IMPLEMENTASI KATA ‘MENENTUKAN’ DALAM PASAL 67 UU RI NOMOR 3/2009 TERKAIT NOVUM SEBAGAI ALASAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar)

Oleh :

I Gde Satya Adhi Wicaksana∗∗ Ni Nengah Adiyaryani∗∗∗

I Ketut Sudjana∗∗∗∗

Program Kekhususan Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Pada dasarnya upaya hukum terbagi menjadi upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Ketentuan Pasal 67 UU RI Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung menjadi dasar hukum bagi pihak yang mengajukan permohonan upaya hukum peninjauan kembali. Pada Pasal 67 huruf b dinyatakan bahwa “apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.” Disini terlihat bahwa bukti baru yang diajukan dalam permohonan upaya hukum peninjauan kembali harus bersifat menentukan. Ukuran terhadap kata ‘menentukan’ belum diatur secara jelas dalam UU RI Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. Selain itu apabila suatu permohonan peninjauan kembali dikabulkan, akan menimbulkan akibat hukum diantaranya status putusan sebelumnya serta pelaksanaan putusan, biaya eksekusi paksa dan mempengaruhi kedudukan Mahkamah Agung terkait istilah Judex Facti dan Judex Juris.

Tujuan penulisan yakni untuk mengetahui apa yang menjadi landasan majelis hakim Peninjauan Kembali dalam mengimplementasikan kata ‘menentukan’ dalam Pasal 67 huruf b UU RI Nomor 3 Tahun 2009 serta mengetahui apa saja akibat hukum yang timbul apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan upaya hukum peninjauan kembali. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-empiris melalui efektivitas hukum.

Makalah ini disarikan dan dikembangkan lebih lanjut dari skripsi yang ditulis oleh Penulis atas bimbingan Pembimbing I skripsi Dr. Ni Nengah Adiyaryani, S.H.,M.H., dan Pembimbing II skripsi I Ketut Sudjana, S.H., M.H.

∗∗ I Gde Satya Adhi Wicaksana adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi : [email protected]

∗∗∗ Ni Nengah Adiyaryani adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana ∗∗∗∗ I Ketut Sudjana adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana

Hasil pembahasan penelitian ini adalah mengenai kata menentukan pada surat bukti harus tergolong berkualitas, bersifat memiliki nilai hukum yang kuat dan Valid. Serta akibat hukum yang timbul apabila permohonan peninjauan kembali dikabulkan yakni status putusan sebelumnya, biaya pelaksanaan eksekusi secara paksa, dan akibat hukum terhadap kedudukan Mahkamah Agung terkait Judex Factie & Judex Juris.

Kata Kunci: Upaya Hukum, Peninjauan Kembali, Bukti Baru, Judex Facti dan Judex Juris

Abstract

Basically legal efforts are divided into ordinary legal remedies and extraordinary legal remedies. The provisions of Article 67 of the Republic of Indonesia Law Number 3 of 2009 concerning the Supreme Court are the legal basis for those who submit an application for legal remedies. In Article 67 letter b, it is stated that "if after the case is terminated, it is found that the letters of evidence which are decisive at the time the case is examined cannot be found." The measure of the word 'determine' has not been clearly regulated in the Republic of Indonesia Law Number 3 of 2009 concerning the Supreme Court. In addition, if an application for a review is granted, it will result in legal consequences including the status of the previous decision and the implementation of the decision, the cost of forced execution and influence the position of the Supreme Court related to the terms Judex Facti and Judex Juris.

The purpose of writing is to find out what is the basis of the Judicial Review panel in implementing the word 'determine' in Article 67 letter b of the Republic of Indonesia Law Number 3 of 2009 and to know what legal consequences arise when the Supreme Court grants the request for legal review. This research is juridical-empirical research through the effectiveness of law.

The results of the discussion of this study are regarding the word determining in the letter of evidence must be classified as quality, having a strong and Valid legal value. As well as the legal consequences that arise when the request for a review is granted, namely the status of the previous decision, the cost of enforcing the forced execution, and the legal consequences of the position of the Supreme Court related to the Judex Factie & Judex Juris.

