or crimes committed in order to reveal the main perpetrators of crime. The term justice collaborator has become popular in proving criminal law enforcement evidence and disclosure of corruption cases. Justice Collaborator has a role as the perpetrator of corruption in collaboration with the police apparatus in terms of providing information he knows to find perpetrators and other evidence. The benefits of Justice Collaborator are closely related to the presence of suspects and new evidence in corruption crimes that have not been found by law enforcement in Indonesia with a variety of efforts. One of them is by extracting information from suspects who are willing to cooperate with law enforcement officials. Writing this journal raises two formulation of the problem, namely: How is the arrangement of justice collaborator assessed from the criminal justice system and how is ius constituendum to regulate justice collaborator in the criminal justice system in Indonesia. This journal uses normative legal research methods with a legislative approach, legal concept approaches, and qualitative approaches. The results of the study show that the weak legal rules governing justice collaborator in handling cases of corruption that are increasing every year and the development of increasingly complex modus operandi make it difficult for law enforcers to find the main actors because justice collaborator arrangements in Indonesia are still in a vacuum or vacuum of law. Therefore, it is important to prioritize legal arrangements specifically regarding justice collaborator in the criminal justice system in Indonesia.
Keywords : Justice Collaborator, Corruption, Criminal Justice System.
Korupsi dapat dikategorikan sebagai sebuah kejahatan yang sistematis, massif dan teroganisir.Pengungkapan tindak pidana korupsi cukup sulit, karena memiliki sifat dan karakteristik sebagai kejahatan luar biasa.Kejahatan korupsi yang juga tergolong sebagai kejahatan luar biasa atau diistilahkan sebagai extra ordinary crime memiliki sifat dan karakter yang berkaitan dengan kekuasaan seseorang yang sedang memegang jabatan pada suatu sitem pemerintahan mulai dari sistem pemerintahan desa hingga sistem pemerintahan pusat seperti eksekutif dan legislatif pada tatanan kenegaraan suatu negara. Sifat dari tindak pidana korupsi yakni memiliki modus operandi yang berbagai
macam dan selalu berubah dan menemukan modus operandi yang baru.Tindak pidana korupsi berkaitan dengan kerugian keuangan negara.
Justice Collaborator bertujuan untuk memudahkan pembuktian dan penuntutan serta dapat mengungkap tuntas suatu tindak pidana terutama yang berkaitan dengan kejahatan yang terorganisasi. Dalam konteks ini, kasus korupsi di Indonesia yang tidak pernah dilakukan sendirian melainkan bersifat kolektif, serta justice collaborator digunakan untuk mengungkap kejahatan yang terorganisir dan kejahatan luar bisa seperti pada tindak pidana narkotika dan tindak pidana terorisme.
Justice collaborator rentan terhadap intimidasi dan pengancaman baik fisik dan psikis terhadap dirinya ataupun anggota keluarganya.Pengancaman dan intimidasi kepada justice collaborator dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan atas keterangan yang diberikan berkaitan dengan kejahatan yang dilakukannya. Jaminan keamanan serta proteksi berupa perlindungan terhadap seorang yang berstatus Justice collaborator dalam tindak pidana korupsi sangat diperlukan. Pengaturan dan penerapan mengenai Justice collaborator di Indonesia belum memiliki dasar hukum yang khusus (lex specialis) dalam sistem perundangan nasional serta dalam sistem peradilan pidana. Istilah Justice collaborator tidak ditemukan dalam peraturan perundangan di Indonesia, sehingga perlu dikaji dalam suatu penelitian ilmiah.
Adapun Permasalahan yang diangkat dalam penulisan ilmiah ini meliputi :
-
1. Bagaimanakah pengaturan terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dalam tindak pidana korupsi dikaji dari perspketif sistem peradilan pidana?
-
2. Bagaimanakah ius constituendum terhadap pengaturan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dalam sistem peradilan pidana Indonesia ?
Tujuan penulisan penelitian ini secara umum adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum serta menjadi bahan bacaan bagi penulisan, penelitian hukum lainnya.Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan mengenai saksi pelaku yang bekerjasama dalam tindak pidana korupsi.Penelitian ini juga bertujuan memahami pengaturan di masa mendatang mengenai saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) tindak pidana korupsi dalam sistem peradilan pidana.
