PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PENYANDANG DISABILITAS YANG MENGEDARKAN NARKOTIKA DALAM SISTEM PERADILAN ANAK DI INDONESIA
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PENYANDANG DISABILITAS YANG MENGEDARKAN NARKOTIKA DALAM SISTEM PERADILAN ANAK DI INDONESIA
Oleh:
GustiAgungDarnaDewi1 A.A.Ngurah Wirasila2 Program
KekhususanHukumPidanaFakultasHukumUniversitasUdayana
ABSTRAK
Dalam kerangka menyelesaikan ketimpangan keadilan bagi penyandang disabilitas, maka pemerintah melakukan berbagai cara yang salah satunya adalah merumuskan kebijakan dan menyatakan komitmen dalam berpartisipasi dalam perikatan perjanjian internasional. Penyandang disabilitas yang masih berusia anak-remaja cenderung dimanfaatkan untuk melakukan tindak pidana salah satunya adalah mengedarkan, menjual atau bahkan mengkonsumsi narkotika. Lantas, setelah diproses, anak penyandang disabilitas tersebut dijerat tanpa memandang keterbatasan yang ia miliki. Uraian jurnal ini mengacu pada 2 (dua) rumusan masalah yakni (1) Bagaimana hak dari seorang anak penyandang disabilitas yang berhadap dengan hukum sebagai pengedar narkotika di Indonesia? (2) Apa kelemahan dari sistem peradilan anak bagi penyandang disabilitas di Indonesia pasca pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016?. Metode dalam penyusunan jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif yang didukung dengan pendekatan fakta, peraturan perundang-undangan dan pendekatan analisis dan konseptual. Hasli pembahasan jurnal ini mengarah pada kesimpulan bahwa (1) Hak anak sebagai seorang penyandang disabillitas ketika berhadapan hukum terkait kasus narkotika adalah mendapatkan perlakuan yang sama namun perlu didukung dengan ketersediaan aksesibilitas yang dapat memperkuat kedudukan dari haknya; (2) Kelemahan Sistem Peradilan Pidana Anak terletak pada aspek formil yang meliputi kekosongan hukum terkait pedoman mengadili penyandang disabilitas selayaknya kelompok rentan lain sedangkan dari aspek materil mencangkup
keterbatasan jumlah pengaturan yang mengindikasikan pengakuan terhadap hak anak penyandang disabilitas sekalipun peraturan terkait perlindungan anak telah beberapa kali direvisi.
Kata Kunci: Akses keadilan, Anak, Penyandang disabilitas, Narkotika.
ABSTRACT
In the framework of resolving inequality of justice for people with disabilities, then the government carries out various ways, one of which is formulating policies and expressing commitment in participating in international agreements. People with disabilities who are still teenagers tend to be used to commit crime, one of which is circulating, selling or even consuming narcotics. So, after being processed, the child with disability is snared regardless of the limitations that he/she had. This journal description refers to 2 (two) formulations of the problem those are (1) What is the right of a child with a disability who faces the law as a narcotics dealer in Indonesia? (2) What are the weaknesses of the juvenile justice system for persons with disabilities in Indonesia after the establishment of Law Number 17 of 2017? The methode that used in this journal is a normative legal research method supported by fact approaches,analitical and conceptual also statue approach. The result of this journal discussion leads to the conclusion that (1) the right of a child as a person with disability when dealing with laws related to narcotics is to get the same treatment but needs to be supported by the availability of accessibility that can strengthen the position of his/her rights; (2) Weaknesses of the Child Criminal Justice System lie in the formal aspects which include legal vacancies related to the guidelines for adjudicating persons with disabilities as other vulnerable groups while the material aspect includes a limited number of regulations which indicate the recognition of the rights of children with disabilities even though the regulations relating to child protection have been revised several times.
Keywords: Access To Justice, Children, People With Disabilities, Narcotics.
Pasca ditetapkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, maka setidaknya telah menunjukan keseriusan Pemerintah untuk menjamin hak penyandang disabilitas.3 Dalam kerangka konstitusional, penyandang disabilitas memiliki hak dan kedudukan yang sama didepan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut dengan UUD 1945). Disamping itu, Pasal 28I UUD 1945 yang mengindikasikan hak asasi mutlak dari seorang penyandang disabilitas.4Pengaturan secara khusus tersebut juga menjadi sebuah jaminan bagi seorang penyandang disabilitas agar dapat diperlakukan khusus ketika berhadapan dengan hukum. Hal yang menarik disini ialah ketika seorang penyandang disabilitas tersebut merupakan seorang anak yang masih berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan merupakan pengedar narkotika.
