TINDAK PIDANA ABORSI DALAM

KONTEKS PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA*

Oleh :

Putu Ayu Sega Tripiana** I Gusti Ngurah Parwata*** Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Maraknya pemidanaan kasus aborsi yang menimpa wanita yang mengalami kehamilan akibat perkosaan merupakan hal yang sangat memprihatinkan, pasalnya perempuan yang melakukan aborsi atas kehamilan akibat perkosaan juga memerlukan perhatian akan kondisi psikologisnya yang mengalami trauma mengenai peristiwa yang menimpanya. Tujuan adanya penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaturan aborsi menurut KUHP dan Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan serta untuk mengetahui pengaturan aborsi dalam pembaharuan hukum pidana. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah adalah metode normative yang menggunakan penelitian kepustakaan yang berkaitan dengan penelitian ini. KUHP secara jelas melarang segala kegiatan aborsi baik bagi atas permintaan wanita itu sendiri maupun dengan bantuan orang lain yang dijelaskan dalam Pasal 346 sampai Pasal 349 KUHP dan perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap pelaku aborsi atas kehamilan akibat perkosaan teradapat dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pengaturan aborsi diatur dalam Rancangan KUHP 2015 Bab XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Ketiga tentang Mempertunjukkan Pencegah Kehamilan dan Pengguguran Kandungan Pasal 481 dan Bab XXII tentang Tindak Pidana Terhadap Nyawa Bagian Kedua tentang Pengguguran Kandungan Pasal 586 sampai dengan Pasal 589 RKUHP 2015

Kata Kunci: Tindak Pidana, Aborsi, Pembaharuan Hukum Pidana

Abstract

Prosecution of abortion cases in women who had pregnancy due to rape is a matter of great concern, because the woman who had an abortion of a pregnancy due to rape also need an attention to her psychological condition that was traumatized by the tragedy that happened to her. The purpose of this study is to find out about the regulation of abortion in the Criminal Code and Law No. 36 of 2009 concerning health and to find out about the regulation of abortion in the renewal of criminal law.The method that used in this study is the normative method such as library research that related to this study. The Criminal Code in Article 346 to Article 349 clearly prohibits all abortion activities either by the request of the woman herself or with the help of others and the legal protection that can be given to abortion perpetrators for pregnancy due to rape is written in the Law No. 36 of 2009 concerning health. The regulation of abortion is regulated in 2015th of Criminal Code Bill in Chapter XVI concerning Criminal Acts of Decency third part about showing prevention of pregnancy and abortion Article 481 and Chapter XXII concerning Criminal Acts Against Life the second part about abortion Article 589 in 2015th of Criminal Code Bill.

Keywords: Criminal Act, Abortion, Criminal Law Reform

I PENDAHULUAN

  • 1.1    Latar Belakang

Bagi sebagian orang kehamilan merupakan suatu hal yang membahagiakan karena dianggap sebagai anugrah yang menandakan akan hadirnya anggota baru dalam keluarga mereka. Namun kebahagiaan tersebut tidak berlaku bagi wanita yang merasa belum siap mengalami kehamilan, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor yakni kehamilan yang terjadi pada wanita yang belum cukup umur, kehamilan yang disebabkan oleh hubungan seksual oleh pasangan yang belum siap menikah, maupun kehamilan yang disebabkan akibat wanita yang mengalami pemerkosaan.

Sehingga dengan begitu, wanita cenderung akan menggunakan aborsi sebagai jalan keluar dari masalah kehamilan yang dialaminya. Aborsi atau yang biasa disebut dengan pengguguran

kandungan merupakan perbuatan yang dilarang menurut hukum yang berlaku di Indonesia dan ketentuan mengenai larangannya secara jelas telah diatur dalam pasal 299, 346, 347,348 dan 349 KUHP bahwa perbuatan aborsi dilarang dengan alasan apapun termasuk pula bagi kehamilan akibat pemerkosaan dan wanita yang melakukan aborsi dapat dipidana.

Setiap orang berhak untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum. Perlindungan hukum merupakan bagian dari perlindungan masyarakat yakni suatu upaya untuk memenuhi hak dan memberikan bantuan sehingga dapat menimbulkan rasa aman terhadap masyarakat yang dapat diwujudkan melalui kompensasi, restitusi, pelayanan medis dan bantuan hukum. 1 Namun dalam kasus perkosaan seringkali pihak korban terabaikan oleh jangkauan hukum, yang dibuktikan dengan banyaknya kasus yang diselesaikan secara kurang adil dan memuaskan bagi pihak perempuan.

