ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEMAMPUAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PASAL 44 KUHP
on
ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEMAMPUAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PASAL 44 KUHP
Oleh :
Ni Made Raditya Pawani Peraba Sugama Suatra Putrawan
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Syarat seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban dapat dilihat dari adanya sifat melawan hukum dan kemampuan bertanggungjawab. Kemampuan bertanggungjawab diatur dalam Pasal 44 KUHP, namun dalam ketentuan tersebut tidak dijelaskan batasan-batasan keadaan seseorang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dalam hal ini perlu mengetahui hubungan antara gangguan kejiwaan dan kemampuan bertanggungjawab dalam KUHP serta mengetahui dalam batas manakah seseorang dalam keadaaan tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Penulisan ini menggunakan metode penulisan normatif yang didasarkan pada pendekatan undang-undang dan bahan hukum lainnya. Kesimpulan dari penulisan ini adalah orang yang memiliki penyakit atau gangguan jiwa tidak selalu dikatakan tidak mampu bertanggungjawab tetapi harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu, dengan demikian selain peran Hakim, peran seorang psikiater juga sangat diperlukan.
Kata kunci : Kemampuan bertanggungjawab, Gangguan jiwa, Penyakit jiwa.
Abstract
The requirement for someone who can asked for responsibility because there are unlawful act and capability of responsibility. Capability of resposibility have been regulated on Article 44 Of Criminal Code, however in these Article don’t describe about the borders for a condition of someone who can’t asked for responsibility, with the result that, need for find out the connection beetwen mental disorder and capability of responsibility on Criminal Code and also to find out within the borders for someone in condition can not asked for responsibility. This writing use normative writing method based on law approach and others material law. The conclution from this writing are someone who have mental disorder aren’t necessarily can’t take a responsibility but should have investigation, therefore in addition to the role of judges, the role of a psychiatrist is also indispensable.
Keywords : Responsibility, Mental Disorders, Mental Illnes.
Tahun 2016, publik dikejutkan dengan sebuah kasus yang menarik perhatian masyarakat Indonesia yaitu seorang polisi yang bernama Brigadir Petrus Bakus anggota Satuan Intelkam Polres Melawi membunuh dan memutilasi kedua anak kandungnya. Pelaku mengaku sering didatangi makhluk halus dan mendapat bisikan. Pelaku ternyata mengidap gejala skizofrenia sejak berumur 4 tahun. Skizofrenia adalah salah satu jenis penyakit jiwa yang ciri-cirinya terdapat penyimpangan dari pikiran yang disertai ekspresi emosional yang tidak wajar.1
Seseorang yang mengalami hal demikian biasanya disebut sebagai “orang gila”. Selain istilah “orang gila”, terdapat juga istilah untuk seseorang yang memiliki cacat mental yaitu “idiot”.
Perlakuan terhadap orang-orang yang memiliki kekurangan tersebut diatur dalam Pasal 44 KUHP. Pasal 44 ayat (1) KUHP diatur mengenai alasan-alasan penghapus pidana. Sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tersebut bahwa seseorang yang jiwanya terganggu karena suatu penyakit, walaupun seseorang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana, maka ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.2 Seseorang yang mengalami hal demikian sangat perlu diperhatikan , dikarenakan memiliki jiwa yang abnormal tetapi di sisi lain telah merugikan orang lain sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, seperti dilihat dari keadaan dan
kemampuan jiwanya. Tetapi, dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP terdapat kata-kata yang masih bersifat umum seperti “pertumbuhan pikiran yang tidak sempurna” dan kata “gangguan karena penyakit”, yang mana belum mengindikasikan secara khusus untuk menentukan keadaan-keadaan yang termasuk ke dalam 2 kategori kata tersebut. Hal inipun masih menimbulkan keraguan dalam menentukan batasan sikap maupun keadaan seseorang yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Berkaca dari kasus di atas menimbulkan banyak polemik mengenai bagaimana proses penanganan kasus Brigadir Petrus Bakus. Ada pihak yang menganggap pelaku tidak dapat dihukum karena terbukti memiliki gangguan kejiwaan dan ada juga yang menyatakan pelaku masih bisa untuk dipidana. Adanya kekaburan norma yang terdapat dalam Pasal 44 KUHP inilah mengharuskan adanya spesifikasi yang termasuk kategori “pertumbuhan pikiran yang tidak sempurna”, dan kategori yang masuk dalam “gangguan karena penyakit”, selain itu hakim berperan dalam menggali nilai-nilai hukum agar memenuhi rasa keadilan masyarakat dan dalam memutus sebuah perkara sehingga interpretasi hakim diperlukan.
