PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM

Oleh:

Ni Ketut Ayu SuwandewiMade Nurmawati∗∗

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Cita masyarakat secara umum mengharapkan kondisi anak yang hidup layak, sejahtera, bahagia dan terlindungi namun pada kenyataannya, banyak anak yang berkonflik dengan hukum. Rumusan kenakalan anak yang berupa tindak pidana, yang mana apabila dilakukan oleh orang dewasa disebut sebagai kejahatan atau pelanggaran hukum, namun pada anak disebut sebagai Juvenile Delinquency. Hak anak untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan diatur di dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan tonggak awal pengaturan perlindungan anak di Indonesia. Prinsip keadilan bagi anak yang berkonflik dengan hukum yaitu pelayanan dan perlindungan secara optimal yang diterima oleh anak dalam sistem peradilan maupun proses hukum. Permasalahan yang dibahas pada jurnal ini adalah disharmonisasi ketentuan yuridis tentang batasan usia anak dan perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang didasarkan pada pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukan bahwa disharmonisasi pengertian anak memberikan dampak ketidakpastian hukum. Pengaturan perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat berupa perlakuan khusus pada hukum acara, ancaman pidananya yang berbeda dengan orang dewasa, pemenuhan hak anak serta mengutamakan keadilan restoratif berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Kata Kunci: Disharmonisasi, Perlindungan Hukum, Anak, Pidana, Berkonflik dengan hukum.

  • *Ni Ketut Ayu Suwandewi, adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, korespondensi: [email protected].

  • **Made Nurmawati, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.

ABSTRACT

The ideals of society generally expect the condition of a child who lives worthy, prosperous, happy and protected but in reality, many children are in conflict with the law. The formulation of juvenile delinquency in the form of a criminal offense, which if committed by an adult is referred to as a crime or a violation of law, but the child is referred to as Juvenile Delinquency. The right of the child to obtain justice and protection is regulated in Article 28 B Paragraph (2) of the 1945 Constitution of the State of the Republic of Indonesia which is an early milestone in the regulation of child protection in Indonesia. The principle of justice for children in conflict with the law is optimal service and protection received by children in the judicial system and legal process. The issues discussed in this journal are the disharmony of juridical provisions on the age limit of children and legal protection of children in conflict with the law. The research method used is normative legal research method based on the approach of legislation and conceptual approach. The results showed that the disharmonization of children's understanding gives the effect of legal uncertainty. Legal protection arrangements for children in conflict with the law may be in the form of special treatment of procedural law, different criminal penalties from adults, the fulfillment of children's rights and prioritizing restorative justice based on Law Number 23 Year 2002 regarding Child Protection as amended into Law Number 35 of 2014 and Law Number 11 Year 2012 on the Criminal Justice System of Children.

Key Words: Disharmonization, Legal Protection, Criminal, Conflict of law.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Anak merupakan hal yang penting untuk dibahas sebab anak ialah generasi penerus serta penentu masa depan bangsa sekaligus cermin sikap hidup pada masa mendatang. Perlindungan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak, agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. 1 Perkembangan pada anak meliputi fungsi jasmaniah, serta perkembangan intelektual berlangsung sangat intensif sehingga membawa perubahan pada sikap dan tindakan ke arah yang lebih agresif, hal ini yang menyebabkan rentannya perilaku kenakalan pada anak.2 Kenakalan anak ini berasal dari istilah asing yaitu Juvenile Delinquency yang berarti bahwa suatu tindakan melanggar norma, yang meliputi norma hukum dan norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak. 3

