KEWENANGAN KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI DALAM MENYELESAIKAN PELANGGARAN TATA TERTIB PENJAGA TAHANAN (SIPIR)*1

Oleh:

Putu Manik Mahasari**

Putu Tuni Cakabawa Landra***

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Karya tulis ini berjudul Kewenangan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI dalam Menyelesaikan Pelanggaran Tata Tertib Penjaga Tahanan (sipir). Karya tulis ini dilatar belakangi dengan adanya fenomena pelanggaran tata tertib bahkan sampai keperbuatan pidana oleh penjaga tahanan (sipir) seperti ikut terlibat transaksi narkotika dan obat-obat terlarang lainnya dalam lembaga pemasyarakatan. Permasalahan dalam penelitian ini mengenai jenis tindakan yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran tata tertib penjaga tahanan (sipir) dan juga kewenangan Kanwil KEMENKUMHAM RI dalam menyelesaikan pelanggaran tata tertib penjaga tahanan (sipir). Metode yang digunakan yaitu menggunakan metode normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tindakan yang dapat dikatagorikan dalam pelanggaran tata tertib penjaga tahanan (sipir) dapat dilihat dalam PERMENKUMHAM RI No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan pada Pasal 5 bagian kedua. Hasil selanjutnya mengenai kewenangan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM RI dalam menyelesaikan pelanggaran tata tertib penjaga tahanan (sipir) dapat dilihat pada Pasal 25 PERMENKUMHAM RI No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan.

Kata Kunci : pelanggaran, sipir, kewenangan, pengaturan kantor wilayah.

ABSTRACT

This paper is titled the Authority of the Regional Office of the Ministry of Law and Human Rights in Resolving Violations of the Rules of Conduct for Guards. This paper is motivated by the phenomenon of disciplinary violations even to criminal conduct by guards of prisoners (guards) such as being involved in narcotics transactions and other illegal drugs in prisons. The problem in this study is about the types of actions that can be categorized as violations of the rules of the guards (guards) and also the authority of the Regional Office of KEMENKUMHAM RI in resolving violations of the order of prison guards. The method used is using normative methods. The results of the study show that the types of actions that can be categorized in violating the order of prison guards can be seen in the Republic of Indonesia PERMENKUMHAM No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011 concerning the Code of Conduct for Correctional Staff in Article 5 of the second part. Subsequent results regarding the authority of the Regional Office of the Ministry of Law and Human Rights in resolving violations of the order of prisoners (guards) can be seen in Article 25 of the Republic of Indonesia's Republic of Indonesia Regulation No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011 concerning Correctional Ethics Code.

Key Words :violation, guards, authority, regional office regulation.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Lembaga Pemasyarakatan sendiri merupakan lembaga yang berwenang dalam membina para narapidana yang memiliki kasus mulai dari yang ringan, sedang sampai yang berat. Lembaga Pemasyarakatan di Bali berjumlah 6 (enam) Lapas (Lembaga Pemasyarakatan)dan 4 (empat) Rutan (Rumah Tahanan Negara) yang tersebar keseluruh wilayah Bali. Lapas dan Rutan tersebut bernaung langsung dibawah Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Dewasa ini banyak terjadinya pelanggaran tata tertib yang dilakukan oleh oknum para penegak hukum khususnya di Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan merupakan

tempat untuk membina para narapidana yang telah melakukan tindakan kriminal. Pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan harus sesuai dengan stantar operasional pelaksanaan tata tertib. Akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak pelanggaran yang telah dilakukan oleh penjaga tahanan (sipir) seperti halnya melakukan kekerasan terhadap narapidana dan bahkan yang sering terjadi yaitu penjaga tahanan yang ikut terlibat mengkonsumsi narkotika dalam Lembaga Pemasyarakatan.2

Akibat dari adanya pelanggaran tata tertib ini yang bahkan sampai melakukan tindak pidana ini mengakibatkan masyarakat memandang sebelah mata pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Tujuan dari adanya Lapas dan Rutan adalah untuk membina para tahanan atau narapidana menjadi manusia yang lebih baik dan berguna bagi Negara. Negara adalah organisasi yang rasional dan etis yang memungkinkan manusia mencapai tujuannya dalam hidupnya untuk mencapai yang baik dan adil.3 Apabila Negara sendiri tidak bisa menciptakan keadilan bagi masyarakat, maka akan mengakibatkan salah satunya yaitu citra lembaga Negara menjadi buruk.

