TINJAUAN MENGENAI SANKSI REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA DALAM KONTEKS PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA*

Oleh :

Anak Agung Sagung Istri Brahmanda Febriyanthi** Ibrahim R***

I Made Walesa Putra****

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan dalam melancarkan aksi mereka seperti contoh peredaran narkotika yang berdampak pada banyaknya penyalahguna narkotika di Indonesia. Permasalahan yang diangkat mengenai pengaturan sanksi rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika dan konsep sanksi rehabilitasi tersebut dalam konteks pembaharuan hukum pidana. Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menganalisis hukum positif yang berlaku. Butir 3 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 mengatur bahwa rehabilitasi dalam kejahatan narkotika dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu dimana terdiri dari tim dokter yaitu dokter dan psikolog, tim hukum yaitu dari unsur Kepolisian, Badan Narkotika Nasional, Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia setelah mengeluarkan rekomendasi bahwa seseorang pengguna tersebut apakah merangkap sebagai pengedar atau murni sebagai pecandu saja. System pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep Rancangan KUHP dilatarbelakangi oleh berbagai ide dasar atau prinsip-prinsip yang salah satunya adalah ide penggunaan double track system (antara pidana dan tindakan) sehingga di dalam konsep terdapat ketentuan-ketentuan yang tidak ada di dalam KUHP yang berlaku saat ini yang salah satunya adalah dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan). Peraturan mengenai sanksi rehabilitasi masih belum ada pengkategorian lamanya seseorang harus menjalani rehabilitasi. Rehabilitasi dalam pembaharuan hukum pidana ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan kepentingan individu yang bersangkutan.

Kata kunci: Jangka waktu, Rehabilitasi, Penyalahgunaan, Nakotika

Abstract

The development of science and technology is exploited by the perpetrators of crime in launching their actions as an example of narcotics circulation that affects the number of narcotics abusers in Indonesia. The issues raised concerning the regulation of rehabilitation sanctions for narcotics abusers and the application of such rehabilitation sanctions in the context of penal reform. The method used is normative juridical research method by analyzing the applicable positive law. Rehabilitation in narcotics crime is conducted by an Integrated Assessment Team consisting of doctors and psychologists, legal teams from the Police, National Narcotics Agency, Prosecutor and the Ministry of Law and Human Rights after issuing a recommendation that a user is either a concurrent distributor or pure as an addict only. The criminal punishment system set forth in the Criminal Code concept is motivated by basic ideas or principles, one of which is the idea of using double track system (between criminal and action) so that in the concept there are provisions that do not exist in the current Criminal Code one of which is the possibility of combining sanctions types (criminal and action) Regulation of rehabilitation sanction still no categorization duration of person having to undergo rehabilitation. Rehabilitation in penal reform is intended for public interest and individual interest concerned.

Keywords :Space, Rehabilitation, Abuser, Narcotics

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1  Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara hukum, seperti yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam teori Negara hukum mengajarkan bahwa hukum kedudukannya lebih tinggi daripada kedudukan Negara, oleh karena itu baik penguasa maupun rakyat bahkan Negara dalam sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai dengan hukum.1 Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan dalam melancarkan aksi mereka. Tidak terkecuali dalam aksi peredaran

gelap Narkotika yang sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Kegiatan peredaran gelap narkotika ini sangat berpotensi menjelma menjadi sebuah tindak pidana yang lebih besar hingga sampai dalam bentuk kejahatan yang terorganisasi.2 Dampak dari semakin maraknya peredaran narkotika ini akan menimbulkan banyaknya pecandu narkotika dan penyalah guna narkotika yang dapat merusak generasi bangsa di masa yang akan datang. Kejahatan narkotika ini membuat Indonesia dari segala penjuru harus mencegah berkembanganya kejahatan narkotika tersebut.

Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila orang tersebut melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sehingga harus dipidana sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam penanggulangan kejahatan ada berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, yang dapat berupa sarana hukum pidana (penal) dan non hukum pidana (non penal).2 Efektivitas suatu pidana penjara juga dapat dilihat dari aspek perlindungan atau kepentingan masyarakat, maka suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi kejahatan.3 Semakin maraknya kasus penyalahgunaan narkotika yang dikendalikan dari lembaga

pemasyarakatan, menandakan bahwa perlu dilakukannya pengawasan dan penanganan yang tepat dalam setiap kasus yang terjadi. Penguatan terhadap penanganan kasus penyalahgunaan narkotika adalah dengan memperkuat rehabilitasi yang diberikan kepada pelaku penyalahguna mengingat banyaknya kasus narkotika yang pengendaliannya dilakukan dari dalam lembaga pemasyarakatan sehingga akan menyebabkan tingkat peredaran narkotika di Indonesia semakin besar yang akan berdampak pula pada bertambahnya pelaku penyalahgunaan narkotika di Indonesia.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan sanksi rehabilitasi   bagi

penyalahguna narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ?