Penulisan penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif.1 Penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini untuk membahas kekosongan norma dan kekaburan norma hukum yang berkaitan dengan saksi pelaku yang bekerjasama.2Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep hukum, dan pendekatan kualitatif guna mengggambarkan dan menghasilkan data yang deskriptif.3Jenis bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer seperti peraturan perundangan, bahan hukum sekunder seperti penjelasan dari peraturan perundangan, dan tersier meliputi jurnal ilmiah, kamus, ensiklopedi serta
internet.4Penelitian ini menggunakan metode sistematis dalam mengumpulkan bahan hukum.
-
2.2. Pembahasan
-
2.2.1 Pengaturan Justice Collaborator dalamTindak Pidana
-
Korupsi Dikaji Dari Perspektif Sistem Peradilan Pidana.
Justice collaborator merupakan tersangka yang kedudukannya sebagai saksi terkait tindak pidana korupsi yang bertujuan untuk mengungkapkan tindak pidana korupsi yang menyeluruh. Secara eksplisif justice collaborator pada dasarnya tidak diatur dalam Kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP)/ UU tentang Tindak Pidana Korupsi. Serta tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Istilah justice collaborator menjadi populer dalam praktek penegakan hukum pidana yang kemudian mulai diatur dalam hukum positif Indonesia melalu ratifikasi undang-undang yang berasal dari dokumen internasional seperti:
a.) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang diratifikasi kedalam UU No. 7 Tahun 2006 mengenai Konvensi PBB Anti Korupsi.
Instrumen dalam undang-undang yang diratifikasi ini merupakan latar belakang dari munculnya istilah justice collaborator dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya tindak pidana korupsi. Pengaturan yang berkaitan dengan justice collaborator dimana dalam Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang berbunyi:
“Pasal 37. Kerja sama dengan Aparat Penegak Hukum.
-
2. Setiap Negara Peserta wajib mempertimbangkan untuk menyediakan kemungkinan, dalam kasus-kasus yang sesuai,
untuk mengurangi hukuman terhadap terdakwa yang mampubekerjasama dalam hal substansial pada penyelidikan atau penuntutan atas suatu pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi ini.
-
3. Setiap Negara Peserta wajib mempertimbangkan untuk menyediakan kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, memberikan kekebalan dari penuntutan kepada terdakwa yang mampu bekerjasama dalam hal substansial pada penyelidikan atau penuntutan atas pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi ini. ”
Pada pasal ini secara subtansial tidak menyebutkan istilah justice collaborator, namun dalam bunyi pasal tersebut telah memberikan definisi mengenai perlindungan terhadap justice collaborator.
b.) United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOC) yang diratifikasi menjadi UU No. 5 Tahun
2009 mengenai Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisir.
Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) dalam konvensi ini memberikan definisi yang berkaitan dengan istilah justice collaborator.Tidak jauh berbeda dengan Konvensi PBB anti korupsi, konvensi ini memberikan gambaran terhadap justice collaborator yang layak untuk mendapatkan perlindungan hukum, jika kesaksian dan keterangan yang diberikannya berpengaruh terhadap penyelidikan dan penuntutan dalam kasus tindak pidana korupsi sehingga menemukan aktor utamanya.
c.) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
UU perlindungan sanksi dan korban secara eksplisif tidak memberikan definisi dan pengaturan yang tegas mengenai pengertian dan istilah dari justice collaborator.UU perlindungan sanksi dan korban hanya mengatur mengenai saksi dan
pelapor tindak pidana. Dalam UU ini, aturan yang terkait dengan justice collaborator diatur dalam Pasal 10 ayat (2)Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang memberikan definisi bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang serupa tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana jika terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, namun kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan di jatuhkannya. Rumusan pasal tersebut mengandung makna dan pengertian dari istilah justice collaborator.
Pasal 10 A UU Perlindungan Saksi dan korban dapat di jelaskan dari saksi pelaku yang terlibat dalam hal diberikannya penghargaan berupa perlakuan khusus dan peringanan hukuman sebagai bagian dari perlindungan hukum dan kebijakan hukum pidana terhadap justice collaborator guna menanggulangi kejahatan tindak pidana korupsi. Pengaturan hukum pidana dalam merespon istilah baru yang muncul dalam sistem peradilan pidana seperti istilah justice collaborator berperan dalam membongkar kasus tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana terorganisir dengan bekerjasama kepada pelaku tindak pidana korupsi untuk memberikan keterangan dan kesaksian yang diketahui guna membongkar kejahatan tindak pidana korupsi yang lebih besar.
d.) Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 Mengenai Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1999 membahas Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah ini tidak menyebutkan dengan jelas istilah justice collaborator.