Pertanggungjawaban pidana pada pelaku tindak pidana secara umum dibedakan berdasarkan usia, yang mengakibatkan proses peradilan serta beban pertanggungjawaban pidana pada anak dan orang dewasa sangat berbeda. Batasan tentang usia anak dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak selalu sama.4 Pengertian anak dalam berbagai ketentuan yuridis di Indonesia sangat beragam, baik yang mengatur mengenai

batasan minimal hingga maksimal, tetapi sebagian besar peraturan menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM), menegaskan pengertian anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya. Pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Konteks anak yang berkonflik dengan hukum sangat penting mengkualifikasikan antara pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang dibedakan dengan orang dewasa, hal ini dikarenakan semua perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan, namun bagi anak-anak merupakan delinquency. 5 Delinquency merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan dan norma yang dilakukan oleh anak apabila dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan. Penentuan batasan usia anak didasarkan pada pertimbangan dari aspek sosiologis, psikologis dan pedagogis anak.6

Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Anak), telah memberikan batasan mengenai anak nakal yaitu anak yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang usianya 12 tahun sampai 18 tahun dan belum kawin.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA) telah menggantikan Undang-Undang Pengadilan Anak yang mengakibatkan penentuan status anak hanya ditentukan oleh usia, sehingga meskipun seseorang sudah kawin dan bahkan mempunyai anak, sepanjang usianya belum mencapai usia 18 tahun maka akan tetap dianggap anak. Tentunya hal ini berbeda dengan Pasal 1 angka 5 UU HAM yang menggunakan 2 persyaratan untuk menentukan status anak yaitu usia dan status perkawinan. Penegakan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum cenderung membawa anak pada sistem peradilan pidana anak.

Berdasarkan hal tersebut, maka judul yang diangkat dalam jurnal ilmiah ini adalah “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM ”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, rumusan masalah yang diangkat yaitu bagaimanakah disharmonisasi ketentuan yuridis tentang batasan usia anak dan perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum ditinjau dari UU Perlindungan Anak dan UU SPPA ?

  • 1.3    Tujuan

Tujuan penulisan jurnal ilmiah ini dimaksudkan untuk lebih memahami disharmonisasi ketentuan yuridis tentang batasan pengertian anak yang berdampak pada perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana dan mekanisme perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum ditinjau dari UU Perlindungan Anak dan UU SPPA.

  • II.    ISI

    • 2.1    Metode Penelitian

      2.1.1    Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ini adalah metode penelitian hukum normatif. Adapun metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.7 2.1.2 Jenis Pendekatan

Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan yang meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan konseptual melihat dari doktrin atau pandangan yang berkembang di dalam ilmu hukum.8 2.1.3 Bahan Hukum

Berikut bahan hukum yang dipergunakan dalam jurnal ilmiah ini yaitu :

  • 1.    Bahan hukum primer yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

  • 2.    Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, adalah rancangan peraturan perundang-undangan, hasil karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian.9

  • 3.    Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan informasi mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia.

  • 2.1.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Jurnal yang menggunakan penelitian hukum normatif yaitu dengan cara mengumpulkan sumber data sekunder di bidang hukum yang di pandang dari sudut kekuatan mengikatnya, kemudian mengkaji dan melakukan penafsiran hukum terhadap peraturan perundang-undangan, dengan mengumpulkan pembahasan dalam buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang sudah di teliti untuk kemudian dikutip bagian-bagian yang penting, serta menyusunnya secara sistematis. 2.1.5 Teknik Pengolahan Bahan Hukum

Pada metode penelitian normatif digunakan berbagai bahan-bahan kepustakaan yang sesuai dengan permasalahan hukum yang sedang diteliti. Kerangka acuan tersebut pada penelitian kepustakaan dapat dipergunakan sebagai kerangka konsepsional. Adapun tahapannya terdiri atas, merumuskan pengertian hukum serta kaidah-kaidah hukum, dan pembentukan standar-standar hukum.