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM merupakan lembaga yang membawahi secara langsung lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) hal ini menyebabkan apapun yang terjadi dalam lapas maupun rutan harus diketahui secara langsung oleh Kanwil. Segala pelanggaran tata tertib sipir ini akan sangat mempengaruhi terhadap citra lembaga hukum di Indonesia apabila terjadinya pelanggaran yang dilakukan secara terus menerus maka masyarakat akan menjadi

ragu dengan penegakan hukum di Indonesia. Seperti hal nya dalam pembinaan narapidana didalam lapas maupun rutan harus dibina secara benar dan tegas. Apabila narapidana tersebut berhasil dibina oleh pemerintah terutama dari Kanwil melalui penjaga tahanan maka masyarakat akan menjadi yakin dengan pemerintah.

Sipir merupakan faktor utama yang harus dididik apabila ingin mengubah citra masyarakat mengenai lembaga pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara (Rutan). Penjaga Tahanan (Sipir) adalah orang yang secara langsung terlibat dalam interaksi dilapas maupun rutan sehingga apapun yang terjadi di lapas dan rutan akan melibatkan penjaga tahanan. Apabila interaksi yang terjadi melanggar hukum maka sudah kewajiban penjaga tahanan untuk meluruskan dan membina para narapidana. Apabila interaksi yang melanggar hukum tersebut tidak diluruskan oleh penjaga tahanan dan penjaga tahanan ikut terlibat dalam kejadian tersebut maka sudah kewajiban Kanwil KEMENKUMHAM untuk menegakkan pelanggaran tersebut lebih dahulu sebelum menuju ke pihak berwenang atau kepolisian.

Kanwil KEMENKUMHAM harus secara tegas menindak lanjuti hal tersebut sesuai dengan wewenangnya. Kewenangan Kanwil KEMENKUMHAM pun harus secara tegas seperti apa sehingga pihak Kanwil dapat mengatasi pelanggaran tersebut secara cepat tanpa harus menunggu proses-proses yang lain yang dapat menyebabkan terhambatnya pembinaan narapidana yang baik dan menghindari adanya keterlambatan penanganan hukum.

Buku “Evaluasi Kebijakan Pencegahan Gangguan Keamanan dan Ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan” menjelaskan bahwa setiap narapidana dan tahanan wajib mematuhi Tata Tertib Lapas dan Rutan. Pada kenyataannya di Lapas dan Rutan sering terjadi

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh penjaga tahanan dan yang paling dominan ialah kasus penyelundupan barang-barang terlarang seperti handphone, narkotika dan senjata tajam.4 Bukan hanya pelanggaran tersebut namun masih banyak lagi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh penjaga tahanan (sipir) sehingga dengan terjadinya pelanggaran-pelanggaran tersebut KANWIL KEMENKUMHAM harus memeliki wewenang dalam menindak lanjuti pelanggaran tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dirasakan perlu untuk melakukan penelitian karya ilmiah dengan judul “ Kewenangan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI Dalam Menyelesaikan Pelanggaran Tata Tertib Penjaga Tahanan (sipir)”.

  • 1.3    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang perlu dibahas yaitu:

  • 1.    Apa sajakah jenis tindakan yang dapat dikatagorikan pelanggaran tata tertib penjaga tahanan (sipir)?

  • 2.    Bagaimana kewenangan Kanwil KEMENKUMHAM RI dalam menyelesaikan pelanggaran tata tertib penjaga tahanan (sipir)?