  • 2.    Bagaimana konsep sanksi rehabilitasi dalam konteks pembaharuan hukum pidana di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan

    1.3.1    Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari dari karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui tinjauan mengenai sanksi rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika dalam konteks pembaharuan hukum pidana.

  • 1.3.2    Tujuan Khusus

  • 1.    Untuk mengetahui pengaturan mengenai sanksi rehabilitasi bagi pelaku penyalahgunaan narkotika di Indonesia

  • 2.    Untuk mengetahui penerapan sanksi rehabilitasi dalam konteks pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

  • II.   ISI MAKALAH

    • 2.1  Metode penelitian

Penelitian dalam jurnal ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif yaitupendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan positif yang berlaku.4 Menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach) terhadap permasalahan mengenai jangka waktu rehabilitasi bagi pelaku penyalahgunaan narkotika yang ada di Indonesia. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan cara melihat undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan rumusan masalah. Sumber bahan hukum dalam karya ilmiah ini yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah asas dan kaidah hukum yang berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder merupakan bahan penunjang seperti buku-buku hukum, jurnal hukum dan sebagainya. Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul, digunakan teknik deskripsi yang berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

  • 2.2    Pembahasan

    2.2.1    Pengaturan    Sanksi    Rehabilitasi    Bagi    Pelaku
    Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia

Rehabilitasi merupakan salah satu bentuk dari pemidanaan yang bertujuan sebagai pemulihan atau pengobatan. Rehabilitasi

adalah bentuk sanksi tindakan yang tersebar di luar KUHP.5 Seperti contohnya terhadap kejahatan narkotika. Rehabilitasi dalam kejahatan narkotika dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu dimana terdiri dari tim dokter yaitu dokter dan psikolog, tim hukum yaitu dari unsur Kepolisian, Badan Narkotika Nasional, Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota. Rehabilitasi dapat diajukan apabila Tim Asesmen Terpadu telah mengeluarkan rekomendasi bahwa seseorang pengguna tersebut apakah merangkap sebagai pengedar atau murni sebagai pecandu saja. Tim Asesmen Terpadu juga akan merekomendasi rencana rehabilitasinya. Berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa Pecandu narkotika dan penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Undang-Undang Narkotika tidak diatur secara tegas mengenai jangka waktu rehabilitasi yang diperlukan untuk para pelaku penyalahgunaan narkotika sehingga pihak pengelola hanya berpatokan pada Surat Edaran Mahkamah Agung dalam melakukan rehabilitasi.Butir 3 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial menyatakan apabila hakim menjatuhkan sanksiberupa perintah untuk terdakwa melakukan rehabilitasi, tempat rehabilitasi yang ditunjuk harus tempat yang terdekat

berkaitan dengan amar putusannya. Tempat-tempat yang dimaksud dalam SEMA tersebut adalah sebagai berikut :

  • a.    Lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang dikelola dan atau dibina dan diawasi oleh Badan Narkotika Nasional

  • b.    Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta c. Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia)

  • d.    Panti Rehabilitasi yang dikelola oleh Departemen Sosial RI dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPDT)

  • e.    Tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan atau Departemen Sosial.

Hakim dalam menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi terhadap    pelaku    penyalahgunaan    narkotika    harus

mempertimbangkan taraf kecanduan dari pelaku sehingga diperlukan keterangan dari ahli sebagai standar dalam proses rehabilitasi sebagai berikut :

  • a.    Program Detoksifikasi dan Stabilisasi yang dilakukan selama 1 (satu) bulan

  • b.    Program Primer yang dilakukan selama 6 (enam) bulan

  • c.    Program Re-Entry yang dilakukan selama 6 (enam) bulan.

Bagi korban penyalahgunaan narkotika yang bukan pengedar atau Bandar dapat dilakukan rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial yang dilaksanakan di dalam lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi yang telah ditunjuk oleh pemerintah.