Dalam peraturan pemerintah ini disebutkan bahwa remisi akan diberikan kepada narapidana kasus korupsi jika bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Jika ditelaah lebih mendalam pengertian mengenai justice collaborator bukanlah seorang narapidana, melainkan seorang tersangka yang belum memiliki putusan hukum secara inkrah yang dapat dikategorikan menjadi seorang justice collaborator.Jika putusan pengadilan telah ditetapkan secara sah dan mengikat dan telah dilaksanakan pemidanaan serta pelaku tidak melakukan pengajuan diri sebagai justice collaborator, dan dikemudian hari ia membantu proses penegakan hukum maka dirinya tidak dapat dikatakan sebagai justice collaborator, tetapi berhak atas pemberian remisi sesuai dengan Pasal 34 Peraturan Pemerintah No.99 Tahun 2012.
e.) Surat Edaran Mahkmah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (SEMA No.4 Tahun 2011)
Justice collaborator dalam SEMA No.4 Tahun 2011 ini diatur dalam angka 9 mengenai pedoman penentuan seseorang yang dapat dikatakan atau berstatus seebagai justice collaborator. SEMA No.4 Tahun 2011 bukanlah kekuatan hukum mengikat sebagai acuan atau bagian dari peraturan perundang-undangan, sifatnya hanya sebatas pedoman bagi para penegak hukum dalam hal penentuan atau syarat seseorang dapat menjadi justice collaborator.
f.) Peraturan Bersama Aparat Penegak Hukum dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama.
Pengaturan yang berkaitan dengan justice collaborator dalam peraturan bersama ini tidak jauh berbeda dengan SEMA No.4 Tahun 2011.Dalam peraturan bersama istilah justice collaborator diatur dalam Pasal 1 angka (3) yang memberikan pengertian atau definisi dari sanksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator).Peraturan bersama ini juga tidak termasuk dalam hirarki perundang-undangan, sifatnya hanya sebatas pengaturan dan pedoman dalam beracara khususnya mengenai istilah baru yakni justice collaborator.
Keseluruhan pengaturan mengenai justice collaborator, hanya UU No.31 Tahun 2014 yang sudah mengatur mengenai justice collaborator dan perlindungannya. SEMA No.4 Tahun 2011 hanya bertujuan menyampaikan kepada seluruh hakim yang berada dibawah jajaran Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai cara penanganan dan menghadapi seorang justice collaborator di suatu persidangan. Peran penting dari seorang justice collaborator untuk melengkapi sistem peradilan pidana juga dilengkapi dengan perturan bersama aparatur penegak hukum bersama LPSK yang pada pokoknya bertujuan mewujudkan kerjasama dan sinergitas anatara penegak hukum dalam menangani tindak pidana terorganisir, khususnya tindak pidana korupsi melalui upaya menggali keterangan dan kesaksian dari seorang saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator).
-
2.2.2 Ius Constituendum Terhadap Pengaturan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Dalam RUU Tindak Pidana Korupsi 2011, justice collaborator telah diatur dalam Pasal 52 ayat (1): ”Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap tindak
pidana korupsi tersebut”. Pasal 52 ayat (2): ”Jika tidak ada tersangka atau terdakwa yang pernannya ringan dalam tindak pidana korupsi …. maka yang membantu mengungkap tindak pidana korupsi dapat dikurangi pidananya.”5
Namun dalam (KUHAP) belum mengatur ketentuan mengenai justice collaborator kecuali UU RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU ini pun tidak memberikan “hak istimewa” kepada seorang justice collaborator, kecuali hanya sekedar “peniup peluit”.6
Namun demikian celah hukum bagi justice collaborator bukan tanpa risiko baik dari sisi kepentingan perlindungan yang bersangkutan maupun dari sisi kepentingan peradilan yang adil dan setara sejak proses penyidikan sampai pada proses pemasyarakatan. Kedua risiko tersebut tergantung dari kesiapan dan kejelian penyidik untuk mencegah upaya yang bersangkutan “mengail di air keruh” atau bahkan pihak penguasa yang memanfaatkan hal tersebut.