  • 1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan karya ilmiah Kewenangan Kanwil KEMENKUMHAM RI dalam menyelesaikan pelanggaran tata tertib Penjaga Tahanan (Sipir) yaitu:

  • a.    Tujuan Umum

Untuk memahami Kewenangan Kanwil KEMENKUMHAM RI dalam menyelesaikan pelanggaran tata tertib yang dilakukan oleh bawahannya seperti penjaga tahanan (sipir).

  • b.    Tujuan Khusus

  • 1.    Untuk mengetahui jenis tindakan yang dapat dikatagorikan ke dalam pelanggaran tata tertib Penjaga Tahanan (sipir).

  • 2.    Untuk mengetahui mengenai Kewenangan Kanwil KEMENKUMHAM RI dalam menyelesaikan pelanggaran tata tertib yang dilakukan oleh Penjaga Tahanan (sipir).

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Penelitian karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian normative. Metode penelitian hukum normative atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan didalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.5 Metode ini dipilih karena dalam persfektif hukum masyarakat kurang mengetahui akan pertanggung jawaban penjaga tahanan (sipir) yang merupakan bagian terpenting dalam membina para narapidana di lembaga pemasyarakatan.

Cara penelitian hukum normative adalah cara penelitian yang meliputi, penelitian asas hukum, norma hukum, sejarah hukum, inventarisasi hukum, sistematika hukum dan sinkronisasi hukum (vertical dan horizontal). Data sekunder (secondary data) adalah data yang diperoleh melalui penelitian dari kepustakaan atau liberary research yaitu dari segala macam sumber bahan hukum yang dapat diklarifikasikan atas 3 (tiga) jenis meliputi:

  • 1.    Bahan hukum dalam jenis primer adalah bahan-bahan hukum yang bisa mengikat, berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diulas.

  • 2.    Bahan hukum dalam jenis sekunder berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku dan artikel-artikel hasil penelitian atau pendapat pakar hukum.

  • 3.    Bahan hukum dalam jenis tersier berupa bahan-bahan hukum yang terdapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus hukum.6

Pengolahan data yang dilakukan yaitu dengan pengolahan data kualitatif. Pengolahan data kualitatif yaitu suatu tata cara pengolahan data dengan menghasilkan data deskriptif analisis. Deskriptif analisis yaitu penyajian suatu data yang dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Jenis Tindakan Yang Dikategorikan Dalam Pelanggaran

Tata Tertib Penjaga Tahanan (Sipir)

PERMENKUMHAM RI No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011

tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan Pasal 1 angka 1 yang menjelaskan mengenai Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut kode etik adalah pedoman sikap, tingkah laku atau perbuatan pegawai pemasyarakatan dalam pergaulan hidup sehari-hari guna melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan, pembinaan, dan pembimbingan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan serta Pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan. Peraturan inilah yang menyebabkan pegawai pemasyarakatan tunduk dalam melaksanakan tugasnya dengan baik. PERMENKUMHAM RI No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011

tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan Pasal 5 bagian kedua

mengenai etika yang dilakukan dalam berorganisasi menjelaskan bahwa:

  • a.    Pegawai pemasyarakatan harus menjalin hubungan kerja yang baik dalam melakukan tugasnya kepada siapapun meliputi:

  • 1.    Saling menghormati dengan rekan kerja sehingga terciptanya keamaan dan suasana yang baik.

  • 2.    Tidak mendiskriminasi atau membeda-bedakan perlakuan

  • 3.    Terhindar dari segala hal  yang  dapat menimbulkan

kekecewaan dalam perasaan orang lain.

  • 4.    Melakukan tanggung jawab sesuai dengan tugas yang

emban.

  • 5.    Bisa berkomunikasi secara terhormat.

  • 6.    Dapat menyampaikan suatu tanggung jawab kepada atasan dengan adil tanpa mengurangi dan melebih-lebihkan sesuatu hal.

