ANALISIS YURIDIS PEMBEBANAN UANG PENGGANTI TERHADAP KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh :

Agung Satria Palguna∗∗ I Gusti Ketut Ariawan∗∗∗ Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan bersifat fakultatif, terkait ketidakmampuan melaksanakan pembayaran uang pengganti, sanksi yang dapat dijatuhkan yakni pidana penjara. Korporasi sebagai subyek hukum tidak dapat dijatuhkan pidana penjara sehingga terjadi kekosongan norma mengenai sanksi pengganti terhadap korporasi yang tidak melaksanakan pembayaran uang pengganti. Adapun permasalahan yang dibahas adalah bagaimana eksistensi pidana tambahan pembayaran uang pengganti serta bagaimana sanksi terhadap korporasi yang harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual, perundang-undangan, dan perbandingan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sanksi pengganti terhadap korporasi yang tidak melaksanakan pembayaran uang pengganti tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001 menunjukan bahwa tidak terdapat ketentuan sanksi yang dapat diterapkan kepada korporasi apabila harta benda miliknya yang dilelang oleh jaksa masih tidak mampu mencukupi untuk membayar uang pengganti.

Kata Kunci : Uang Pengganti, Korporasi, Tindak Pidana Korupsi.

Tulisan ini merupakan tulisan ilmiah diluar ringkasan skripsi.

∗∗Agung Satria Palguna adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, Korespondensi : [email protected].

∗∗∗I Gusti Ketut Ariawan adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana dan juga selaku Pembimbing Akademik

Abstract

The criminal act of corruption in Indonesia, not only damage finance cost but also impact social and economic rights of society. In Article 18 of Act Number 31 Year 1999 jo. Act Number 20 Year 2001 Regarding Eradication of Criminal Corruption stated provisions of payment of replacement money as an additional criminal is facultative, related to the inability of parties to make payment of replacement money, sanctions that can be charge is imprisonment. Corporations as legal subjects can’t be imprisoned, there is a void of norms regarding the substitute sanction for corporation that does not perform replacement money. According to the statement, the problems of this study are how the existence of payment of replacement money in Eradication of Criminal Corruption and how sanctions against corporations whose property is not sufficient to pay replacement money. Method used in this study is normative legal research by conceptual approach, Statue Approach, and Comparative Approach. The result of this study shows that Substitute sanction against corporation that does not perform replacement payment is not regulated in Act Number 31 Year 1999 Jo. Act Number 20 year 2001 shows that there is no sanction provision that can be applied to the corporation if his property which is auctioned by the prosecutor is not sufficient to pay the replacement money.

Keywords : Replacement Money, Corporate, legislation Anticorruption law.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu

digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara  luar  biasa.  Korupsi  di Indonesia  sudah

merupakan virus  flu  yang  menyebar  ke seluruh  tubuh

pemerintahan sehingga sejak tahun 1960-an langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai masa

kini.1 Manurut Prof. Romli Atmasasmita, di Indonesia korupsi sudah merupakan kolaborasi antara para pelaku di sektor publik

dan sektor swasta.2 Keadaan ini semakin dipersulit lagi dan hampir merupakan keputusan manakala kita menyaksikan pula aparatur penegak hukum dari hulu ke hilir terlibat ke dalam jaringan korupsi yang seharusnya dijadikan musuh penegak hukum atau sasaran penegakan hukum itu sendiri.

Mencermati begitu beragamnya jenis tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai korupsi dapat dipastikan bahwa akibat yang ditimbulkan juga beragam. Dilihat dari wujud atau bentuk akibat dari korupsi, misalnya terhadap korupsi yang berkaitan dengan keuangan negara, maka bentuk atau wujud akibat dari korupsinya antara lain berupa kerugian negara. Mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menggunakan instrument hukum pidana, tidak hanya dilakukan dengan menambah pihak-pihak yang terjerat dengan undang-undang korupsi saja, tetapi terhadap mereka yang dijerat dengan undang-undang a quo itu juga diberikan sanksi yang maksimal. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001 (selanjutnya disingkat UU PTPK), maka ragam atau jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan cukup bervariasi. Salah satu sanksi yang penting dan sekaligus menandai kekhususan dari undang-undang a quo adalah adanya sanksi berupa “uang pengganti”. Menurut Yudi Kristiana, Sanksi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti menjadi sesuatu yang penting, karena salah satu tujuan yang dicapai dalam pemberantasan korupsi adalah pengembalian keuangan negara.

