EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

oleh

Sang Ayu Ditapraja Adipatni

I Wayan Sutarajaya

I Wayan Bela Siki Layang

Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstract

Crown witness is a testimony provided by a defendant used as a witness interchangeably or a defendant who becomes a witness for another defendant in the separate trial dockets (splitsing) where the crime is an inclusion offense. The existence of this crown witness is not strictly regulated in KUHAP, so that causing many juridical problems. On one side the existence of crown witness can be justified since the objective is to achieve sense of public justice. But in the other side the existence of crown witness is not justified because it contradicts with the rights and sense of justice of the defendant. Even the perception’s differences regarding crown witness also appear in a variety of jurisprudences of the Supreme Court’s decisions of Republic of Indonesia.

Key words: splitsing, crown witness, evidence, criminal case.

  • I.    PENDAHULUAN

Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana maka perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.1 Bagi penuntut umum, maka pembuktian merupakan faktor yang sangat determinan dalam

rangka mendukung tugasnya sebagai pihak yang memiliki beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pada tingkatan pengadilan maka perihal pembuktian merupakan faktor yang juga sangat menentukan bagi hakim dalam mendukung pembentukan faktor keyakinan hakim. Hal tersebut sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang pada pokoknya menjelaskan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang terbentuk didasarkan pada alat bukti yang sah tersebut.2 Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Oleh karena itu, apabila ditinjau dari perspektif yuridis maka dalam perihal pembuktian tersebut tentunya harus berisi ketentuan tentang jenis alat bukti dan ketentuan tentang tata cara pembuktian yang dilakukan secara benar dan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dengan melanggar hak asasi terdakwa.3

Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, muncul alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. Pada dasarnya, istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara tegas dalam KUHAP. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Selain itu, munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum.

Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai saksi mahkota (kroon getuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota didefinisikan oleh Prof. DR. Loebby Loqman, SH, MH, dijelaskan bahwa

yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.4

Dalam perkembangannya, ternyata muncul berbagai pendapat, baik yang berasal dari praktisi maupun akademisi, mengenai penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Sebagian pihak berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota dibolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan publik. Namun sebagian berpendapat, bahwa penggunaan saksi mahkota tidak dibolehkan karena bertentangan dengan hak asasi dan rasa keadilan terdakwa. Bahkan perbedaan persepsi tentang penggunaan saksi mahkota ini juga muncul dalam berbagai yurisprudensi putusann Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Atas latar belakang tersebut tulisan ini berusaha membahas tentang bagaimana tinjauan saksi mahkota apabila dilihat dari sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejauh mana keberadaan saksi mahkota dalam pembuktian perkara pidana.

  • II.    ISI MAKALAH

Mengingat penelitian ini berhubungan dengan implementasi perundang-undangan maka metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum dan putusan pengadilan, terutama bahan hukum primer.

Adapun hasil yang telah diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Pemisahan perkara merupakan wewenang dari jaksa yang diatur dalam pasal 142 KUHAP, yang menyebutkan bahwa dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak-tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang terdakwa yang tidak termasuk dalam ketentuan pasal 141, penuntut

umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.

Dan selanjutnya mengenai bunyi pasal 141, adalah bahwa : Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal :

  • a.    Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;

  • b.    Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut dengan yang lain;

  • c.    Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Pemecahan penuntutan perkara (sp litsing) seperti yang dimaksud dalam ketentuan pasal 142 KUHAP biasanya splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara, dalam hal yang demikian perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap terdakwa maupun saksi. Mungkin akan menimbulkan permasalahan dalam praktek, ialah sehubungan dengan masalah apakah penuntut umum berwenang membuat berkas perkara baru sehubungan dengan splitsing itu. Dalam hubungan ini penyidik dapat melaksanakan splitsing, atas petunjuk penuntut umum.

Adapun yang menjadi dasar pemikirannya adalah : jika masalah splitsing ini masih dalam tingkat persiapan tindakan penuntutan (pra penuntutan), dan belum sampai pada tingkat penyidangan perkara di pengadilan. Oleh sebab itu dalam hal penuntut umum menerima hasil penyelidikan, sekaligus meneliti serta mempelajari perkara yang perlu atau tidaknya dilakukan splitsing, dan jika ia berpendapat bahwa perkara tersebut perlu untuk dilakukan splitsing, dalam waktu tujuh hari hendaknya wajib memberitahu kepada penyidik untuk dilengkapi dan disempurnakan dengan diberikan beberapa petunjuk seperlunya dan penyidik dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara yang telah displitsing / di splits-nya itu,

sesuai dengan petunjuk penuntut umum. Yang berkaitan dengan ketentuan pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa :

  • (1)    Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.

  • (2)    Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.