Jika meninjau dari fenomena tersebut, maka dapat dianulir bahwa setidaknya terdapat 3 (tiga) peraturan khusus yang berlaku dalam proses penyelesaian tindak pidana. Lantas, jerat hukum mana yang akan dikenakan atas anak tersebut? Secara normatif telah ditentukan bahwa anak tidak dapat ditahan selayaknya orang dewasa namun terdapat pengecualian terhadap ketentuan tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang menentukan bahwa anak dapat dipidana apabila berusia diatas 14 (empat belas) tahun serta diancam dengan pidana
penjara diatas 7 (tujuh) tahun. Penahanan terhadap anak ditujukan untuk kepentingan penyidikan dari pihak kepolisian yang justru telah menyimpangi konsep kepentingan anak sesuai prinsip juvenile justice enforcement.5
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (untuk selanjutnya disingkat KPAI) terkait anak berdasarkan klaster, menampilkan bahwa keterlibatan anak dalam sebuah tindak pidana meningkat secara signifikan setiap tahunnya. Di tahun 2011 terdapat 695 kasus anak berhadapan hukum meningkat menjadi 1002 di tahun 2016.6 Terlepas dari itu, keterlibatan anak dengan tindak pidana narkotika mencapai 1960 kasus di tahun 2016.7 Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2011, terdapat 11.580.117 jiwa penyandang disabilitas di Indonesia pada tahun 2011.8Jumlah tersebut sebuah alasan pentingnya memberikan perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas di Indonesia. Status disabilitas yang melekat pada seorang manusia menjadikannya tidak dapat melakukan prestasi layaknya manusia normal.
Banyaknya jumlah penyandang disabilitas dan keterlibatannya dalam tindak pidana nakotika menjadi kendala bagi aparatur hukum untuk menjatuhkan hukuman yang pantas bagi seorang anak. Hal ini dilatarbelakangi oleh prinsip juvenile justice enforcement yang menjadikan kepentingan anak sebagai mahkota dari sistem peradilan anak.9Namun disisi lain, aparatur
penegakan hukum juga memegang peran sebagai guardian of justice sehingga dalam kondisi ini, aparatur hukum diperhadapkan dengan sebuah situasi yang sulit.
Dalam tataran progresifitas hukum sebagaimana yang diungkapkan oleh Satjipto Rahadjo bahwa keadilan yang ideal merupakan keadilan yang membenahi prilaku bukan keadilan tekstual.10Dalam hal ini, menafsirkan maksud dari Satcipto Rahardjo tentang Keadilan, faisal berpendapat bahwa bahwa indikator adil atau tidak adilnya sebuah tindakan dipautkan pada perubahan perilaku yang terjadi.11 Sehingga apabila seorang anak penyandang disabilitas ditahan oleh karena terjerat kasus narkotika layaknya orang dewasa, kemudian menunjukan adanya perubahan sikap maka disanalah pemaknaan adil yang ideal. Tetapi, apakah pemaknaan adil tersebut masih dapat dibenarkan pasca pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak? Hal ini cenderung masih berada dalam perdebatan, sebab keadilan yang tercermin dalam Peraturan tersebut sejatinya menunjukan adanya keterpihakan terhadap anak.12 Berdasar pada uraian tersebut maka disusunlah jurnal ini dengan maksud untuk meninjau dari perpsektif pemikiran hukum kritis tentang penegakan hukum terhadap anak penyandang disabilitas dalam perpskektif pemidanaan Indonesia.
-
1.2 RumusanMasalah
-
1.2.1 Bagaimana hak dari seorang anak penyandang disabilitas yang berhadap dengan hukum sebagai pengedar narkotika di Indonesia?
-
1.2.2 Apa kelemahan dari sistem peradilan anak bagi penyandang disabilitas di Indonesia pasca pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang?
-
-
1.3 TujuanPenelitian
-
1.3.1 Dapat mendeskripsikan hak dari seorang anak penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum dan berstatus sebagai sebuah pengedar narkotika dalam tinjauan sistem peradilan anak nasional
-
1.3.2 Dapat menjelaskan kelemahan dari sistem peradilan anak di Indonesia bagi seorang penyandang disabilitas pasca
-
pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.
