ANALISIS YURIDIS PENETAPAN KAWASAN TEMPAT SUCI DALAM PENATAAN RUANG DI PROVINSI BALI

Oleh:

Ida Ayu Padma Trisna Dewi

I Made Sarjana∗∗

Program Kekhususan Hukum Pemerintahan

Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Berdasarkan otonomi daerah, penyelenggaraan penataan ruang Provinsi Bali diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009. Berkembangnya pembangunan di Bali khususnya dalam bidang pariwisata, menimbulkan permasalahan berupa pelanggaran pemanfaatan ruang disekitar radius kesucian pura terkait penetapan kawasan tempat suci dalam peraturan daerah ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan kawasan tempat suci tersebut dan bagaimana sanksi bagi pihak yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang pada kawasan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif, dengan menggunakan bahan hukum berupa buku dan peraturan perundang-undangan. Adapun hasil dari penelitian ini adalah, pengaturan kawasan tempat suci diatur dalam Pasal 50 ayat (2) dan memuat radius kesucian di sekitar pura sesuai dengan status pura, seperti Pura Sad Kahyangan dan Pura Dang Kahyangan dengan radius kesucian masing-masing 5.000 meter dan 2.000 meter dari sisi luar tembok penyengker pura serta Pura Kahyangan Tiga dan pura lainnya dengan radius kesucian sekurang-kurangnya apenimpug atau apenyengker pura, kemudian terhadap para pihak yang melanggar pemanfaatan ruang disekitar radius tersebut akan dikenakan sanksi pidana atau sanksi administratif berdasarkan Pasal 144, 147 sampai

Pasal 149. Agar arah pemanfaatan ruang dalam kawasan tersebut dapat berjalan efektif, dipandang perlu dibentuknya suatu regulasi mengenai izin pemanfaatan dalam kawasan tersebut beserta sanksi yang lebih tegas bagi para pelanggar.

Kata Kunci: Kawasan Tempat Suci, Penataan Ruang, Bali

Ida Ayu Padma Trisna Dewi, adalah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Udayana, idaayupadmatd97@gmail.com

∗∗I Made Sarjana, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

Based on regional autonomy, spatial planning in Bali Province is regulated in Bali Province Regional Regulation Number 16 Year 0f 2009. The growth of development in Bali especially in the field of tourism, has caused problems such as violation of space utilization around the sancity radius of a temple in relation with the determination of the holy places area in this regional regulation. Therefore this study aims to find out how the arrangement of that holy places area and how are the sanctions for parties who violate the use of space in the region. The research method used is the normative juridical method, which using legal materials in the form of book and legislation. The result of this research is, the arrangement of holy place area is regulated in Article 50 paragraph (2) which contains a radius of sancity around the temple according to temple status, like Sad Kahyangan Temple and Dang Kahyangan Temple with each 5.000 meters and 2.000 radius meters from the outer side of the walls of penyengker temple and Kahyangan Tiga Temple and others temple with a radius of sancity at least apenimpug or apenyengker temple, then againts the parties who violate the utilization of space around the radius will be subject to criminal or administrative sanctions under Article 144, 147 to 149. In order for spatial utilization in the area to be effective, it is deemend necessary to establish an regulation on spatial utilization permits within the area along with tougher sanctions for the violators.

Keywords: Holy Place Area, Temple, Spatial Planning, Bali

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1  Latar Belakang

Pembahasan mengenai tata ruang di Indonesia kian hari semakin mendapatkan perhatian. Besarnya jumlah penduduk dengan keterbatasan lahan menjadi sebuah masalah yang sulit dipecahkan oleh pemerintah. Kondisi perekonomian Indonesia yang kini juga semakin berkembang pesat, perlu sangat diwaspadai terutama berkaitan dengan pelaku usaha bisnis yang menggunakan dan memanfaatkan ruang dengan skala yang besar. Pengaturan mengenai penataan ruang kemudian dibentuk dengan

harapan dapat menyelesaikan permasalahan penataan ruang di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disebut UUPR) merupakan instrumen pokok penataan ruang Indonesia. Setelah diberlakukannya undang-undang pemerintahan daerah, setiap daerah otonom kemudian diberikan kesempatan, hak, wewenang dan kewajiban untuk mengurus rumah tangganya termasuk dalam hal penyelenggaraan penataan ruang di wilayahnya masing-masing, yang dimana hal ini tidak terkecuali pula bagi Provinsi Bali.