-
1.2 Rumusan Masalah
-
1.2.1 Bagaimana hubungan gangguan kejiwaan dengan pertanggungjawaban pidana?
-
1.2.2 Bagaimana batasan keadaan seseorang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan?
-
-
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui adanya keterkaitan antara gangguan kejiwaan dan kemampuan bertanggungjawab menurut KUHP.
Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan gangguan kejiwaan dengan pertanggungjawaban pidana dan dalam batas manakah seseorang dalam keadaan tidak dapat dipertanggungjawabkan itu.
Penulisan ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang didasarkan pada data primer dan sekunder. Data primer yaitu dengan menganalisis peraturan perundangan-undangan yang sudah ada sedangkan data sekunder dilakukan dengan menganalisis bahan-bahan kepustakaan seperti buku, diktat, dan lain-lain yang dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan dan konsep para ahli hukum sebagai basis penelitiannya.3
Penelitian hukum normatif terdapat beberapa jenis pendekatan seperti: pendekatan undang-undang, pendekatan historis, pendekatan konseptual, pendekatan komparatif, pendekatan politis dan pendekatan kefilsafatan.4 Untuk penulisan ini menggunakan jenis pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual.
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang masih berlaku di Indonesia. Bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian, hasil karya ilmiah di bidang hukum literatur hukum dan sebagainya yang mendukung bahan hukum primer.5
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan berupa studi pustaka dengan membandingkan beberapa peraturan perundang-undangan yang masih berlaku di Indonesia.
Teknik analisis dalam penulisan ini menggunakan teknik analisis komperatif interpretatif yaitu dengan melakukan perbandingan terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang masih berlaku di Indonesia.
-
2.2 HASIL DAN ANALISIS
Kemampuan bertanggungjawab belum diatur dengan jelas dalam KUHP. Berdasarkan pendapat Moeljatno, bahwa kemampuan bertanggungjawab berhubungan dengan Pasal 44 KUHP yang di dalamnya mengatur mengenai keadaan seseorang yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya.6
Adapun pasal tersebut diartikan sebagai berikut : “Seseorang apabila telah melaksanakan suatu perbuatan yang
melanggar hukum, yang mana seharusnya dapat dimintai pertanggungjawaban, tetapi karena adanya suatu penyakit atau gangguan dalam kejiwaannya maupun gangguan dalam kemampuan berpikir sehatnya, maka ia tidak dapat dipertanggungjawabkan pidananya”.7
Menurut doktrin, pengertian dari ketidakmampuan bertanggungjawab, yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 44 KUHP, yakni :8
-
1. Apabila seseorang tidak bebas dalam melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang atau diperintah oleh undang-undang, maka dapat dikatakan sebagai tindakan yang dipaksa.
-
2. Apabila seseorang dalam keadaan tertentu tidak dapat menyadari tindakannya dilarang oleh hukum dan orang tersebut tidak paham dari akibat yang ditimbulkan oleh tindakannya, seperti gila.
Seseorang dikategorikan sebagai pembuat yang mampu dimintai pertanggungjawaban pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:9
-
• Dilihat dari keadaan jiwa :
-
- Tidak memiliki penyakit yang bersifat terus menerus maupun sementara;
-
- Tidak memiliki kelainan dalam pertumbuhan, salah satu contohnya yakni idiot;
-
- Tidak dalam keadaan terhipnotis atau pengaruh di luar kesadaran.
-
• Dilihat dari kemampuan jiwa :
-
- Dapat memahami maksud dari perbuatan yang
dilakukannya;
-
- Dapat menentukan apakah niatnya tersebut akan
dilakukan atau dibatalkan;
-
- Mengetahui akibat dari perbuatan yang dilakukannya.