Keywords: Legal Efforts, Judicial Review, New Evidence, Judex Facti and Judex Juris

  • I.    PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pada umumnya penyelesaian sengketa jalur litigasi menimbulkan ketidakpuasan salah satu pihak akan hasil putusan yang dikeluarkan oleh hakim di pengadilan. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan dengan menempuh upaya hukum setelah putusan dikeluarkan. Dilihat dari prosedurnya, upaya hukum terhadap putusan yang belum berkekuatan hukum tetap dapat menempuh upaya hukum biasa yakni banding, kemudian apabila masih belum dapat diselesaikan maka dilanjutkan ke tahap upaya hukum kasasi dan yang terakhir dapat mengajukan upaya hukum luar biasa yang disebut peninjauan kembali. Dengan demikian, terhadap putusan dari tingkat pengadilan manapun yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracth) diperbolehkan mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan beberapa keadaan atau alasan yang telah ditentukan dalam Peraturan Mahkamah Agung seperti yang dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UU RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.”1 Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan secara tertulis maupun lisan oleh para pihak sendiri kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.2

Keadaan atau hal tertentu yang dimaksud diatas, dijelaskan dalam Pasal 67 UU RI Nomor 3 Tahun 2009 perubahan kedua atas UU RI Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menentukan:

  • a.    “apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

  • b.    apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

  • c.    apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;

  • d.    apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

  • e.    apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan

Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.”3

Berdasarkan ketentuan pasal diatas, jika dikaitkan dalam prakteknya terhadap perkara yang diajukan permohonan upaya hukum peninjauan kembali dengan beberapa alasan yang salah satunya telah menemukan bukti baru yang dianggap bersifat ‘menentukan’ yang pada saat perkara diperiksa tidak dapat ditemukan namun ditolak oleh Majelis Hakim di Mahkamah Agung karena dianggap tidak bersifat ‘menentukan’. Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian yang berjudul “IMPLEMENTASI KATA ‘MENENTUKAN’ DALAM PASAL 67 UU RI NOMOR 3/2009

TERKAIT NOVUM SEBAGAI ALASAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar).”

  • 1. 2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah;

  • 1)    Untuk mengetahui apa yang menjadi landasan para hakim Mahkamah Agung dalam mengimplementasikan kata ‘menentukan’ dalam Pasal 67 huruf b UU RI Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung terhadap permohonan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan  Negeri  yang telah

berkekuatan hukum tetap, dan;

  • 2)    Untuk mengetahui apa akibat hukum yang timbul

apabila hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan Negeri yang telah berkekuatan hukum tetap.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penulisan

Dalam melakukan penelitian, pada dasarnya harus menggunakan metode untuk menganalisa permasalahan yang diangkat, karena menurut Soerjono Soekanto, “penelitian yakni suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu gejala hukum dengan cara menganalisanya.”4 Dengan kata lain, penelitian merupakan “upaya pencarian yang sangat bernilai edukatif, melatih kita untuk selalu sadar bahwa banyak yang tidak kita ketahui di dunia ini, juga apa yang kita coba untuk ketahui itu tetaplah bukan kebenaran mutlak.”5  Maka perlu

diadakan pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut

untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

Pada penelitian ini digunakan metode yuridis-empiris yang merupakan penelitian melalui efektivitas hukum. “Penelitian terhadap efektivitas hukum merupakan penelitian yang membahas bagaimana hukum beroperasi didalam kehidupan masyarakat.”6 “Selain itu faktor-faktor yang berpengaruh terkait suatu hukum berfungsi dalam masyarakat yaitu peraturan atau kaidah hukum, petugas atau penegak hukumnya serta sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum, juga tidak luput dari kesadaran masyarakat itu sendiri.”7 Pada pembahasan dari permasalahan penelitian, menggunakan bahan-bahan hukum yaitu teori-teori hukum, literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang diambil.