  • 7.    Mempunyai rasa setia kawan dan tenggang rasa.

  • b.    Dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawab secara adil yang meliputi:

  • 1.    Mempertanggungjawabkan apapun keputusan yang diambil tanpa rasa takut dengan tetap memperhatikan kewenangan yang diemban.

  • 2.    Pengambilan suatu keputusan harus secara objektif tanpa adanya tekanan dari pihak manapun sesuai dengan asas kepastian hukum.

  • 3.    Selalu berkoordinasi dengan setiap keputusan yang diambil secara jelas.

  • 4.    Selalu memperhatikan musyawarah mufakat.

  • 5.    Menyampaikan informasi sesuai dengan kebenarannya.

  • 6.    Tidak menyalahgunakan fungsi dari dokumen.

  • c.    Selalu mentaati dan disiplin pada aturan organisasi, seperti:

  • 1.    Menjauhi perbuatan terlarang yang dapat mencemarkan nama baik pegawai pemasyarakatan.

  • 2.    Selalu menggunakan atribut dinas yang pantas dan sesuai ketentuan.

  • 3.    Siap memberikan penampilan diri yang pantas sebagai suatu bentuk menghormati profesi yang diemban.

  • 4.    Bekerja tepat waktu sesuai kesepatan yang telah dibuat.

  • 5.    Selalu mematuhi perintah atasan selama masih batas keperluan organisasi.

  • 6.    Dilarang menyalahgunakan jabatan.

  • 7.    Dilarang membuat suatu keputusan untuk keperluan pribadi.

  • 8.    Dapat menyampaikan informasi yang berkaitan dengan masalah kerugian atau ancaman terhadap kepentingan organisasi.

  • 9.    Bisa mempertanggung jawabkan tugas yang diemban tanpa menyalahkan kepada siapapun.

  • 10.    Selalu memanfaatkan fasilitas sesuai dengan fungsinya.

Penjelasan PERMENKUMHAM RI No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan Pasal 5 bagian kedua ini yang merujuk Pasal 4 ayat (1) huruf a sudah sangat jelas mengenai tindakan yang harus dipatuhi dalam berorganisasi. Apabila terdapat tindakan yang tidak sesuai dengan bunyi Pasal 5 PERMENKUMHAM RI No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan ini maka sudah dipastikan dikatagorikan pelanggaran tata tertib sipir, namun apabila terdapat tindakan yang sampai menuju ketindakan kriminal maka penyelesaiannya akan diberikan ke pihak yang lebih berwenang. Contoh dalam prakteknya tindakan yang sering dilanggar oleh penjaga tahanan atau sipir yaitu:

  • 1.    Bekerja sama dengan narapidana menyelundupkan narkotika dan obat-obat terlarang.

  • 2.    Menerima suapan dari narapidana baik dalam bentuk apapun.

  • 3.    Ikut terlibat jaringan narkotika dan obat-obat terlarang.

Tindakan seperti ini sudah termasuk kedalam tindakan kriminal dan akan diselesaikan lebih lanjut oleh pihak yang berwenang seperti Badan Narkotika Nasional (BNN).

  • 2.2.2 Kewenangan Kanwil dalam menyelesaikan pelanggaran tata tertib penjaga tahanan (sipir)

PERMENKUMHAM RI No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011

tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan pada BAB VI mengenai sanksi pada Pasal 25 menjelaskan mengenai:

  • 1.    Apabila pegawai pemasyarakatn ada yang melakukan pelanggaran maka akan diberikan sanksi yang berupa sanksi moral.

  • 2.    Sanksi moral akan dibuat secara tertulis dan disetujui oleh pejabat pembina kepegawaian.

  • 3.    Ada 2 macam sanksi moral yaitu sanksi moral dalam pernyataan yang dilakukan secara tertutup dan sanksi moral secara terbuka.

  • 4.    Dalam pemberian sanksi moral akan diucapkan pelanggaran kode etik yang telah dilanggar.

