PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGUNA JASA PROSTITUSI ONLINE MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA
on
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGUNA JASA PROSTITUSI ONLINE MENURUT HUKUM POSITIF DI
INDONESIA∗
Oleh :
Ni Komang Ayu Gendis Saraswati∗∗ Made Subawa∗∗∗
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Pertanggungjawaban pidana pengguna jasa prostitusi online belum berlaku efektif dalam menjerat dan menanggulangi prostitusi online di Indonesia. Apabila tidak ada pengaturan hukum positif yang mengatur tentang hal tersebut, maka para pengguna jasa prostitusi online akan merasa aman dan tetap leluasa membeli jasa untuk kepuasan mereka semata. Secara konkrit masalah yang diangkat dalam penulisan ini yaitu bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna jasa prostitusi online di Indonesia serta bagaimana pembaharuan hukum pidana terhadap pengguna jasa prostitusi online di Indonesia. Tujuan penelitian untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana dan memahami mengenai pembaharuan hukum pidana terhadap pengguna jasa prostitusi online di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu dengan mengkaji atau menganalisis data yang sudah ada yang berupa bahan-bahan hukum primer, dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai prostitusi online di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum adanya ketentuan yang mengatur mengenai pidana kepada pengguna jasa prostitusi online menyebabkan tidak maksimalnya penanggulangan prostitusi online itu sendiri. Pertanggungjawaban pidana dalam hal ini sangatlah diperlukan pengaturan yang jelas dan tegas, oleh karena itu diperlukan pembaharuan hukum pidana terkait pertanggungjawaban pidana bagi para pengguna jasa prostitusi online di Indonesia.
Kata kunci :Prostitusi online, Pengguna Jasa, Pertanggungjawaban Pidana
∗Penulisan karya ilmiah yang berjudul Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Jasa Prostitusi Online Menurut Hukum Positif di Indonesia ini merupakan tulisan diluar skripsi.
∗∗Ni Komang Ayu Gendis Saraswati adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Email : ayu.gendissaraswati@yahoo.com.
∗∗∗Made Subawa Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana. Email: made_subawa@unud.ac.id.
ABSTRACT
The criminal liability of service users has not been effectived in ensnaring and tackling online prostitution. If there is no regulation of positive law governing this, then users of online prostitution services will feel safe and remain free to buy services for their satisfaction. Concretely the issues raised in this writing is how the criminal responsibility is for users of online prostitution services in Indonesia and how criminal law reforms to users of online prostitution services in Indonesia.The objective of this study is to know the criminal regulationsand to understand the criminal liability for users of online prostitution services. The method used in this study is normative research that is by reviewing or analyzing the existing in the form of primary legal materials, by understanding the law as a set of rules or positive norms in the legislation that regulates the prostitution online, as well as using secondary, and tertiary legal materials. The results that can be taken through this research there is no provisions that regul ate the criminal law for the users of online prostitution services causes not maximally countermeasures of the prostitution online itself. In this case, criminal liability is very necessary for clear and firmregulations. Therefore it is necessary to renew the criminal law related to criminal liability for the users of online prostitution services.
Keywords: Online Prostitution, Service User, Criminal Liability
Perkembangan keahlian teknologi dan informasi ini berimplikasi dalam perubahan sosial (social change) yang menuju atas penciptaan masyarakat modern. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Satjipto Raharjo, bahwa di kehidupan manusia banyak faktor yang dapat dikemukakan sebagai pemicu timbulnya suatu perubahan di dalam masyarakat namun di dalam perubahan pelaksanaan hasil-hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut sebagai salah satu alasan terjadinya perubahan sosial.1 Masalah
pekerja seks komersial di Indonesia sangat bertentangan dengan
norma hukum, khususnya norma agama, norma kesopanan dan norma kesusilaan.
