KAJIAN TEORITIS TERHADAP KEDUDUKAN TERGUGAT II INTERVENSI DALAM SENGKETA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
on
KAJIAN TEORITIS TERHADAP KEDUDUKAN TERGUGAT II INTERVENSI DALAM SENGKETA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
OLEH :
Ni Luh Mahisa Mahardini∗
Anak Agung Gde Oka Parwata∗∗
Program Kekhususan Peradilan
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut PTUN) menjadi salah satu peradilan yang ada di Indonesia. Warga Negara atau masyarakat dapat mengajukan gugatan kepada PTUN apabila ada Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan pejabat Tata Usaha yang merugikan kepentingan warga negaranya. Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada dua yakni Pihak Penggugat dan Tergugat. Dalam poses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara juga dikenal istilah pihak lainnya yaitu pihak ketiga yang dimungkinkan untuk ikut serta dalam pemeriksaan sengketa yang sedang berjalan antara penggugat dan tergugat dengan cara mengajukan gugatan intervensi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa secara teoritis terhadap kedudukan pihak tergugat II intervensi dalam sengketa Peradilan Tata Usaha Negara. Jenis Penelitian hukum yang dilakukan adalah menggunakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji norma didalam hukum positif terkait dengan sengketa Tata Usaha Negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan masuknya Pihak Tergugat II Intervensi dalam sengketa Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara dan Kedudukan Tergugat II Intervensi dalam Sengketa Peradilan Tata Usaha Negara apabila dikaitkan dengan asas Erga Omnes adalah tidak tepat apabila seseorang yang bukan berkedudukan sebagai “bestuursorganen” atau organ pemerintah didudukkan sebagai Tergugat II Intervensi dalam sengketa yang sedang berjalan.
∗ Penulis Pertama Ni Luh Mahisa Mahardini adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, Korespondensi dengan penulis melalui email: [email protected].
∗∗ Anak Agung Gde Oka Parwata adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Kata Kunci : Kedudukan, Tergugat II Intervensi, Hukum Acara, PTUN.
Abstract
The administrative court (hereinafter referred to as Administrative Court) is one of the courts in Indonesia. Citizens or the public can submit a lawsuit to the Administrative Court if there is an Administrative Decisions issued by an Administration official that harms the interests of its citizens. Subjects or parties who litigate in the Administrative Court are two, namely the Plaintiff and Defendant. In the process of Administration dispute resolution also known as the other party, namely a third party that is possible to participate in the examination of ongoing disputes between the plaintiff and the defendant by filing an intervention claim. This study aims to analyze theoretically the position of the Intervenor Defendant II in the Administrative Court dispute. The type of legal research conducted is to use normative juridical research, namely research focused on reviewing the norms in positive law related to Administrative Disputes. The results of the study show that the arrangement of the entrance of Intervenor Defendant II in the Administrative Court dispute is regulated in Article 83 of Law Number 5 Year 1986 Administrative Court and Position of Intervenor Defendant II in the Administrative Court Dispute when it is associated with the Erga Omnes principle is not right if a person who is not a " bestuursorganen" or a government organ is seated as the Intervenor Defendant II in an ongoing dispute.
Keywords: Position, Intervenor Defendant II, Procedural Law, Administrative Court
Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut konsep pemisahan kekuasaan yaitu dibagi menjadi kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Kekuasaan Yudikatif (Yudisial) atau disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) bab IX Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Badan-badan peradilan yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung tersebut, memiliki tugas dan peran sesuai dengan kompetensinya masing-masing, tidak terkecuali Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut PTUN).