  • 2.2 Hasil dan Analisis

  • 2.2.1    Disharmonisasi Ketentuan Yuridis tentang Batasan Usia

Anak dan Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Disharmonisasi hukum menurut L.M. Gandhi merupakan perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundang-undangan serta perbedaan ketentuan hukum dengan perumusan pengertian tertentu. 10 Disharmonisasi berbagai ketentuan yuridis tentang batasan pengertian anak dapat berpengaruh bagi perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Anak merupakan generasi muda yang akan menjadi garda terdepan pembangunan Bangsa Indonesia, maka dari itu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin perlindungan serta hak konstitusional yang harus dipenuhi oleh negara. Baik dari perspektif pendidikan, kesejahteraan hingga perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan maupun diskriminasi. Anak-anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh kesempatan dan fasilitas yang dijamin oleh hukum dan sarana lain sehingga secara jasmani, mental akhlak, rohani dan sosial mereka dapat berkembang dengan sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan martabat. 11

Batasan tentang usia anak dalam peraturan perundang-undangan di Negara Indonesia tidak selalu sama. Perbedaan tersebut berdasarkan pada perspektif dan tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan (Politik Hukumnya). Sebelum diberlakukannya UU Pengadilan Anak, pengaturan ancaman

sanksi pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana secara khusus diatur dalam tiga pasal yaitu Pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Keberlakuan UU Pengadilan Anak telah memberikan ruang bagi pengaturan proses peradilan bagi anak yang secara khusus diatur dalam suatu aturan hukum. Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Anak ditegaskan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai usia 18 tahun dan belum pernah kawin. Anak nakal yang telah berumur 16 tahun dan sudah kawin sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan akan kehilangan haknya sebagai anak, yang secara tidak langsung berarti pertanggungjawaban pidana seperti orang dewasa. Ketentuan pasal tersebut sudah jelas bahwa batas usia pertanggungjawaban pidana anak di Indonesia adalah antara 8-18 tahun.12

Terdapat berbagai instrumen hukum yang memberikan batasan mengenai usia anak, seperti dalam UU SPPA sebagai pengganti UU Pengadilan Anak ditegaskan bahwa Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. UU SPPA hanya menjadikan usia sebagai batasan pengertian anak. UU HAM yang mengatur bahwa, anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah. Apabila dikaitkan dengan perlindungan hukum terhadap anak yang berbeda dengan orang dewasa berdasarkan UU HAM, maka hanya anak yang berumur dibawah 18 tahun dan belum kawin yang mendapatkan perlindungan tersebut.

Berkaitan dengan batas usia minimal anak yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana (criminal responsibility) Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa, perlu adanya batasan usia bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk berkembang. 13 Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan batas usia anak sebagai kriteria pertanggungjawaban pidana terhadap anak, maka dapat dikatakan bahwa status perkawinan bukanlah menjadi penghambat perlindungan hukum bagi anak yang belum berusia 18 tahun.14 Harmonisasi ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan konsekuensi logis dari diratifikasinya perjanjian internasional yaitu Convention on the Right of the Child (CRC). 15 Perlindungan, pelayanan, pemeliharaan dan asuhan merupakan hak setiap anak, termasuk pada anak yang berkonflik dengan hukum. Hak-hak tersebut perlu dipenuhi karena aspek perlindungan hukum terhadap anak lebih ditekankan pada hak-hak anak.

UU SPPA mengatur mengenai anak yang berhadapan dengan hukum yang terdiri atas anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Pasal 1 ayat (3) UU SPPA menegaskan bahwa “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. Anak yang berkonflik dengan hukum di Negara Indonesia sangat memprihatinkan. Sembilan dari sepuluh anak yang berkonflik dengan hukum akhirnya

menginap di hotel prodeo karena umumnya, anak yang berkonflik dengan hukum tidak mendapat dukungan dari pengacara maupun pemerintah yang dalam hal ini adalah dinas sosial. 16 UU SPPA mengatur secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar serta merupakan bentuk perlindungan hukum. Keadilan Restoratif menurut UU SPPA merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.

Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menegaskan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, hal ini menjadikan pengertian anak yang sama pada setiap Instrumen hukum sangatlah penting, akan terdapat ketidakpastian hukum apabila terdapat kasus pidana yang pelakunya merupakan anak usia dibawah 18 tahun dan sudah kawin, sehingga perlindungan hukumnya, sesuai perlindungan yang didapatkan oleh orang dewasa pada umumnya.