Keberadaan tempat-tempat pekerja seks komersial di Indonesia kian hari bertambah pesat. Tidak hanya di tempat-tempat pekerja seks komersial saling bertemu namun juga pada media internet salah satunya seperti transaksi pekerja seks komersial. Seiring dengan perkembangan zaman prostitusi melalui internet para pelaku dan penikmat prostitusi semakin mudah untuk melakukan transaksi tersebut. Bermula dari perkenalan, saling tukar nomer telepon hingga ketahap kesepakatan harga. Seiring dengan banyaknya permintaan jasa pemuasan seksual bagi pengguna jasa pekerja seks komersial (PSK), pengguna jasa pekerja seks komersial menjadi titik terjadinya praktek prositusi.
Salah satu motif kejahatan yang akhir-akhir ini sedang ramai dan mengkhawatirkan orang banyak yaitu prostitusi online. Dimana pada prostitusi online tersebut melibatkan beberapa pihak antara lain penyedia jasa, pengguna jasa dan pekerja seks komersial (PSK). Meskipun pada dasarnya bentuk kejahatan ini sudah pernah diatur pada UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Traksaksi Elektronik, tetapi hal itu kurang maksimal disebabkan karena mudahnya akses internet serta penegakan hukum yang kurang efektif karena dengan gampangnya akses menuju dunia teknologi informatika maka kejahatan cybercrime jelas demi mudahnya dilakukan, salah satunya yaitu prostitusi online.
Pemerintah Indonesia tidak tegas dalam melarang adanya praktek-praktek pekerja seks komersial. Perbuatan tidak ketegasan oleh pemerintah ini bisa dilihat pada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Pasal yang tertera pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengatur tentang mereka yang membantu serta penyediaan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan hanya bagi mucikari saja, namun tidak untuk pengguna jasa pekerja seks komersial (PSK) karena tidak ada satu pasal pun dalam KUHP yang mengatur tentang pengguna jasa PSK tersebut, sehingga sangat diperlukan sebuah penelitian untuk mengkaji peraturan tentang pemakai jasa seks komersial secara online. Diperlukan adanya ketegasan hukum dalam hal prostitusi, disebabkan karena banyaknya korban dari kasus prostitusi dari usia dibawah umur ataupun dengan umur yang cukup dengan alasan adanya ancaman, keterpaksaan dan lain sebagainya.
Contoh kasus prostitusi online dilakukan oleh Robby Abbas (RA) yang tertangkap pada bulan Mei tahun 2015. Tersangka RA mengaku memiliki 200 pekerja seks komersial (PSK) yang siap ditawarkan kepada pengguna jasa prostitusi online. Sebagian dari PSK tersebut merupakan selebritis yang belum bersuami. Tarif pengguna jasa prostitusi online milik RA bervariasi, mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah. Hal ini disesuaikan dengan kondisi pekerja seks komersial yang dipesan. Tersangka RA sebagai pemilik bisnis prostitusi online memperoleh 20 persen dari setiap transaksi. RA telah menjalankan bisnis prostitusi online selama tiga tahun, menggunakan blackberry messenger (BBM) sebagai media untuk menawarkan PSK. Sementara polisi telah menyerahkan berkas kasus mucikari RA ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, mucikari RA dikenakan Pasal 296-506 KUHP tentang perbuatan pelacuran wanita dengan ancaman kurungan 1 tahun 4 bulan lamanya. Sedangkan para pengguna jasa prostitusi mucikari RA tidak akan tersentuh
hukum. Pasalnya Porles Metro Jakarta Selatan yang menangani kasus ini hanya pada kasus yang dilakukan mucikari RA. Sebelumnya pengguna jasa prostitusi tersebut diduga melibatkan kalangan pengusaha dan pejabat.2
-
1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna jasa prostitusi online di Indonesia?
-
2. Bagaimana pembaharuan hukum pidana terhadap pengguna jasa prostitusi online di indonesia?
Tujuan penelitian berupa pernyataan dari masalah yang dipertanyakan dalam rumusan.3 Adapun tujuan dari penelitian ini dibagi menjadi 2, tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu:
-
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna jasa prostitusi online di Indonesia.