Dalam kasus aborsi pada korban perkosaan peranan aparat penegak hukum sangat berperan penting dalam penyelesaiannya karena permasalahannya mencakup secara luas, karena terdapat 2 konflik yang harus diperhatikan yakni antara hak perempuan untuk menjalankan hidupnya tanpa tekanan psikologis dan sosial atau hak janin untuk tetap hidup. Dengan demikian untuk menentukan apakah perempuan yang melakukan abortus provocatus atas kandungannya dapat dipidana atau tidak, dapat dinilai berdasarkan kepentingan manakah yang lebih utama.2 Dan dalam penjatuhan pidana, tidak semata-mata hanya berdasarkan

bunyi undang-undang saja, tapi juga memperhatikan latar belakang perbuatan yang dilakukan.

Berdasarkan hal tersebut perlindungan terhadap korban yang melakukan aborsi atas kehamilan akibat perkosaan menjadi hal yang patut untuk diperhatikan. Mengingat tentang KUHP dan Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang melarang tindakan aborsi sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 75 ayat (1), namun larangan yang terdapat dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mendapat pengecualian yang tercantum dalam Pasal 75 ayat (2) Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana kehamilan akibat pemerkosaan termasuk didalamnya. Hal tersebut menimbulkan norma yang tidak sejalan antara KUHP dan Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dengan disusunnya Rancangan KUHP dalam upaya pembaharuan hukum pidana, diharapkan dapat mengoptimalisasi perlindungan hukum terhadap wanita pelaku aborsi khususnya akibat perkosaan. Namun menarik untuk dikaji, Rancangan KUHP baru justru memuat peraturan yang tidak berpihak pada pelaku aborsi baik akibat indikasi medis maupun akibat perkosaan.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan aborsi menurut KUHP dan Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan?

  • 2.    Bagaimanakah pengaturan aborsi menurut Rancangan KUHP 2015 dalam konteks pembaharuan hukum pidana?

II ISI MAKALAH

  • 2.1    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah metode normatif yang disebut juga penelitian hukum doktrinal yang acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.3 Maka dari itu penelitian ini mengambil sumber bahan hukum sekunder (bahan kepustakaan). Sumber bahan hukum adalah peristiwa-peristiwa tentang timbulnya hukum yang berlaku atau peraturan-peraturan yang dapat mengikat para hakim dan penduduk masyarakat.4 Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan dengan menggunakan bahan hukum yang berupa Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. UU RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dan berbagi doktrin yang terdapat dalam buku, dan kamus hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1    Pengaturan Aborsi Menurut KUHP dan Undang-undang No. 36 tahun 2009

Istilah aborsi atau yang biasa disebut dengan pengguguran kandungan adalah pengeluaran hasil kehamilan dari rahim yang dilakukan sebelum waktunya.5 Secara medis aborsi dapat

dibedakan menjadi dua macam yaitu abortus spontaneous dan abortus provocatus. Abortus spontaneous adalah aborsi yang terjadi karena faktor alamiah yang tidak didahului faktor-faktor mekanis atau bisa juga dikatakan kehilangan janin yang gugur dengan sendirinya karena tidak disengaja, dapat terjadi karena sang ibu mengalami kesalahan genetik atau akibat penyakit yang dideritanya. Sedangkan abortus provocatus merupakan aborsi yang dilakukan secara kesengajaan baik dengan menggunakan alat-alat maupun memakai obat-obatan.

Dalam Pasal 346 KUHP menyatakan ancaman penjara selama 4 tahun bagi perempuan yang dengan sengaja atau menyuruh orang lain mematikan atau menggugurkan kandungannya. Dimana hal tersebut menunjukkan bahwa perbuatan aborsi dilarang oleh KUHP sesuai dengan ketentuan Pasal 346 KUHP. Selain yang diatur dalam Pasal 346 KUHP, larangan mengenai perbuatan aborsi juga diatur dalam Pasal 347 KUHP sampai dengan Pasal 349 KUHP yang masing-masing mengatur mengenai larangan bagi setiap orang yang hendak melakukan perbuatan aborsi. Sehingga berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa KUHP secara jelas melarang akan adaya perbuatan aborsi.

Beda halnya dengan KUHP yang sama sekali tidak memberi ruang akan tindakan aborsi, Undang-undang Kesehatan memberikan sedikit kelonggaran mengenai perbuatan aborsi dengan adanya pengecualian di Pasal 75 ayat (2) Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang dimana intinya menjelaskan bahwa bila ada indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat pemerkosaan maka aborsi dapat dilakukan. Penyelenggaraan aborsi diatur lebih lanjut dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.