Hukum Tata Usaha Negara merupakan aturan-aturan yang mengelola bagian tertentu dalam kegiatan hukum administrasi Negara.1 Untuk lebih jelasnya pengertian dari Hukum Tata Usaha Negara adalah hukum mengenai susunan, tugas dan wewenang dan hubungan kekuasaan satu sama lain, hubungan dengan pribadi-pribadi hukum lainnya dari alat-alat perlengkapan (jabatan-jabatan) tata usaha Negara sebagai pelaksana segala usaha Negara (perundang-undangan, pemerintahan dan peradilan) menurut prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh alat-alat perlengkapan Negara tertinggi (badan legislatif, badan eksekutif, dan badan yudikatif).2
PTUN menjadi salah satu peradilan yang ada di Indonesia, warga Negara atau masyarakat dapat mengajukan gugatan kepada PTUN apabila ada Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan oleh pejabat Tata Usaha yang merugikan kepentingan warga negaranya. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) telah memperluas cakupan KTUN. KTUN merupakan ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Perluasan itu bisa dibaca dari Pasal 87 UUAP. Menurut pasal ini, KTUN sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009) harus dimaknai dalam beberapa cakupan. Pertama, penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual. Kedua, Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Ketiga, berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Keempat, bersifat final dalam arti lebih luas. Kelima, keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum. Keenam, keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.
Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada dua yakni Pihak Penggugat dan Tergugat. Dalam poses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara juga dikenal istilah pihak lainnya yaitu pihak ketiga yang dimungkinkan untuk ikut serta dalam pemeriksaan sengketa yang sedang berjalan antara penggugat dan tergugat dengan cara mengajukan gugatan intervensi. Keikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian perkara perdata yang sedang berlangsung tanpa memperhatikan bahwa dalam sengketa tata usaha negara, yang dapat bertindak sebagai penggugat sudah ditentukan, yaitu hanya orang atau badan hukum perdata, sedang yang dapat bertindak sebagai tergugat hanya badan atau pejabat tata usaha Negara.3
Prakteknya dalam persidangan penyelesaian perkara perdata dimungkinkan adanya pihak ketiga masuk guna untuk melindungi
kepentingannya yang dalam hukum acara perdata sering disebut dengan intervensi. Intervensi ini juga dikenal didalam peradilan tata usaha negara, hanya saja akan menimbulkan persoalan bilamana intervensi didalam hukum acara perdata tersebut diterapkan secara utuh didalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara, karena keputusan pengadilan perdata hanya mengikat bagi para pihak yang bersengketa saja, oleh karena itu menjadi penting memasukkan pihak ketiga ini untuk melindungi pihak-pihaknya dalam amar putusan.
Dilain pihak didalam sengketa tata usaha negara pengaturan intervensi ini justru menimbulkan suatu persoalan dalam mencermati mengenai posisi pihak-pihak dalam sengketa, disamping untuk melindungi kepentingan pihak ketiga yang tidak terlibat dalam pokok perkara dan adanya prinsip dasar asas Erga Omnes semestinya pihak ketiga tidak perlu diikutsertakan dalam perkara karena kepentingannta sudah terlindungi didalam amar putusannya.
Berdasarkan hal itulah penulis ingin mengkaji lebih jauh dari kajian normatifnya dengan mengangkat judul “KAJIAN TEORITIS TERHADAP KEDUDUKAN PIHAK TERGUGAT II INTERVENSI DALAM SENGKETA PERADILAN TATA USAHA NEGARA”.
Mengenai pemaparan latar belakang diatas, maka dapat ditemukan 2 (dua) masalah yaitu sebagai berikut :
-
1. Bagaimanakah pengaturan masuknya Pihak Ketiga (Tergugat II Intervensi) dalam sengketa Peradilan Tata Usaha Negara?
-
2. Bagaimanakah seharusnya pengaturan terkait masuknya Pihak Ketiga (Tergugat II Intervensi) dalam Sengketa Peradilan Tata Usaha Negara?
Penelitian ini disusun dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan. kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.4 Yuridis Normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.5 Sedangkan jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute aproach). Pendekatan perundanng-undangan digunakan untuk mengetahui keseluruhan pengaturan hukum khususnya hukum Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Pendekatan kasus bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus.
Sengketa Peradilan Tata Usaha Negara
Masuknya pihak ketiga yang mempunyai kepentingan kepentingan dalam suatu proses sengketa yang sedang berjalan dalam sengketa tata usaha negara dengan maksud untuk melakukan pembelaan atas haknya atau memihak dapat juga bergabung kepada salah satu pihak yang bersengketa pada kasus yang sedang berjalan tersebut, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa hakim.6 Pihak tersebut disebut intervensi.
