PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DENGAN ANCAMAN PIDANA PENJARA TUJUH TAHUN ATAU LEBIH

Oleh:

Ni Made Kusuma Wardhani*

Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH.∗∗ Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum merupakan hak setiap anak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memperkenalkan konsep diversi yang bertujuan memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia. Namun pengaturan tersebut masih membutuhkan pedoman tindak lanjut pelaksanaan diversi untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, kemudian dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sitem Peradilan Pidana Anak. Permasalahan dalam jurnal ini adalah pengaturan diversi sebagai perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan pelaksanaan diversi sebagai perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang didasarkan pada pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penulisan ini bertujuan untuk memahami pengaturan pelaksanaan diversi ditinjau dari Perma Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sitem Peradilan Pidana Anak dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Pengaturan diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mewajibkan setiap tingkatan peradilan anak melaksanakan proses diversi baik itu penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan bagi anak pelaku tindak pidana dengan ancaman pidana penjara di bawah tujuh tahun. Namun dewasa ini kenakalan dan kejahatan yang dilakukan anak mulai bervariasi.

Untuk memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih secara khusus diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014.

Kata Kunci: Diversi, Perlindungan Hukum, Pidana, Anak yang Berkonflik dengan Hukum.

ABSTRACT

Child protection in conflict law is a right. Law Number 11 Year 2012 on the Child Criminal Justice System introduced concept of diversion that protect the children in conflict law in Indonesia. However, this arrangement still requires follow-up the implementation of diversion orders to provide provisions for children in conflict law, then issued Regulation Supreme Court of Republic Indonesia Number 4 Year 2014 on Guidelines for Implementation of Diversity in the Child Criminal Justice System of Children. Issues in this journal are the diversion as legal protection for the offender's children in Law Number 11 Year 2012 on the Child Criminal Justice System and the implementation of diversion as a legal protection for the offender's children with the threat of imprisonment of seven years or more. The research method used is normative legal research based on legislation approach and conceptual approach. This writing aims to understand the regulation of the implementation of the diversion in the Supreme Court Regulation on Guidelines for Implementation of Diversity in the Child Criminal Justice System in providing legal protection for the offender's children with the threat of imprisonment of seven years or more. Diversity rules in Law Number 11 Year 2012 requires all levels of juvenile justice must process diversion in investigation, prosecution, or in court for the child offender offense punishable by imprisonment under seven years. But now delinquency and crime committed by children is vary. To protect child perpetrators of crime with the threat of imprisonment of seven years or more is specifically regulated in Supreme Court Regulation Number 4 Year 2014.

Key Words: Diversion, Legal Protection, Criminal, Children in conflict law.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Globalisasi adalah proses masuknya ke ruang lingkup dunia1 yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Dampak negatif yang dapat ditimbulkan antara lain meningkatnya krisis nilai moral di masyarakat yang meningkatkan potensi jumlah orang melawan hukum pidana. Perbuatan pidana kini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa namun juga dilakukan oleh anak-anak. Instrumen peradilan yang ada cenderung membawa anak ke sistem peradilan pidana anak sehingga anak akan selalu menjadi target kriminalisasi.

‘Paradigma lama tentang peradilan anak tidak bisa dipertahankan lagi karena yang terjadi adalah sebuah proses kriminalisasi anak oleh negara dan masyarakat, maka dikembangkan paradigma baru yakni paradigma dekriminalisasi anak’.2

Anak sebagai pelaku tindak pidana maka pengenaan pelaksanaan pemidanaannya tentu tidak dapat disamakan dengan orang dewasa sebagai pelaku kejahatan.3 Pemidanaan anak pada masa kini diarahkan bertujuan dilaksanakannya peradilan anak untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak sebagai integral dari kesejahteraan

sosial.4 Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia dengan menghadirkan konsep diversi dan Keadilan Restoratif (restorative justice).

Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana.5

Seiring perkembangan jaman, pengaturan diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dirasa belum cukup memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dikarenakan pengaturan diversi hanya diperuntukkan bagi anak pelaku tindak pidana dengan ancaman pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, sedangkan dewasa ini kenakalan dan kejahatan yang dilakukan anak mengalami peningkatan seperti pencurian dengan kekerasan (perampokan), penyalahgunaan narkotika, pemerkosaan, pembunuhan dan sebagainya yang merupakan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih, kemudian untuk menindaklanjuti pelaksanaan diversi sebagai perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih maka Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sitem Peradilan Pidana Anak. Berdasarkan hal tersebut maka penulis akan mengkaji analisa yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK PELAKU

TINDAK PIDANA DENGAN ANCAMAN PIDANA PENJARA TUJUH TAHUN ATAU LEBIH”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar  belakang tersebut, rumusan

masalah yang diangkat adalah sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan  diversi sebagai perlindungan

hukum bagi anak pelaku tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

  • 2.    Bagaimanakah pelaksanaan diversi sebagai perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih?

  • 1.3    Tujuan

Tujuan penulisan jurnal ilmiah ini dimaksudkan untuk lebih memahami pengaturan pelaksanaan diversi sebagai upaya perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana ditinjau dari Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sitem Peradilan Pidana Anak.

  • II.    ISI

    • 2.1    Metode Penelitian

      2.1.1    Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ini adalah metode penelitian hukum normatif. Adapun metode penelitian hukum normatif dapat diartikan sebagai

penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.6

  • 2.1.2    Jenis Pendekatan

Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan yang meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan konseptual melihat dari doktrin atau pandangan yang berkembang di dalam ilmu hukum.7 2.1.3 Bahan Hukum

Berikut bahan hukum yang dipergunakan dalam jurnal ilmiah ini yaitu :

  • 1.    Bahan hukum primer yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sitem Peradilan Pidana Anak.

  • 2.    Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya rancangan hasil penelitian, undang-undang, hasil karya dari kalangan hukum, dan lain sebagainya. 8

  • 3.    Bahan hukum tersier yang terdiri atas Kamus Besar Bahasa Indonesia.

  • 2.1.4    Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam jurnal yang menggunakan penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan dan bahan hukum dengan menafsirkan dan mengkaji peraturan perundang-undangan. Dengan mencari bahan-bahan dalam buku-buku terkait permasalahan untuk kemudian dikutip bagian-bagian penting dan selanjutnya disusun secara sistematis sesuai dengan pembahasan dalam penelitian ini.

  • 2.1.5    Teknik Pengolahan Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif, pada analisis normatif dipergunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber penelitiannya. Adapun tahapannya meliputi, merumuskan dasar-dasar hukum, merumuskan pengertian hukum, pembentukan standar-standar hukum, perumusan kaidah-kaidah hukum.9

  • 2.2 Hasil dan Analisis

  • 2.2.1    Diversi sebagai Perlindungan Hukum bagi Anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Dipastikannya semua anak untuk memperoleh layanan dan perlindungan secara optimal dari sistem peradilan dan proses hukum merupakan keadilan bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Terget upaya keadilan tersebut adalah norma-norma, standar, dan prinsip hak-hak anak secara penuh diaplikasikan untuk semua anak tanpa kecuali, baik anak yang berhadapan dengan hukum maupun anak yang berkonflik dengan hukum. 10

Panjangnya proses peradilan yang dijalani anak tersangka pelaku tindak pidana, sejak proses penyidikan di kepolisian sampai selesai menjalankan hukuman di lembaga permasyarakatan merupakan sebuah gambaran kesedihan seorang anak. Dilema lain yang dihadapi oleh narapidana anak yaitu masih adanya penilaian masyarakat (stigmagtisasi) bahwa anak yang pernah melalui sistem peradilan pidana (melakukan tindak pidana) biasanya akan terlibat tindak pidana lain di masa yang akan datang. Stigmatisasi tersebut sangat sulit dihilangkan dari pandangan masyarakat.