Penyusunan jurnal ini dilaksanakan melalui metode penelitian hukum normatif.13 Metode ini menempatkan hukum, asas, prinsip dan doktrin sebagai bahan primer yang mendukung
kerangka berpikir penulis.14Dalam hal mendukung metode tersebut, maka pendekatan yang digunakan dalam penyusunan jurnal ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta dan pendekatan analisis dan konseptual.15Penelitian ini merupakan bentuk penelitian multidisipliner yang melibatkan tidak hanya dimensi hukum namun faktor-faktor lain yang turut dapat membangun jurnal ini secara substantif dan materil.16Data primer yang digunakan mencangkup data primer yakni UU SPPA, UUPD, UU Perlindungan Anak dan peraturan perundang-undangan terkait sedangkan bahan data sekunder meliputi literatur berupa jurnal, buku, skripsi, majalah maupun sumber bacaan lain yang membangun kontruksi berpikir penulis.
-
2.2 Hak Anak Penyandang Disabilitas Yang Berhadapan Dengan Hukum sebagai Pengedar Narkotika di Indonesia Penyandang disabilitas dilengkapi dengan berbagai kemudahan yang disebut dengan aksesibilitas fisik.17 Hal tersebut turut ditunjang dengan aksesibilitas non fisik yakni kebijakan pemerintah untuk memberikan hak-hak tertentu yang melekat pada seorang penyandang disabilitas.18Melekatnya aksesibilitas pada penyandang disabilitas didasarkan pada pertimbangan untuk memudahkan hak dari seorang penyandang disabilitas yang telah diakui sejak diratifikasinya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (selanjutnya disebut UU 19/2011). Para penyandang
disabilitas dilengkapi dengan hak untuk mengakses keadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 13 UU 19/2011.19Disamping itu, Pasal 14 UU 19/2011 menetapkan bahwa hak atas statusnya melekat secara mutlak dan setiap negara harus mampu menjamin pelaksanaannya.20
Menyikapi persoalan ini, ketika seorang penyandang disabilitas yang belum berusia 18 tahun berhadapan hukum sebagai pengedar narkotikamaka aturan hukum mana yang akan diterapkan atasnya? Dalam hal ini, terdapat 3 (tiga) jenis aturan hukum yang akan digunakan untuk menyikapi persoalan ini diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang (untuk selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak 2016), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (untuk selanjutnya disebut UU Narkotika) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (untuk selanjutnya disebut dengan UUPD).
Pengedar Narkotika di Indonesia lazimnya dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 114 UU Narkotika bagi seorang pengedar Narkotika Golongan I dengan pidana penjara minimal 5 (lima) tahun dan Pasal 112 UU Narkotika untuk kepemilikan, penguasaan, atau bahkan karena menyimpan narkotika dengan pidana penjara paling cepat 4 (empat) tahun.Persoalan yang menarik disini ialah seorang pengedar Narkotika berpotensi untuk dipidana lebih dari 7 (tujuh) tahun
atas kesalahannya sebab dituntut dengan Pasal berlapis. Jika pengedar tersebut berstatus sebagai seorang anak, maka paling tidak dengan mengacu pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (untuk selanjutnya disebut UU SPPA) maka anak tersebut dimungkinkan untuk menjalani masa penahanan layaknya orang dewasa. Proses penahanan yang dilakukan dengan maksud untuk mempermudah penyidikan pihak kepolisian sesuai kewenangannya dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Penting untuk memahami bahwa paradigma pembentukan UU SPPA tersebut ditujukan untuk menghadirkan restorative justice atau keadilan restoratif.21Konsep keadilan restoratif dinormatifkandalam Pasal 5 ayat (1) UU SPPA yang menurut Satya Wahyudi diasumsikan pada tindakan yang mendukung kepentingan anak yang berkonflik.22
Meninjau dari status anak sebagai seorang penyandang disabilitas, maka Pasal 3 huruf m UU SPPA telah menentukan bahwa hak dari seorang anak penyandang disabilitas untuk mendapatkan aksesibilitas baik secara fisik maupun non-fisik.23Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (1) huruf d UUPD telah mengintegrasikan prinsip keadilan dan perlindungan hukum kepada seorang penyandang disabilitas sehingga terlepas dari statusnya sebagai seorang warga negara, penyandang disabilitas juga dimungkinkan untuk mendapatkan perlindungan hukum secara khusus. Pasal 36 ayat (1) UUPD menentukan bahwa
akomodasi yang layak bagi seroang penyandang disabilitas wajib disediakan oleh lembaga penegak hukum. Namun sejalan dengan itu, terdapat banyak kasus yang seolah-olah memposisikan penyandang disabilitas setara dengan masyarakat normal lainnya sehingga efektifitas dari penerapan aturan tersebut dipertanyakan. Jika meninjau dari Putusan Pengadilan Negeri Bangko Nomor 107/Pid.B/2014/PN.B.Ko yang menjatuhkan sanksi kepada Sumari alias Pangla seorang penyandang disabilitas tuna rungu dan tuna wicara yang diputus bersalah melakukan tindak pidana perjudian padahal Sumari alias Pangla hanya mengambil nomor togel sebagaimana yang dimintakan oleh orang yang tidak ia kenal.24