Kemungkinan adanya intervensi tersebut diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan :
-
(1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas rakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai :
-
a. Pihak yang membela haknya; atau
-
b. Peserta bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa
Diterima ataupun ditolaknya permohonan Intervensi yang diajukan oleh Pemohon Intervensi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara akan dituangkan dalam Putusan sela dan dicantumkan dalam berita acara.
Dengan diaturnya Pasal 83 mengenai masuknya pihak ketiga tersebut justru menimbulkan persoalan baru dalam menentukan posisi kedudukan pihak ketiga dalam sengketa. Sebab rumusan Pasal 83 Ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 diatas bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 jo, Pasal 53 Ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. Sebab berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 jo, Pasal 53 Ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang dimaksud dengan tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan berdasarkan Pasal 83 Ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, intervent adalah seseorang atau Badan Hukum Perdata, apabila isi Pasal tersebut diartikan maka akan menimbulkan persoalan dimana jika yang menarik intervent adalah tergugat itu berarti bahwa seorang atau Badan Hukum Perdata selanjutnya akan berkedudukan sebagai Tergugat II Intervensi. Ini sesungguhnya akan bertentangan dengan asas “Erga Omnes”.
Asas “Erga Omnes” dikenal dari bahasa Latin Erga dan Omnes, Erga berarti bagi dan Omnes berarti semua. Sehingga Erga Omnes berarti berlaku bagi semua atau bagi suiapapun; asas ini menunjukkan bahwa suatu sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang sekurang-kurangnya terdiri dari dua pihak yaitu Penggugat (seorang atau Badan Hukum Perdata) dan Tergugat (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara).7 Dapat dilihat dalam asas ini tidak pernah mencantumkan bahwa seseorang
dapat berkedudukan sebagai tergugat maupun sebagai turut tergugat.
Mengenai kesimpangsiuran dalam mendudukan pihak ketiga yang diikutsertakan dalam sengketa yang sedang berjalan, sampai saat ini belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas mengenai hal ini. Secara praktis Mahkamah Agung juga tidak memberikan petunjuk mengenai kedudukan pihak ketiga ini, kecuali menyerahkannya pada Yurisprudensi, bahwa Mahkamah Agung mengharapkan agar ketentuan mengenai Intervensi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 83 ini diterapkan secara hati-hati.8 Seperti yang termuat dalam JUKLAK Mahkamah Agung No.224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 yang dirumuskan dalam Pelatihan Pemantapan Ketrampilan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara Tahap III Tahun 1993 pada butir 4 menggariskan :
-
a. Sebaiknya sebelum hakim mengeluarkan penetapan dalam putusan selanya yang bermaksud menarik pihak ketiga atas inisiatif Hakim perlu yang bersangkutan dipanggil lebih dahulu dan diberi penjelasan apakah ia bersedia masuk dalam sengketa yang sedang diperiksa.
-
b. Pihak ketiga (yang bukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) yang bergabung dengan pihak Tergugat Asal seyogianya berkedudukan sebagai saksi yang menyokong tergugat, karena ia mempunyai kepentingan yang pararel dengan Tergugat Asal. dan ia tidak dapat berkedudukan sebagai pihak Tergugat sesuai ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
-
c. Pihak ketiga yang membela haknya sendiri harus mengajukan gugatan intervensi dan berkedudukan sebagai Penggugat Intervensi.
-
d. Sebelum Majelis menolak atau mengabulkan permohonan gugatan intervensi sebaiknya didengar juga tanggapan dari Penggugat dan Terguagat asal, apabila benar pihak ketiga yang mengajukan permohonan intervensi tersebut mempunyai kepentingan.
-
e. Ditolak atau dikabulkan permohonan intervensi tersebut harus dituangkan dalam putusan sela yang ditentikan dalam berita acara sidang seperti ketentuan pasal 83 ayat (2) Undang-undang nomor 5 Tahun 1986.9
Oleh sebab itu, hendaklah hakim sangat berhati-hati dalam hal mengabulkan maupun menolak permohonan intervensi dalam sengketa Tata Usaha Negara dan sebisa mungkin meniadakan masuknya pihak intervensi terutama untuk pihak yang berkedudukan menjadi Tergugat II intervensi.