Mengenai pidana pengganti pengaturannya secara tegas diatur pada Pasal 18 ayat (1) b, ayat (2) dan ayat (3) UU PTPK. Pidana tambahan pembayaran uang pengganti pada hakikatnya dapat diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi baik

yang telah melanggar ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 maupun juga yang telah melanggar ketentuan Pasal-Pasal lainnya.Pelaku yang dimaksud disini bisa manusia atau bisa juga korporasi, mengingat korporasi menurut undang-undang a quo ditentukan sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi.

Batas waktu pembayaran uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan, dan apabila tidak membayar dalam kurun waktu tersebut maka harta bendanya akan disita oleh jaksa dan kemudian dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Namun apabila harta benda tersebut tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti maka menurut Pasal 18 ayat (3), terpidana akan dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya.

Jika ketentuan Pasal 18 ayat (3) dikaitkan dengan pengertian subyek hukum pidana yang diakui dapat melakukan perbuatan pidana menurut UU PTPK, maka tentu korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi tidak dapat diterapkan sanksi tersebut. Berdasarkan pembahasan diatas penulis merasa perlu dilakukan penelitian secara normatif dan mengangkat judul Analisis Yuridis Pembebanan Uang Pengganti Terhadap Korporasi Dalam Undang-Undang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi, karena terjadi kekosongan norma yang mengatur mengenai sanksi bilamana harta benda korporasi yang dilelang oleh jaksa tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana eksistensi uang pengganti dalam UU PTPK ?

  • 2.    Bagaimana sanksi bagi korporasi yang harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

  • 1.    Tujuan Umum adalah untuk mengetahui dan memberikan pemahaman mengenai pidana tambahan uang pengganti dalam UU PTPK.

  • 2.    Tujuan Khusus

  • 1.    Memahami lebih dalam makna dari pidana tambahan pembayaran uang pengganti menurut UU PTPK.

  • 2.    Penelitian normatif ini adalah untuk menganalisa mengenai ketentuan sanksi bagi korporasi yang harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penulisan

Jenis metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yaitu adanya kekosongan norma, bersumber bahan hukum primier yakni perundang-undangan dan literatur terkait, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, teknik analisi, meneliti prinsip-prinsip hukum serta mengkaji dan meneliti peraturan-peraturan tertulis.3 maupun regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

  • 2.2    Hasil dan Analisa

    • 2.2.1    Eksistensi Uang Pengganti dalam UU PTPK

Pidana tambahan Pembayaran “uang pengganti” merupakan jenis pidana yang baru dikenal dalam hukum pidana.Dikatakan baru dikenal karena didalam Pasal 10 KUHP sendiri tidak ditemukan ataupun ditentukan mengenai pidana uang pengganti tersebut, baik sebagai pidana pokok maupun sebagai pidana tambahan. Namun didalam UU PTPK pidana pembayaran uang pengganti ditentukan sebagai pidana tambahan sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b. Menurut Adami Chazawi tujuan pidana pembayaran uang pengganti adalah untuk

pemulihan kerugian akibat tindak pidana korupsi.4 Sejalan dengan pendapat dari Adami Chazawi diatas, Yudi Kristiana berpendapat bahwa sanksi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti menjadi sesuatu yang penting, karena salah satu tujuan yang akan dicapai dalam pemberantasan korupsi adalah pengembalian kerugian keuangan negara.5