Kasus serupa terjadi pada Putusan Nomor 52/Pid.B/2013/PN.LBH yang bahkan dalam Putusannya, majelis hakim tidak menyinggung adanya penerjemah dalam persidangan padahal terdakwa didampingi oleh seorang penerjemah ketika memberikan keterangan.25Dalam hal seorang anak penyandang disabilitas yang berstatus sebagai pengedar narkotika pada tahap peradilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 9 huruf a maka ia dapat diperlakukan sama di depan hukum layaknya masyarakat normal.26 Penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok rentan jika mengacu pada Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menarik untuk diamati bahwa dalam kerangka menghadirkan keadilan bagi setiap kaum rentan, Pemerintah telah merumuskan berbagai peraturan bahkan pada tahun 2017 kembali dirumuskan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan Hukum namun belum ada aturan yang secara khusus mengatur tentang pedoman mengadili penyandang disabilitas.
Pada kenyatannya, penyandang disabilitas memiliki hak atas perlakuan yang sama di depan hukum sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 9 ayat (1) UUPD namun bukan berarti seorang penyandang disabilitas tidak membutuhkan adanya prosedur khusus dalam proses penegakan hukum sehingga dapat memperkuat jaminan atas hak-haknya. Dasar berpikir ini sesuai dengan prinsip Criminal Justice System yang memberikan perhatian lebih terhadap kaum disabilitas.27
-
2.3 Kelemahan dari Sistem Peradilan Anak Bagi Penyandang
Disabilitas Pasca Pengesahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016
SPPAmerupakan sebuah solusi yang diterapkan untuk memperkuat legitimasi seorang anak dalam proses beracara di Pengadilan. Jika meninjau secara khusus, anak sebagai salah satu kelompok rentan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mendapatkan sebuah peraturan secara khusus jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPA. Disamping itu, perempuan berhadapan hukum juga telah mendapatkan pengaturan secara khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan Hukum. Akan tetapi, sebuah
aturan khusus yang melekat pada penyandang disabilitas dalam proses beracara masih belum ada. Ini mengakibatkan adanya kekosongan hukum yang berpotensi tersimpanginya hak dari seorang penyandang disabilitas.
Dalam kerangka penegakan hukum, penyandang disabilitas diberikan kemudahan untuk mendapatkan aksesibilitas untuk mencapai kesetaraan dalam proses penegakan hukum.28 Kekosongan hukum terhadap pedoman beracara bagi penyandang disabilitas dapat berimplikasi pada hak dari seorang anak yang notabenenya adalah seorang penyandang disabilitas. Menarik untuk diamati bahwa ketika seorang anak penyandang disabilitas berstatus sebagai seorang terdakwa maka sang anak akan diperlakukan selayaknya seorang anak normal apabila telah berada di bawah pendampingan.29Kejadian serupa teridentifikasi dalam Putusan Pengadilan Negeri kedidi Nomor 416/Pid.B/2005/KDR yang tidak menjelaskan status Slamet sebagai terdakwa yang adalah penyandang disabilitas dalam Amar Putusanya serta tidak menjelaskan adanya penerjemah dalam persidangan yang membantu slamet untuk berkomunikasi di Pengadilan sebab kondisinya yang merupakan disabilitas tuna rungu wicara.30
Sistem peradilan anak di Indonesia masih memiliki banyak keterbatasan baik dalam aspek materil maupun aspek formil dalam penegakannya. Dalam aspek materil, rumusan yang terdapat dalam UU SPPA tidak secara rigid menjelaskan tentang hak anak penyandang disabilitas ketika berhadapan hukum. Hal
ini semata-mata hanya menitikberatkan pada anak yang memiliki kondisi fisik yang normal. AwalnyaSupriyadi Widodo E. Dan Ajeng Gandini K. menjelaskan bahwa dalam konteks mewujudkan access to juctice bagi Penyandang Disabilitas dan memberikan dukungan secara regulatif kepada penyandang disabilitas maka akan dirumuskan Pasal 41 ayat (1) UU SPPA yang menitikberatkan pada disabilitas intelektual dari seorang anak.31Padahal, jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, paling tidak terdapat 6 (enam) kategori penyandang disabilitas yakni disabilitas sensorik hingga disabilitas intelektual. Akan tetapi setelah diundangkannya peraturan tersebut pada tanggal 30 Juli 2012, tidak terdapat rumusan khusus yang mengatur tentang penyandang disabilitas. Bahkan,frasa yang dapat diindikasikan dengan penyandang disabilitas hanya terdapat 1 (satu) kata untuk “aksesibilitas” dalam Pasal 3 huruf m dan 2 (dua) kata untuk frasa “cacat” yang juga hanya terdapat dalam Pasal 3 huruf m serta Pasal 76 ayat (1) UU SPPA.