Keadaan jiwa seseorang yang mengalami cacat dalam pertumbuhan dan gangguan kejiwaan disebabkan karena suatu penyakit bukanlah diartikan dari segi ilmu kedokteran melainkan merupakan suatu pengertian dari segi hukum. Hal yang menjadi titik tolok ukurnya adalah mengenai korelasi keadaan jiwa pelaku dengan perbuatan yang dilaksanakan sehingga pelaku dapat dikatakan tidak mampu dimintai pertanggungjawaban pidananya. Adanya korelasi antara keduanya bukanlah kewenangan ahli jiwa melainkan kewenangan Hakim di persidangan, walaupun hal tersebut bukan merupakan kewenangan ahli jiwa, tetapi pendapat ahli kejiwaan dalam persidangan dapat dijadikan pertimbangan Hakim dalam memberikan keputusan.10
Pasal 44 KUHP, banyak ditemukan kata “pertumbuhan pikiran yang tidak sempurna” dan kata “gangguan karena penyakit”. Keadaan seseorang yang masuk kategori pertumbuhan pikiran yang tidak sempurna, misalnya idiot, tuna rungu, atau tuna wicara. Seseorang yang memiliki keadaan demikian telah
sejak lahir mengalami kelainan, sehingga daya pikir yang dimilikinya tetaplah bersifat seperti kanak-kanak. Salahnya pola asuh orang tua sehingga anak menjadi kurang perhatian dan kurang pendidikan, tidaklah dapat dikatakan sebagai kategori tersebut. Hal-hal yang termasuk kedalam kategori gangguan karena penyakit yaitu dalam keadaan gila, epilepsi, serta berbagai macam penyakit kejiwaan lainnya.
Salah satu awal terjadinya gangguan jiwa ditandai dengan perasaan yang tidak menentu, kadang penderitanya senang, kadang juga merasa sedih, pikiran tidak menentu atau bingung, emosinya meledak-ledak tanpa alasan yang jelas, dan susah untuk tidur. Gejala yang semakin berat ditandai dengan tingkah laku yang ingin menyakiti orang lain, dan mulainya berhalusinasi.
Adapun macam-macam penyakit yang dikategorikan sebagai penyakit jiwa, sehingga membuat penderitanya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban yakni :
-
a. Kleptomania ialah seseorang yang menderita
penyakit ini dalam keadaan sehari-hari bersifat
normal, akan tetapi penyakit ini mampu mendorong penderitanya untuk mengambil barang yang bukan miliknya, namun penderitanya tidak sadar telah melakukan perbuatan tersebut dan barang yang diambil pun bukanlah suatu barang yang berharga.
-
b. Klaustropobia, ialah dimana penderitanya merasa takut apabila berada diruang yang sangat sempit.
-
c. Piromania, ialah dimana penderitanya memiliki kegemaran untuk membakar sesuatu secara tiba-tiba tanpa alasan apapun.
-
d. Perasaan seperti dikejar-kejar, mendengar bisikan dan berbagai macam jenis penyakit lainnya yang
dapat diklasifikan sebagai penyakit jiwa, sesuai dengan hasil pemeriksaan dari ahli jiwa.
Pembagian mengenai pertanggungjawaban dalam pasal 44 KUHP tidak dijelaskan. Adanya keadaan yang mana seseorang tidak dapat bertanggungjawab terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya. Hal ini mengenai ilmu yang mengkaji tentang kejiwaan seseorang, maksudnya adalah tidak hanya seseorang yang memiliki gangguan akal dan nalar tetapi mengenai berbagai hal yang termasuk kedalam gangguan jiwa.11
Berbeda dalam Pasal 38 RUU KUHP, yang telah menyebut bagian pokoknya yaitu gangguan jiwa, penyakit jiwa, dan retardasi mental, walaupun dibuatkan demikian, tetap saja tidak ada perbedaan bagi gangguan jiwa dan penyakit jiwa. Bagian
penjelasan RUU KUHP, definisi dari keduanya adalah suatu
perbedaan yang terjadi pada fungsi kejiwaan sehingga menyebabkan terganggu kesehatan jiwanya.
Terdapat 3 syarat yang dapat membuat seseorang tidak dapat dijatuhi pidana yaitu :
-
a. Tidak menyadari tujuan dari suatu perbuatan yang dilakukannya;
-
b. Tidak dapat memberikan arah kemampuannya;
-
c. Tidak dapat menyadari sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukannya.
Seseorang telah memenuhi ketiga unsur tersebut, barulah ia dapat dikatakan mampu bertanggungjawab, sehingga tidak
semua gangguan kejiwaan menyebabkan seseorang terlepas dari jeratan hukum, maka dari itu hal ini haruslah dibuktikan dalam persidangan.