Tindak pidana yang dilakukan anak dianggap sudah tidak biasa lagi, karena tindak pidana tersebut seringkali sama dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, namun bukan berarti dapat disamakannya proses peradilan sesuai dengan orang dewasa. Hal ini menjadi tolak ukur mendasar terhadap sistem peradilan formal di Indonesia untuk memberikan ruang yang berbeda dalam perlindungan terhadap anak serta akibat yang ditimbulkan olehnya.11

Adanya beberapa persoalan sistem peradilan pidana anak di Indonesia maka dikaji pengembangan konsep diversi dan keadilan restoratif dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di Indonesia. 12

Dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan konsep diversi dan keadilan restoratif, karena dua konsep tersebut menyelesaikan tindak pidana yang memberikan perlindungan terhadap anak. Konsep keadilan restoratif tersebut dalam penyelesaiannya melibatkan persetujuan korban, pelaku, dan masyarakat bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan tujuan pemulihan kembali. Sedangkan konsep diversi merupakan

pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Dalam Pasal 6 UU SPPA menjelaskan bahwa tujuan dari diversi antara lain menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mencapai perdamaian antara korban dan anak , serta mendorong partisipasi masyarakat dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Pasal 7 ayat 1 UU SPPA menjelaskan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib melaksanaan upaya diversi. Upaya diversi di masing-masing tingkat sistem peradilan pidana dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari dan bagi penegak hukum anak yang tidak melakukan upaya diversi maka akan dikenakan sanksi.

Konsep diversi dan keadilan restoratif merupakan bentuk alternatif penyelesaian tindak pidana yang diarahkan kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam tindak pidana yang terjadi. 13 Dalam Pasal 8 ayat (1) UU SPPA, proses diversi dalam pelaksanaannya dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pekerja sosial profesional dan pembimbing kemasyarakatan, serta bila diperlukan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat.

Fokus perhatian proses diversi dijabarkan dalam Pasal 8 ayat (3) UU SPPA antara lain ditujukan pada kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat serta kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Upaya perlindungan yang diberikan dapat pula dilihat dalam Pasal 11 UU

SPPA yang mengatur hasil dari kesepakatan diversi antara lain berupa perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, dan pelayanan masyarakat. Pasal 13 UU SPPA menjelaskan apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan, maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan untuk setiap tingkatannya.

  • 2.2.2    Diversi sebagai Perlindungan Hukum bagi Anak Pelaku Tindak Pidana dengan Ancaman Pidana Penjara Tujuh Tahun atau Lebih

Anak merupakan bagian dari generasi muda yang menjadi sumber daya pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Perlindungan, pelayanan, pemeliharaan dan asuhan merupakan hak setiap anak, termasuk kepada anak yang berkonflik dengan hukum agar sejahtera. Hak-hak tersebut harus dipenuhi karena aspek perlindungan hukum terhadap anak lebih ditekankan pada hak-hak anak, bukan pada kewajiban anak, karena secara yuridis anak belum dibebani kewajiban.14

Tidak semua anak dapat hidup normal, tetapi banyak anak yang melakukan kenakalan dan akhirnya “berkonflik” dengan hukum. 15 Akhirnya anak tersebut dijatuhi pidana (straf) dan

tindakan (maatregels). Dalam pasal 7 ayat (2) UU SPPA upaya diversi wajib dilakukan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan dengan ancaman pidana

penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Beberapa tindak pidana yang biasa dilakukan anak seperti dalam Pasal 335 (1) KUHP melakukan ancaman kekerasan diancam pidana penjara maksimal satu tahun penjara; Pasal 170 (1) KUHP secara bersama-sama melakukan kekerasan diancam dengan pidana penjara maksimal lima tahun enam bulan; dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP melakukan penganiayaan diancam pidana penjara maksimal dua tahun delapan bulan dan jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara maksimal lima tahun; dalam Pasal 362 KUHP pencurian diancam pidana penjara maksimal lima tahun; dalam Pasal 480 ke-1 KUHP melakukan penadahan diancam dengan pidana maksimal empat tahun dan sebagainya merupakan beberapa contoh tindak pidana dengan ancaman pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun. Namun kenakalan anak terus mengalami peningkatan diantaranya melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan kekerasan yang mengakibatkan luka-luka diancam pidana penjara maksimal tujuh tahun (Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP), contoh dalam Putusan MA Nomor: 353 K/Pid.Sus/2004, menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan; mengakibatkan luka berat diancam pidana penjara maksimal sembilan tahun (Pasal 170 ayat (2) ke-2 KUHP) contoh dalam Putusan PN Denpasar Nomor: 30/Pid.Sus-Anak/2017/PN Dps, menjatuhkan pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan; mengakibatkan maut diancam pidana penjara maksimal dua belas tahun (Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP); melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian diancam dengan pidana penjara maksimal tujuh tahun (Pasal 351 ayat (3) KUHP); pencurian dengan pemberatan (kualifisir) diancam dengan pidana penjara maksimal tujuh tahun

