PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DOKTER SERTA DASAR ALASAN PENIADAAN PIDANA MALPRAKTEK MEDIS*

Oleh:

Gst Agung Chandra Kumala Dewi** Made Gde Subha Karma Resen*** Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Makalah ini berjudul “Pertanggungjawabam Pidana Terhadap Dokter Serta Dasar Alasan Peniadaan Pidana Malpraktek Medis”. Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh dokter, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis sehingga menimbulkan permasalahan hukum dalam penanganan kesehatan. Penelitian yang penulis lakukan bertujuan untuk mengetahui bahwa dokter dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya secara pidana terhadap pasien karena tindakan malpraktek medis serta dasar apa yang digunakan dalam peniadaan pidana yang diatur dalam KUHP. Makalah ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang digunakan dengan cara meneliti bahan pustaka dan peraturan perundang – undangan dengan menggunakan pendekatan konsep dan pendekatan perbandingan. Pertanggungjawaban pidana dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan Pasal 359 dan 360 KUHP. Ketentuan penghapusan pidana KUHP diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum, yakni dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 59. Kurangnya keterampilan dan pengetahuan dokter yang berakibat cacat ataupun kematian, perlu adanya peraturan baru didalam KUHP dan Undang-undang yang secara khusus mengatur tentang pertanggungjawaban dan dasar alasan peniadaan pidana malpraktek medis.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Dokter, Peniadaan Pidana, Malpraktek Medis

ABSTRACT

This paper is entitled "Criminal Accountability Against Physicians and Basic Reasons for Medical Malpractice Criminal Investigation". The community's sharp attention to health care services by health workers, especially with the occurrence of various cases that caused public dissatisfaction led to the issue of alleged medical malpractice, which caused legal problems in handling health. The research that the authors do aims to find out that doctors can account for their crimes against patients due to medical malpractice actions and the basis for what is used in the criminal offense regulated in the Criminal Code. This paper uses a normative juridical research method, namely legal research that is used by examining library materials and legislation - using conceptual approaches and comparative approaches. Criminal liability can be accounted for in accordance with Article 359 and 360 of the Criminal Code. Criminal Code provisions on Criminal Code are regulated in Book I concerning General Rules, namely in Article 44, Article 48, Article 49, Article 50, Article 51 and Article 59. Lack of doctoral skills and knowledge results in disability or death. There needs to be new regulations in the Indonesian Criminal Code and the Law specifically regulating accountability and grounds for the exclusion of medical malpractice crimes.

Keywords:  Criminal Liability, Doctors, Criminal Abolition, Medical

Malpractice

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Pekerkembangan dunia kesehatan saat ini cukup pesat, menyangkut berbagai penyakit yang timbul teknologi penanganan penyakit serta fasilitas pendukunnya juga yang semakin canggih. Tetapi hal ini tidak berbanding lurus dengan regulasi yang mengatur terhadap hubungan penanganan kesehatan sehingga tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan permasalahan hukum dalam penanganan kesehatan, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara pasien dengan dokter, rumah sakit, serta pertugas rumah sakit.1

Pelayanan kesehatan yang baik adalah tujuan dari pembangunan nasional karena pelayanan kesehatan adalah salah

satu hak asasi manusia yang harus diperhatikan dan didapat oleh setiap orang dengan hak yang sama tanpa adanya pengecualian. Dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada huruf a menegaskan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia adalah sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hukum medis dan hukum kesehatan merupakan sarana bagi dokter dan pasien dalam melakukan hubungan hukum yang menimbulkan peristiwa hukum. Peristiwa hukum dalam hal ini tidak lagi dimaknai sebagai transaksi yang bersifat terapeutik, tetapi dilihat dari tindakan hukum yang berimplikasi pada perbuatan manusia sengaja atau lalai dalam melakukan pelayanan kesehatan sesuai dengan adanya hubungan antara dokter dengan pasien melalui transaksi terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, baik itu pemberian pelayabab maupun menerima pelayanan yang mengikat dan harus dihormati oleh kedua belah pihak yang terikat kontrak terapeutik tersebut (informed consent)

Pada umumnya, dokter yang sedang menjalankan tugas mediknya sebagai bagian dari profesinya dalah hal yang sangat mulia, karena di samping mempertahankan tubuh seseorang tetap sehat, juga untuk menyehatkan orang yang sedang sakit. Dalam menjalankan tugas, dokter juga tidak jarang melakukan kesalahan sehingga dapat menimbulkan korban, baik itu dilakukan secara sengaja atau karena sebuah kelalaian, oleh sebab itu dokter dalam menjalankan profesinya tidak memiliki jaminan yang absolut bahwa dirinya akan luput dari segala tuntutan hukum, baik itu

secara perdata maupun secara pidana.

Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi di bidang ilmu kedokteran berbagai macam kasus telah muncul ke permukaan terhadap adanya praktik-praktik dokter yang tidak sesuai dengan standar profesinya yang berdampak pada timbulnya korban dari para pasien. Dari hal tersebut memberi gambaran bahwa dokter dalam menjalankan tugas profesinya untuk pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, tidak hanya kelalaian yang mungkin terjadi, tetapi juga tindakan salah yang bersifat kesengajaan dimungkinkan dapat terjadi.

Dalam perundang-udangan yang berlaku di Indonesia, terutama hukum pidana belum ada secara limitatif yang memberi batasan tentang malapraktik, hanya yang ada apabila perbuatan dan/atau tindakan dokter tersebut dalam melakukan pelayanan kesehatan terdapat keselahan baik bersifat kesengajaan maupun yang bersifat kelalaian. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja biasa dan sengaja yang direncanakan serta kelalaian yang menimbulkan luka, luka berat, dan kelalaian yang menyebabkan kematian diatur dalam ketentuan Pasal 338, Pasal 340, Pasal 359, dan Pasal 360 KUHP.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, begitu pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak ada secara limitatif dan rinci memberi batasan tentang tindakan malpraktek. Adapun satu-satunya undang-undang yang mengatur tentang malpraktik adalah Undang-Undang Nomor 6 tahun 1963 yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992. Di dalam ketentuan Pasal 54 dan Pasal 55 UU No.23 Tahun 1992

disebutkan mengenai kesalahan dan kelalaian dokter.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Karya tulis ini membahasa dua permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana oleh dokter yang telah melakukan tindakan malpraktek medis?

  • 2.    Apa yang menjadi dasar dan alasan peniadaan pidana malapraktek medis?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

  • 1.3.1    Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari karya ilmiah ini yaitu untuk mengetahui dasar dan alasan peniadaan pidana malpraktek medis.

  • 1.3.2    Tujuan Khusus

Disampung terdapatnya tujuan umum, juga terdapat tujuan secara khusus dari karya ilmiah ini yakni:

  • 1.    Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana oleh dokter yang telah melakukan tindakan malpraktek medis.

  • 2.    Untuk mengetahui apakah yang menjadi dasar dan alasan peniadaan pidana malpraktek medis.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah pendekatan yang menelaah hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum tertulis atau penelitian hukum yang doktrinal, yang bekerja untuk menemukan jawaban- jawaban

yang benar dengan pembuktian kebenaran yang dicari doktrin-dotrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.2 Metode yang digunakan adalah metode pendekatan Perundang – undangan (The Statue Approach) yaitu suatu masalah akan dilihat dari segi hukumnya dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang ada lalu dikaitkan dengan permasalahan yang akan dibahas. 2.2 Hasil dan Analisis

  • 2.2.1    Pertanggungjawaban pidana oleh tenaga kesehatan yang telah melakukan tindakan malpraktek medis

Dasarnya secara kodrati, setiap manusia dibebani oleh tanggung jawab. Dalam berbuat sesuatu, setiap orang diwajibkan untuk memikul tanggung jawab  (aasprakkelijk) terhadap

perbuatan atau tindakannya. Bertanggung jawab berarti terikat, dengan demikian tanggung jawab dalam pengertian hukum berarti keterikatan. Tanggung jawab secara hukum disini dimaksudkan tanggung jawab secara pidana. Tanggung jawab hukum sangat ditentukan oleh adanya suatu kesalahan dalam arti dolus maupun culpa.

Kesalahan selalu terkait dengan sifat melawan hukum dengan suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu untuk bertanggung jawab yang ada di dalam ilmu hukum. Setiap perbuatan dari orang yang mampu untuk bertanggung jawab dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana atau tindak pidana (strafbaar feit).