Penggunaan Justice Collaborator dalam peradilan pidana merupakan salah satu bentuk upaya luar biasa yang dapat digunakan untuk memberantas tindak pidana korupsi.Pengertian Justice Collaborator menurut Surat Edaran MA No.4 Tahun 2011 yaitu seseorang yang merupakan salah satu dari pelaku tindak pidana, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan yang sangat signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar dan mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.7
Pengaturan Justice Collaborator di Indonesia masih mengalami kekosongan atau vacuumof law, pembaharuan hukum pidana atau aturan baru mengenai Justice Collaborator sangat perlu untuk dipikirkan oleh lembaga legislatif di Indonesia.8 Melihat bahwa peran Justice Collaborator sangatlah penting untuk pengungkap kasus pidana di Indonesia, dalam hal ini adalah kasus korupsi yang dewasa kini sangat banyak terjadi dan sangat memprihatinkan, karena korupsi merupakan kejahatan yang menyebabkan kerugian pada keuangan negara yang tentu saja efeknya akan terasa secara tidak langsung kepada rakyat Indonesia.Dengan demikian segala usaha pengungkapan setiap kasus korupsi yang ada di Indonesia harus melibatkan peran Justice Collaborator yang tentu saja keamanan dan kontribusinya patut diberikan perhatian lebih.9
-
1 Pengaturan terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dalam tindak pidana korupsi pada sistem peradilan pidana di Indonesia sejauh ini terdapat pada peraturan-peraturan hukum: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Natlons Convention Against Corruption, 2003 , selanjutnya pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime , selanjutnya pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, selanjutnya pada Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
-
2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana belum mengatur ketentuan mengenai justice collaborator kecuali UU RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi/Korban. Undang-Undang ini pun tidak memberikan “hak istimewa” kepada seorang justice collaborator, kecuali hanya sekedar “peniup peluit”. Pengaturan Justice Collaborator di Indonesia masih mengalami kekosongan hukum, karena itu pembaharuan hukum acara pidana atau aturan baru mengenai Justice Collaborator merupakan hal yang sangat penting untuk segera dirumuskan serta direalisasikan pengaturanya oleh Lembaga Legislatif di Indonesia.
-
1 Pengaturan terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dalam tindak pidana korupsi dimasa yang akan mendatang diharapkan telah dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan khusus atau dirumuskan melalui suatu ketentuan pasal dalam undang-undang pada sistem peradilan pidana di Indonesia yang terdapat dalam beberapa peraturan-peraturan hukum bertujuan membantu proses penyelidikan serta mengungkap fakta-fakta yang terjadi dalam kasus tindak pidana korupsi.
-
2 Mengingat pengaturan Justice Collaborator di Indonesia masih mengalami kekosongan atau vacuum of law yang dalam realitanya pada KUHAP belum mengatur ketentuan mengenai justice collaborator,maka sangat disarankan agara Lembaga Legislatif meletakkan prioritas untuk merealisasikan pemberlakuan peraturan hukum khusus yang mengatur justice collaborator sebagai suatu kepentingan hukum yang penting.
Daftar Pustaka
Buku:
Bambang Sunggono, 2015, “Metode Penelitia Hukum”, Rajawali
Pers, Jakarta.
Hamijoyo Soemantri, Ronny, 2007, “Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri”, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, “Penelitian Hukum”, Fajar
Interpratama Offset, Jakarta.
Mulyadi, Lilik, 2015,”Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia”, Alumni, Bandung.
Semendawai, Abdul Haris, 2011, “Memahami Whistleblower dan Justice Collaborator”, LPSK, Jakarta.
Soekanto,Soerjono dan Sri Mamudji, 2015, “Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat”, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sulistiani, Lies,et. Al, tanpa tahun terbit, “Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban”, Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta.
Wijaya, Firman, 2012, “Whistleblower dan Justice Collaborator
dalam Perspektif Hukum”, Wedatama Widya Sastra, Jakarta.
Jurnal dan Hasil Penelitian :
Adi Surya, Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerjasama Dalam Tindak Pidana Korupsi, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana 2017.
Kadek Yolanda Zara Octavany, Eksistensi Dan Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime Di Indonesia Pada Masa Mendatang, Jurnal Hukum, Kertha Wicara, Fakultas Hukum Universitas UdayanaVol 05 No.02,2016.
Febriansyah, et all, 2011, Laporan Penelitian: Penguatan
Pemberantasan Korupsi Melalui Fungsi Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta.
Peraturan Perundangan :
Undang-undang No.31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Banga Anti
Korupsi,2003): (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption Transnational Organized Crime ( Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi ); (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4960).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban ,( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 Tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan Tata cara Pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakataan: (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 225).
Surat Edaran MA.Nomor 4 Tahyun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whitsleblower) dan Saksi Pelaku yang bekerja sama ( Justice collaborator ) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu .
14
Discussion and feedback