PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA ATAS TINDAKAN “PERUNDUNGAN” FISIK OLEH PELAKU ANAK DI BAWAH UMUR*

Oleh :

Nadia Devi Maharani**

A.A Ngurah Yusa Darmadi, SH., MH*** Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Perlindungan dari ancaman kekerasan dan diskriminasi kepada setiap anak telah diatur dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. “Perundungan” fisik adalah suatu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang yang lebih lemah dengan maksud untuk membuat orang tersebut merasa takut dan tidak berdaya serta dapat menyebabkan luka-luka hingga kematian. Tindakan “perundungan” fisik tidak saja dilakukan oleh orang dewasa, akan tetapi anak pun dapat menjadi pelaku tindakan “perundungan” fisik. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui pengaturan dan pertanggung jawaban pelaku tindakan “perundungan” fisik yang dilakukan anak di bawah umur. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menganalisa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan “perundungan” fisik di Indonesia belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, akan tetapi ketentuan yang dapat menjadi acuan yaitu Pasal 351 KUHP, Pasal 54 dan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Perlindungan Anak. Berdasarkan asas lex specialis derogat lex generalis pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku anak dibawah umur atas tindakan “perundungan” fisik dapat diajukan ke muka pengadilan dengan berlandaskan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, “Perundungan”, Anak, Di Bawah Umur

ABSTRACT

Protection from threats of violence and discrimination to each child has been regulated in Article 28B paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Physical abuse is a form of violence committed by a person or group of people against someone who is weaker with a view to making the person feels scared and helpless and can cause injuries to death. Acts of physical abuse are not only carried out by adults, but children can become perpetrators of physical abuse. The purpose of this paper is to find out the arrangements and accountability of the perpetrators of physical abuse committed by minors. This study uses a normative juridical method by analyzing legislation and other legal materials. The results of the study show that the regulation of physical abuse in Indonesia has not been specifically regulated in the laws and regulations in Indonesia, but the provisions that can be referred to are Article 351 of the Criminal Code, Article 54 and Article 9 paragraph (1) letter a Child Protection Act. Based on the principle of lex specialis derogat lex generalis, criminal responsibility for perpetrators of minors for physical abuse can be brought before the court based on the Law on the Child Criminal Justice System.

Keywords : Criminal Responsibility, Bullying, Child, Under Age

  • I.    PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

“Perundungan” atau yang lazim disebut dengan bullying merupakan salah satu topik yang selalu hangat dikalangan masyarakat. Sebenarnya masalah “perundungan” ini sudah sejak lama ada dan tumbuh dalam masyarakat, akan tetapi cara-cara yang digunakan untuk penangan “perundungan” ini dianggap masih kurang.

“Perundungan” bukan hanya dilakukan oleh kalangan orang dewasa, tetapi di banyak kasus seringkali “perundungan” dilakukan oleh anak di bawah umur. Salah satu kasus “perundungan” yang sempat menjadi sorotan publik yaitu kasus “perundungan” di SD Bukit Tinggi Sumatra Barat, sebuah vidio menayangkan dua siswa dan satu siswi menendang salah satu korban siswi lainnya, hal ini

dipicu karena salah satu pelaku “perundungan” menyatakan bahwa korban sebelumnya mengejek Ibu dari pada salah satu siswa pelaku “perundungan”.1 Berdasarkan kasus tersebut terlihat jelas bahwa sekelompok siswa melakukan penyaniayaan kepada seorang yang dianggap lebih lemah dari mereka, sehingga kita dapat lihat bahwa secara tidak langsung pelaku melakukan pengeroyokan sebagai bentuk perbuatan main hakim sendiri, bahkan salah satu dari siswa SD mengaku pernah melakukan “perundungan”.2 Melihat kasus diatas tentu hal ini sungguh memprihatinkan, sekolah yang seharusnya menjadi wadah pengembangan diri bagi para siswanya justru menjadi tempat terjadinya tindakan perundungan tersebut.

“Perundungan” fisik dengan sifat penganiayaan akan menyebabkan anak mengalami sakit fisik atau luka-luka sehingga dapat berdampak pada psikologis anak yang seringkali menyebabkan anak korban “perundungan” memilih untuk mengakhiri hidupnya. Berdasarkan kasus diatas, dapat dilihat bahwa betapa bahayanya dampak “perundungan” bagi korbannya dan dalam kasus seperti ini siapakah yang dapat dipersalahkan atau pihak manakah yang dapat bertanggung jawab. Jika kasus “perundungan” tidak menyebabkan korban kehilangan nyawa mungkin pihak sekolah dan pelaku dapat menganggap hal tersebut adalah “perundungan” ringan, tetapi bagaimana halnya ketika “perundungan” tersebut sampai mengakibatkan kehilangan nyawa pada seseorang.