Tiga metode yang digunakan untuk menentukan seseorang dapat bertanggungjawab atau tidak, diantaranya :
-
1. Metode biologis, maksudnya meneliti tanda-tanda yang tidak normal lalu dikaitkan dengan ketidakmampuan bertanggungjawab;
-
2. Metode psikologis, maksudnya meneliti tanda-tanda psikologis lalu tanda-tanda tersebut dinilai dan ditarik kesimpulan apakah seseorang tersebut dapat bertanggungjawab ataukah tidak;
-
3. Metode gabungan, ialah penggabungan dari kedua metode diatas.
Adapun 3 cara untuk mengetahui ketidakmampuan bertanggungjawab sebagai alasan penghapus pidana, yaitu :12
-
1. Menentukan penyebab penghapus pemidanaan.
Jika seorang ahli jiwa menyatakan terdakwa mengalami gannguan jiwa, maka Hakim seharusnya tidak boleh menyatakan bersalah dan menjatuhkan pidana. Hal ini dapat disebut sebagai sistem menyatakan.
-
2. Jenis penyakitnya tidak ditentukan tetapi hanya mengetahui akibat saja.
Hal yang terpenting apakah orang tersebut dapat menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan telah melanggar hukum. Sistem ini disebut sistem mempernilai.
-
3. Penggabungan no.1 dan 2
Peran ahli jiwa dan Hakim sangat diperlukan dalam hal ini. Ahli jiwa yang menentukan apakah adanya penyakit dalam diri terdakwa, sedangkan Hakim menilai hubungan gangguan jiwa yang dialami dengan perbuatan yang dilakukan.
Penentuan dapat atau tidaknya seseorang dimintai pertanggungjawaban pidana tergantung dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh ahli jiwa, maka Hakimlah yang menilai apakah keadaan kejiwaan yang dialami pelaku telah mempengaruhi perbuatannya ataukah tidak, setelah diketahui hal tersebut, barulah dapat ditentukan mengenai kemampuan bertanggungjawabnya.
Berdasarkan pemaparan materi di atas, ditarik kesimpulan bahwa penyebab seseorang tidak dapat dijatuhi pidana dikarenakan orang tersebut mengalami gangguan kejiwaan. Alasan-alasan penghapus pidana yang telah diatur dalam Pasal 44 KUHP tidak memberikan batasan keadaan seseorang yang tidak dapat dijatuhi pidana, akan tetapi berbeda halnya dalam Pasal 38 RUU KUHP yang telah disebutkan hal-hal pokoknya saja. Seseorang yang memiliki gangguan kejiwaan tidak dapat langsung dikatakan tidak mampu bertanggungjawab, sehingga haruslah diketahui kaitan antara gangguan jiwa yang diderita dengan perbuatan yang dilakukan pelaku, sehingga, perlu dilakukan pemeriksaan dari ahli jiwa dan tugas Hakim dalam memutuskan sangat diperlukan.
-
1. Seseorang mengalami gangguan jiwa ketika melakukan perbuatan yang melanggar hukum, harus adanya penilaian di semua tingkatan pemeriksaan. Tidak hanya ditingkat persidangan yang dinilai oleh Hakim, namun juga di tingkat penyidikan baik oleh kepolisian maupun oleh kejaksaan, sehingga dari awal sudah diketahui apakah perkara tersebut dapat dilanjutkan atau tidak.
-
2. Diharapkan di masa yang akan datang diatur peraturan yang mengatur pengawasan bagi orang-orang yang
mengalami gangguan jiwa agar tidak sampai melakukan tindakan yang dilarang oleh hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Chazawi, Adami, 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2 :
Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan, Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan, dan Ajaran Kausalitas, Rajawali Persada, Jakarta.
-
E. Utrecht, 2000, Hukum Pidana I, Pustaka Tirta Mas, Surabaya.
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.
Lamintang, 2003, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1996, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta.
Jurnal :
Anak Agung Ayu Sinta Paramita Sari Dan I Dewa Gede Atmadja, 2013, “Dasar Kualifikasi Curi Patologis (Kleptomania) Di Dalam Pertanggungjawaban Pidana”, Kertha Wicara,
Nomor 02, Volume 02, April 2013.
Peraturan Perundang-undangan :
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Internet :
Mei Amelia, 2016, “Polisi Mutilasi 2 Anaknya: Ini Brigadir Petrus, Polisi yang Tega Memutilasi Dua Anaknya”, detikNews, URL : https://news.detik.com/berita/3151837/ini-
brigadir-petrus-polisi-yang-tega-memutilasi-dua-anaknya, diakses tanggal 11 Oktober 2017, Pukul 21.00 WITA.
Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2013, http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/fil es/RUU%20KUHP_2013.pdf, diakses pada tanggal 25 April 2017.
13
Discussion and feedback