PERKAWINAN NYEBURIN BERBEDA AGAMA DITINJAU DARI HUKUM ADAT BALI (Studi Kasus Di Banjar Dakdakan, Desa Pakraman Kelaci Kelod, Kabupaten Tabanan)
on
PERKAWINAN NYEBURIN BERBEDA AGAMA DITINJAU DARI HUKUM ADAT BALI
(Studi Kasus Di Banjar Dakdakan, Desa Pakraman Kelaci Kelod, Kabupaten Tabanan) oleh
I WAYAN PUTRO ADNYANA
I WAYAN WINDIA
I KETUT SUDANTRA
BAGIAN HUKUM DAN MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
ABSTRACT
Indigenous people in Bali majority embraced Hinduism, who hold patrilineal system. In this connection the kinship system appears to have strong adhesive of the Hindu religion, which gives place to the importance of descendants (sons) in a family. Adopted patrilineal kinship system, The boys which is future expectations of family as the successor of offspring in the family. However, these expectations may be different, when the boy was can not be born and even there a married couple a completely not able to produce offspring. In these circumstances, Hinduism with the customary law in Bali appear as the "antidote" namely by the way for hold line-progressors descent or family among others by the way raised a single daughter as SentanaRajeg (purusa/male) a marriage done with nyeburin marriage.The system is can be considered as exception of patrilineal system in family law in Bali, but when viewed more in-depth essentially not so is, because the woman who have made nyeburin marriage have the right as heir in his family. In fact, it is not always easy to seek a man who would nyeburin mating moreover the same religion. Therefore, the nyeburin marriage different religions it may happen like that occurred in DakdakanBanjar, KelaciKelodPakraman village, Tabanan regency, found three cases nyeburin marriage which is not done between fellow Hindu, but done between men other Hindus (Muslims and Christians Catholic) as parties nyeburin, while the keceburin are women which Hindu.
Keywords: Nyeburin Marriage, Different Religions, SentanaRajeg, Purusa (Male), Bali Customary Law.
Peristiwa perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama seseorang karena perkawinan bukan saja mempunyai unsur jasmani saja tetapi juga mempunyai unsur rohani yang memegang peranan penting. Kondisi ini tercermin dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Masih berlakunya hukum adat dalam masyarakat sampai saat ini memberikan suatu gambaran bahwa keberadaan hukum adat masih diakui dan dilaksanakan sebagai suatu kepatuhan terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Demikian pula halnya dengan masalah yang menyangkut perkawinan, khususnya terhadap perkawinan nyebu rin. Hukum Adat Bali memberikan suatu jalan tengah bagi permasalahan terhadap keluarga yang tidak mempunyai pelanjut keturunan dalam keluarga, yaitu dengan perkawinan nyeburin seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Perkawinan nyeburin atau perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan yang dilakukan dalam keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki dan apabila terjadi perkawinan maka si suami sesudah kawin tinggal di kerabat istrinya dan melepaskan hubungan kekerabatan dengan keluarga asalnya. Dengan demikian secara agama dan hukum adat si istrilah yang berkedudukan sebagai ”laki-laki” (purusa) dan sang suami berkedudukan sebagai perempuan (predana) dalam perkawinan tersebut.
Dalam kenyataannya, tidak selalu mudah untuk mencari seorang laki-laki yang mau kawin nyeburin apalagi yang seagama. Oleh karena itu, perkawinan nyeburin berbeda agama mungkin saja terjadi seperti yang terjadi di Banjar Dakdakan, Desa Pakraman Kelaci Kelod, Kabupaten Tabanan, ditemukan tiga kasus perkawinan nyeburin yang tidak dilakukan antar sesama orang yang beragama Hindu, tetapi dilakukan antara laki-laki non-Hindu (Islam dan Kristen katolik) sebagai pihak yang nyeburin , sedangkan pihak keceburin adalah wanita 2
yang beragama Hindu. Kasus tersebut adalah merupakan terobosan dari kebiasaan atau tradisi yang berlaku, di mana menurut kebiasaan atau tradisi dalam perkawinan nyeburin pada umumnya dilakukan diantara mereka yang masih ada hubungan famili (keluarga) dan dalam satu agama yaitu agama Hindu. Juga dapat dikatakan langka, oleh karena perkawinan semacam itu tidak banyak dilakukan atau setidak-tidaknya sangat jarang ditemui pada masyarakat Hindu di Bali.