3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan, dimana yang pada intinya memuat mengenai prosedur pemberian layanan aborsi, menggunakan metode yang minim resiko yang dilakukan oleh tenaga yang terampil dan memenuhi syarat-syarat dan cara yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, dengan tujuan untuk dapat mengobati atau menyelamatkan ibu berdasarkan kehamilan akibat perkosaan atau indikasi medis. Dalam bukunya yang berjudul “Masalah Korban Kejahatan Kumpulan Karangan” Arif Gosita mengatakan bahwa, janin dianggap sebagai objek mati dan ditolak sebagai makhluk hidup dalam kasus aborsi. Maka dari itu pengguguran kandungan tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan yang dapat menyebabkan kemarahan atau pertentangan moral seperti kasus pembunuhan pada umumnya.6 Sehingga dalam kasus norma yang konflik antara KUHP dan Undang-undang Kesehatan mengenai tindakan aborsi tersebut, berlaku asas asas preferensi Lex Specialis Derogat Legi Generalis yang bermakna bahwa ketentuan yang berisifat umum akan dilumpuhkan oleh ketentuan yang bersifat khusus dimana dalam hal ini Undang-undang Kesehatan yang bersifat khusus lebih diutamakan dibandingkan dengan ketentuan KUHP yang bersifat umum.7

  • 2.2.2    Pengaturan Aborsi menurut RKUHP 2015 dalam konteks Pembaharuan Hukum Pidana

Pembaharuan hukum pidana merupakan suatu upaya penggalian nilai-nilai dalam rangka pembentukan kembali hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia. Pembaharuan hukum pidana di Indonesia dapat dilakukan melalui dua cara yakni dengan pembuatan undang-undang untuk menambah, mengubah dan melengkapi KUHP yang berlaku sekarang dan menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang bertujuan untuk menggantikan KUHP yang berlaku sekarang karena merupakan warisan Belanda. Konsep KUHP bertolak pada keseimbangan antara perlindungan terhadap masyarakat dan pembinaan terhadap individu sebagai pelaku tindak pidana dalam mengidentifikasi tujuan dari suatu pemidanaan.8

Terkait dengan kasus aborsi, pada ranah pembaharuan hukum pidana, dalam Rancangan KUHP 2015 tindak pidana aborsi diatur dalam dua Bab yakni Bab XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Ketiga tentang Mempertunjukkan Pencegah Kehamilan dan Pengguguran Kandungan pada Pasal 481 dan Bab XXII tentang Tindak Pidana Terhadap Nyawa Bagian Kedua tentang Pengguguran Kandungan Pasal 586 sampai dengan Pasal 589. Rumusan Racangan KUHP 2015 bila dibandingkan dengan KUHP yang berlaku sekarang pada intinya adalah sebagai berikut:

  • -    Apabila dalam pasal 299 KUHP yang berlaku sekarang mempidana semua orang yang melakukan atau memberikan informasi terkait penguguran kandungan, dalam RKUHP 2015 hal tersebut tidak diatur melainkan terdapat Pasal 481 RKUHP

2105 yang mempidana setiap orang yang menunjukan suatu alat, menawarkan, menyiarkan tulisan, menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan

  • -    Pasal 586 dan 587 RKUHP 2015 mempidana wanita dan setiap orang yang melakukan aborsi dengan persetujuan dan atau tanpa persetujuan perempuan yang mengalami kehamilan tersebut, yang terdapat pada pasal 346, 347 dan 348 KUHP yang berlaku sekarang.

  • -    Pada pasal 588 RKUHP 2015 pemidanaan terhadap dokter, bidan, paramedic atau juru obat yang melakukan aborsi, yang dimana hal tersebut terdapat dalam Pasal 349 KUHP yang berlaku sekarang, namun mengalami sedikit perluasan pemidanaan terhadap paramedic.