Produk hukum daerah Provinsi Bali yang mengatur mengenai pelaksanaan penataan ruang adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 (selanjutnya disebut Perda RTRWP Bali). Penataan ruang dalam Perda RTRWP Bali ini menekankan pada pendekatan nilai strategis kawasan dalam upaya untuk mengembangkan, kemudian melestarikan, melindungi dan/atau mengkoordinasikan keterpaduan dari pembangunan nilai strategis kawasan yang bersangkutan dalam terwujudnya pemanfaatan yang berhasil guna, berdaya guna dan berkelanjutan.1

Keberadaan peraturan penataan ruang secara khusus bagi

provinsi Bali permasalahan pembangunan


ini ternyata tidak serta merta mengurangi tata ruang di Provinsi Bali. Berkembangnya dalam bidang pariwisata di Bali, kemudian

menimbulkan suatu polemik dalam masyarakat berkenaan dengan suatu penetapan kawasan dalam Perda RTRWP Bali, yakni Kawasan Tempat Suci. Penetapan kawasan tersebut menjadi sebuah isu yang terus mendapat pertentangan dikarenakan dianggap mengurangi kesempatan berkembangnya pembangunan di Provinsi Bali yang mulai mengalami keterbatasan lahan akibat jumah penduduk yang kian besar dan perekonomian di Bali yang juga terus berkembang pesat dan mengakibatkan penggunaan serta pemanfaatan ruang oleh investor kian besar, sedangkan disisi lain kesucian pura merupakan tanggungjawab umat Hindu untuk menjaga dan melindungnya.

Penetapan terhadap kawasan ini kemudian masih sering dilanggar baik oleh masyarakat lokal maupun investor untuk menunjang kegiatan usaha pariwisatanya di Provinsi Bali, seperti terdapat kurang lebih 25 bangunan villa, restoran dan rumah tinggal yang melanggar kawasan tempat suci Pura Luhur Uluwatu seperti Uluwatu Resort, Suluban Villa, Blue Point, Bali Villas, Villa Home Stay, The Lagen Clif dan lain sebagainya.2 Selain itu pelanggaran berupa adanya bangunan rumah tinggal maupun kios-kios kecil yang melanggar kawasan tempat suci Pura Besakih dan pelanggaran lainnya masih banyak terjadi. Keberadaan sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar juga dirasa belum cukup optimal dikarenakan belum adanya suatu regulasi yang secara khusus mengatur mengenai mekanisme atau izin pemanfaatan ruang disekitar kawasan tersebut. Untuk menindaklanjuti hal tersebut perlu dilakukan penyusunan rencana tata ruang yang lebih baik

untuk menghindari adanya ketidakseimbangan laju pertumbuhan antar daerah dan merosotnya kualitas lingkungan hidup.3

  • 1.2    Rumusan Masalah

Sebagaimana latar belakang tersebut, dirumuskan masalah sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan mengenai kawasan tempat suci dalam Perda RTRWP Bali?

  • 2.    Bagaimanakah sanksi yang diberikan bagi pihak yang melanggar pemanfaatan ruang dalam radius kawasan tempat suci tersebut?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan jurnal ilmah ini tidak lain untuk mengetahui bagaimana pengaturan kawasan tempat suci dalam Perda RTRWP Bali serta untuk mengetahui pengaturan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang dalam radius kawasan tempat suci sebagaimana telah diatur dalam Perda RTRWP Bali.

  • II.   ISI MAKALAH

    • 2.1  Metode Penulisan

Tulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif yang merupakan pendekatan yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.4 Dalam hal ini penulis mempelajari permasalahan dan menggunakan bahan hukum berupa buku

maupun peraturan perundang-undangan untuk mengkaji permasalahan tersebut.

  • 2.2    HASIL DAN ANALISIS

    • 2.2.1    Pengaturan Kawasan Tempat Suci Dalam Perda RTRWP Bali

Penyelenggaraan penataan ruang merupakan upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam penataan ruang. Penetapan kawasan tempat suci dalam Perda RTRWP Bali merupakan salah satu wewenang dari pemerintah Provinsi Bali dalam melaksanakan penataan ruang dan wilayah di Provinsi Bali sebagai bentuk dari adanya otonomi daerah. Hal ini dikarenakan setiap daerah haruslah membentuk suatu paket otonomi yang konsisten dengan kapasitas dan kebutuhannya.5 Berdasarkan hal tersebut kemudian Pemerintah Provinsi Bali melakukan sebuah penetapan kawasan tempat suci yang menjadi kebutuhan daripada masyarakat Bali utamanya Umat Hindu. Mengenai pengertian Kawasan Tempat Suci dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 41 Perda RTRWP Bali yakni merupakan kawasan di sekitar pura yang dijaga kesuciannya dalam sebuah radius sesuai dengan status pura yang telah ditetapkan dalam Bhisama Kesucian Pura Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDIP) Tahun 1994.