Jika pengadilan sudah menjatuhkan putusannya mengenai pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, kepada terpidana diberi tenggang waktu untuk membayar uang pengganti seperti yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2), yakni “…paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, terhadap tenggang waktu tersebut, jaksa sebagai pelaksana dari putusan pengadilan, tidak dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran uang pengganti, tidak seperti halnya jaksa dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran denda sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 273 ayat (2) KUHAP, karena pembayaran uang pengganti berbeda dengan pembayaran denda. Pembayaran uang pengganti itu merupakan pidana tambahan, sedangkan denda adalah pidana pokok, sehingga ketentuan-ketentuan mengenai pidana denda yang antara lain terdapat dalam Pasal 273 ayat (2) KUHAP, tidak dapat demikian saja diberlakukan untuk pembayaran uang pengganti.

Walaupun juga ada persamaan sifat dengan pidana denda yakni sama dalam hal nilai uang atau rupiah yang dibebankan atas harta bendanya si pembuat atau terpidana namun substansinya sungguh berbeda. Perbedaan itu mengenai jumlah

uang dalam pidana denda, tidaklah perlu dihubungkan dengan akibat atau kerugian yang diderita yang in casu maksudnya adalah kerugian negara tetapi, pada pidana pembayaran uang pengganti wajib dihubungkan dengan adanya akibat atau kerugian yang timbul oleh adanya korupsi yang dilakukan oleh si pembuat.

sesuai dengan spirit yang melatarbelakangi konsep pemidanaan uang pengganti, dimana negara hanya peduli bagaimana uang negara yang telah dirugikan karena tindak pidana korupsi dapat kembali. Upaya ini telah memberikan hasil yaitu berupa pemasukan ke kas negara dari hasil pembayaran uang pengganti dari beberapa terpidana yang telah ditetapkan jumlah pembayaraannya.6 Menurut Adami Chazawi tujuan pidana pembayaran uang pengganti adalah untuk pemulihan kerugian akibat tindak pidana korupsi, tetapi pidana denda semata-mata ditujukan bagi pemasukan uang untuk kas negara.

Bilamana tenggang waktu untuk pembayaran uang pengganti sudah lewat dan terpidana ternyata tidak membayar uang pengganti, tindak lanjutnya adalah seperti yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2), yaitu “…maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”. Menurut R. Wiyono, frasa “harta bendanya” berarti harta benda kepunyaan terpidana yang bukan merupakan harta benda hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau harta benda kepunyaan terpidana yang bukan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi, karena jika memang terbukti di sidang pengadilan bahwa harta benda kepunyaan terpidana tersebut merupakan harta benda hasil tindak pidana korupsi dan/atau dipergunakan untuk melakukan tidak korupsi, maka pengadilan sudah tentu akan menjatuhkan pidana tambahan berupa

perampasan barang-barang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP atau Pasal 18 ayat (1) huruf b UU PTPK, sehingga jaksa tidak perlu sampai melakukan penyitaan terhadap barang-barang yang dimaksud dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.7

Hans Kelsen berpendapat bahwa jika seseorang individu menyebabkan kerugian terhadap orang lain, dan tidak menggantinya, maka tindakan paksa mesti dilakukan terhadap harta benda individu tersebut. Dengan kata lain seorang individu harus disita kekayaannya dan kemudian diberikan kepada individu yang ia rugikan sebagai ganti. Hernol Ferry Makawimbang dengan merujuk pendapat Hans Kelsen diatas berpendapat bahwa konsep pemikiran ini secara substansial sama dengan pesan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Tipikor.8

Sebagaimana dipertimbangkannya kalimat “dapat disita” dalam Pasal 18 ayat (2), maka penyitaan yang dilakukan oleh jaksa terhadap harta benda kepunyaan terpidana tersebut bersifat fakultatif. Selanjutnya penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terpidana dan kemudian harta benda tersebut dilelang, baru dilakukan oleh jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan jika ternyata tepidana belum atau tidak membayar uang pengganti yang jumlahnya seperti yang dimuat pada putusan pengadilan dalam tenggang waktu yang telah ditentukan. Penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tersebut tidak perlu terlebih dahulu meminta izin dari Ketuan Pengadilan Negeri setempat atau sesudah melakukan penyitaan segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk mendapatkan persetujuan,

karena penyitaan ini dilakukan bukan dalam rangka penyidikan tetapi dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan. Dan yang terpenting, jaksa dalam melakukan penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tersebut harus dapat memperkirakan harga dari benda yang disita, yang jika dilelang sudah dapat menutupi jumlah uang pengganti seperti yang dimuat dalam putusan pengadilan.