Rumah sakit yang dimiliki pemerintah maupun swasta berkewajiban bertanggungjawab apabila terbukti adanya kelalaian, baik dari pihak dokter, perawa, bidan, atau adanya kelalaian pada bidang manajemen rumah sakit. Tanggungjawab hukum pemberi pelayanan kesehatan dalam dugaan terjadi malpraktek medis

yaitu pertanggungjawaban hukum dokter, pertanggungjawaban perdata dalam pelayanan kesehatan, pertanggungjawaban administrasi dalam pelayanan kesehatan, pertanggungjawaban hukum rumah sakit dan pertanggungjawaban hukum dan etik dalam pelayanan kesehatan.3

Kesalahan merupakan unsur yang paling menentukan adanya pertanggungjawaban pidana, maka untuk menentukan adanya kesalahan dari suatu perbuatan yang dilakukan seorang terdakwa sebagaimana halnya seorang dokter yang didakwa melakukan malpraktik, setidak-tidaknya menurut harus memenuhi unsur-unsur.4

  • a.    Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);

  • b.    di atas umur tertentu dan mampu bertangggung jawab;

  • c.    mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan;

  • d.    tidak adanya alasan pemaaf.

Dokter merupakan profesi yang mempunyai tingkap intelektualitas yang cukup tinggi. Dokter dalam melakukan tindakan medis tidak dalam keadaan terganggu kejiwaannya, atau dengan kata lain tidak mempunyai kelainan kejiwaan yang dapat mengganggu kelancaran tugasnya sebagai seorang yang profesional. Tidak adanya indikasi yang dapat memberi perlindungan sebagaimana yang ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 44 KUHP tersebut, maka dokter dalam setiap tindakannya yang merugikan pasien atau masyarakat tetap dapat dituntut pertanggugjawabannya. Tuntutan pertanggungjawaban dokter

dalam kasus malpraktek adalah bagian dari proses penegakan hukum untuk mencapai keinginan atau ide hukum menjadi suatu kenyataan, yaiu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Penegakan hukum merupakan suatu rangkaian kegiatan yan tidak hanya dilakukan oleh penegak hukum, melainkan juga oleh semua warga masyarakat, dan tidak terkecuali oleh dokter.

Tanggung jawab pidana selalu timbul dari suatu perbuatan apabila dapat dibuktikan adanya kesalahan yang dilakukan oleh seorang dokter secara profesional. Dari segi hukum adanya kesalahan berupa kesengajaan dan kelalaian akam selalu terkait dengan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Seperti halnya seorang dokter yang melakukan malpraktek, dokter tersebut dapat menginsafi perbuatannya itu dan perbuatan tersebut dipandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat, serta dokter yang bersangkutan mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam mewujudkan perbuatan tersebut.

Secara yuridis, tanggung jawab hukum seorang dokter yang muncul dalam keadaan dirinya terbukti melakukan medikal malpraktek dapat dibedakan dalam tiga kategori menurut masing-masing bidang hukum. Pertama, tanggung jawab hukum di bidang perdata sebagaimana yang diatur antara lain pada ketentuan Pasal 1365, Pasal 1243, dan Pasal 1354 KUHPerdata. Kedua, tanggung jawab dalam bidang hukum pidana seperti yang diatur pada Pasal 267, 299, 304, 322, 344, 346, 347, 348, dan Pasal 349 KUHP, yang mencakup tindakan yang bersifat kesengajaan. Adapun yang mencakup kelalaian tercantum pada Pasal 359, Pasal 360, dan Pasal 361 KUHP. Ketiga, tanggung jawab secara administrasi, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan berbagai peraturan pelaksanaannya.

Pertanggungjawaban hukum secara pidana jika dikaji dari KUHP terhadap dokter yang melakukan tindakan malpraktek dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya dengan Pasal 360 KUHP pada ayat (1) dan (2) sehingga terhadap dokter yang melakukan tindakan medis yang berakibat menimbulkan luka berat atau kematian karena kelalaian dokter terhadap pasiennya dapat mempertanggungjawabkan secara pidana, dengan tujuan untuk melindungi hak terhadap korban yang mendapatkan tindakan malpraktek. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 359 dan 360 KUHP maka dokter atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan pasien meninggal maupun luka berat dapat dipidana dan menuntut ganti kerugian.