  • 2.2.    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1.    Implementasi Kata ‘Menentukan’ Terhadap Bukti Baru yang Diajukan Dalam Permohonan Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Dalam sistem peradilan di Indonesia, Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi yang memiliki kewenangan untuk mengadili perkara di tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali. Pada tingkat peninjauan kembali, Mahkamah Agung “dapat memeriksa dan mengadili suatu putusan pengadilan, sekalipun putusan itu belum menempuh upaya hukum biasa terlebih dahulu dengan syarat putusan tersebut sudah berstatus inkrah dan sesuai dengan Pasal 67 UU RI Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung.”8 Ketentuan tersebut mengatur

mengenai alasan-alasan yang dapat diajukan dalam permohonan Peninjauan Kembali, alasan yang dimaksud diantaranya sebagai berikut;

No

Alasan

Titik Perhitungan 180 hari

1

Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan;

Terhitung sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

2

Ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan (novum);

Terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;

3

  • - Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, atau;

  • - Apabila  mengenai  sesuatu

bagian     dari     tuntutan

belum     diputus     tanpa

dipertimbangkan       sebab-

sebabnya, atau;

  • -    Apabila    dalam    suatu

putusan   terdapat   suatu

kekhilafan   Hakim   atau

suatu   kekeliruan   yang

Terhitung sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

nyata;

4

Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.

Sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.9

Kata ‘menentukan’ pada tabel diatas memiliki arti bahwa surat bukti itu tergolong berkualitas bersifat memiliki nilai hukum yang kuat dan Valid. Valid maksudnya, surat bukti itu memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagai akta autentik ataupun akta di bawah tangan dan sudah diotorisasi secara resmi oleh undang-undang serta memiliki akibat hukum. Sekalipun demikian, sungguh tidak tepat apabila dengan adanya alat-alat bukti akte auntentik lalu orang yang mengajukan permohonan peninjauan kembali sudah pasti dimenangkan dalam artian permohonan peninjauan kembali dinyatakan diterima. Terhadap permohonan peninjauan kembali yang didasarkan alat-alat bukti auntentik Mahkamah Agung harus tetap mempertimbangkan secara saksama kebenaran akta auntentik tersebut.10 Kemudian hakim di Mahkamah Agung dalam menemukan nilai hukum pada suatu bukti baru yang diajukan merujuk kepada aturan-aturan yang relevan dengan perkara sebagai dasar pertimbangannya dalam menggolongkan kualitas bukti baru tersebut termasuk kedalam bersifat menentukan atau tidak. Seorang hakim dituntut

secara aktif dan terus menerus mengikuti dan menelusuri hukum, asas-asas hukum, teori-teori hukum, sumber-sumber hukum, doktrin, yurisprudensi, nilai-nilai hukum yang berlaku, terutama pada saat memberikan pertimbangan hukum (ratio decidendi) hakim harus mampu menafsirkan, berlogika serta argumentasi hukum agar putusannya berpijak pada nilai keadilan, nilai manfaat dan nilai kepastian hukum sehingga wibawa hukum akan tercermin dalam putusannya tersebut.11 Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada surat bukti itu sempurna dan mengikat. Oleh karena surat bukti itu telah ada sebelum gugatan namun belum ditemukan saat proses pemeriksaan perkara, maka sebuah bukti baru yang memiliki nilai hukum yang kuat dan Valid dapat menentukan hasil akhir dari putusan yang akan dijatuhkan oleh majelis hakim di Mahkamah Agung terkait pemeriksaan perkara perdata pada tingkat peninjauan kembali. (Hasil wawancara dengan Ida Ayu Nyoman Adnyadewi, S.H., M.H., selaku Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar, Tanggal 14 Februari 2018).

  • 2.2.2.    Implikasi Yuridis Yang Ditimbulkan Apabila Dikabulkannya Permohonan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Berkekuatan Hukum Tetap

  • A.    Status Putusan Pengadilan Sebelumnya dan Pelaksanaan Putusan

Pada perkara perdata, setelah putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi dilaksanakan bukan berarti para pihak yang kalah tidak bisa menempuh jalur lain dalam mencari sebuah keadilan. “Proses upaya hukum peninjauan kembali pada umumnya menjadi upaya hukum terakhir yang dapat

ditempuh oleh pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan sebelumnya.”12

Apabila suatu permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh pihak yang kalah pada pengadilan sebelumnya kemudian  dikabulkan  oleh  Mahkamah  Agung,  maka

mengakibatkan pelaksanaan putusan pengadilan tingkat sebelumnya  mengikuti  bunyi  amar dari  putusan  yang

dikeluarkan oleh Mahkamah Agung karena upaya hukum peninjauan kembali bersifat akhir atau final. Dengan demikian status putusan pengadilan sebelumnya masih dianggap inkracht namun pelaksanaan dari putusan tersebut mengikuti amar pada hasil putusan Mahkamah Agung sebagai putusan yang bersifat akhir atau final.