Bhisama Kesucian Pura merupakan hasil daripada musyawarah yang dilakukan oleh para anggota perkumpulan sulinggih dan walaka yang didasarkan pada rasa kekhawatiran yang tinggi pada majunya pembangunan di era ini terhadap kesucian pura yang ada di Bali. Kesucian pura ini menyangkut

mengenai suatu keadaan disekitar kawasan pura yang diyakini oleh umat Hindu dapat memberikan rasa aman, tentram, tenang yang telah memperoleh serangkaian upacara agama sehingga telah menciptakan suatu keadaan yang penuh dengan keseimbangan, keselarasan dan ketentraman. Kemudian oleh pemerintah Provinsi Bali, hasil Bhisama ini dituangkan dalam Perda RTRWP Bali.

Penetapan kawasan tempat suci dalam Perda ini adalah salah satu bagian dari kawasan perlindungan setempat yang dimana juga adalah bagian dari kawasan lindung sebagaimana termuat dalam pasal 42 ayat (1) huruf b yang memuat ketentuan bahwa kawasan lindung mencakup beberapa kawasan dimana salah satunya adalah kawasan perlindungan setempat dan Pasal 44 ayat (1) huruf b yang memuat ketentuan bahwa kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf b juga mencakup Kawasan Tempat Suci.

Secara lebih lanjut penetapan kawasan tempat suci termuat pada Pasal 50 ayat (2), yakni dalam huruf a temuat ketentuan mengenai kawasan tempat suci yang ada disekitar Pura Sad Kahyangan adalah dengan radius yaitu sekurang-kurangnya apeneleng agung setara 5.000 (lima ribu) meter dari sisi luar tembok penyengker pura, kemudian selanjutnya dalam huruf b termuat ketentuan terhadap kawasan tempat suci yang ada disekitar Pura Dang Kahyangan dengan radius sekurang-kurangnya yaitu apeneleng alit setara dengan 2.000 (dua ribu) meter dari sisi luar tembok penyengker pura dan pada huruf c termuat ketentuan mengenai kawasan tempat suci yang ada di sekitar Pura Kahyangan Tiga dan pura lainnya yaitu dengan radius sekurang-kurangnya adalah Apenimpug atau Apenyengker.

Penetapan kawasan tempat suci ini kemudian membawa konsekuensi tersendiri, yakni dalam radius sebagaimana telah ditentukan hanya diperbolehkan untuk diadakan pembangunan terkait fasilitas keagamaan, dan ruang terbuka yang dapat berupa ruang terbuka hijau dan budidaya pertanian, sehingga para pemilik tanah disekitar radius kawasan suci hanya dapat memanfaatkan tanah yang dimilikinya terbatas pada hal-hal yang mendukung kawasan tempat suci tersebut.6 Hal ini tentunya mengacu pada ketentuan arahan peraturan zonasi radius kawasan tempat suci sebagaimana termuat dalam Pasal 108 ayat (2). Sesungguhnya dalam pasal ini juga dinyatakan bahwa arahan zonasi ini akan diatur secara lebih lanjut dalam rencana rinci tata ruang kawasan tempat suci, namun hingga kini rencana dalam bentuk Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten/Kota kawasan tempat suci tersebut belum juga dibentuk.

  • 2.2.2    Sanksi Terhadap Pelanggaran Pemanfaatan Ruang Di

    Sekitar Kawasan Tempat Suci

Sanksi merupakan sebuah bagian terpenting di dalam penegakan hukum. Secara konseptual, inti dari penegakan hukum adalah menyerasikan hubungan diantara nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah, kemudian pandangan-pandangan nilai yang menjawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.7

Keberadaan hukum tata ruang sendiri pada dasarnya memuat ketentuan yang mencakup peruntukan ruang, cara pemanfaatan ruang yang sesuai dengan peruntukannya, hubungan peruntukan satu dengan yang lain, pengawasan, pengendalian dan pemanfaatan ruang.8

Berkaitan dengan maraknya pelanggaran pemanfaatan ruang berupa pendirian bangunan di luar fungsi keagamaan dalam radius kawasan tempat suci seperti pada Pura Luhur Uluwatu, Pura Besakih dan pura-pura lainnya, maka ketegasan pemerintahan dalam mengatur izin pemanfaatan ruang dalam kawasan tersebut guna penjatuhan sanski yang tepat sangatlah diperlukan. Penegakan hukum berupa penjatuhan sanksi-sanksi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali tentunya akan mengikuti aturan sebagaimana termuat dalam Perda RTRWP Bali. Hal ini dikarenakan terhadap izin pemanfaatan ruang dalam radius kawasan tempat suci beserta sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran pemanfaatan ruang disekitar radius kawasan tempat suci yang mungkin timbul belum diatur secara lebih mengkhusus.