Berdasarkan atas latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu terkait dengan alasan dilakukan perkawinan nyeburin berbeda agama antara wanita yang beragama Hindu dengan laki-laki yang beragama non Hindu dan akibat hukum dari perkawinan nyeburin berbeda agama dilihat dari Hukum Adat Bali.
-
II. PEMBAHASAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative law research) yaitu hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokanberprilakumanusia yang dianggappantas.1
Dalam penelitian ini, jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kasus. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi.2 Pendekatan kasus dalam penelitian hukum normatif bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum.3
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
-
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.4 Bahan hukum primer yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi ini yaitu :
-
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
-
b. Awig-awig Banjar Dakdakan, Desa Pakraman Kelaci Kelod, Kabupaten Tabanan.
-
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer,5 seperti: buku-buku, hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, makalah hasil seminar, internet.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan menggunakan sistem kartu (Card System), sistem kartu yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu kutipan untuk mencatat atau mengutip sumber bahan hukum yang digunakan yang berisi nama pengarang/penulis, judul buku, halaman dan mengutip hal-hal yang dianggap penting agar bisa menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Kemudian bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahasdipaparkan, disistematisasi, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku.6
Teknik wawancara juga dipergunakan dalam penelitian ini, wawancara adalah sekumpulan pertanyaan (tersususun dan bebas) yang diajukan dalam situasi atau keadaan tatap muka atau langsung berhadapan dan catatan lapangan diperlukan untuk menginventarisir hal-hal baru yang terdapat di lapangan yang ada kaitannya dengan daftar pertanyaan.7
Penulisan karya ilmiah ini mempergunakan teknik deskripsi yaitu memberikan gambaran lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat
tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.8 Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian tersebut dianalisis secara kualitatif, karena dalam penelitian ini menggambarkan suatu peristiwa sesuai dengan kenyataan.9
Dalam lingkungan masyarakat Bali keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki sebagai pelanjut keturunan pada umumnya akan berusaha melakukan perkawinan nyeburin dengan alasan karena tidak mempunyai anak laki-laki sebagai pelanjut keturunan. Dengan anaknya melakukan perkawinan nyeburin merupakan salah satu jalan ke luar untuk mendapatkan anak. Bagi masyarakat yang menerapkan sistem perkawinan nyentana, suatu keluarga mengangkat sentana bila keluarga bersangkutan tidak memiliki anak laki-laki sebagai ahli waris yang akan melanjutkan keturunannya. Sehingga untuk melanjutkan keturunan keluarga bersangkutan, pihak keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki tersebut merasa perlu untuk menetapkan salah satu anaknya sebagai sentana rajeg yang akan mencari sentana untuk diajak tinggal di rumahnya. Anak perempuan tersebut ditetapkan secara langsung oleh orang tuanya untuk meneruskan keturunan dengan kawin keceburin.10
Berdasarkan hasil penelitian terdapat faktor khusus mengenai alasan dilaksanakannya perkawinan nyeburin berbeda agama dalam keluarga Hindu di Bali yaitu terkait dengan keinginan pribadi masing-masing dari calon mempelai (faktor cinta sama cinta) sehingga hal tersebut menjadi landasan yang kuat untuk terwujudnya perkawinan tersebut, kesiapan dan keyakinan dari kedua calon pengantin tersebut untuk melakukan perkawinan dalam arti telah cukup dewasa
untuk mengambil keputusan untuk melakukan perkawinan, keterpaksaan dari pihak calon pengantin wanita dikarenakan si calon pengantin wanita telah terlebih dahulu hamil di luar perkawinan sehingga untuk menutupi rasa malu dan akibat yang bisa terjadi akhirnya perkawinan tersebut dapat terjadi, pihak calon mempelai laki-laki bersedia dan yakin untuk mengikuti segala persyaratan untuk melangsungkan perkawinan tersebut dan menerima segala konsekuensi atas perkawinan tersebut, ada restu dari orang tua mempelai wanita (hal tersebut merupakan salah satu faktor terwujudnya perkawinan nyeburin berbeda agama setelah adanya pertimbangan dan keyakinan bahwa calon mempelai laki-laki siap menjalankan persyaratan untuk dikawinkan secara agama Hindu dan adat Bali.
