TINJAUAN YURIDIS URGENSI KEBIJAKAN CONJUGAL VISIT SEBAGAI PEMENUHAN HAK BAGI NARAPIDANA
on
TINJAUAN YURIDIS URGENSI KEBIJAKAN CONJUGAL VISIT SEBAGAI PEMENUHAN HAK BAGI NARAPIDANA*
Oleh:
Ni Nyoman Ome Tania Langden**,
I Nengah Suantra***
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Jurnal ini membahas mengenai kebijakan conjugal visit yang belum diterapkan di Indonesia dan tidak memiliki landasan hukum. Conjugal visit atau ‘kunjungan biologis’ merupakan kunjungan intim legal secara periodik yang menjadi hak seorang narapidana dengan pasangan resminya. Kebutuhan seks merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tidak dapat dipenjarakan, meskipun ide pemasyarakatan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat banyak sekali penyimpangan yang terjadi dibalik tembok penjara. Adapun penyimpangan yang terjadi dalam beragam bentuk, salah satunya yaitu penyimpangan seksual.
Kemudian timbul pertanyaan seperti apakah conjugal visit perlu diadakan di dalam lembaga pemasyarakatan di Indonesia dalam rangka pemenuhan hak bagi narapidana, dan bagaimanakah urgensi pengaturan mengenai conjugal visit di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan yuridis normatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu studi pustaka. Disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.
Adapun hasil penelitian menemukan bahwa conjugal visit merupakan suatu hal yang urgensi untuk diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai pemenuhan hak bagi narapidana.
Kata Kunci: conjugal visit, narapidana, lembaga pemasyarakatan
ABSTRACT
This journal has discussed about conjugal visit policy that has not been applied yet in Indonesia and does not have legal constitution. Conjugal visit as known as a schedule period which an inmate of a prison or jail is permitted to spend several hours or days in private with a visitor, usually their legal spouse. The needs of sex is one of the human needs that cannot be imprisoned. That is why the prisoners frequently perform a sexual deviation in penitentiary to fulfill their sexual desire. The result of this research suggest conjugal visit to be applied in the prison as compliance of the prisoners’ rights.
Then some questions appeared such as do Indonesia need to apply conjugal visitfor the rights of prisoners, and how urgent is it? This research use qualitative method also called as a collective datas because more source is came from books.
The result found that Indonesia has so many problems about the rights of prisoners being abandoned, biological needs be a part of it. That’s why Indonesia urgently needs to apply conjugal visit to fullfil the rights of prisoners.
Keywords: conjugal visit, prisoners, penitentiary
Perhatian akan hukum merupakan suatu pembicaraan mengenai hubungan antar manusia yang menuntut adanya suatu keadilan. Pembicaraan akan hukum tidaklah hanya sampai pada wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal akan tetapi perlu juga dilihat sebagai ekspresi dari angan-angan keadilan masyarakatnya.1
Penjara atau yang merupakan istilah sebelum mengenal lembaga pemasyarakatan, pada masa lalu merupakan suatu
tempat yang dijadikan untuk menghukum orang-orang dengan cara yang tidak manusiawi seperti penyiksaan, mutilasi, dieksekusi gantung atau dibakar. Pada masa itu, penjara dijadikan model penghukuman yang secara antusias dikenalkan sebagai pengganti hukuman fisik yang dipandang tidak manusiawi.