Dalam hal terjadinya pelanggaran pemanfaatan ruang disekitar radius tersebut, maka para pihak yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi administratif maupun sanksi pidana yang termuat dalam Perda RTRWP Bali. Perbedaan sanksi administratif maupun sanksi pidana ini dapat dilihat dari tujuan pengenaan dari sanksi itu sendiri. Sanksi administratif ditujukan kepada perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana

ditujukan kepada si pelanggar dengan memberi hukuman berupa nestapa.9

Adapun sanski administratif maupun sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pihak-pihak yang melanggar ketentuan kawasan tempat suci termuat dalam ketentuan Pasal 144, Pasal 147 sampai dengan Pasal 149. Sanksi administratif yang termuat dalam Pasal 144 memuat ketentuan bagi para pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 126, Pasal 130 dan 139 dapat dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, penghentian sementara pelayanan umum, penutupan lokasi, pencabutan izin, pembatalan izin, pembongkaran bangunan, pemulihan fungsi ruang dan/atau denda administratif.

Berkaitan dengan sanksi pidana, pada Pasal 147 ayat (1) dinyatakan bahwa terhadap pihak yang melanggar ketentuan pemanfaatan ruang dalam Pasal 139 dikenakan dipidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dalam ayat (2) terhadap tindak pidana dalam ayat (1) dinyatakan sebagai pelanggaran dan ayat (3) menentukan bahwa selain hukuman pada ayat diatas dapat dikenakan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam ketentuan Pasal selanjutnya yakni Pasal 148 ayat (1), terhadap pejabat pemerintah yang memiliki wewenang menerbitkan izin dan tidak sesuai dengan rencana tata ruang pada Pasal 126 ayat (9), dikenakan pidana penjara sesuai

peraturan perundang-undangan. Pada ayat (2) ditentukan lagi mengenai pidana tambahan yakni berupa pemberhentian terhadap pejabat tersebut secara tidak dengan hormat dari jabatannya. Kemudian dalam ketentuan pasal terakhir yakni Pasal 149, pada ayat (1), pada setiap pihak yang mendapat kerugian dari tindak pidana dalam Pasal 147 dan 148 dimungkinkan untuk menuntut ganti rugi yang dilakukan secara perdata pada pelaku dan dalam ayat (2) ditentukan tuntan tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum acara perdata.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang di sekitar radius kawasan tempat suci dapat dikenakan sanksi pidana berupa kurungan penjara, pembayaran sejumlah uang denda, penghentian secara tidak hormat dari jabatannya apabila pihak pelanggar adalah pemerintah dan pemberian ganti rugi dan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan, penghentian sementara pelayanan umum, penutupan lokasi, pencabutan izin, pembatalan izin, pembongkaran bangunan, pemulihan fungsi ruang dan/atau denda administratif.

Sesungguhnya sanksi administratif dan sanksi pidana yang termuat dalam Perda RTRWP Bali ini bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup dimasyarakat. Namun dalam kenyataannya pelanggaran-pelanggaran pemanfaatan ruang masih saja terus terjadi seperti terdapatnya beberapa bangunan-bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dalam radius kawasan tempat suci dibeberapa pura di Bali, seperti pada kawasan tempat suci Pura Luhur Uluwatu, Pura Besakih, dan lain sebagainya.

Berdasarkan hal tersebut, keberadaan regulasi dalam bentuk Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Peraturan Walikota dan RDTR Kabupaten/Kota yang mengatur mengenai mekanisme atau izin pemanfaatan ruang dalam kawasan tempat suci dipandang sangatlah perlu. Hal ini mengingat bahwa izin yang diberikan pemerintah bertujuan untuk menciptakan suatu kondisi yang aman dan tertib agar setiap kegiatan sesuai dengan peruntukannya.10

Selain itu keberadaan regulasi ini juga bertujuan agar masyarakat dapat memahami secara keseluruhan mengenai radius kesucian disekitar pura yang perlu dilindungi, hal apa saja baik berkaitan dengan pembangunan atau kegiatan yang diperbolehkan serta tidak diperbolehkan dalam radius tersebut, memaksimalkan penegakan hukum terhadap para pelanggar pemanfaatan ruang disekitar radius tersebut dalam upaya memperjelas arah pemanfaatan ruang pada kawasan tersebut.

