PENGATURAN GUGATAN SEDERHANA DALAM PERMA NOMOR 2 TAHUN 2015 SEBAGAI PERWUJUDAN ASAS TRILOGI PERADILAN PADA SISTEM PERADILAN PERDATA INDONESIA

Oleh:

Ni Kadek Ari Astiti Diana* Marwanto**

Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Paradigma masyarakat mengenai penyelesaian sengketa di bidang perdata melalui jalur pengadilan tergolong cukup buruk. Sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk proses peradilan tergolong mahal, hampir sama dengan nilai tuntutannya. Selain itu, berperkara di pengadilan dinilai begitu rumit dan dapat menghabiskan waktu yang cukup lama hingga memiliki kekuatan hukum tetap. Demi mengubah paradigma di masyarakat, dan untuk mewujudkan peradilan yang berbasis asas trilogi peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan, Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) kemudian mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana atau disebut small claim court. Permasalahan yang diangkat pada tulisan ini adalah apakah pengaturan penyelesaian gugatan sederhana dapat mewujudkan asas trilogi peradilan dalam sistem peradilan perdata di Indonesia. Metode penulisan dalam makalah ini adalah metode penulisan hukum normatif dengan menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penulisan menunjukan melalui Perma No. 2 Tahun 2015, gugatan sederhana dapat mewujudkan asas cepat yang terlihat dari penyelesaian gugatan sederhana yang dapat diselesaikan dengan batas waktu maksimal 25 hari terhitung sejak hari pertama di mulainya persidangan, asas sederhana terlihat pada ketentuan Pasal 1 angka 1 PERMA No. 2 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa dalam

penyelesaian gugatan sederhana diselesaikan dengan tata cara dan proses pembuktiannya yang sederhana, serta terkait biaya ringan terlihat dari tidak diwajibkannya para pihak hadir didampingi oleh kuasa hukum sehingga para pihak tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membayar biaya jasa kuasa hukum tersebut.

Kata kunci: Gugatan Sederhana, Trilogi Peradilan, Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2015.

Abstract

The public paradigm of civil disputes settlement through court is quite bad. Most people think that the costs incurred for the judicial process are expensive, almost equal to the value of their demands. In addition, litigation in court is considered so complicated and can take a long time to have a permanent legal force. In order to change the paradigm in the community, and to realize the judicial trilogy-based justice that is simple, fast and light cost, the Supreme Court of the Republic of Indonesia then issued the Supreme Court Regulation Number 2 Year 2015 on Procedures for Settlement of Simple Claims or called small claim court . The problem raised in this paper is whether the simple settlement of a lawsuit settlement can actualize the principle of judicial trilogy in the civil justice system in Indonesia. The method of writing in this paper is the normative law writing method by using the type of legislation approach (statue approach) and conceptual approach (conceptual approach). The results of the writing shows that Perma no. 2 Year 2015, a simple lawsuit can actualize the quick principle that can be seen from the settlement of a simple lawsuit that can be completed with a maximum of 25 days’ time limit from the first day of the trial, a simple principle seen in the provisions of Article 1 number 1 PERMA No. 5 of 2015 which states that in the settlement of a simple lawsuit is solved by simple procedure and proof process, and related to the low cost visible from the non-obligation of the parties present is accompanied by attorney so that the parties do not need to pay to pay the cost of attorney's services.

Keywords: Simple Lawsuit, Judicial Trilogy, Supreme Court Regulation No.2 Year 2015

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Manusia pada umumnya merupakan makhluk sosial, yang memiliki arti manusia merupakan makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain. Hal tersebut menunjukan antar manusia terdapat hubungan bermasyarakat. Hubungan bermasyarakat antara pihak satu dengan pihak lainnya sering kali menimbulkan suatu permasalahan hukum yang harus diselesaikan melalui persidangan di pengadilan untuk mencari sebuah keadilan.1

Paradigma di masyarakat mengenai penyelesaian sengketa di bidang perdata melalui pengadilan tergolong cukup buruk. Sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa menyelesaikan sengketa melalui pengadilan diibaratkan memperebutkan kambing kehilangan sapi. Maknanya biaya yang dikeluarkan untuk proses peradilan tergolong mahal yaitu hampir sama dengan nilai tuntutannya. Selain itu, berperkara di pengadilan dinilai begitu rumit dan dapat menghabiskan waktu yang cukup lama sampai memiliki kekuatan hukum tetap.

Adanya kemajuan di berbagai bidang seperti bidang ekonomi serta keperdataan di masyarakat, memang menuntut adanya tata cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang lebih sederhana, cepat dan tentunya dengan biaya ringan. Sederhana dalam artian tidak berbelit-belit, cepat dalam artian jalannya peradilan yang cepat, dan biaya ringan menunjuk pada biaya yang dikeluarkan dalam mengajukan tuntutan hak tidak terlalu besar dan tidak membenani masyarakat. Sesuai dengan asas trilogi peradilan, penyelesaian

sengketa melalui pengadilan memang sudah seharusnya sederhana, cepat dan biaya ringan.

Demi mengubah paradigma di masyarakat, dan untuk

mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan,

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana atau disebut small claim court

(Perma No.2 Tahun 2015). Keluarnya Perma No.2 Tahun 2015

merupakan suatu terobosan dari MA, agar masyarakat dalam memperoleh keadilan bisa dipercepat sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.2 Terbitnya Perma ini juga untuk mengurangi tumpukan perkara di MA, karena pada tahun 2012-2015 MA telah menerima perkara sekitar 12 (dua belas) ribu sampai 13 (tiga belas ribu) perkara per tahun.3 1.2. Rumusan Masalah

Adapun dalam tulisan ini membahas mengenai

  • 1.2.1    Bagaimana alur proses penyelesaian gugatan sederhana sesuai dengan Perma No.2 Tahun 2015?