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa pemidanaan yang terdapat dalam RKUHP 2015 tidak mengalami perbedaan yang signifikan dengan KUHP yang berlaku seakarang. Rancangan KUHP 2015 tetap tidak mengatur mengenai pengecualian pelaksanaan aborsi bagi kehamilan akibat perkosaan. Rancangan KUHP 2015 yang dikatakan akan segera rampung seharusnya dapat memberikan harapan bagi ketidak selarasan norma antara KUHP dan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, namun nyatanya RKUHP 2015 tetap bertentangan dengan Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Rancangan KUHP 2015 tidak semestinya membuat wanita yang melakukan aborsi atas kehamilan akibat perkosaan mengalami kriminalisasi, karena seharusnya ia adalah pihak yang harus dilindungi. Dengan mengkriminalisasi korban perkosaan hanyalah membuat mereka menjadi korban berulang-ulang kali dimana hal tersebut dapat berdampak bagi keadaan mental, fisik dan sosialnya. Hal tersebut juga menjadikan mereka untuk memaksakan melanjutkan

kehamilannya tanpa adanya persiapan yang dapat berpotensi pada penyebab gangguan psikologis hingga depresi.

Rancangan KUHP 2015 baru dapat berdampak pada pembatasan ruang gerak tenaga kesehatan dalam usaha untuk memberikan pertolongan bagi perempuan hamil akibat perkosaan dan dalam keadaan darurat medis yang dimana sebenarnya diperboleh oleh Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan karena takut akan terjerat pidana sehingga mereka akan menolak untuk memberikan informasi atau layanan mengenai aborsi. Dalam RKUHP 2015 Pengecualian hanya terbatas kepada dokter yang terdapat dalam ketentuan Pasal 588 ayat (2) dimana hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (3) Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan setelah melalui konseling dan penasehatan pra dan pasca tindakan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

RKUHP juga mengancam keberadaan tim kelayakan aborsi yang terdiri dari paling sedikit 2 orang yang diketuai oleh dokter yang berkompeten dan berwenang menurut Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. RKUHP 2015 yang tidak menaruh perhatian pada aborsi atas kehamilan akibat perkosaan ditunjukan dengan mempersempit ruang gerak tenaga kesehatan, hal tersebut dapat menimbulkan potensi besar terhadap wanita yang melakukan aborsi yang membahayakan jiwanya karena dilakukan secara tidak aman.

  • III. PENUTUP

  • 3.1    Kesimpulan

Berdasarkan kajian diatas, maka dapat kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut :

  • 1.    Pengaturan mengenai tindak pidana aborsi diatur dalam Pasal 346 KUHP sampai dengan Pasal 349 KUHP yang dimana dinyatakan bahwa tindakan aborsi dilarang menurut KUHP tanpa pengecualian, dan larangan mengenai tindakan aborsi juga diatur dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan namun terdapat pengecualian yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

  • 2.    Dalam perspektif pembaharuan hukum pidana pengaturan aborsi diatur dalam Rancangan KUHP 2015 pada Pasal 481 Bab XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Ketiga tentang Mempertunjukkan Pencegah Kehamilan dan Pengguguran Kandungan dan Pasal 586 sampai dengan Pasal 589 Bab XXII tentang Tindak Pidana Terhadap Nyawa Bagian Kedua tentang Pengguguran Kandungan. Namun rumusan pasal mengenai aborsi dalam Rancangan KUHP 2015 bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang melegalkan kegiatan aborsi akibat perkosaan yakni, Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan No.3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan, karena Rancangan KUHP 2015 yang akan segera rampung tersebut mimiliki potensi yang dapat mengkriminalisasi, perempuan hamil korban pemerkosaan termasuk pendamping hukumnya

  • 3.2    Saran

Dalam kasus aborsi akibat perkosaan hendaknya pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap pelaku aborsi, karena bagaimanapun juga pelaku aborsi mendapatkan cobaan yang berat terhadap dirinya belum lagi harus mengatasi trauma tetapi ia juga harus berhadapan dengan hukum yang menjeratnya.

Daftar Pustaka

Buku

Amirudin dan Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. IX, Rajawali Pers, Jakarta

Arief, Barda Nawawi, 2016, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru,

Prenadamedia Group, Jakarta

Arrasjid, Chainur, 2001, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Cet.2, Sinar Grafika, Bandung

Ekotama, Suryono, 2001, Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya, Yogyakarta

Gosita, Arif, 1985, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), Akademika Presindo, Jakarta.

Kusmayanto, SCJ, 2002, Kontroversi Aborsi, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Prasetyo, Teguh , 2015, Hukum Pidana, Cet.VI, Rajawali Pers,

Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Ui Press, Jakarta

Jurnal

JERRY SUARJANA PUTRA, Agus; ARI ATU DEWI, A. A. Istri. 2016.

Aborsi Oleh Korban Pemerkosaan Ditinjau Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Undang-undang No. 36 tahun 2009    tentang    Kesehatan. Kertha    Wicara,    URL:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/ 21998. Diakses tanggal: 03 Agustus 2018.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014

13