  • B.    Biaya Pelaksanaan Putusan Secara Paksa

Eksekusi terhadap dikabulkannya suatu permohonan PENINJAUAN KEMBALI dapat dilakukan apabila telah memenuhi beberapa unsur yaitu;

  • 1)    Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung telah benar-benar mendapat kekuatan hukum tetap atau putusannya dinyatakan telah inkrah;

  • 2)    Pihak pemenang pada tingkat PENINJAUAN KEMBALI telah mengajukan permohonan eksekusi kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk dijalankan isi dari putusan final tersebut. (Hasil wawancara dengan Ida Ayu Nyoman Adnyadewi, S.H., M.H., selaku Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar, Tanggal 14 Februari 2018)

Kemudian Pengadilan Negeri yang bersangkutan harus segera melakukan beberapa hal terkait eksekusi putusan peninjauan kembali yang diantaranya sebagai berikut;

  • 1)    Pembatalan penetapan dan berita acara eksekusi terdahulu setelah adanya putusan permohonan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung.

  • 2)    Pengadilan    negeri    yang    bersangkutan    segera

memerintahkan untuk melaksanakan eksekusi sesuai dengan amar putusan yang diputus dalam permohonan peninjauan kembali. (Hasil wawancara dengan Gde Ginarsa, S.H., selaku Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar)

Terkait “biaya perkara dan biaya eksekusi secara paksa dibebankan pada pihak yang kalah, alasannya adalah terjadi kesalahan apabila secara sengaja memisah-misahkan antara pengertian penyelesaian perkara.”13 Adapun yang dapat diperhitungan sebagai biaya perkara dalam hal ini adalah biaya pemeriksaan persidangan dan biaya eksekusi ialah “jumlah pengeluaran yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sebuah bukti pengeluaran, bukti pengeluaran tersebut dianggap sah apabila bukti tersebut dikeluarkan oleh pengadilan yang berupa surat kuitansi.”14 Berdasarkan Pasal 196 HIR (Pasal 207 Rbg) apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi isi putusan dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka jika sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga, secara otomatis menjadi sita eksekutorial.

  • C.    Kedudukan Mahkamah Agung Dalam Memeriksa Bukti Baru Terkait Istilah Judex Facti dan Judex Juris

Dalam hukum di Indonesia, “Judex Facti adalah majelis hakim yang memeriksa fakta-fakta pada perkara dalam persidangan, sedangkan Judex Juris adalah majelis hakim yang

memeriksa penerapan hukum terhadap fakta-fakta pada perkara tersebut.”15 Pada umumnya pengadilan negeri yang berkedudukan di ibukota kabupaten serta pengadilan tinggi yang “memeriksa perkara dengan memeriksa ulang bukti-bukti dan fakta yang ada (secara de novo) bertindak sebagai Judex Facti, kemudian Mahkamah Agung pada tingkat pemeriksaan Kasasi bertindak sebagai Judex Juris yang hanya memeriksa interpretasi, konstruksi dan penerapan hukum terhadap fakta yang sudah ditentukan oleh Judex Facti.”16 Oleh karena itu terkait tugas dan fungsi Mahkamah Agung ditingkat pemeriksaan Peninjauan Kembali sebagai Judex Facti ataukah Judex Juris, pasalnya Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi dikenal bertindak sebagai Judex Juris dimana Mahkamah Agung hanya memeriksa penerapan hukum yang telah dilakukan oleh tingkat peradilan sebelumnya dan tidak lagi memeriksa fakta dari suatu perkara, namun pada tingkat Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung kembali memeriksa suatu fakta salah satunya yakni bukti baru (novum).