Sosialisasi terhadap adanya keberadaan peraturan perundang-undangan juga perlu dilakukan oleh pemerintah guna meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Hal ini dikarenakan penegakan hukum berupa pemberian sanksi sesungguhnya dapat berjalan efektif apabila pengetahuan tentang peraturan hukum, isi dari peraturan hukum, sikap terhadap peraturan hukum secara keseluruhan dapat dipahami oleh masyarakat dan seluruh pihak dengan baik.

  • III.  PENUTUP

    • 3.1  Kesimpulan

Berdasarkan    uraian    permasalahan    sebagaimana

dikemukakan di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

  • 1.    Pengaturan kawasan tempat suci dalam Perda RTRWP Bali yang memuat radius kesucian pura yang perlu dijaga kesuciannya sesuai dengan status pura berdasarkan Bhisama, termuat dalam Pasal 50 ayat (2), yakni radius kesucian di sekitar Pura Sad Kahyangan adalah 5.000 meter dari sisi luar tembok penyengker pura, radius kesucian di sekitar Pura Dang Kahyangan  adalah 2.000 meter dari sisi  luar tembok

penyengker pura serta radius kesucian di  sekitar Pura

Kahyangan Tiga dan pura lainnya adalah sekurang-kurangnya apenimpug atau apenyengker pura.

  • 2.    Pengaturan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaaan ruang di sekitar kawasan tempat suci dimuat dalam ketentuan Pasal 144, Pasal 147 sampai Pasal 149 Perda RTRWP Bali dengan penegakan hukum berupa penjatuhan sanksi pidana ataupun sanksi administratif. Pengaturan sanksi ini sesungguhnya belum berjalan efektif terbukti dari masih adanya pelanggaran pemanfaatan ruang pada kawasan tempat suci di Bali, sehingga perlu dibentuk suatu regulasi mengenai mekanisme atau izin pemanfaatan ruang di sekitar kawasan tempat suci secara lebih mengkhusus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, memaksimalkan penegakan hukum dalam upaya memperjelas arah pemanfaatan ruang dalam kawasan tersebut.

  • 3.2    Saran

Berkaitan dengan uraian kesimpulan pembahasan sebagaimana termuat diatas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut:

  • 1.    Agar pemerintah Provinsi Bali membentuk suatu regulasi dalam bentuk Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Peraturan Walikota mengenai izin pemanfaatan ruang di sekitar kawasan tempat suci dan RDTR Kabupaten/Kota kawasan tempat suci yang memuat secara lebih jelas mengenai peruntukan kawasan, serta hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh masyarakat dan pihak-pihak yang mungkin melakukan pelanggaran.

  • 2.    Agar terhadap sanksi dan penerapan sanksi pada pelanggar dapat lebih dipertegas oleh pemerintah Provinsi Bali serta lebih digalakkan lagi melalui sosialisasi yang dilakukan oleh berbagai pihak dan berbagai media.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ali, H. Zainuddin, 2016, Metode Penelitan Hukum, Cetakan

Ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta.

Hadjon, Philipus M, et.al., 2005, Pengantar Hukum Administratif Indonesia (Introduction To The Indonesian Administrative Law), Cetakan Kesembilan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

HR, Ridwan, 2014, Hukum Administratif Negara, Cetakan ke-10, Rajawali Pers, Bandung.

Ridwan, H. Juniarso, dan Achmad Sodik, 2016, Hukum Tata Ruang Dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung.

Wahid, A.M. Yunus, 2014, Pengantar Hukum Tata Ruang,

Prenamedia Group, Jakarta.

Widjaja, H.A.W, 2004, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Edisi Pertama, Cetakan Ketiga, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Jurnal:

Lanya, Indayati dan N. Netera Subadiyasa, 2012, “Penataan Ruang dan Permasalahannya di Provinsi Bali”, Jurnal Kajian Bali Universitas Udayana.

Sudiarta, I Ketut, 2011, “Penetapan Kawasan Tempat Suci Dan Kawasan Pariwisata Dalam Penataan Ruang Di Bali”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Internet:

Anonim, 2011, “Daftar 25 Vila & Restoran yang Langgar Kesucian Pura Uluwatu Bali” detiknews, 08 Februari 2011, URL: https://m.detik.com/news/berita/1562599/daftar-25-vila--restoran-yang-langgar-kesucian-pura-uluwatu-bali, diakses tanggal 09 Juli 2018

Peraturan Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Tahun 2009 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 15).

15