-
2.2.2 Pengaturan Kedepannya terkait masuknya Pihak Ketiga (Tergugat II Intervensi) dalam Sengketa Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam prakteknya, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memposisikan pihak ketiga yang bukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat II Intervensi apabila kepentingannya pararel dengan Tergugat.10 Hal ini dapat dilihat dalam Kasus Putusan Nomor 13/G/2014/PTUN.Dps antara Liang Tji Jien melawan Kepala Kantor Pertanahan Kota Denpasar
tentang Keputusan Tata Negara yang dikeluarkan oleh tergugat yang berupa Sertifikat Hak Milik atas nama Ni Wayan Ronji. Dalam pokok perkara telah menimbang bahwa dalam sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berjalan antara pihak penggugat dan tergugat, adanya permintaan permohonan intervensi atas prakarsa sendiri atas nama Ni Wayan Sukasari yang selanjutnya dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Denpasar dan didudukan dalam sengketa sebagai Tergugat II Intervensi. Dengan pertimbangan bahwa adanya kepentingan yang sama yaitu sama-sama mempertahankan objek tanah yang disengketakan.
Berdasarkan kasus diatas dalam prakteknya Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memposisikan pihak ketiga yang bukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat Intervensi sebab dianggap memiliki kepentingan yang pararel dengan Tergugat asal.
Jika dikaitkan dengan asas “Erga Omnes” yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka perlu diketahui pertama-tama bahwa intervensi merupakan adanya keikutsertaan pihak lain kedalam sengketa. Selama pemeriksaan sengketa berlangsung umumnya dimungkinkan adanya intervensi. J.H Heslingga menyebut intervensi sebagai: “adanya pihak lain yang membaurkan diri kedalam proses yang berlangsung diantara pihak-pihak”.11 Intervensi ini dapat dilakukan dengan prakarsa hakim maupun atas prakarsa sendiri dari yang berkepentingan(pihak ketiga). Dalam pemeriksaan sengketa di peradilan dalam lingkungan Peladilan Administrasi, masuknya pihak ketiga “intervenient” atas prakarsa hakim tidaklah dibenarkan. Pihak ketiga yang
berkepentingan tersebut sebenarnya sudah cukup didengar sebagai saksi yang sangat berkepentingan. Hal ini sesuai dengan sifat hakim administrasi yang harus aktif dalam menyelesaikan pemeriksaan sengketa.12
Kepentingan pihak ketiga itu dapat pararel dengan kepentingan tergugat dan bertentangan dengan maksud dan tujuan gugatan penggugat, atau justru sebaliknya. Pihak ketiga ini bisa berupa seseorang atau badan hukum perdata maupun suatu “bestuursorganen”. Sehingga apabila pihak ketiga tersebut berupa seorang atau badan hukum perdata yang ikut menggugat dan lalu berkedudukan sebagai penggugat II maka dapat diperkenankan, karena memang orang maupun badan hukum perdata dalam Peradilan Administrasi selalu berkedudukan sebagai penggugat dan kedudukan organ pemerintah selalu mejadi tergugat. Namun apabila pihak ketiga ini bergabung dengan pihak tergugat yang lalu didudukkan sebagai turut tergugat maka tidaklah diperkenankan. Sebab tidak mungkin seorang atau badan hukum perdata berposisi sebagai tergugat maupun turut tergugat, pihak ketiga yang berkepentingan apabila ia bukan berkedudukan sebagai “bestuursorganen” tidak mungkin didudukkan sebagai turut tergugat.13
Perihal kasus diatas yang mengabulkan permohonan intervensi Ni Wayan Sukasari yang kemudian didudukan dalam sengketa sebagai Tergugat II Intervensi sebenarnya tidak tepat karena dalam proses beracara pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Administrasi atas alas asas “Erga Omnes” sebenarnya tidak perlu ada. Pihak ketiga dalam hal ini Ni Wayan Sukasari yang kepentingannya terkait dengan gugatan terhadap suatu
keputusan organ pemerintahan, selayaknya sudah cukup apabila pihak ketiga tersebut didengar saja sebagai saksi yang sangat berkepentingan tanpa harus menjadi Intervenient, sehingga kesaksiannya secara tidak langsung juga akan memperkuat dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa dalam hal ini Liang Tji Jien melawan Kepala Kantor Pertanahan Kota Denpasar, sekaligus kepentingannya sendiri.