Menanggapi persoalan ini, komitmen Pemerintah Indonesia dalam menjamin hak dari penyandang disabilitas yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1)Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights of The Person With Disabilities (Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas) (untuk selanjutnya disingkat UU 19/2011)telah mengintegrasikan konsep peningkatan kesadaran masyarakat untuk memelihara penghormatan atas penyandang disabilitas. Disamping itu, dalam mewujudkan kemudahan untuk mengakses keadilan bagi
penyandang disabilitas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 13 ayat (1) UU 19/2011 bahwa negara semestinya harus dapat menjamin hak dari penyandang disabilitas melalui pengaturan secara akomodatif prosedural demi menghadirkan kesetaraan bagi penyandang disabilitas.
Dalam aspek formil, kekosongan hukum yang secara khusus mengatur hak penyandang disabilitas berhadapan hukum selayaknya peraturan terkait anak berhadapan hukum dalam UU SPPA dan perempuan berhadapan hukum dalam Perma No. 13 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan Hukum juga menjadi sebuah batu sandungan dalam proses mewujudkan kesetaraan dan keadilan di depan hukum baik secara progresif dan restoratif bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Sehingga dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa lemahnya sistem peradilan anak di Indonesia terletak pada jaminan yang diberikan pada penyandang disabilitas yang masih terbatas sehingga tidak sesuai dengan komitmen nasional yakni meningkatkan pengakuan masyarakat maupun pemerintah untuk menghormati serta memelihara budaya toleransi antara penyandang disabilitas dengan masyarakat normal lainnya. Lemahnya sistem tersebut dalam aspek formil terdapat pada kekosongan hukum tentang pedoman mengadili khusus bagi penyandang disabilitas dalam aspek beracara sedangkan dalam aspek materil terdapat pada minimnya pengaturan tentang hak dari seorang disabilitas dalam sistem peradilan anak yang diintegrasikan dalam UU SPPA.
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan uraian diatas adalah:
-
1. Hak dari seorang anak penyandang disabilitas yang berhadapan hukum di Indonesia adalah untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 huruf a UUPD. Oleh karena statusnya sebagai kelompok rentan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maka penyandang disabilitas berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum khusus agar dapat mengakomodir hak dan kepentingannya untuk mewujudkan access to justice sebagaimana yang dimaksudkan dalam Criminal Justice System bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Ketika seorang penyandang disabilitas berhadapan hukum dan statusnya masih sebagai anak dibawah umur maka penyandang disabilitas tersebut berhak untuk mendapatkan aksesibilitas. Namun hal yang disayangkan adalah pengaturan khusus terkait penyandang disabilitas yang berhadapan hukum yang masih kosong menjadi sebuah hambatan dimana pemerintah tidak dapat mewujudkan komitmennya melalui ratifikasi Convention on the rights of the person with disabilities.
-
2. Kelemahan dari sistem peradilan anak bagi penyandang disabilitas terletak pada aspek formil dan materil yang memperteguh hak dari penyandang disabilitas. Dalam aspek formil, kekosongan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur prosedur beracara bagi penyandang disabilitas menjadi sebuah kendala yang berpotensi secara
signifikan tersimpanginya hak dari seorang penyandang disabilitas. Terlepas dari itu, aspek materil terletak pada intensitas pasal yang secara khusus mengatur tentang aksesibiltas bagi penyandang disabilitas. Disamping itu, pengesahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang belum mengintegrasikan pengakuan terhadap hak disabilitas secara khusus namun hanya mengakomodir hak seorang anak yang berhadapan hukum sehingga dengan demikian, hak dari seorang penyandang disabilitas menjadi rentan dalam proses penegakannya.