-
b. Untuk mengetahui pembaharuan hukum pidana terhadap pengguna jasa prostitusi online di indonesia.
-
a. Untuk menganalisis mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna jasa prostitusi online di Indonesia.
-
b. Untuk menganalisis mengenai pembaharuan hukum pidana terhadap pengguna jasa prostitusi online di indonesia.
Penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif yaitu mengkaji melalui pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach), pendekatan kasus (The Case Approach ), pendekatan fakta ( The Fact Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conseptual Approach).4 Melalui metode kepustakaan yang di analisis dari bahan-bahan pustaka yang terkait permasalahnya diatas. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini bahan hukum sekunder, berupa buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa. Teknik pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ditelusuri menggunakan metode bola salju (snow ball method). Teknik analisis bahan hukum yang telah terkumpul digunakan teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berati uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.
-
2.2 Hasil dan Analisis
Mengenai prostitusi online dalam pengaturan Hukum positif yakni KUHP, UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Mengenai Pemidanaan yang diatur pada KUHP dan UU tersebut menerangkan pemidanaan kepada penyedia layanan saja. KUHP dan UU tersebut tidak ada yang diatur ketentuan pemidanaan
terkait pengguna jasa pada tindak pidana prostitusi online. Mengetahui penjelasan pasal pada KUHP, UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU Nomor 44 tahun 2008 Tentang Pornografi tidak ada berlaku khusus dalam menjerat serta mengatasi prostitusi bisnis online, mengenai pengguna jasa dalam prostitusi online sama sekali tidak ada yang mengaturnya, sehingga pengguna jasa prostitusi itu sendiri tidak bisa dijerat menurut hukum positif di Indonesia. Semestinya secara spesifik pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dapat menjerat subjek prostitusi itu secara keseluruhan.
Beberapa referensi mengenai pengguna jasa seks komersial di Indonesia adalah sebagai berikut,
-
1. Menurut KUHP
KUHP tidak ada pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengguna jasa seks komersial dan pekerja seks komersial itu sendiri. Dapat dilihat pada Pasal 296 serta Pasal 506 KUHP tidak ada ditujukan terhadap pengguna jasa seks komersial dan pekerja seks komersial, namun mengacu terhadap germo dan mucikari. KUHP sekarang ini sebenarnya sudah patutnya direvisi, karena dengan merevisi KUHP untuk memperkuat serta menerangkan semua tindakan yang bersifat kesusilaan.5
-
2. Menurut UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Seluruh pasal UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah direvisi tidak ada menyebutkan kata prostitusi. Hanya pada Pasal 27 yang memuat tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang, menyebut kata kesusilaan yang menyangkut untuk hal-hal yang terkandung pornografi. Beda halnya kesusilaan dengan prostitusi online. UU ini tidak menjelaskan terhadap sanksi pidana buat para pengguna jasa atas tindak pidana prostitusi online. Dan pelaku pengguna jasa seks komersial prostitusi online tidak dapat dijerat, maka UU ini tidak akurat digunakan bagi menangani permasalahan prostitusi yang kompleks.
-
3. Menurut UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi untuk diharapkan mampu membatasi materi seksualitas dalam tindak pidana prostitusi online tidak dapat menjerat pengguna jasa prostitusi online, UU ini hanya membatasi pihak-pihak yang dapat dikenakan adalah sanksi bagi pelaku penyedia jasa terdapat dalam Pasal 30, sanksi buat mendanai atau memfasilitasi pada Pasal 33, sanksi buat pekerja seks komersial pada Pasal 34, serta sanksi buat mucikari pada Pasal 35. Berdasarkan peraturan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tersebut dapat dikatakan bahwa belum adanya penjelasan yang secara pasti mengatur tentang pengguna jasa seks komersial sehingga bila ini dibiarkan begitu saja maka
akan mengakibatkan semakin maraknya prostitusi online di Indonesia tidak hanya berdampak bagi pelaku semata juga berdampak bagi lingkungan sekitar.