  • 5.    Pemberian sanksi moral akan diberikan oleh pejabat Pembina kepegawaian sesuai dengan jabatan yang dipegang sampai dengan jabatan yang paling rendah yaitu pejabat

struktural Eselon IV.

Sanksi  moral merupakan  sanksi yang  berasal dari

lingkungan kerja ataupun dari masyarakat misalnya dikucilkan

dari teman seprofesinya, dikucilkan dari masyarakat/lingkungan, tidak diterima diprofesinya bahkan tidak diterima dimasyarakat. Penjatuhan sanksi moral ini dilakukan oleh pejabat setingkat diatasnya misalnya dalam Kanwil KEMENKUMHAM Bali jika yang melanggar adalah pejabat Eselon III maka yang berwenang menjatuhi hukuman adalah pejabat Eselon IIb begitu juga seterusnya sampai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh eselon I dan pejabat yang berwenang yaitu PPK Pusat (menteri).

Pasal 25 PERMENKUMHAM RI No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan ini sudah jelas dijelaskan bahwa pegawai pemasyarakatan yang melakukan pelanggaran kode etik akan dikenakan sanksi moral. Sanksi moral ini akan dibuat secara tertulis dan akan dinyatakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dimana hal ini Pembina Kepegawaian yaitu Para pejabat yang membawahi langsung pegawai pemasyarakatan di Kanwil KEMENKUMHAM diwilayah masing-masing. Hal ini sesuai dengan kewenangan daerah masing-masing. Kewenangan daerah adalah bentuk kewenangan yang meliputi seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter, fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya.7 Kewenangan daerah inilah yang menyebabkan wilayah masing-masing dapat menjatuhkan hukuman sesuai dengan aturan yang ada.

Penjatuhan sanksi moral ini dapat dibagi menjadi dua yaitu sanksi moral dalam pernyataan secara tertutup dan sanksi moral dalam pernyataan secara terbuka. Pembuatan pernyataan tertulis oleh penjabat Pembina Kepegawaian dapat didelegasikan pula kepada pejabat lain yang lebih tinggi sesuai dengan pelanggaran pejabat dibawahnya sampai pejabat kepegawaian yang paling

bawah yaitu pejabat struktural eselon IV. Pengambilan sanksi juga akan tetap melihat pada peraturan UU No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian hal ini dikarenakan Penjaga Tahanan (Sipir) juga merupakan dari Pegawai Negeri Sipil sehingga dalam penjatuhan hukumannya juga harus mengacu pada UU No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian Pasal 23 mengenai pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Pelanggaran tata tertib yang dilakukan oleh Penjaga Tahanan (Sipir) yang masih dalam batas pelanggaran kode etik seperti yang terdapat dalam Pasal 5 PERMENKUMHAM RI No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan akan diselesaikan secara langsung oleh Kanwil KEMENKUMHAM. Apabila terdapat tindakan yang sampai menuju ke tindakan kriminal seperti ikut terlibat narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya maka pihak yang berwenang yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). Tindakan-tindakan tersebut sudah dapat dikatagorikan kedalam tindakan pidana sehingga Kanwil KEMENKUMHAM hanya berwenang ke tahap pemecatan Penjaga Tahanan (Sipir) tersebut dan akan dilanjutkan kepihak yang lebih berwenang seperti Badan Narkotika Nasional (BNN). Badan Narkotika Nasional (BNN) ini akan memperoses lebih lanjut sesuai dengan UU No. 35 Thn 2009 tentang Narkotika.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

  • 1.    Jenis tindakan yang dikategorikan dalam pelanggaran tata tertib penjaga tahanan (sipir)  yaitu terdapat dalam

PERMENKUMHAM RI No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011

tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan Pasal 5 bagian kedua. Pasal 5 PERMENKUMHAM RI No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan ini sudah menjelaskan mengenai apa saja yang harus dilakukan dalam etika berorganisasi baik yang harus ditaati maupun yang harus dihindari. Tindakan yang dikatagorikan pelanggaran tata tertib penjaga tahanan masih terbatas pada tindakan yang sifatnya pelanggaran. Apabila terdapat tindakan yang lebih dari tindakan pelanggaran bahkan sampai ke tindakan kriminal maka tindakan tersebut akan secara langsung dimasukkan kedalam tindak pidana.