UU Perlindungan Anak dapat menjadi solusi bagi permasalahan tersebut, karena apabila disesuaikan dengan

undang-undang ini, pelaku tindak pidana tersebut masih dikategorikan sebagai anak karena UU Perlindungan Anak hanya menjadikan usia sebagai batasan pengertian anak. Perlindungan hukum terhadap anak yang dibatasi berdasarkan umur, merupakan suatu hak agar menerima proses penegakan hukum berdasarkan usianya.

Berkaitan dengan anak yang berkonflik dengan hukum, UU Perlindungan Anak memuat beberapa pasal, di antaranya Pasal 16 yang menegaskan bahwa:

  • (1)    Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

  • (2)    Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

  • (3)    Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara bagi anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.17

Berdasarkan Pasal 64 UU Perlindungan Anak, diatur lebih terperinci perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum khususnya yang berkonflik dengan hukum. Pembinaan anak dilakukan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang membahayakan mereka. Berbagai instrumen hukum perlindungan pada anak semestinya konsisten dengan gagasan yang memberikan batasan perbuatan anak dapat dipertanggungjawabkan berbasis usia, relevan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2015 (selanjutnya

disingkat RUU KUHP) yang menggunakan basis konsep berdasarkan usia untuk menaikkan batas usia anak bisa dimintakan pertanggungjawaban hukum, yakni dari 8 tahun menjadi 12 tahun.18

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum, dalam hal ini anak yang berkonflik dengan hukum. Anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilihat ketentuan Internasional yaitu United Nations Rules for the Protection of Juveniles of Their Liberty (Adopted by General Assembly Resolution 45/113 of 14 December 1990), dalam Rule 11 huruf a ditegaskan bahwa, “A juvenile is every person under the age of 18. The age limit below which it should not be permitted to deprive a child of his or her liberty should be determined by law”. Ketentuan tersebut, menegaskan bahwa seorang anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Prinsip pelindungan hukum terhadap Anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Hak anak untuk mendapatkan perlindungan hukum tanpa diskriminasi merupakan hak konstitusional yang harus didapatkan oleh seluruh anak Indonesia, sudah saatnya manajemen pemerintahan meninjau ulang prioritas-prioritas kebijakannya untuk memastikan setiap anak Indonesia terlindungi dari kekerasan dan diskriminasi.19

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

Disharmonisasi ketentuan yuridis tentang batasan pengertian anak berdampak pada perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. UU Perlindungan Anak mengatur secara tegas mengenai perlindungan khusus bagi anak yang berkonflik dengan hukum. UU SPPA menegaskan mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum serta diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum, dapat diberikan perlakuan khusus pada hukum acara, ancaman pidananya yang berbeda dengan orang dewasa, pemenuhan hak anak serta mengutamakan keadilan restoratif.

  • 3.2    Saran

Berbagai instrumen hukum telah hadir untuk memberikan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum, namun kelemahannya adalah banyaknya pengertian anak yang berbeda atau terjadinya disharmonisasi ketentuan yuridis tentang batasan pengertian anak. UU Perlindungan Anak memiliki pengertian yang sama dengan UU SPPA yaitu tidak menjadikan status perkawinan sebagai batasan pengertian anak. Sudah saatnya pemerintah membahas mengenai sinkronisasi instrumen hukum perlindungan anak, karena apabila tujuannya sama melindungi anak, seharusnya hanya mengenal satu pengertian anak. Sehingga Perlindungan hukum khususnya bagi anak yang berkonflik dengan hukum dapat terlaksana dengan baik karena regulasinya tidak bertentangan satu sama lainnya.

  • IV.    DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Buku

Hadisuprapto, Paulus, 2008, Delinkuensi Anak, Bayumedia Publishing, Malang.

Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Supeno, Hadi, 2010, Kriminalisasi Anak, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Soetodjo, Wagiati, 2005, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung.

Sambas, Nandang, 2010, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Widodo, 2011, Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya, CV. Aswaja Pressindo, Yogyakarta.

  • 2.    Jurnal

Sudrajat, Tedy, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Sebagai Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Sistem Hukum Keluarga Di Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Jawa Tengah.

  • 3.    Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235).

  • 4.    Kamus

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

15