Menurut Ni Nyoman Sukerti perkawinan nyeburin adalah suatu jenis perkawinan dengan upacara perkawinan itu diselenggarakan oleh pihak keluarga si istri di rumahnya sendiri. Perkawinan jenis ini hanya boleh dilakukan oleh orang tua yang hanya mempunyai anak-anak perempuan dan dimaksudkan untuk mendapatkan keturunan laki-laki yang akan melanjutkan hubungan kesanak kekeluargaan pencar laki-lakinya.11
Sahnya perkawinan di Bali menurut hukum antara lain harus mengikuti proses upacara menurut agama Hindu dan juga memenuhi syarat fisik dari kedua belah pihak.12Selain syarat-syarat tersebut, masih terdapat syarat lain yang terkait dengan agama masing-masing calon pengantin. Dalam melaksanakan perkawinan apabila terdapat salah satu dari calon pengantin yang memiliki keyakinan yang berbeda yaitu selain dari agama Hindu maka si calon pengantin tersebut diwajibkan untuk melakukan upacara Suddhi Wadani terlebih dahulu. Dalam
Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, Suddhi-Wadani diberikan pengertian atau batasan, sebagai berikut : Suddhi artinya penyucian, Wadani artinya ucapan atau pernyataan berupa kata-kata. Suddhi-Wadani berarti penyucian perkataan. Upacara Suddhi-Wadani adalah upacara yang dilakukan pada waktu seseorang memeluk atau menjadi penganut Hindu.13
Kasus perkawinan nyeburin yang terjadi di Banjar Dakdakan, Desa Pakraman Kelaci Kelod, Kabupaten Tabanan dalam pelaksanaannya telah memenuhi persyaratan untuk dapat dilangsungkannya perkawinan tersebut secara agama Hindu dan adat Bali yaitu terkait dengan agama dari masing-masing calon pengantin yang berbeda telah dilakukan upacara Suddhi Wadani terlebih dahulu kepada calon pengantin yang memeluk agama non Hindu. Sehingga setelah calon pengantin non Hindu memeluk agama Hindu maka upacara perkawinan nyeburin tersebut baru dapat disahkan secara agama Hindu dan secara adat Bali.
Perkawinan nyeburin berbeda agama tersebut terjadi tanpa restu dari pihak keluarga masing-masing calon pengantin laki-laki yang beragama non Hindu dengan alasan pribadi terkait dengan agama yang mereka anut secara turun temurun. Terkait dengan tersebut, perkawinan nyeburin berbeda agama itu dilaksanakan secara ngerorod (kawin lari) dengan catatan pihak calon pengantin laki-laki membuat surat pernyataan yang intinya menyatakan bahwa si laki-laki secara sukarela dan tanpa paksaan melakukan perkawinan secara agama Hindu dan secara adat Bali. Kemudian surat pernyataan tersebut diserahkan kepada kelihan dinas pada desa tempat berlangsungnya perkawinan tersebut serta diserahkan kepada masing-masing pihak keluarga pengantin laki-laki. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari permasalahan yang dapat timbul dikemudian hari terkait dengan pelaksanaan perkawinan tersebut.
Berdasarkan analisis kasus yang terjadi di Banjar Dakdakan, Desa Pakraman Kelaci Kelod, Kabupaten Tabanan dapat disimpulkan mengenai alasan dilaksanakan perkawinan nyeburin berbeda agama dalam keluarga Hindu di Bali adalah dilatar belakangi oleh beberapa hal yaitu :
-
1. Karena dari pihak keluarga mempelai wanita tidak memiliki anak laki-laki sebagai pelanjut keturunan di dalam keluarganya sehingga mengangkat anak wanitanya sebagai sentana rajeg untuk melanjutkan keturunannya.