Barda Nawawi Arief mengungkapkan bahwa pidana penjara tidaklah hanya merampas kemerdekaan seserorang, akan tetapi juga menimbulkan akibat-akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Salah satu akibat negatif tersebut antara lain terampasnya kehidupan seksual yang normal dari seseorang, sehingga tidak jarang masalah seperti homoseksual dan masturbasi di kalangan terpidana seringkali terjadi.2
Kemudian terjadi pergeseran paradigma dari konsep pemenjaraan yang menekankan unsur balas dendam menjadi sistem pemasyarakatan yang diperkenalkan oleh Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 yang kemudian dijadikan pedoman dasar bagi pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.3
Adapun lembaga pemasyarakatan yang dikenal sampai saat ini merupakan suatu wadah dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan bagi narapidana sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Namun, meskipun ide pemasyarakatan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat banyak sekali penyimpangan yang terjadi dibalik tembok penjara. Adapun penyimpangan yang terjadi dalam beragam bentuk, salah satunya
yaitu penyimpangan seksual, di mana penyaluran hasrat seksual dilakukan dengan cara yang dikenal dengan “homobo’olabui4” (homoseksual), “pelacur” (homo), “eentogan/wartil” (hubungan seksual di dalam Lapas tanpa ijin), “memerian” (hubungan seksual di Luar Lapas tanpa ijin).5
Permasalahan pemenuhan kebutuhan biologis yang semestinya merupakan hak bagi narapidana, dijadikan ajang mengumpulkan pundi-pundi rupiah bagi sejumlah orang yang tidak bertanggungjawab yang diketahui merupakan orang dalam yang bertugas. Seperti salah satu berita yang menyiarkan pengakuan seorang istri narapidana yang pernah berkunjung dan membayar fasilitas suatu ruangan untuk melakukan hubungan seksual yang disediakan oleh petugas dengan membayar sejumlah uang.6
Kebutuhan biologis (seksual) merupakan kebutuhan primer yang sama halnya dengan kebutuhan akan makanan. Narapidana merupakan seorang manusia yang memiliki hak untuk dipenuhi kebutuhan biologisnya. Dalam hal ini dibutuhkan dukungan penuh dari pemerintah dalam pengadaan kebijakan dan fasilitas khusus untuk pemenuhan kebutuhan biologis para narapidana seperti yang telah diterapkan oleh negara-negara lain yaitu conjugal visit.
Secara harfiah, conjugal visit adalah: an opportunity for phsycal contact granted to a prisoner and the prisoner’s spouse, usually in the form of an overnight stay at the prison. Beberapa negara yang
menerapkan conjugal visit adalah Amerika Serikat, Australia, Brazil, Canada, Denmark, Jerman, Irlandia, Meksiko, New Zealand, Ruia, Spanyol, Inggris, dan Saudi Arabia. Dapat dikatakan conjugal visit merupakan suatu hal yang cukup urgensi untuk dituangkan ke dalam suatu kebijakan dalam rangka mengurangi perilaku menyimpang terkait seksualitas di dalam penjara.7
-
1. Apakah conjugal visit merupakan bagian dari pemenuhan hak bagi narapidana?
-
2. Bagaimanakah urgensi kebijakan conjugal visit bagi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia?
Dalam penelitian metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Soekanto dan Sri Mamudji dalam bukunya yang bertajuk ‘Penelitian Hukum Normatif’ disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.8 Adapun pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan atau yang dikenal dengan istilah The Statue Approach yang merupakan kajian terhadap undang-undang yang kemudian dikaitkan dengan topik pembahasan.
Dalam penulisan jurnal hukum ini termasuk kedalam jenis penelitian yuridis normatif. Ditulis berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori hukum yang ada serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian mengenai conjugal visit yang belum ada payung hukumnya sebagai salah satu pemenuhan hak narapidana.
Sifat penelitian dalam penelitian ini yaitu bersifat deskriptif atau penggambaran. Penelitian ini berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa atau masalah aktual yang terjadi saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran, dan lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenal fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.
Semua orang dinyatakan sama dihadapan hukum dan berhak mendapatkan perlindungan yang sama tanpa adanya diskriminasi. Hal ini tercantum pada Pasal 7 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia9, yang dimana memberikan dasar perlindungan juga terhadap narapidana sebagai seorang manusia.
Indonesia yang mengakui instrumen Internasional ‘The Standard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners’ selanjutnya disingkat SMR tahun 1957 mengatur hak-hak
narapidana yang kemudian berbagai ketentuan dalam SMR tersebut diimplementasikan ke dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,10 terkait hak-hak narapidana diatur dalam Pasal 14.
Dalam SMR mengatur pula pentingnya hubungan sosial bagi para narapidana pada Pasal 79, yang menyatakan bahwa seorang narapidana perlu mendapat perhatian khusus dalam pemeliharaan dan peningkatan hubungan sebagaimana yang diinginkan dalam kepentingan terbaik dengan keluarganya.11 Maka, penyediaan fasilitas conjugal visit dalam Lembaga Pemasyarakatan juga merupakan salah satu hak yang diperlukan narapidana sebagai pemeliharaan dan peningkatan hubunga dengan pasangan sahnya, disamping memenuhi hasrat seksualnya dan menghindari penyimpangan seksualitas yang rentan dialami narapidana dalam penjara.