  • 2.2.2 Sanksi Rehabilitasi Bagi Penyalahguna Narkotika Dalam Konteks Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia

Sanksi diartikan sebagai suatu tanggungan, tindakan, hukuman untuk memaksa seseorang menaati ketentuan undang-undang.6 Sanksi juga diartikan sebagai bagian dari aturan hukum yang dirancang secara khusus untuk memberikan pengamanan bagi penegakan hukum dengan mengenakan sebuah ganjaran atau hukuman bagi seseorang yang melanggar aturan hukum itu, atau memberikan suatu hadiah bagi yang mematuhinya. Tindakan diartikan sebagai suatu hukuman yang diberikan kepada seseorang yang sifatnya tidak menderitakan melainkan mendidik dan mengayomi. Pemberian tindakan ini dimaksudkan agar terciptanya keamanan dalam masyarakat dan memperbaiki pembuat seperti pendidikan paksa, pengobatan paksa, memasukkan ke dalam rumah sakit, dan lainnya.7

Bertolak dari pemikiran bahwa pidana pada hakekatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan pemidanaan, maka dalam konsep KUHP baru pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan.8 Dalam mengidentifikasi tujuan dari suatu pemidanaan, konsep KUHP bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok yaitu perlindungan terhadap masyarakat dan perlindungan atau pembinaan individu sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan dua sasaran pokok tersebut, maka syarat keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu, antara factor objektif dan subjektif. Syarat pemidanaan juga bertolak dari dua

unsur pilar yang paling fundamental di dalam hukum pidana yaitu asas legalitas dan asas kesalahan.9

Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan juga dimaksudkan sebagai fungsi pengendali/control/pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan.10 Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep KUHP dilatarbelakangi oleh berbagai ide dasar atau prinsip-prinsip yang salah satunya adalah ide penggunaan double track system (antara pidana dan tindakan). Bertolak dari ide dasar tersebut maka di dalam konsep terdapat ketentuan-ketentuan yang tidak ada di dalam KUHP yang berlaku saat ini yang salah satunya adalah dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan).11

Pokok pemikiran mengenai pemidanaan sangat berhubungan erat dengan pemikiran mengenai tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlindungan terhadap korban dan pemulihan keseimbangan nilai yang terganggu di dalam masyarakat. Untuk dapat memenuhi aspek ini, konsep KUHP menyediakan jenis sanksi berupa tindakan. Mengenai jenis-jenis tindakan bagi pelaku yang tidak atau kurang mampu bertanggungjawab, konsep KUHP menyediakan tindakan berupa :

  • 1.    Perawatan di rumah sakit jiwa

  • 2.    Penyerahan kepada pemerintah

  • 3.    Penyerahan kepada seseorang

Berbeda dengan KUHP yang berlaku sekarang, konsep KUHP menyediakan jenis-jenis tindakan untuk orang normal (orang yang mampu bertanggungjawab) untuk memberi perlindungan kepada masyarakat, yaitu tindakan-tindakan berupa :

  • 1.    Pencabutan surat izin mengemudi (SIM)

  • 2.    Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana

  • 3.    Perbaikan akibat-akibat tindak pidana

  • 4.    Latihan kerja

  • 5.    Rehabilitasi

  • 6.    Pengawasan di dalam suatu lembaga

Jenis tindakan diatas dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok dan diatur dalam Pasal 91: 2/1993; Pasal 98: 2/2004; Pasal 101: 2/2005-2012.

  • III.  PENUTUP

  • 3.1  Kesimpulan

  • 1.    Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur bahwa Pecandu narkotika dan penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi dapat diajukan apabila Tim Asesmen Terpadu telah mengeluarkan rekomendasi bahwa seseorang pengguna tersebut apakah merangkap sebagai pengedar atau murni sebagai pecandu saja.

  • 2.    Bertolak dari pemikiran bahwa pidana pada hakekatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan pemidanaan, maka

dalam konsep KUHP baru pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan.Pokok pemikiran mengenai pemidanaan sangat berhubungan erat dengan pemikiran mengenai tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.Untuk dapat memenuhi aspek ini, konsep KUHP menyediakan jenis sanksi berupa tindakan yang salah satunya berupa rehabilitasi.

  • 2.2 Saran

  • 1.    Pengaturan mengenai rehabilitasi yang berlaku saat ini diharapkan dapat diterapkan secara optimal oleh badan yang bersangkutan sehingga dapat mengurangi angka penyalahguna narkotika di Indonesia.

  • 2.    Konsep rehabilitasi dalam rangka pembaharuan hukum pidana diharapkan dapat dilakukan secara merata terhadap pelaku penyalahguna narkotika agar terbebas dari pengaruh obat terlarang tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Ali, Mahrus, 2015, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar

Grafika.

Ali, Zainnudin, 2016, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar

Grafika.

Arief, Barda Nawawi, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

_______ 2016, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Prenadamedia Group.

Atmadja, I Dewa Gede, 2012, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep dan Kajian Kenegaraan, Malang: Setara Press.

Serikat P.J, Nyoman, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: Universitas Diponegoro.

WP, Ratna, 2017, Aspek Pidana: Penyalahgunaan Narkotika, Yogyakarta: Legallity.

Jurnal Ilmiah

(http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/5009/B

AB%20III.pdf?sequence=7&isAllowed=y).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

13