Mengingatkan kembali bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu prinsip yang mendasar di dalam hukum pidana, atau yang lebih sering dikenal seperti asas “geen straf zonder schuld” (tidak ada pidana tanpa kesalahan). Tetapi, apabila pertanggungjawaban pidana tanpa adanya kesalahan pada diri si pelaku tindak pidana maka disebut dengan leer van het materiele feit. Sedangkan dalam KUHP tidak memberikan sebuah penjelasan mengenai apa yang dimaksud asas “geen straf zonder schuld”, akan tetapi asas ini dapat dikatakan sebagai asas yang tidak tertulis serta berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, dalam sebuah pertanggungjawaban pidana terdapat dua diperhatikan, yakni tindak pidana (daad strafrecht), pelaku tindak pidana (dader straftrecht).6
Ketentuan hukum positif yang ada di Indonesia hanya bisa mengenakan pertanggungjawaban pidana pada mereka yang membantu serta penyedia pelayanan seks secara illegal, artinya pertanggungjawaban pidana hanya diberikan untuk mucikari atau germo, serta pekerja seks komersial sebaliknya tidak ada pasal yang diaturnya pengguna jasa seks komersial. Dalam pelaksanaannya, penanggulangan prostitusi lebih banyak dilakukan dengan menertibkan dan menangkap wanita pekerja seks komersial yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, sedangkan laki-laki
pengguna jasa seks komersialnya jarang ditangkap bahkan tidak pernah ditangkap atau luput dari perhatian aparat penegak hukum.
Pemerintah Indonesia tidak secara tegas melarang adanya praktek prostitusi, karena pengaturan mengenai tindak pidana prostitusi online tidak mengatur ketentuan mengenai sanksi pidana bagi pengguna jasa seks komersial, sehingga pengguna jasa prostitusi online tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dan mereka yang menggunakan jasa pekerja seks komersial pun dapat dengan leluasa tanpa takut terjerat sanksi hukum pidana. Melihat dari berbagai penjelasan pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, serta UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak berlaku spesifik pada menjerat serta menanggulangi bisnis prostitusi online, tidak ada yang mengatur mengenai pengguna jasa pada prostitusi online, maka pengguna jasa prostitusi itu tidak bisa dikenakan pertanggungjawaban secara pidana serta dijerat berlandaskan hukum positif di Indonesia. Semestinya secara spesifik pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dapat dijerat subjek prostitusi itu secara semuanya. Pengguna jasa prostitusi online pada dasarnya merupakan orang normal dan mampu bertanggungjawab. Pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna jasa prostitusi dirasa perlu analisis yang mendalam dan hukum positif belum memadai untuk itu. Pembahasan mengenai aturan pidana telah memberi peringatan kepada para pembuat undang-undang terkait pengaturan yang belum ada dan dimungkinkan akan ada untuk kemudian berlaku nasional.
Analisis pertanggungjawaban pidana dalam teori menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana hanya bisa berlaku jika sebelumnya seseorang sudah pernah melakukan tindak pidana. Yang dikatakan Moeljatno “orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana”.7 Artinya, pertanggungjawaban pidana hanya akan berlaku jika sebelumnya sudah pernah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Dalam konteks perundangan juga dikatakan bahwa ada tidaknya pidana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, yang di interpretasikan bahwa tidak ada pertanggungjawaban pidana tanpa aturan hukum yang mengaturnya terlebih dahulu.8 Terhadap pengguna jasa prostitusi tidak dapat dipidana karena unsur-unsur tersebut di atas telah menjabarkan kelemahan hukum pidana dewasa ini. Kemudian dalam pemikiran hukum yang akan datang atau ius constituendum : hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup serta negara, tetapi belum sebagai kaidah berbentuk undang-undang atau peraturan lain, yaitu RKUHP tahun 2015 belum mengatur perihal pidana terhadap mereka.