Apabila pemerintah menutup mata akan perilaku seksual narapidana yang kerap terjadi maka dikhawatirkan akan berdampak pada kesehatan narapidana secara signifikan. Penyakit seperti HIV/AIDS, gangguan reproduksi dan penyakit kelamin menular lainnya akan meningkat apabila narapidana tidak mengatur pola perilaku seksualnya selama di dalam penjara.
Melihat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam Pasal 72 bagian a dikatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kehidupan reproduksi dan seksual
yang sehat, aman, tanpa paksaan dengan pasangan yang sah. Selanjutnya diatur dalam Pasal 73, Pemerintah diwajibkan untuk menyediakan sarana informasi dan pelayanan terkait akan hal tersebut. Maka, demi menjaga kesehatan narapidana agar terhindar dari penyakit yang diakibatkan dari penyimpangan seksual, narapidana yang juga merupakan seorang warga negara berhak mendapatkan fasilitas berupa sarana untuk melampiaskan hasrat seksualnya dengan cara yang baik dan benar, tentunya dengan pasangan yang sah.
Selanjutnya dalam Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pasal 12 angka 1 dinyatakan bahwa negara pihak konvenan ini mengakui hak setiap orang dalam menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental. Konsekuensinya, pasal tersebut menghendaki adanya pencapaian pencapaian proporsional yang didasarkan pada standar kesehatan suatu negara. Tentunya aturan terkait pemenuhan kebutuhan biologis bagi narapidana merupakan turunan langsung dari hak atas kesehatan dan kehidupan yang layak, melihat permasalahan yang terjadi pada Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.12
Seks merupakan salah satu faktor yang penting dalam hubungan perkawinan, hal ini disebutkan dalam A Marriage Manual. Secara langsung maupun tidak langsung hal tersebut juga memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek dalam hubungan berumah tangga antara suami istri.13
Selanjutnya dalam Pasal 17 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa tidak ada seorang pun secara
sewenang-wenang atau tidak sah dicampuri urusan pribadinya, keluarga, atau diserang kehormatan dan nama baiknya. Kemudian pada Pasal 10 dinyatakan bahwa setiap orang yang dirampas kemerdekaannya, wajib untuk diperlakukan secara manusiawi dengan tetap mempertahankan harkat dan martabat yang melekat pada dirinya sebagai manusia. Apabila melihat pasal 4 ayat 2 dalam konvenan tersebut, hak-hak dalam pasal 10 dan 17 tersebut adalah hak sipil individu yang dapat dikurangi dengan dasar hukum yang sah menurut Kovenan.
Berangkat dari pemahaman pasal-pasal tersebut, kebutuhan biologis sebagai salah satu hak atas masalah pribadi, keluarga, dan hak atas perlakuan manusiawi, dalam konteks seorang narapidana yang sedang menjalani masa tahanan memang dapat dibatasi atau dikurangi oleh negara. Namun tetap diperlukan derajat proporsionalitas terhadap pembatasan tersebut. Prinsip proporsionalitas yang seharusnya dipakai dalam hal ini adalah di satu sisi pertimbangan perlindungan hak individu dan di sisi lain ketertiban publik. Demikian merupakan tugas bagi negara untuk menerapkan fungsi pemasyarakatan di satu sisi namun di sisi lain tetap berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia.
Kebutuhan biologis merupakan unsur penting dalam wujud sebagai hak atas masalah pribadi dan keluarga. Pemenuhan kebutuhan biologis bagi narapidana merupakan implementasi dari hak-hak sipil tersebut dan negara wajib melindungi dan memenuhinya secara proporsional.
Pada prinsipnya penjatuhan pidana hanya merenggut kemerdekaan seseorang, bukanlah merupakan tindakan balas dendam, dalam arti tidak ada penyiksaan yang berupa tindakan,
ucapan, maupun penempatan terpidana.14 Dengan merealisasikan program conjugal visit merupakan salah satu tindakan memberikan perawatan yang tidak menyiksa.
