PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN (DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN RESOR KOTA

DENPASAR)*

Oleh

Theresia Adelina**

A.A. Ngurah Yusa Darmadi ***

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan (di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar). Dewasa ini sering terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anak, salah satunya adalah tindak pidana penganiayaan, yang mana delik penganiayaan tersebut telah diatur dalam pasal 351-358 KUHP.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan sesuai dengan sistem peradilan pidana anak di Indonesia dan pelaksanaannya di Polresta Denpasar. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum empiris dengan pendekatan fakta dan perundang-undangan.

Bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum berdasar kepada UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang memberikan perlindungan kepada anak dalam tahap penangkapan dan penahanan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan pembinaan, dan melalui penerapan diversi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah anak sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan harus diperlakukan secara manusiawi, didampingi, disediakan sarana dan prasarana khusus serta sanksi yang diberikan kepada anak sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik anak.

Kata Kunci: Perlindungan hukum, Anak, Tindak Pidana Penganiayaan.

ABSTRACK

This study is entitled "Legal Protection of Children as Actors of Crimes of Persecution (in the Jurisdiction of the Police Resort of Denpasar City). Today there are often criminal acts committed by children, one of which is a criminal act of persecution, in which the offense of persecution is stipulated in Article 351-358 of the Criminal Code.

The issue in this case is the legal protection of children as actors of criminal acts of persecution in accordance with the juvenile justice system in Indonesia and their implementation in Denpasar Police. The research method used is empirical legal research methods with fact and statute approaches.

The forms of protection afforded to children who are in conflict with the law are based on Law Number 11 of 2012 on Juvenile Criminal Justice System, which provides protection to children in the stage of arrest and detention, investigation, prosecution, conferences and construction, as well as providing protection through diversion application. The conclusion of this study is children who commit a criminal act of persecution offense shall be treated with humanity, accompanied, provided with special facilities and infrastructure, as well as sanction granted to the juvenile in accordance with the principle of best interests of the child.

Keywords: Legal Protection, Children, Crimes of Persecution.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Saat ini sering terjadi tindakan pelanggaran terhadap HAM, yang mana pelanggaran tersebut bukan hanya dilakukan oleh orang dewasa, tapi dilakukan juga oleh anak, baik sendiri maupun bersama-sama dengan berbagai macam bentuknya.

Menurut Lilik Mulyadi, ditinjau dari aspek yuridis maka, pengertian anak di mata hukum positif Indonesia diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang di bawah umur atau

keadaan di bawah umur, atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali.1

Berdasarkan data yang diperoleh di Polresta Denpasar, jumlah tindak pidana oleh anak pada tahun 2013-2016 yang paling banyak terjadi adalah kejahatan terhadap tubuh atau biasa dikenal dengan penganiayaan. Tindak penganiayaan ini termasuk dalam tindak pidana yang telah dimuat dalam Buku II KUHP tentang Kejahatan. Menurut Adami Chazawi dalam buku Maidin Gultom, penganiayaan ialah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si petindak.2

Diperlukan penanganan serta penegakan hukum yang tepat terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan. Apabila anak melanggar hukum maka, anak wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya, namun, meski harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, anak tersebut harus dilindungi. Perlindungan anak terkait erat dengan lima pilar yakni, orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan negara. Kelimanya memiliki keterkaitan satu sama lain sebagai penyelenggara perlindungan anak.3

Berdasarkan hal tersebut, Indonesia mengesahkan beberapa undang-undang seperti, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak (UU SPPA), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang mana undang-undang tersebut telah memberikan dasar hukum dalam upaya perlindungan anak.

Negara mengedepankan perlindungan hak-hak anak yang menjalani proses hukum dalam setiap tahap pemeriksaan. Salah satunya adalah pembedaan proses hukum pada orang dewasa dan pada anak yang melakukan tindak pidana. Negara memberikan keringanan pada tindak pidana yang dilakukan oleh anak, karena anak sebagai generasi penerus bangsa harus diperlakukan secara manusiawi.

  • 1.2.    Permasalahan dan Tujuan

Permasalahan dari penulisan ini yakni: (1) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia? (2) Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan di wilayah hukum Polresta Denpasar?