-
2. Keinginan pribadi masing-masing dari calon mempelai (faktor cinta sama cinta) sehingga hal tersebut menjadi landasan yang kuat untuk terwujudnya perkawinan tersebut.
-
3. Kesiapan dan keyakinan dari kedua calon pengantin tersebut untuk melakukan perkawinan dalam arti telah cukup dewasa untuk mengambil keputusan untuk melakukan perkawinan.
-
4. Keterpaksaan dari pihak calon pengantin wanita dikarenakan si calon pengantin wanita telah terlebih dahulu hamil di luar perkawinan sehingga untuk menutupi rasa malu dan akibat yang bisa terjadi akhirnya perkawinan tersebut dapat terjadi.
-
5. Pihak calon mempelai laki-laki bersedia dan yakin untuk mengikuti segala persyaratan untuk melangsungkan perkawinan tersebut dan menerima segala konsekuensi atas perkawinan tersebut.
-
6. Ada restu dari orang tua mempelai wanita. Hal tersebut merupakan salah satu faktor terwujudnya perkawinan nyeburin berbeda agama setelah adanya pertimbangan-pertimbangan dan keyakinan bahwa calon mempelai laki-laki siap menjalankan persyaratan untuk dikawinkan secara agama Hindu dan adat Bali.
Akibat hukum yang muncul dari perkawinan nyeburin berbeda agama ditinjau dari hukum adat Bali adalah dalam hal status, mempelai wanita dalam perkawinan tersebut secara yuridis berstatus sebagai purusa (laki-laki) dan mempelai pria berstatus predana (wanita). Dalam hal tanggung jawab, mempelai wanita berkedudukan sebagai purusa (laki-laki) yang mengatur dan meneruskan 8
tanggung jawab (swadharma) keluarga, baik dalam hubungan dengan parahyangan (keyakinan Hindu), pawongan (umat Hindu), maupun palemahan (pelestarian lingkungan alam sesuai dengan keyakinan Hindu). Dalam hal keturunan, anak yang lahir dalam perkawinan tersebut akan mengikuti garis keturunan Ibunya. Dalam hukum waris mempelai wanita berkedudukan sebagai kapurusa adalah memiliki hak (swadikara) terhadap harta warisan (materiil maupun immateriil). Sedangkan mempelai laki-laki karena berkedudukan sebagai predana bukan merupakan ahli waris melainkan berhak atas harta bersama.
Dengan tidak adanya ketentuan dalam awig-awig yang memuat mengenai perkawinan nyeburin berbeda agama disarankan kepada desa pakraman di Bali agar pada nantinya dapat dirumuskan suatu awig-awig yang memuat mengenai perkawinan nyeburin berbeda agama tersebut, sehingga diharapkan dapat menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari dan semua pihak perlu untuk diberikan informasi yang jelas sehingga perkawinan nyeburin berbeda agama tersebut dapat dilakukan dengan baik dan lancar.
DAFTAR BACAAN
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Anak Agung Ngurah Gede Dirksen, 1986, Hukum Perkawinan dan Permasalahannya, Setia Kawan, Denpasar.
I Ketut Artadi, 2003, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Yurisprudensi, Pustaka Bali Post, Denpasar.
I Made Titib, 1994, Pedoman Upacara Suddhi Wadani, Upada Sastra, Denpasar.
J. Supranto, 1997, Metode Riset, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, PT. Bayu Media Publishing, Malang.
Lexy J. Moleong, 1988, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Ni Nyoman Sukerti, 2006, Sentana Rajeg : Perubahan Status Perempuan Bali Menjadi Ahli Waris, dalam Ni Luh Arjani, I Nyoman Suparwa, I Ketut Sudantra (ed); Kembang Rampai Perempuan Bali , CV. Karya Sastra, Denpasar.
Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
10
Discussion and feedback