“Perundungan” berdasarkan definisinya dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan dapat dimintai pertanggung jawaban dan bagaimana jika pelaku merupakan anak dibawah

umur yang mempunyai hak-hak tertentu dalam proses penjatuhan pidana mengingat bahwa penjatuhan pidana tersebut tidak boleh mengancam masa depan anak tersebut.

Maraknya kasus “perundungan” yang terjadi di Indonesia dengan pelaku anak di bawah umur menyebabkan penulis tertarik untuk membahasnya. Berdasarkan uraian singkat diatas dan untuk memahami tentang penangan “perundungan” dalam pidana Indonesia, maka penulis menulis jurnal ini dengan judul “Pertanggung Jawaban Pidana Atas Tindakan “Perundungan” Fisik oleh Pelaku Anak Di Bawah Umur”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan “perundungan” fisik di Indonesia ?

  • 2.    Bagaimana bentuk pertanggung jawaban tindakan “perundungan” fisik terhadap pelaku di bawah umur ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • a.    Tujuan Umum

  • 1.    Untuk mengetahui pengaturan dan bentuk pertanggung jawaban terhadap tindak pidana “perundungan” yang dilakukan oleh pelaku anak dibawah umur.

  • b.    Tujuan Khusus

  • 1.    Untuk menganalisa pengaturan tindak pidana “perundungan” fisik di Indonesia.

  • 2.    Untuk menganalisa pertanggung jawaban tindakan “perundungan” fisik terhadap pelaku anak dibawah umur.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penulisan

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian ini dilakukan ole penulis karena penulis merasa

hal yang diteliti belum ada aturan yang mengatur secara khusu dan menyeluruh. Pendekatan yang digunakan untuk menjawab isu hukum adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan perbandingan3. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan serta bahan hukum sekunder yang terdiri dari literatur yang berkaitan dengan penelitian, jurnal hukum, karya tulis, doktrin para sarjana dan berbagai acuan yang dapat dikaitkan dengan penelitian mengenai penegakan hukum terhadap pelaku perundungan di bawah umur. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum dengan metode bola salju (snow ball method) serta penelitian ini menggunakan teknik deskripsi, teknik interprestasi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi dalam menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    2.2.1    Pengaturan Perundungan Fisik di Indonesia

“Perundungan” adalah suatu kekerasan baik fisik maupun psikologis yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang yang tidak bisa mempertahankan dirinya terhadap situasi tersebut, serta ada hasrat untuk membuat seseorang merasa depresi, takut dan tidak beraya.4 “Perundungan” memiliki berbagai macam bentuk, seperti “perundungan” verbal, “perundungan” relasional, “perundungan” elektronik, dan “perundungan” fisik.5

  • 1.    “Perundungan” verbal adalah suatu bentuk “perundungan” dengan melakukan penghinaan kepada orang lain, perundungan verbal dapat berupa seperti celaan, julukan nama orang tua, ataupun suatu pernyataan yang tidak selayaknya di ujarkan. “Perundungan” verbal memiliki kesamaan dengan tindak pidana penghinaan yang diatur dalam Pasal 310 KUHP.

  • 2.    “Perundungan” relasional hampir memiliki kesamaan dengan “perundungan” verbal, hanya saja dampak dari pada “perundungan” relasional ini cenderung lebih berbahaya, karena seorang korban yang mendapatkan perlakuan “perundungan” relasional ini cenderung menjauh dari dunia sosialnya. Renggangnya ikatan sosial menyebabkan berkurangnya rasa kebergantungan seseorang kepada orang lain, dan dalam keadaan demikian sukar sekali untuk mendapatkan identitas diri.6

  • 3.    Perundungan” elektronik atau yang lebih dikenal dengan

cyber bullying yaitu suatu “perundungan” yang sangat populer di media sosial, tujuan dari “perundungan” ini adalah untuk menjatuhkan seseorang yang dirasa memiliki popularitas. Mengenai “perundungan” elektronik ini sudah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik yang selanjutnya disebut UU ITE, sehingga bagi mereka yang melakukan “perundungan” elektronik dapat diancam berdasarkan UU ITE.

  • 4.    “Perundungan” fisik adalah suatu bentuk kekerasan (adanya kontak fisik dari pelaku terhadap korban) yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang

yang lebih lemah dengan maksud untuk membuat orang tersebut merasa takut dan tidak berdaya serta dapat menyebabkan luka-luka hingga kematian.7

Penelitian ini akan difokuskan pada “perundungan” fisik yang dilakukan oleh pelaku anak di bawah umur. Akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan kejadian “perundungan” sangat cepat beredar terutama “perundungan” yang dilakukan di lingkungan pendidikan, terlebih lagi yang dilakukan oleh pelaku di bawah umur yang seyogjanya belum dianggap dewasa dan cakap hukum.