  • 2.    Kewenangan Kanwil KEMENKUMHAM dalam menyelesaikan pelanggaran tata tertib Penjaga Tahanan (Sipir) dapat dilihat dalam PERMENKUMHAMRI No. M HH 16 KP 0502 Th 2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan pada Pasal 25 yang menjelaskan mengenai sanksi. Pasal 25 PERMENKUMHAM RI No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011

tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan ini sudah menegaskan bahwa sanksi yang diberikan kepada pelanggar kode etik ini adalah sanksi moral.Pemberian sanksi moral akan dilakukan oleh pejabat setingkat diatas dari pelanggar tata tertib tersebut. Apabila Pejabat Eselon III yang melakukan pelanggaran maka kewenangan menjatuhkan sanksi dilakukan oleh Pejabat Eselon II b begitu juga seterusnya. Penjatuhan sanksi juga harus mengacu pada UU No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999

tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok   Kepegawaian    Pasal   23    mengenai

pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS), hal ini dikarenakan penjaga tahanan (sipir) juga termasuk bagian dari Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tindakan yang masih sebatas pelanggaran kode etik akan diselesaikan secara langsung oleh Kanwil KEMENKUMHAM sesuai dengan wewenangnya. Apabila pelanggaran yang dilakukan sampai ke tindakan pidana maka wewenang akan secara langsung diberikan kepada pihak yang berwenang.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Kepada Kanwil KEMKUMHAM RI dalam PERMENKUMHAM RI No. M HH 16 KP 0502 Th 2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan perlu diadakan pembaharuan peraturan, karena pada peraturan ini belum terdapat jenis pelanggaran yang seperti apa yang dilarang secara jelas hanya terdapat tindakan yang harus dipatuhi.

  • 2.    Kepada Kanwil KEMENKUMHAM RI diharapkan dalam penjatuhan sanksi harus dilakukan sesuai dengan wewenangnya dan penjatuhannya harus dilakukan seadil-adilnya. Pada PERMENKUMHAM ini belum jelas memuat jenis sanksi sehingga agar kedepannya lebih jelas lagi kewenangan dalam penjatuhan sanksinya sehingga tidak terjadinya kerancuan hukum dalam peraturan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ahmad Taufik, 2010, Kisah nyata mantan napi yang menguak skandal penyimpangan dalam penjara, Ufuk Press, Jakarta.

Amirudin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Badan Penenlitian dan Pengembangan HAM Kementrian Hukum dan Ham RI, 2014,Evaluasi Kebijakan Pencegahan Gangguan Keamanan dan Ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan, Jakarta.

Ni’matul Huda, 2010, Ilmu Negara, Rajawali Press, Yogyakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Zulkifli,SH&Jimmy P.SH, 2012, Kamus Hukum, Grahamedia Press, Surabaya.

Karya Ilmiah

Nitias Satvica Suryaningrat& Ida Bagus Wyasa Putra, 2018, Sanksi Pidana terhadap pelaku yang memproduksi atau mengedarkan vaksin palsu ditinjau dari undang-undang republic Indonesia nomor 36 tahun2009 tentang kesehatan, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Vol.07                    No.03,                    URL:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view /39718, diakses pada tanggal 18 Oktober 2018.

Internet

Farrid Assifa, Lagi Oknum Sipir di Sumsel ditangkap karena terlibat narkoba, URL   :https://regional.kompas.com,

diakses pada 18 Oktober 2018.

Undang-undang

Undang-Undang No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.

Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia No. M HH 16 KP 05 02 Th 2011 tentang Kode Etik Pegawai

Pemasyarakatan.

15