Bab XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan RKUHP tahun 2015 tersebut belum mengaturnya. Pemikiran tentang perlunya aturan yang mengatur gejala sosial terhadap prostitusi khususnya bagi para pengguna jasanya ialah dasar yang kuat karena tindakan tersebut telah lumrah terjadi dan merupakan suatu fenomena keterpurukan bagi masyarakat banyak dan hukum khususnya pidana, diharapkan mengatur hal tersebut. Bagaimana transaksi
prostitusi online bisa terjadi karena pihak pengguna. Meskipun pihak lain itu tentu juga diberikan dorongan maka praktek prostitusi terjadi. Tetapi yang menjadi target ini pihak pengguna jasa bagi forum prostitusi online atau pemilik website untuk digunakan jasa PSK darinya.
III PENUTUP
-
1. Perilaku buruk dalam masyarakat yaitu penggunaan jasa prostitusi yang terus menerus secara signifikan bertumbuh dan berkembang akan mengakibatkan buruknya citra bangsa, demikian dengan para penegaknya yang terlihat tidak dapat berbuat apa-apa karena terhalang oleh belum adanya aturan yang mengatur mengenai pidana kepada para pengguna jasa prostitusi karena KUHP sampai saat ini belum mengatur secara tegas serta jelas mengenai pengguna jasa prostitusi. Pengaturan tindak pidana pengguna jasa terkait prostitusi online menurut hukum positif di Indonesia belum spesifik diberlakukan untuk menjerat serta ditanggulangi bisnis prostitusi online, sebab terkait pengguna jasa pada online prostitusi tidak ada diatur, pengguna jasa prostitusi sehingga tidak bisa dijerat berlandaskan hukum positif di Indonesia.
-
2. Apabila tidak ada hukum positif yang mengatur maka para pengguna jasa prostitusi akan merasa aman dan tetap leluasa membeli jasa untuk kepuasan mereka semata, sementara hal tersebut bertentangan dengan berbagai aspek norma terutama norma hukum dalam masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan pembaharuan hukum pidana, terkait pertanggungjawaban pidana bagi para pengguna jasa prostitusi.
-
1. Seharusnya pengguna jasa dalam tindak pidana prostitusi online juga diatur dalam hukum positif yang ada di Indonesia, mengatur seluruh subyek yang berhubungan dengan tindak pidana prostitusi online merevisi atau membentuk undang-undang baru mengenai prostitusi.
-
2. Perlu dilakukan pengkajian mendalam sehingga hukum pidana dapat menjangkau kejahatan prostitusi online yang dilaksanakan di dunia maya. Hal ini berarti diperlukan perluasan penafsiran sekaligus pembahasan mengenai perbandingan pertanggungjawaban pidana pada pelaku tindak pidana prostitusi online yang dapat menjangkau kegiatan di cyberspace dalam RKUHP tahun 2015 yang akan menjadi ketentuan hukum positif.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Aquinas, Thomas, 2005, Prostitution and Society, Grafika Persada, Surabaya.
Bunga, Dewi, 2012, Cyber Prostitusi, University Udayana Press, Denpasar.
Huda, Chairul, 2011, dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenedia Media Group Jakarta.
Mahmud Marzuki, Peter, 2014, Penelitian Hukum, Prenada Media Group Jakarta.
Moeljatno, 1987, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
Sugiato, Eko, 2015, Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif: Skripsi dan Tesis, Suaka Media, Yogyakarta.
Karya Ilmiah
Yanto, Oksidelfa, 2016, Prostitusi Online Sebagai Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak: Telah Hukum Islam dan Hukum Positif, Fakultas Hukum, Universitas Pamulang. Vol. XVI, No.2 Juli 2016.
Internet
http://bali.tribunnews.com/2015/06/06/pengguna-jasa-prostitusi-online-mucikari-ra-tak-tersentuh-hukum, diakses pada tanggal 4 Juli 2018.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
14
Discussion and feedback