Tujuan penelitian ini yakni untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana Indonesia serta pelaksanaannya terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan di wilayah hukum Polresta Denpasar.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris ini

meneliti tentang proses dan penerapan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan di wilayah hukum Polresta Denpasar.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan fakta dan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan fakta dilakukan dengan melihat keadaan nyata di wilayah penelitian. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.4

  • 2.2.    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1.    Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia

Praktek peradilan anak di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Sistem peradilan pidana anak ialah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana (Pasal 1 angka 1 UU SPPA). UU SPPA ini bertujuan untuk mewujudkan peradilan yang sungguh-sungguh menjamin perlindungan terbaik terhadap kepentingan anak yang berhadapan dengan hukum. Hal tersebut sesuai dengan salah satu asas pelaksanaan sistem peradilan pidana anak dalam Pasal 2 UU SPPA yaitu perlindungan.

UU SPPA memberikan definisi anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun serta membedakan anak yang berhadapan dengan hukum menjadi 3 (tiga), yaitu:

  • a.    Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);

  • b.    Anak yang menjadi korban tindak pidana (Pasal 1 angka 4 UU SPPA); dan

  • c.    Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Pasal 1 angka 5 UU SPPA).

Terdapat perbedaan proses peradilan pidana terhadap orang dewasa dan anak yang melakukan tindak pidana yaitu, undang-undang meringankan tindak pidana yang dilakukan anak, karena terdapat hak-hak anak yang harus dilindungi. Perbedaan proses peradilan tersebut dapat dilihat salah satunya dalam ketentuan Pasal 3 UU SPPA yang mengatur tentang hak setiap anak dalam proses peradilan pidana, diantaranya:

  • a.    Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;

  • b.    Dipisahkan dari orang dewasa;

  • c.    Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

  • d.    Melakukan kegiatan rekreasional;

  • e.    Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

  • f.    Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

  • g.    Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

  • h.    Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

  • i.    Tidak dipublikasikan identitasnya;

  • j.    Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;

  • k. Memperoleh advokasi sosial;

  • l.  Memperoleh kehidupan pribadi;

  • m.    Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;

  • n. Memperoleh pendidikan;

  • o. Memperoleh pelayananan kesehatan; dan

  • p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Menurut Pasal 4 UU SPPA, anak yang sedang menjalani masa pidana berhak atas:

  • a.    Remisi atau pengurangan masa pidana;

  • b.    Asimilasi;

  • c.    Cuti mengunjungi keluarga;

  • d.    Pembebasan bersyarat;

  • e.    Cuti menjelang bebas;

  • f.  Cuti bersyarat;

  • g. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Selanjutnya, asas perlindungan dalam UU SPPA terlihat dalam hal penjatuhan sanksi. Anak sebagai pelaku tindak pidana dapat dijatuhi 2 (dua) macam sanksi, yakni sanksi tindakan (pelaku tindak pidana berumur di bawah 14 tahun) dan sanksi pidana (Pasal 69 UU SPPA).

  • a.    Sanksi tindakan meliputi, pengembalian kepada orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta, pencabutan surat izin mengemudi dan/atau perbaikan akibat tindak pidana (Pasal 82 UU SPPA).

  • b.    Sanksi pidana meliputi pidana pokok dan pidana tambahan (Pasal 71 UU SPPA).

  • -    Pidana pokok yang meliputi, pidana peringatan, pidana dengan syarat (yang terdiri atas pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan), pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga dan penjara.

  • -    Pidana tambahan yang meliputi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat.

Perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dapat dilihat dari keseluruhan proses hukumnya, mulai dari tahap penyidikan, penangkapan dan penahanan, penuntutan, persidangan dan pembinaan. Keseluruhan proses tersebut harus dilakukan berdasarkan ketentuan UU SPPA dan harus memprioritaskan kebutuhan, perkembangan dan pertumbuhan anak, baik mental, fisik, maupun sosial anak dan kepentingan masyarakat.