Kedudukan Mahkamah Agung terkait istilah Judex Facti dan Judex Juris dalam hal pemeriksaan bukti baru pada tingkat peninjauan kembali masih tergolong kedalam istilah Judex Facti. Mahkamah Agung telah diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan sistem peradilan di Indonesia yakni UU RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Serta jika dikaitkan dengan alasan dalam mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, bahwa 3 diantara 6 alasan merupakan pemeriksaan suatu fakta, apabila Mahkamah Agung dianggap sebagai Judex Juris, maka seharusnya pemeriksaan suatu fakta sudah bukan kewenangan Mahkamah Agung pada tingkat peninjauan

kembali. Oleh karena Mahkamah Agung telah diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk memeriksa fakta dari suatu penerapan hukum maka Mahkamah Agung pada pemeriksaan tingkat peninjauan kembali dikatakan sebagai Judex Facti. (Hasil wawancara dengan Ida Ayu Nym Adnyadewi, S.H., M.H. selaku hakim di Pengadilan Negeri Denpasar, Tanggal 14 Februari 2018)

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

Kata ‘menentukan’ pada Pasal 67 huruf b UU RI Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung memiliki arti bahwa surat bukti itu tergolong berkualitas bersifat memiliki nilai hukum yang kuat dan Valid yang dapat menentukan hasil akhir dari putusan yang akan dijatuhkan oleh majelis hakim di Mahkamah Agung.

Implikasi yang ditimbulkan apabila dikabulkannya permohonan upaya hukum peninjauan kembali antara lain yakni status putusan pengadilan sebelumnya dan pelaksanaan putusan, biaya pelaksanaan putusan secara paksa apabila pihak yang kalah tidak bersedia menjalankan putusan secara sukarela, pemeriksaan bukti baru berpengaruh terhadap kedudukan Mahkamah Agung terkait Judex Facti dan Judex Juris.

  • 3.2.    Saran

Pada putusan yang dijatuhkan seharusnya penjelasan mengenai bukti baru yang diajukan dijabarkan peraturan relevan dan landasan pertimbangan hakim yang digunakan dalam menilai suatu novum ke dalam kategori ‘menentukan’. Mengenai implikasi yuridis yang ditimbulkan, seharusnya tentang eksekusi secara paksa diatur dalam UU RI Tentang Mahkamah Agung, sehingga dapat menghindari terjadinya kekaburan norma serta meminimalisir adanya pihak yang tidak bersedia menjalankan putusan secara sukarela.

DAFTAR PUSTAKA

  • A.    BUKU

Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana, Jakarta.

Aniruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1982, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Yahya Harahap, 2013, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.

Zainal Arifin Hoesein, 2013, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia : Kedudukan, Fungsi, dan Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman Dalam Perspektif Konstitusi, Imperium, Yogyakarta.

Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika,

Jakarta.

  • B.    JURNAL

Ghansham Anand dan Fiska Silvia Raden Roro, 2015, Problematika Upaya Peninjauan Kembali Perkara Dalam Tata Hukum Acara Perdata di Indonesia, JHAPER:Vol. 1 No. 1.

Herowati Poesoko, 2015, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Penyelesaian Perkara Perdata, JHAPER: Vol.1, No. 2.

Syahrul Sitorus, 2018, Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata, Jurnal Hikmah: Vol.15, No. 1.

Syarifa Nur, 2016, Aspek Yuridis Tentang Upaya Hukum Luar Biasa (Peninjauan Kembali) Terhadap Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap, Jurnal Legal Opinion: Edisi 2, Vol. 4.

  • C.    INTERNET

http://mahkamahkonstitusi.go.id/, diakses tanggal 24 November 2017.

  • D.    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Reglemen Indonesia Baru (HIR: Herzien Indonesis Reglement) (Staatblad 1984: No. 16 yang Diperbahrui dengan Staatblad 1941 No.44)

Reglemen Untuk Daerah (RBg: Rechtsreglement Buitengewesten) (Staatblad 1927 No.227)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)

15