Hasrat seseorang untuk berhubungan seksual tidak dapat “dipenjarakan”, dikatakan oleh Benjamin Karpman bahwa dorongan seksual merupakan hal yang sangat dasar dan naluriah dan tidak dapat terhenti oleh karena penahanan (kurungan penjara). Tahanan berusaha mengontrol sejak awal dipenjara untuk mempertahankan heteroseksualitasnya. Kunjungan dari anggota keluarga sering dapat meredakan ketengangan.15
Sampai pada saat ini belum ada kebijakan yang mengatur mengenai pemenuhan hak narapidana akan kebutuhan seksual mereka. Kebutuhan pemenuhan kebutuhan seksual tersebut dalam lembaga pemasyarakatan masih terhambat, dimana hal ini tentunya akan menimbulkan kegelisahan bagi narapidana. Sehingga, hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan berupa seks sesama jenis. Sebuah hasil penelitian di penjara New Jersey yang dilakukan oleh Gresham M. Sykes mengidentifikasikan 35% narapidana terlibat dalam perilaku homoseksual.16 Hal tersebut bahkan terjadi hampir di setiap lembaga pemasyarakatan di dunia, salah satunya indonesia, dalam hal ini mendesak adanya kebijakan untuk mengatur
conjugal visit sebagai alternatif untuk mengurangi permasalahan akan kebutuhan seksual narapidana tersebut.
Penyimpangan terhadap objek seksual yang sering terjadi di dalam penjara bukanlah satu-satunya yang menjadi masalah, akan tetapi cara memperoleh pemenuhan kebutuhan seksualnya juga mengalami penyimpangan. Seperti yang telah disinggung pada pendahuluan bahwa demi memperoleh pemenuhan kebutuhan seksual tersebut dikarenakan tidak adanya kebijakan yang mengatur hal tersebut, tidak jarang terjadi bisnis seks di dalam penjara yang melibatkan oknum petugas dalam hal tersebut. Selain itu pelecehan seksual juga tidak jarang terjadi dalam lapas.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, secara normatif negara seyogyanya tidak mengabaikan kebutuhan biologis narapidana karena secara psikologis kebutuhan biologis merupakan kebutuhan dasar manusia yang telah dewasa. Tidak adanya regulasi akan kebutuhan tersebut mengindikasian negara mengingkari adanya kebutuhan dasar tersebut, sehingga diperlukan kebijakan untuk memfasilitasi kebutuhan dan perilaku seksual narapidana.
Apabila kembali melihat definisi dari sistem pemasyarakatan menurut undang-undang pemasyarakatan disebutkan pembinaan narapidana adalah untuk meningkatkan kualitasnya agar menyadari kesalahannya, dapat memperbaiki dirinya, serta tidak mengulangi perbuatannya agar dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Dari definisi tersebut dapat terlihat bahwa keharmonisan hubungan antara narapidana, keluarga, dan petugas di lembaga pemasyarakatan menjadi salah satu faktor penentu efektivitas reintegrasi narapidana untuk kembali ke masyarakat.
Negara-negara lain yang memberikan fasilitas conjugal visit antara lain adalah Denmark, Belanda, dan Swedia. Di negara tersebut, conjugal visit diberikan dalam bentuk mengijinkan narapidana untuk dikunjungi suami/isteri/pasangannya dalam waktu tiga jam. Pasangan tersebut menghabiskan waktunya dalam suatu ruangan khusus yang terdiri dari tempat tidur, kamar mandi, dan fasilitas lain. Di salah satu negara bagian Amerika Serikat yaitu California, conjugal visit diberikan kepada narapidana yang memiliki suami/ isteri untuk berkunjung secara pribadi dan melakukan hubungan seksual. Di Pakistan, ijin diberikan kepada narapidana pria untuk dikunjungi istrinya dalam waktu sebulan dua kali selama satu malam. Negara lain yang juga memberikan fasilitas conjugal visit ini antara lain adalah Australia, Brazil, Prancis, Thailand, dan Saudi Arabia, yang masingmasing mempunyai aturan dalam menerapkan conjugal visit tersebut. Di beberapa negara maju, conjugal visit bahkan dapat dijadikan reward bagi narapidana yang berkelakuan baik selama masa hukuman.17
Memang permasalahan yang dialami lembaga pemasyarakatan bukanlah hanya sebatas kebutuhan biologis narapidana. Akan tetapi ada permasalahan kelebihan kapasitas (overcrowded) yang menjadi prioritas saat ini. Namun bukan berarti pemerintah bisa menutup mata bahkan memandang sebelah mata akan permasalahan ini. Karena dikahwatirkan akan menimbulkan atau bahkan menambah permasalahan lain yang lebih rumit di dalam lembaga pemasyarakatan.