  • 1.    Penyidikan

Penyidikan anak dilakukan oleh penyidik khusus yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk. Artinya penyidik khusus anak telah memenuhi persyaratan, yaitu telah berpengalaman sebagai penyidik, mempunyai minat, perhatian dedikasi, memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.5

Penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik Pasal 29 UU SPPA menyebutkan bahwa, penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai. Penyidik membuat laporan mengenai kasus anak, latar belakang anak dan alasan melakukan kenakalan, dengan wawancara secara halus dan sabar.

  • 2.    Penangkapan dan penahanan

Penangkapan terhadap anak untuk kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan anak wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak. Apabila ruang pelayanan khusus anak belum ada di wilayah tersebut, anak dititipkan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Penangkapan terhadap anak harus dilakukan secara manusiawi.

Setelah penangkapan, dapat dilakukan penahanan. Dapat dilakukan penahanan artinya, penahanan anak tidak harus dilakukan, penahanan pada dasarnya dilakukan untuk

kepentingan pemeriksaan dan penahanan tersebut harus memperlihatkan kepentingan anak. Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan anak terhadap pengaruh-pengaruh buruk yang dapat diserap melaui konteks kultural dengan tahanan lain.6

Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 UU SPPA untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari. Jangka waktu tersebut atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8 (delapan) hari dan apabila jangka waktu tersebut berakhir, anak wajib dikeluarkan demi hukum.

  • 3.    Penuntutan

Penuntutan pada perkara anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Pasal 42 UU SPPA menyatakan bahwa Penuntut Umum wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik.

  • 4.    Persidangan

Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama dengan hakim tunggal. Hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim.

  • 5.    Pembinaan

Anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Anak tersebut berhak memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan,

pendampingan, pendidikan dan pelatihan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. LPKA wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, pembinaan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembimbing kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan dan pembinaan tersebut. Balai Pemasyarakatan (Bapas) wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program tersebut (Pasal 85 UU SPPA).

Perlindungan anak tidak hanya dapat diselesaikan melalui proses peradilan, akan tetapi juga dapat diselesaikan melalui proses peradilan pidana atau yang dikenal dengan diversi, yang mana penyelesaiannya melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan yang dikenal dengan pendekatan keadilan restorative justice.7

Diversi menurut Pasal 1 angka 7 UU SPPA adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri. Kewajiban mengupayakan diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana.

  • 2.2.2.    Pelaksanaan Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan AKP Ni Made Lestari, selaku Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Denpasar pada tanggal 26 November 2016, terdapat faktor internal dan eksternal penyebab anak melakukan tindak pidana penganiayaan yakni faktor internal antara lain lemahnya pertahanan diri, lemahnya iman, dan pendidikan yang rendah, sedangkan faktor eksternal antara lain faktor keluarga, lingkungan dan perkembangan teknologi. Menurut AKP Ni Made Lestari, faktor eksternal merupakan faktor yang paling dominan yang menjadi pemicu anak melakukan tindak pidana penganiayaan.

Anak yang melakukan penganiayaan tersebut akan diproses secara hukum, namun dalam kasus anak yang melakukan tindak pidana, tiap proses hukumnya berbeda dengan pelaku tindak pidana yang sudah dewasa. Proses hukum bagi pelaku tindak pidana yang masih anak di bawah umur harus mengedepankan aspek perlindungan hak-hak dari anak tesebut. Belum cukup umur merupakan alasan yang meringankan pemidanaan karena memungkinkan anak untuk memperbaiki kelakuannya dan diharapkan menjadi warga negara yang baik.

Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan di Polresta Denpasar berpedoman pada UU SPPA mulai dari tahap penangkapan, penyidikan dan penahanan. Polresta Denpasar dalam melakukan penyidikan anak, dilaksanakan oleh Polisi Wanita (Polwan) dan dalam hal tertentu jika perlu bantuan Polisi Pria menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang. Penyidik wajib menggunakan

bahasa yang tidak sulit dimengerti anak, tidak memaksa anak, tidak memakai atribut dan seragam dinas yang dapat menyebabkan anak merasa terancam sehingga dapat menimbulkan ketakutan dan trauma.