Tinjauan saksi mahkota apabila dilihat dari sudut pandang HAM banyak melanggar ketentuan-ketentuan yg mengatur tentang HAM. Seperti pada ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP, Deklarasi universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, International Covenant on Civil and Political Rights (and Optional Protocol for the Covenant on Civil and Political Rights) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Yang pada intinya menyebutkan bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Sehingga, semua tersangka, baik dia berstatus melakukan / turut serta melakukan / menyuruh melakukan / dengan sengaja melakukan, mempunyai hak-hak yang sama, termasuk hak untuk menerima perlakuan yang sama pada waktu menempuh proses pemeriksaan di pengadilan dan tidak ada perlakuan yang spesial / berbeda dalam segala bentuknya. Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Berhak untuk memperoleh keadilan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan

segala jaminan hukum yang diperlakukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia.

Keberadaan saksi mahkota dalam pembuktian perkara pidana apabila dilihat dari sudut pandang KUHAP dan penjelasannya saksi mahkota tidak diatur secara tegas. Dalam perkembangannya, ternyata Mahkamah Agung memiliki pendapat terbaru tentang penggunaan saksi mahkota dalam suatu perkara pidana. Di satu sisi, Mahkamah Agung berpendirian bahwa undang-undang tidak melarang jika Jaksa Penuntut Umum mengajukan ‘saksi mahkota’ dengan syarat dan kondisi tertentu bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian (Putusan MA Nomor : 1986/K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990). Dalam Yurisprudensi tersebut juga disebutkan bahwa definisi saksi mahkota adalah ”teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkaranya dipisah karena kurangnya alat bukti”. Jadi disini penggunaan saksi mahkota ”dibenarkan’ didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu, 1) dalam perkara delik penyertaan; 2) terdapat kekurangan alat bukti; dan 3) diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing).

Sedangkan di sisi lain, dijelaskan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1952 K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995, tidak membenarkannya. Saksi mahkota juga pelaku, diajukan sebagai terdakwa yang dakwaannya sama dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Saksi yang disumpah, harus berkata benar tentang apa yang ia lihat, ia dengar, dan ia alami. Kalau tidak, ia dapat

dipidana atas kesaksiannya.5 Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan KUHAP sehingga secara yuridis terdakwa yang didudukkan sebagai saksi mahkota jelas bertentangan dengan KUHAP dan prinsip-prinsip HAMnya.

Menurut pendapat penulis, lebih setuju dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang tidak membenarkan adanya saksi mahkota. Karena penggunaan saksi mahkota jelas melanggar hak-hak dari terdakwa. Yang terdapat pada pasal 66 KUHAP yang menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, sedangkan ketika terdakwa menjadi saksi mahkota jelas harus memberikan keterangan secara sebenar-benarnya karena terikat dengan sumpah. Namun di dalam pasal 174 KUHAP disebutkan apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu maka hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepada saksi supaya memberikan keterangan yang sebenarnya. Dan apabila saksi tetap memberikan keterangan palsu maka akan diancam dengan dakwaan baru yaitu berupa tindak pidana kesaksian palsu sebagaimana yang diatur dalam pasal 242 KUHP. Dalam pasal 185 ayat (1) juga dijelaskan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan dalam di sidang pengadilan. Hal ini secara tidak langsung jelas menjebak keadilan dari terdakwa. Secara implisit, keberadaan saksi mahkota juga seakan-akan membuktikan perbuatan yang ia lakukan. Dengan kesaksiannya yang benar, ia akan diancam pidana dalam posisinya sebagai terdakwa, yang tidak dapat memberi keterangan secara bebas/membela diri (terikat sumpah kala jadi saksi). Inilah hak-hak asasi saksi mahkota yang dilanggar.

  • III. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, maka selanjutnya dapat dirumuskan beberapa hal sebagai berikut :

  • 1.    Tinjauan saksi mahkota apabila dilihat dari sudut pandang HAM banyak melanggar ketentuan-ketentuan yg mengatur tentang HAM. Seperti pada ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP, Deklarasi universal

tentang Hak-hak Asasi Manusia, International Covenant on Civil and Political Rights (and Optional Protocol for the Covenant on Civil and Political Rights) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara normatif, saksi mahkota melanggar ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP, dan secara eksplisit banyak ketentuan di dalam KUHAP yang tidak konsisten, sehingga menjadi kontradiktif.

  • 2.    Keberadaan saksi mahkota dalam pembuktian perkara pidana antara lain :

  •    Bahwa dilihat dari sudut pandang KUHAP dan penjelasannya saksi mahkota tidak diatur secara tegas.

  •    Bahwa dilihat dari kajian teoritis keberadaan saksi mahkota tidak dibenarkan karena akan menimbulkan berbagai permasalahan yuridis. Sedangkan secara praktis keberadaan saksi mahkota sangat dibutuhkan untuk mengungkap kasus-kasus yang tidak mungkin memiliki saksi.

DAFTAR PUSTAKA

Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Loebby Loqman, 1995, Saksi Mahkota, Forum Keadilan Nomor 11.

M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.

Martiman Prodjohamidjojo, 1990, Komentar Atas KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta.

Zulfan, 2005, Kedudukan Saksi Mahkota Dalam Sistem Pembuktian Hukum Pidana, Universitas Sumatra Utara, Medan.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

The International Declaration of Human Rights / Universal Declaration of Human Rights International Covenant on Civil and Political Rights

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1950 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1952 K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990

9