Selain itu pilihan akan pembuatan kebijakan dan pembangunan mengenai conjugal visit memang membutuhkan
sumber daya manusia dan dana yang terbilang tidak sedikit, akan tetapi demi terwujudnya pembinaan dan perlakuan yang manusiawi terhadap narapidana, dengan tujuan agar mereka dapat diterima kembali ke keluarga dan ke masyarakat serta menciptakan perbaikan diri bagi narapidana, maka kebijakan mengenai conjugal visit seyogyanya dapat terwujudkan.
Kebutuhan biologis (seksual) merupakan kebutuhan primer manusia yang sama halnya dengan kebutuhan akan makanan. Berdasarkan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan disebutkan di dalamnya setiap orang berhak mendapatkan kehidupan reproduksi dan seksual yang sehat, aman, tanpa paksaan, dengan pasangan yang sah. Kemudian diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 pemerintah diwajibkan untuk menyediakan sarana dan informasi terkait hal tersebut. Maka, dalam hal ini narapidana merupakan bagian dari redaksi kata ‘setiap orang’ dan berhak akan pemenuhan kebutuhan biologis atau seksual. Terkait hak-hak narapidana terkait kebutuhan seksual juga diakui dalam instrumen internasional seperti di dalam Standard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners’, dan International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights. Maka penyediaan conjugal visit merupakan salah satu alternatif yang baik bagi pemenuhan hak narapidana.
Agar sekiranya pemerintah melakukan kajian yang lebih mendalam dan menyeluruh mengenai dampak buruk yang menimpa narapidana jika bentuk-bentuk pemnyimpangan seksual
dalam Lembaga Pemasyarakatan terus dibiarkan dan tidak difasilitasi. Pemberian fasilitas conjugal visit bukanlah semata-mata merupakan hak asasi manusia bagi narapidana namun juga merupakan perilaku memanusiakan manusia dan penghapusan diskriminasi. Penerapan conjugal visit dapat dilakukan dengan melihat contoh dari negara lain yang telah berhasil menerapkan program tersebut namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai yang berlaku di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
-
A. Josias Simon R dan Thomas Sunaryo. 2011. Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Bandung: CV Lubuk Agung.
Gerson W. Bawengan. 1991. Pengantar Psikologi Kriminil. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Petrus Irwan Panjaitan dan Chairijah. 2009. Pidana Penjara Dalam Perspektif Penegak Hukum, Masyarakat Dan Narapidana. Jakarta: CV Indhil Co.
Priyanto Dwija. 2009. Sistem Pelaksanaan Penjara di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.
Rahardjo Satjipto. 1996. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soekanto dan Sri Mamudji. 2003. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tijauan Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
JURNAL
Harison Citrawan, Seksualitas dalam Penjara: Studi Tentang Kebutuhan Biologis Narapidana dari Perspektif Hak Asasi Manusia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia, Vol. 16 No.1, April 2013.
Benjamin Karpman, Sex Life in Prison, Journal of Criminal Law and Criminology (1931-1951), Vol.38, No.5. (Januari-Februari
1948)
INTERNET
Bangkapos.com. 2017. Wanita Ini Beber Cara Bercinta dengan Suaminya di Lapas, Ada Bilik Asmara Tapi Bayarnya Segini. http://bangka.tribunnews.com/2017/12/08/wanita-ini-beber-cara-bercinta-dengan-suaminya-di-lapas-ada-bilik-asmara-tapi-bayarnya-segini?page=all., diakses pada Sabtu 12 Mei 2018, pukul 18:00 WITA.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia. 1995. Undang-undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Lembaran Negara RI Tahun 1995 NOMOR 77. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 2009. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 144. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM.
15
Discussion and feedback