Berdasarkan hal tersebut maka, saat pemeriksaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, Polresta Denpasar telah mengadakan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, yang mengkhususkan pemeriksaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Ketika melakukan penyidikan anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan atau jika perlu kepada ahli pendidikan, tokoh agama, psikolog dan tenaga ahli lainnya yang ada di Kota Denpasar.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan AKP Ni Made Lestari, penerapan proses diversi pada tahap penyidikan berpedoman pada UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun (PP No. 65 Tahun 2015) serta Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 1 Tahun 2012 tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum di Lingkungan Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia.

AKP Ni Made Lestari menyatakan bahwa diversi pada tahap penyidikan khususnya di Polresta Denpasar banyak yang berhasil dilakukan, khususnya pada tindak pidana ringan seperti pencurian dan penganiayaan ringan, namun ada pula diversi yang gagal. Pada perkara penganiayaan di Polresta Denpasar tahun 2014-2016, terdapat proses diversi yang gagal, yang

diakibatkan oleh pihak keluarga korban tidak menghendaki adanya perdamaian.

Tindak kejahatan baik itu dilakukan oleh anak di bawah umur maupun orang dewasa memiliki cara tersendiri untuk menanganinya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Made Sudarsa selaku Penyidik AIPTU di Polresta Denpasar pada tanggal 26 November 2016, terdapat beberapa upaya untuk menanggulangi tindak pidana yang dilakukan oleh anak yakni terdiri dari upaya preventif dan upaya represif. Upaya-upaya ini dapat dilakukan dengan kerja sama dengan lembaga atau instansi terkait seperti sekolah, kedokteran, tokoh pemuka agama, stasiun televisi, media cetak dan elektronik dan Badan Pembina Ketertiban dan Keamanan Masyarakat.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

  • 1.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (terdiri dari anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana) di Indonesia. Undang-undang tersebut memberikan perlindungan kepada anak dalam tahap penangkapan dan penahanan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan pembinaan. UU SPPA juga mengatur tentang bentuk penyelesaian perkara tindak pidana anak melalui proses diversi yang wajib diupayakan dalam tahap penyidikan, penuntutan dan pengadilan.

  • 2.    Faktor-faktor penyebab anak melakukan tindak pidana penganiayaan di wilayah hukum Polresta Denpasar terdiri dari faktor  internal  dan faktor eksternal.  Bentuk

perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku

tindak pidana penganiayaan di Polresta Denpasar terdiri dari perlindungan hukum dalam proses penyidikan, penangkapan dan penahanan, perlindungan melalui penerapan diversi dan perlindungan melalui upaya penanggulangan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak.

  • 3.2.    Saran

  • 1.    Penegakan kembali seluruh asas yang telah diatur sebagai pedoman pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum oleh pemerintah dan aparat penegak hukum terutama dalam pelaksanakan proses penyelesaian perkara anak di luar peradilan formal.

  • 2.    Peran pemerintah perlu didukung oleh segenap elemen yang ada karena semuanya mempunyai kewajiban

memenuhi hak-hak anak baik itu penyidik, orang tua, guru, masyarakat dan relawan dan/atau institusi yang peduli terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Proses penyelesaian tindak pidana yang melibatkan anak dibawah umur harus lebih mengedepankan proses diversi, kalau tidak berhasil maka hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman yang didasarkan pada kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan anak.

  • IV.    DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Gultom, Maidin, 2010, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Cet. II, P.T.Refika Aditama, Bandung.

Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Cet. VI, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Mulyadi, Lilik, 2005, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek Permasalahannya, Mandar Maju, Bandung.

Jurnal

Analiansyah dan Syarifah Rahmatillah, 2015, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (Studi Terhadap Undang-undang Peradilan Anak Indonesia dan Peradilan Adat Aceh), Jurnal Fakultas Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

Dheny Wahyudhi, 2015, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum Melalui Pendekatan Restorative Justice, Jurnal Hukum Universitas Jambi, Jambi.

Rini Fitriani, 2016, Peranan Penyelenggara Perlindungan Anak dalam Melindungi dan Memenuhi Hak-Hak Anak, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Samudra, Meurandeh, Langsa-Aceh.

Sri Rossiana, 2012, Perlindungan Hukum Bagi Anak di Bawah Umur yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian, Jurnal Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

15