Penjelasan umum UU PTPK disebutkan, “…undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayarkan pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.” Penjelasan tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU PTPK, dapat diketahui adanya beberapa syarat agar terpidana yang dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang penggant dapat dipidana dengan pidana penjara, yaitu :

  • a.    Selama tenggang waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, ternyata di samping terpidana sudah tidak mempunyai lagi uang tunai untuk membayar uang pengganti, juga hasil lelang dari harta benda kepunyaan terpidana yang telah disita oleh jaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti.

  • b.    pidana penjara yang dijatuhkan kepada terpidana karena tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, tidak boleh melebihi ancaman maksimum pidana penjara dari ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh terpidana.

  • c.    Lamanya pidana penjara dalam putusan pengadilan tersebut sudah ditentukan atau dicantumkan lamanya pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap terpidana jika

sampai terpidana  tidak mempunyai  harta benda yang

mencukupi untuk membayar uang pengganti.9

Sebagai pidana tambahan, pidana pembayaran uang

pengganti dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang untuk memberikan sanksi yang jauh lebih sesuai dengan kebutuhan treatmen terhadap pelaku, pemulihan atas akibat kejahatan yang ditimbulkan dan sekaligus memberikan perlindungan terhadap masyarakat.Pemberian sanksi tambahan seperti itu, tentunya sejalan dengan pemikiran hukum progresif yang mendorong enovasi dan kreativitas penegak hukum dalam menegakkan

hukum sesuai dengan perkembangan hukum dan masyarakatnya. 2.3 Analisis mengenai sanksi bagi korporasi yang harta

bendanya tidak mencukupi untuk membayar uang

pengganti.

Pidana  tambahan  pembayaran uang pengganti  pada

hakikatnya dapat diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi baik yang telah melanggar ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 maupun juga yang telah melanggar ketentuan Pasal-Pasal lainnya. Konklusi ini merupakan hasil interpretasi secara sistematis terhadap ketentuan Pasal 17 UU PTPK yang formulasinya sebagai berikut, Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18”.

Ketentuan ini jelas mengatur bahwa sesungguhnya pidana tambahan sebagaimana dimaksud Pasal 18 termasuk didalamnya adalah uang pengganti tidak hanya dapat diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang melanggar Pasal 2 dan 3 saja, tetapi juga dapat dikenakan terhadap Pasal lain yaitu Pasal 5

sampai dengan Pasal 14 UU PTPK. Hanya saja khusus terhadap pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti itu dalam penerapannya sudah barang tentu harus hati-hati dan disesuaikan dengan kasusnya.

Korporasi adalah pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan frasa “setiap orang” yang mendahului rumusan delik dalam UU PTPK, secara expressis verbis didefinisikan sebagai orang perseorangan atau termasuk korporasi (Pasal 1 angka 3). Hal ini tentu berbeda dengan frasa “setiap orang” yang digunakan dalam rumusan-rumusan delik di dalam KUHP. Menurut teks aslinya frase “setiap orang” tersebut merupakan terjemahan dari frase “hij die” yang termuat dalam rumusan delik menurut Wetboek van Strafrecht, yang merujuk pengertian “setiap manusia”.10 Inilah salah satu bentuk penyimpangan dari UU PTPK sebagai Hukum Pidana Khusus terhadap KUHP sebagai hukum pidana umumnya.Dan sejalan menurut pendapatnya Barda Nawawi Arief, bahwa Penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu yang diatur dalam undang-undang khusus.11

Karena korporasi juga terkualifikasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi, maka demi hukum ketentuan Pasal 18 UU PTPK khususnya mengenai pidana tambahan pembayaran uang pengganti juga dapat diterapkan terhadap korporasi. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi, yang menentukan

bahwa “Korporasi dapat dikenakan pidana tambahan pembayaran uang pengganti”.