“Perundungan” fisik merupakan salah satu tindak pidana, sehingga pelaku yang melakukan tindakan tersebut sudah semestinya mendapatkan hukuman atas suatu perbuatannya. Kasus “perundungan” yang sering terjadi di lingkungan pendidikan yaitu “perundungan” fisik. Walaupun di banyak kasus sering terjadi “perundungan” fisik tetapi tidak ada aturan perundang-undangan yang secara jelas dan menyeluruh membahas mengenai masalah “perundungan” fisik, sehingga satu-satunya aturan yang dapat menjadi acuan yaitu Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang selanjutnya disebut UU PA.

Pasal 54 UU PA menyatakan bahwa anak di dalam dan dilingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah, atau teman-temannya didalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya. Serta Pasal 9 ayat (1) huruf a UU PA menyatakan “bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual, kekerasan yang dilakukan oleh

pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lainnya”.

Berkaitan dengan pasal-pasal diatas apabila pelaku “perundungan” melakukan kekerasan fisik, pelaku dapat juga dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut dengan KUHP yaitu tentang penganiayaan. Penganiayaan adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja dapat menyebabkan sakit dan/atau luka pada orang lain, bukan dengan tujuan menyelamatkan kesehatan badan.8

Pasal-pasal yang berkaitan dengan “perundungan” fisik dapat dijadikan acuan dalam pembuatan undang-undang tentang perundungan yang sesuai dengan situasi dan nilai-nilai serta kebutuhan masa depan, sehingga dapat terbentuk suatu peraturan yang memenuhi syarat keadilan dan kedaya gunaan bagi masyarakat.

  • 2.2.2    Pertanggung Jawaban Tindak Pidana Perundungan bagi

    Pelaku di Bawah Umur

Prilaku “perundungan” rentan terjadi pada anak-anak hingga usia remaja baik di lingkungan pendidikan, tempat kerja, rumah, tempat bermain, atau lingkungan sekitar. Jumlah pelaku “perundungan” makin meningkat dan menimbulkan dampak bagi para korbannya dan bagi pelaku “perundungan” sendiri.

Seperti yang telah di jelaskan dalam pembahasan pertama bahwa aturan yang dijadikan acuan adalah UU PA Pasal 54 dan Pasal 9 ayat (1) huruf a, berdasarkan Pasal tersebut bahwa sejatinya anak dapat menjadi pelaku tindak pidana “perundungan” fisik yang berkaitan dengan kekerasan dalam segala bentuk kepada orang

lain. Kekerasan tersebut dapat berupa kekerasan psikis, seksual, fisik ataupun kekerasan lainnya. Jika dilakukan oleh anak pelaku “perundungan” tentunya dapat dikenakan Pasal ini apabila pelaku benar melakukan “perundungan” sebagaimana telah disebutkan.

Ancaman yang diterima oleh anak yang melakukan tindakan pidana “perundungan” dihukum sesuai dengan Pasal 80 ayat (1) UU PA yaitu ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Berdasar pada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 47 KUHP maka anak yang diancam hukuman pidana penjara, maksimum pidana pokok terhadap tuntutannya dikurangi sepertiga.

Sebelum UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang selanjutnya disebut UU SPPA di tetapkan, anak nakal dapat diajukan kemuka pengadilan dari berusia antara 8 tahun sampai dengan 18 tahun9 dan belum pernah melakukan perkawinan, apabila anak dibawah usia 18 tahun dan telah melangsungkan perkawinan maka anak tersebut tidak dapat dajukan dalam sidang anak melainkan diajukan dalam sidang orang dewasa.10 Anak berusia 8 tahun dianggap sudah dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan dasar pertimbangan psikologis, pedagogis dan sosiologis.

Dicabutnya UU Pengadilan Anak dan di gantikan UU SPPA membawa perubahan yang signifikan bagi ketentuan kategori usia anak yang dapat diajukan dimuka pengadilan. Berdasarkan UU SPPA anak yang dapat diajukan dimuka pengadilan yaitu berusia 12 tahun dan belum berusia 18 tahun.

Meskipun anak pelaku “perundungan” dapat diajukan di muka pengadilan, para penyidik wajib melakukan upaya diversi guna mencapai keadilan restoratif (restoratif justice) terhadap pelaku anak “perundungan” dengan lebih menekankan pemulihan dan bukan pembalasan.11 Berdasarkan pada Pasal 1 angka 7 UU SPPA Diversi sendiri memiliki pengertian yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana. Bila upaya diversi tidak berhasil maka kasus tersebut dilimpahkan ke penuntut umum diselesaikan menggunakan jalur peradilan.