-
1. Penting bagi pemerintah untuk memperkuat kembali hak dari seorang penyandang disabilitas yang berhadapan hukum di Indonesia sebab dalam beberapa penelitian telah diungkapkan adanya ketidakonsistenan hakim dalam mengambil sebuah keputusan yang melibatkan penyandang disabilitas.
-
2. Pemerintah perlu untuk merumuskan peraturan yang mengatur pedoman beracara bagi penyandang disabilitas selayaknya kelompok rentan lainnya seperti perempuan dan anak. Dalam aspek materil, pemerintah perlu meningkatkan intensitas pasal per pasal yang mengatur hak penyandang disabilitas sehingga memberikan sebuah kepastian hukum bagi penyandang disabiltas di Indonesia.
DaftarPustaka
Buku, Jurnal, Skripsi
Eddnyono, Supriyadi Widodo dan Ajeng Gandini Kamilah. 2015. “Aspek-Aspek Criminal Justice Bagi Penyandang Disabilitas”. Jakarta: Institute For Criminal Justice Reform bekerja sama dengan Aliansi Nasional Reformasi KUHP dan Pantau KUHP.
Faisal. 2015. “Pemaknaan hukum Progresif, Upaya Mnedalami
Pemikiran Satjipto Rahardjo”. Semarang: Thafamedia Press.
Fajar, Mukti. et.al. 2013. “Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Heryana, Ade.2017. “Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016”.Jakarta: (tidak diterbitkan).
ILO. 2011. “Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia”. Jakarta: ILO press.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. 2016. “Kasus Pengaduan
Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak”. Jakarta: KPAI Press.
Malian, Sobirin. 2016. “Analisis Keuninkan dan Missing Link
antara Hukum Pidana Internasional, Etika Profesi dan Politik: Telaah Krisit Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak”. Jurnal Hukum Novelty. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Proklamasi ’45. Volume 7. Nomor 2.
Malinda, Anggun. et.al. 2014, “Bantuan Hukum Terhadap Korban Kaum Difabel Korban Tindak Pidana Upaya Mewujudkan Access To Justice”. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Universitas Islam Negeri Jakarta. Volume 21. Nomor 3.
Nurhayanti, Siti. 2016. “Kesetaraan Di Muka Hukum Bagi Penyandang Disabilitas”. Jurnal Realita. Program Studi
Hukum Syari’ah STAIN Kediri. Volume 14. Nomor 1.
Pawestri, Aprilina.2017. “Hak Penyandang Disabilitas dalam
Perspektif Ham Internasional dan Ham Nasional”. Jurnal Era Hukum. Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura. Volume 1. Nomor 1.
Rahmadan, Chocky R. et.al. “Difabel dalam Peradilan Pidana, Analisis Konsistensi Putusan”. Jakarta: Universitas Indonesia Press bekerja sama dengan AIPJ. MaPPI FHUI dan LBH Apik Jakarta.
Saleh, Ismail. 2018. “Implementasi Pemenuhan Hak Bagi
Penyandang Disabilitas Ketenagakerjaan di Semarang”. Jurnal Hukum Kanun. Program Studi Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Volume 2. Nomor 1.
Susanti, Dyah Ochtorina. 2013. “Penelitian Hukum”.Surabaya:
Sinar Grafika.
Wahyudi, Satya.2009. “Penegakan Peradilan Pidana Anak Dengan Pendekatan Hukum Progresif Dalam Rangka Perlindungan Anak”. Jurnal Dinamika Hukum. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman. Volume 9. Nomor 1.
BahanHukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1999 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3866.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Diundangkan di Jakarta tanggal 8 Januari 2002 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, diundangkan di Jakarta tanggal 12 Oktober 2009 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Oktober 2011 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5251.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 2012, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan Hukum, diundangkan dalam Berita Acara Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1052.
Putusan Pengadilan Negeri Bangko Nomor
107/Pid.B/2014/PN.B.Ko
Putusan Pengadilan Negeri Labuha Nomor 52/Pid.B/2013/PN.LBH
Putusan Pengadilan Negeri kediri Nomor 416/Pid.B/2005/KDR
20
Discussion and feedback