Meskipun korporasi dapat juga dikenakan pidana tambahan uang pengganti, namun tampaknya ketentuan dalam Pasal 18 UUPTPK khususnya yang mengatur tentang pidana tambahan uang pengganti, tidak mempu secara komprehensif untuk mengakomodir penerapan pidana uang pengganti kepada korporasi, terutama dalam hal harta benda atau kekayaan korporasi yang tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf b. Pada Pasal 18 ayat (3) menentukan bahwa : Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Melihat frasa “terpidana” yang dihubungkan dengan pengertian pelaku tindak pidana korupsi dalam hal ini mencakup orang perseorangan atau termasuk korporasi, maka ketentuan Pasal 18 ayat (3) ini berlaku juga terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Namun, jika hal tersebut ditafsirkan demikian, maka tentu akan menimbulkan suatu kesulitan dalam penerapannya, mengingat korporasi itu sendiri tidak dapat dikenakan pidana penjara. Pidana penjara hanyalah dapat dikenakan terhadap manusia (naturlijk person) yang melakukan tindak pidana. Menurut Muladi & Dwidja Priyatno, korporasi hanya dapat dikenakan saksi:

  • a.    Pidana denda

  • b.    Pidana tambahan berupa pengumuman putusan pengadilan

  • c.    Pidana Tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan administrative berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh perusahaan dan tindakan tata tertib berupa penempatan perusahaan dibawah pengampuan yang berwajib

  • d.    Sanksi perdata (ganti kerugian).12

Ketentuan pada Pasal 18 ayat (3) UU PTPK tidak dapat diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang subjeknya adalah korporasi dan hal tersebut berimplikasi pada kekosongan pengaturan mengenai pembebanan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, bilamana pelaku tindak pidana dalam hal ini korporasi yang harta benda atau kekayaannya tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut.

  • III. PENUTUP

  • 3.1    Kesimpulan

  • 1.    Menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pidana pembayaran uang pengganti ditentukan sebagai pidana tambahan sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 18 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) undang-undang a quo. Pidana uang pengganti ini dapat terapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, baik itu orang perseorangan ataupun korporasi.

  • 2.    Terhadap sanksi pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang melunasi untuk membayar uang pengganti, tidak dapat diterapkan kepada korporasi, karena pidana penjara

hanya dapat dikenakan terhadap  manusia lahiriah saja.

demikian, dapat ditarik suatu konklusi bahwa dalam Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak terdapat ketentuan sanksi yang dapat diterapkan kepada korporasi apabila harta benda miliknya yang dilelang oleh jaksa tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti.

  • 3.2    Saran

  • 1.    Diharapakan untuk membentuk peraturan khusus terhadap pelaku korporasi dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

  • 2.    Agar para legislator di negara ini membuat suatu instrument hukum yang memuat ketentuan sanksi bagi korporasi yang harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti sehingga pelaksaan pidana tamabahan uang pengganti yang notabennya memiliki tujuan memulihkan kerugian Negara dapat dilaksanakan dengan maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Buku :

Arief, Barda Nawawi 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Atmasasmita, Romli, 2004, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung,

Chazawi, Adami, 2016, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Kristiana, Yudi, 2016, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Perspektif Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta.

Makawimbang, Hernol Ferry, 2014, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana  Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum

Progresif, Thafa Media, Yogyakarta.

Muladi, Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta.

Wiyono, 2009, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.

  • 2.    Jurnal

Barama, Michael, 2011, Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam Perkara Korupsi, Jurnal Hukum Pidana, Volume 3, Universitas Sam Ratulangi Fakultas Hukum Manado.

  • 3.    Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi.

15