Ketetntuan di dalam KUHP tidak diatur secara kontekstual mengenai medikal malapraktek. Adapun yang diatur hanya mengenai perbuatan yang berhubungan dengan nyawa orang atau perbuatan menyakiti tubuh orang. Keterbatasan pengaturan mengenai malpraktek ini pada akhirnya menimbulkan problematika tersendiri. Diperlukan suatu inovasi dan intepretasi dengan mengefektifkan peraturan atau hukum yang ada.5 2.2.2 Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kesehatan Yang Dituntut Atas Malpraktek Medis

Hukum pidana mengenal perbedaan antara peniadaan pidana dengan dasar penghapusan penuntutan. Peniadaan pidana ditetapkan oleh hakim dengan menyatakan, bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang

membenarkan perbuatan atau yang memanfaatkan pembuat. Hak menuntut dari jaksa tetap ada, namun terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana, sedangkan peniadaan penuntutan pidana menghapuskan hak untuk menuntut bagi jaksa, karena adanya ketentuan undang-undang.

Ketentuan penghapusan pidana KUHP diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum, yakni dalam Pasal 44 yang mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab, Pasal 48 tentang daya paksa, Pasal 49 tentang pembelaan terpaksa, Pasal 50 tentang pelaksanaan ketentuan undang-undang, Pasal 51 tentang pelaksanaan perintah jabatan, dan Pasal 59 tentang pengurus yang tidak ikut melakukan pelanggaran. Hukum pidana hanya mengenal alasan penghapus pidana, yaitu alasan pembenar (rechvaardingingsgronden) dan alasan pemaaf (schulduitsluitings-gronden). Alasan pembenar sifat melawan hukum tidak ada, sedangkan alasan pemaaf sifat dapat dicela tidak ada. Dasar peniadaan pidana harus dibedakan dengan dasar peniadaaan penuntutan. Dasar peniadaan pidana ditunjukan kepada hakim, maka dasar peniadaan penuntutan ditunjukan kepada penuntut umum dalam hal ini jaksa.

Kedua dasar tersebut akan melahirkan keputusan yang berbeda pula, dimana putusan peniadaan pidana penuntut umum melakukan penuntutan, maka putusannya mesti lepas dari segala tuntutan hukum. Sebaliknya, jika ada dasar peniadaan penuntutan, penuntut umum tetap menuntut, maka putusannya adalah tidak dapat diterima. Menentukan adanya alasan peniadaan pidana, pertama-tama harus dilihat dari sudut kemampuan pertanggung jawab, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 44 KUHP yang menyatakan bahwa orang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hal jiwanya cacat dalam

pertumbuhan atau terganggu karena penyakit.

Ketentuan ini menggambarkan ketidakmampuan bertanggung jawab sehingga meniadakan kesalahan dalam arti luas dan oleh karena itu termasuk alasan pemaaf. Sehubungan dengan itu, Pompe     menyatakan     bahwa     pertanggungjawaban

(toerekenbaarheid) seorang mempunyai unsur-unsur diantara sebagai berikut.6

  • 1.    Kemampuan berfikir (psychish). Pembuat (dader) yang memungkinkan pembuat menguasai pikirannya, yang memungkinkan pembuat menentukan perbuatannya.

  • 2.    Pembuat dapat memahami makna dan akibat perbuatannya.

  • 3.    Pembuat dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.

Adapun peniadaan pidana yang khusus tersebar di dalam pasal-pasal KUHP. Diantaranya Pasal 310 ayat (3) tentang pencemaran yang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri dan Pasal 166 tentang saksi yang tidak mencegah atau melaporkan suatu kejahatan yang disaksikannya karena akan membahayakan atau merugikan kepentingan dirinya. Dasar peniadaan pidana diluar undang-undang, dalam hal ini

KUHP meliputi yang merupakan alasan pembenar (tidak adanya unsur melawan hukum) dan alasan pemaaf (tidak adanya

kesalahan). Alasan pembenar merupakan segi luar dari pembuat atau faktor objektif dan alasan pemaaf dari segi subjektif. Van Hamel menyatakan bahwa dasar pembenar adalah pengahapus dasar melawan hukum, sedangkan yang lain menghapuskan

srafwaardgheid (hal pantas dipidana).

Salah satu pokok dari peniadaan pidana adalah pelaku harus mempunyai alasan yang kuat bahwa yang bersangkutan tidak dapat dipertanggungjawabkan, bukan pada fisiknya, melainkan pada keadaan psikisnya. Sayangnya, pada praktiknya di Indonesia mengikuti pandangan luas, yaitu geestvermogens yang menekankan pada daya pikir, bukan pada akal sehat.