Dari uraian contoh kasus diatas , berdasarkan asas “Erga Omnes” dalam hukum acara Peradilan Administrasi maka intervensi tidak mutlak terjadi (adanya) karena putusan Peradilan Administrasi yang “in kracht van gewijsde” berlaku bagi semua orang. Pihak ketiga yang berkepentingan cukup didengar sebagai saksi yang sangat berkepentingan, sehingga dalam hal ini Pengaturan Pasal 83 Ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 kedepannya sebaiknya dicabut.
-
1. Pengaturan masuknya Pihak Tergugat II Intervensi dalam sengketa Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, kemudian pada Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 jo, Pasal 53 Ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, serta diatur pula dalam JUKLAK Mahkamah Agung No.224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 yang dirumuskan dalam Pelatihan Pemantapan Ketrampilan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara Tahap III Tahun 1993.
-
2. Perihal Pengaturan Kedepannya Mengenai Masuknya Pihak Ketiga (Tergugat II Intervensi) Dalam Sengketa Peradilan Tata Usaha Negara apabila dikaitkan dengan asas Erga
Omnes maka tidak tepat apabila seseorang yang bukan berkedudukan sebagai “bestuursorganen” atau organ pemerintah didudukkan sebagai Tergugat II Intervensi dalam sengketa yang sedang berjalan. Pihak ketiga yang kepentingannya terkait dengan gugatan terhadap suatu keputusan organ pemerintahan selayaknya sudah cukup didengar sebagai saksi yang sangat berkepentingan tanpa harus menjadi Intervenient yang secara langsung juga akan menguatkan dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa. Intervenient dalam proses beracara pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan administrasi atas dasar asas “Erga Omnes” sebenarnya tidak perlu ada. sehingga pengaturan Pasal 83 Ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sebaiknya dicabut.
Bagi pembentuk peraturan perundang-undangan hendaknya perlu berhati-hati dalam menerapkan dan menetapkan mana pengaturan yang tepat dan tidak menimbulkan multi tafsir terhadap pedoman dasar beracara khususnya dalam menentukan keiikutsertaan dan kedudukan pihak Tergugat II Intervensi. Agar tidak dipahami dan dibandingkan secara harfiah seperti pada hukum acara perdata untuk menghindari kekeliruan dan kebingungan dalam pengaturan tersebut. Pihak berwenang pembentuk peraturan perundang-undangan diharapkan dapat meninjau kembali terhadap pengaturan masuknya pihak ketiga dalam sengketa Tata Usaha Negara sehingga kedepannya tidak lagi terjadi konflik norma antara norma satu dengan norma lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah M, Ali, 2015, Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-Amandemen, Prenadamedia
Group, tanpa tempat terbit.
Djamali, R. Abdoel, 2011, Pengantar Hukum Indonesia. Cet. Ke-17, Jakarta.
Hanitijo Soemitro, Ronny,1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang.
Ni’Matul Huda, 2011, Hukum Tata Negara Indonesia. Cet. Ke-6, Jakarta.
Wijoyo, Suparto, 1997, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Airlangga University Press, Surabaya.
Wiyono R., 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
Sinar Grafika, Jakarta.
Cahyaningrum, Lulik Tri, 2004, “Intervensi Pihak Ketiga Dalam Sengketa Tata Usaha Negara Dalam Rangka Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Pihak Ketiga”, Tesis, Program Studi Magister Hukum, Minat Studi Hukum Pemerintahan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.
Pranata, I Kadek Ridwan, “Kedudukan Pihak Ketiga Dalam Peradilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Kertha Wicaksana, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Warmadewa,
Volume 1, Nomor 1, 2017.
Sutoyo, 2003, “Penerapan Asas “Erga Omnes” Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Dikaitkan Dengan Kepentingan Pihak Ketiga”, Skripsi, Program Studi Ilmu
Hukum, Minat Studi Hukum Pemerintahan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344).
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4380).
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079).
16
Discussion and feedback