(Pasal 363 KUHP) contoh dalam Putusan PN Denpasar Nomor: 21/Pid.Sus-Anak/2016/PN Dps, menjatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) bulan; pembunuhan diancam dengan pidana penjara maksimal lima belas tahun dan sebagainya merupakan beberapa contoh tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

Pengaturan diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum, dikarenakan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012 belum terdapat pedoman pelaksanaan diversi sebagai perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana dengan ancaman pidana penjara diatas ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU SPPA. Untuk memberikan perlindungan kepada anak pelaku tindak pidana dengan ketentuan pidana ringan hingga berat Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Perma ini merupakan langkah progresif dan responsif dari MA dalam isu anak khususnya dalam sistem peradilan pidana anak.

Materi penting dalam Pasal 2 Perma Nomor 4 Tahun 2014 memberikan penegasan usia anak, dimana diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun atau telah berumur 12 tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Selain itu dalam upaya perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku pidana, pengaturan penting lainnya terdapat dalam Pasal 3 Perma Nomor 4 Tahun 2014

hakim diwajibkan mengupayakan diversi dalam perkara anak yang didakwa melakukan tindak pidana dengan ancaman penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, juga kepada anak yang didakwa melakukan tindak pidana dengan ancaman penjara pidana 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidaritas, alternatif, akumulatif, maupun kombinasi (gabungan). Pengaturan diatas menunjukkan keseriusan dari MA dalam melindungi kepentingan anak, terlepas dari status perkawinan dan jenis tindak pidana yang didakwakan, selama kemungkinan diversi masih bisa dilakukan.

  • III.  PENUTUP

    • 3.1  Kesimpulan

  • 1.  Dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan

diversi yang merupakan pengalihan penyelesaian perkara

anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan dengan melibatkan semua pihak yang terkait guna mencapai perdamaian antara korban dan anak, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan dan mendorong partisipasi masyarakat untuk dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

  • 2.    Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan pedoman yang dibuat untuk menindaklanjuti pelaksanaan diversi bagi anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang

mengatur dilaksanakannya diversi bagi anak yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara di bawah tujuh tahun, namun juga mewajibkan hakim

mengupayakan diversi dalam perkara anak yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

  • 3.2    Saran

Perma Nomor 4 Tahun 2014 ini hanya memberlakukan diversi di tingkat pengadilan, penulis berharap nantinya pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah tentang diversi yang dilaksanakan di semua tingkat peradilan pidana baik di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan guna mengoptimalkan kerja aparat penegak hukum dalam pelaksanaan diversi untuk mencapai keadilan dan kepentingan dari masing-masing pihak khususnya memberikan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

  • IV.    DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2014, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Gultom, Maidin, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, PT Refika Aditama, Bandung.

Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Sambas, Nandang, 2010, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Supeno, Hadi, 2010, Kriminalisasi Anak, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Widodo, 2013, Prisonisasi Anak Nakal (Fenomena dan Penanggulangannya), Aswaja Pressindo, Yogyakarta.

  • 2.    Artikel

Zebua, Rahmaeni, 2014, Analisis Diversi dan Restorative Justice dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sumatera, Medan.

  • 3.    Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332).

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sitem Peradilan Pidana Anak.

  • 4.    Kamus

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

15