Alasan penghentian penuntutan dengan menggunakan asas oportunitas dalam medikal maplraktek sangat tidak relevan, di mana dokter bekerja melakukan pelayanan medis atas dasar informed consent yang sfatnya kontraktual terapeutik secara personal-pribadi di antara kedua belah pihak, yang nuansanya lebih pada hubungan privat. Konsep kepentingan umum dalam tataran hukum positif di Indonesia, dimaknai sebagai kepentingan Negara dan kepentingan masyarakat secara menyeluruh, oleh karena benang merah untuk mempertemukan keduanya sungguh sangat sulit, bahkan hampir dapat dikatakan suatu hal yang tidak mungkin.

Dasanya, ketentuan hukum pidana mengenal alasan penghapus pidana umum menurut undang-undang yakni di dalam KUHP dan alasan penghapus pidana di luar undang-undang. Alasan pengahapus pidana yang terdapat di dalam KUHP (di dalam undang-undang) adalah sebagai berikut:

  • 1.    Tidak mampu bertanggung jawab

  • 2.    Daya paksa

  • 3.    Keadaan darurat

  • 4.    Melaksanakan ketentuan Undang-Undang.

  • 5.    Melaksanakan perintah jabatan

  • III.    PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

  • 1.    Pertanggungjawaban hukum secara pidana, yang dimana jika dikaji dari KUHP terhadap dokter yang melakukan tindakan malpraktek dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya dengan Pasal 360 KUHP pada ayat (1) dan (2) sehingga terhadap dokter yang melakukan tindakan medis yang berakibat menimbulkan luka berat atau kematian karena kelalaian dokter terhadap pasiennya dapat mempertanggungjawabkan secara pidana, dengan tujuan untuk melindungi hak terhadap korban yang mendapatkan tindakan malpraktek. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 359 dan 360 KUHP maka dokter atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan pasien meninggal maupun luka berat dapat dipidana dan menuntut ganti kerugian.

  • 2.    Salah satu pokok dari peniadaan pidana adalah pelaku harus  mempunyai alasan  yang  kuat bahwa yang

bersangkutan tidak dapat dipertanggungjawabkan, bukan pada  fisiknya, melainkan  pada  keadaan psikisnya.

Ketentuan penghapusan pidana KUHP diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum, yakni dalam Pasal 44 yang mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab, Pasal 48 tentang daya paksa, Pasal 49 tentang pembelaan terpaksa, Pasal 50 tentang pelaksanaan ketentuan undang-undang, Pasal 51 tentang pelaksanaan perintah jabatan, dan Pasal 59 tentang pengurus yang tidak ikut melakukan pelanggaran.

Saran

  • 1.    Perlu adanya peraturan baru didalam KUHP yang secara khusus mengatur tentang kualifikasi tindakan malpraktek yang dilakukan dokter, sehingga dokter tersebut dapat mempertanggungjawabkan tindakannya secara pidana dan penegak hukum dapat memiliki landasan yuridis yang jelas dalam menegakan peraturan didalam KUHP terhadap dokter yang melakukan tindakan malpraktek.

  • 2.    Kepada pemerintah sebagai pembentuk undang-undang hendaknya segera menetapkan peraturan yang mengatur secara khusus mengenai Malpraktek untuk menentukan indikator tingkat kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan serta pemidanaan dan sanksinya terkait terjadinya malpraktek medis yang mengakibatkan cidera hingga kematian bagi si pasien tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Barda Nawawi Arief dalam Ali Imron H.S.,   2009,

Pertanggungjawaban Hukum Konsep Hukum Islam dan Relevansinya dengan Cita Hukum Nasional Indonesia, Walisongo Press, Semarang.

Muntaha, 2017, Hukum Pidana Malapraktik: pertanggungjawaban dan penghapus pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka cipta, Jakarta.

Pompe dalam Andi Zainal Abidin, 2007, Hukum Pidana I, Sinar Grafika Jakarta.

Titik Triwulan Tutik, 2010, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Syaiful Bakhri, 2009, Hukum Pembuktian dalam Praktik peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Hukum (P3IH).Syaiful Bakhri, 2009, Hukum Pembuktian dalam Praktik peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Hukum (P3IH).

Jurnal/Artikel

Cakreswara, Kanina, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Dokter Pada Kasus Malpraktek Oleh Mahasiswa Di Kota Depok, Universitas Indonesia, Depok.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

15