Sanksi yang dapat dijatuhkan pada anak bermasalah dengan hukum terdiri dari dua, yaitu : sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana di atur dalam UU SPPA Pasal 71 ayat (1) yang berupa pidana pokok dan Pasal 71 ayat (2) yang berupa pidana tambahan. Sanksi yang kedua yaitu sanksi tindakan yang diatur dalam UU SPPA Pasal 82.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu :

  • 1.    Pengaturan tentang “perundungan” fisik di Indonesia belum memiliki aturan yang khusus dan menyeluruh, sehingga ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan dalam kasus perundungan fisik di Indonesia yaitu:

  • a.    Pasal 351 KUHP

  • b.    Pasal 54 UU Perlindungan Anak

  • c.    Pasal 9 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Anak

  • 2.    Berdasar pada asas lex specialis derogat lex generalis bentuk pertanggung jawaban pidana terhadap anak dibawah umur atas tindakan “perundungan" dapat diajukan di muka pengadilan dengan ketentuan yang mengacu pada Pasal 1 angka 3 UU SPPA sebagai syarat batas usia anak untuk dapat dihadapkan dengan hukum. Sanksi yang dijatuhkan yaitu sesuai dengan Pasal 80 UUPA dan kurangi sepertiga berdasarkan pedoman Pasal 47 KUHP dan juga mengacu pada ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) UU SPPA serta Pasal 82 UU SPPA, dengan kewajiban penyidik melakukan diversi terlebih dahulu guna mencapai keadilan restoratif (restoratif justice).

  • 3.2    Saran

Berdasarkan pemaran tulisan diatas, penulis memberikan beberapa saran yaitu :

  • 1.    Agar bisa memberikan kepastian hukum terhadap bentuk pertanggung jawaban yang dilakukan oleh pelaku perundungan fisik agar mengacu pada undang-undang yang mengatur secara khusus dan menyeluruh mengenai perundungan. Akan tetapi pada kenyataannya sampai dengan saat ini belum ada aturan yang mengatur mengenai perundungan fisik, sehingga diharapkan dengan adanya pasal-pasal yang berkaitan dengan perundungan fisik dapat menjadi bahan pertimbangan guna membentuk suatu peraturan mengenai perundungan fisik yang sesuai dengan nilai-nilai dan situasi saat ini untuk menghindari terjadinya multitafsir dikemudian hari.

  • 2.    Diharapkan agar setiap instansi penegak hukum di Indonesia dan/atau lembaga lainnya baik lembaga pendidikan formal maupun informal serta lingkungan sekitar untuk terus

melakukan pembinaan (pengarahan) kepada masyarakat terutama kepada anak-anak yang dirasa belum mengerti dan paham mengenai bahayanya perbuatan perundungan bagi dirinya dan juga bagi orang lain, sebagai bentuk suatu perbuatan pencegahan (preventif) agar tidak menimbulkan kasus serupa dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Barbara, Coloroso, 2007, Stop Bullying (Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah Hingga SMU), PT. Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta.

Cahkrawati Fitriya, 2015, Bullying Siapa Takut?, Tiga Serangkai, Solo.

Djamil M. Nasir, 2013, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Hidayat Bunadi, 2010, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, PT. Alumni, Bandung.

Marpaung Leden, 2002, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (pemberantasan dan prevensinya), Sinar Grafika, Jakarta.

Marzuki Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Interpratama Offset, Jakarta.

Nashriana, 2014, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Priyanta Andri, 2010, Lets and Bullying, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

Syahrani Riduan, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

  • B.    JURNAL

Zakiyah Ela Zain, et. al., 2017, “Faktor yang Mempengaruhi Remaja Dalam Melakukan Bullying”, Vol.4 No.2, Juli 2017, Jurnal Fakultas Padjadjaran, Sumedang.

Republika,-2014, “Inilah Kronologi Kasus Bully Anak SD di Bukittinggi”,URL:http://www.google.co.id/amp/s/m.republika. co.id/amp/ndbsmg, diaskes pada tanggal 31 Juli 2018 pukul 20.37 WITA.

  • C.    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Republik Indonesia, 2014, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Lembaran Negara RI Tahun 2014, No. 297, Sekretariat Negara, Jakarta.

Republik Indonesia, 2012, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Lembaran Negara RI Tahun 2012, No. 153, Sekretariat Negara, Jakarta.

Republik Indonesia, 2016, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara RI Tahun 2016, No. 251, Sekretariat Negara, Jakarta.

14