  • 1.2.2    Apakah bentuk pengaturan gugatan sederhana dalam Perma No. 2 Tahun 2015 dapat menerapkan asas trilogi peradilan dalam sistem peradilan perdata Indonesia?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui alur proses penyelesaian gugatan sederhana sesuai dengan Perma No.2 Tahun

2015 serta untuk mengetahui pengaturan gugatan sederhana dalam Perma No. 2 Tahun 2015 dapat menerapkan asas trilogi peradilan dalam sistem peradilan perdata Indonesia.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

      2.1.1    Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder.4

  • 2.1.2    Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan yang pertama adalah jenis pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang merupakan pendekatan yang menggunakan legislasi dan regulasi5 yang dalam hal ini penulis menelaah isi dari Perma No. 2 Tahun 2015 Tentang Penyelesaian Gugatan Sederhana. Selanjutnya yang kedua dengan pendekatan konseptual (conceptual approach). Dalam menggunakan pendekatan konseptual perlu merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang dalam pembahasan ini penulis membahas mengenai prinsip-prinsip yang digunakan sebagai dasar dalam hukum acara perdata (asas-asas hukum acara perdata) yaitu asas trilogi peradilan.

  • 2.2.    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Alur Proses Penyelesaian Gugatan Sederhana Sesuai Dengan Perma No.2 Tahun 2015

Proses penanganan perkara perdata yang saat ini masih menggunakan Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBG) sebagai sumber hukumnya dinilai sudah ketinggalan zaman. Proses yang panjang, upaya hukum yang memakan waktu lama mengakibatkan banyak perkara yang terkatung-katung. Apalagi sekarang Indonesia sudah memasuki pasar bebas ASEAN, yang berpotensi meningkatkan timbulnya sengketa di bidang perdata. Disisi lain terjadi penumpukan perkara di Mahkamah Agung dikarenakan lambatnya proses peradilan di Indonesia. Mekanisme peradilan di Indonesia yang pada khususnya berkaitan dengan wewenang Mahkamah Agung menjadi penyebab terjadinya penumpukan perkara di Mahkamah Agung.6 Jika membicarakan persidangan perkara perdata kapan suatu perkara dapat terselesaikan, secara normatif belum ada aturan yang jelas, sehingga bagi pihak dalam hak ini pihak yang berperkara yang mana memiliki itikad tidak baik akan mendapatkan keuntungan berupa dimilikinya hak kebendaan yang bukan miliknya dalam waktu yang cukup lama, sedangkan bagi pihak yang beritikad baik akan merasakan sebaliknya yaitu berupa kerugian yang dideritanya akibat dari tidak berjalannya suatu sistem sebagaimana mestinya.7 Berdasarkan data dari Survei Non-Probabilitas Pokja Gugatan

Sederhana MA 205, terdapat faktor penting untuk dibenahi dalam sistem peradilan perdata demi terwujudnya asas trilogi peradilan meliputi biaya 66 %; Lama Waktu Penyelesaian 14 %; Efektivitas Putusan 5 %; Lainnya 15 %8. Berdasarkan uraian permasalahan yang menjadi hambatan dalam terwujudnya asas trilogi peradilan tersebut, maka dibutuhkan suatu regulasi yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Diperlukannya regulasi juga sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto, yang menyatakan bahwa terdapat kondisi-kondisi yang harus dipenuhi. Bagaimana caranya agar hukum mempunyai pengaruh terhadap sikap tindak atau perilaku dari manusia.9 Cara yang dimaksud adalah tidak lain membentuk suatu regulasi yang sesuai dengan keadaan masyarakat sehingga dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada.

Perma No. 2 Tahun 2015 dikeluarkan untuk menjawab permasalahan tersebut, dengan adanya Perma No. 2 Tahun 2015 untuk sengketa-sengketa kecil tidak lagi mengikuti prosedur hukum acara perdata biasa melainkan menggunakan penyelesaian gugatan sederhana atau small claim court.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Perma No. 2 Tahun 2015 dapat diketahui bahwa penyelesaian gugatan sederhana merupakan suatu penyelesaian gugatan perdata di persidangan yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian yang sederhana yang mana gugatan perdata dimaksud memiliki nilai gugatan materiil maksimal sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Gugatan sederhana dapat diajukan di peradilan umum, karena

kewenangan memeriksa dan memutus gugatan sederhana berada dalam lingkup kewenangan peradilan umum.

Perma No. 2 Tahun 2015 mengatur bahwa tidak semua perkara perdata dapat diselesaikan melalui penyelesaian gugatan sederhana. Gugatan sederhana baru dapat diajukan jika nilai gugatan materiil paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dan gugatan tersebut merupakan perkara wanprestasi dan/atau perbuatan melawan hukum. Untuk perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus seperti niaga, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diajukan melalui penyelesaian gugatan sederhana. Selain hal tersebut, yang tidak termasuk dalam gugatan sederhana yakni sengketa hak atas tanah.

Penggugat dan tergugat dalam gugatan sederhana tidak boleh lebih dari satu, terdapat pengecualian yaitu memiliki kepentingan hukum yang sama, misalnya dalam perjanjian kredit, suami yang menandatangani perjanjian kredit yang dilakukan oleh istri merupakan pihak yang masuk dalam kategori kepentingan hukum yang sama dalam sengketa perdata tersebut.10 Selain itu, untuk dapat mengajukan gugatan sederhana, para pihak yaitu penggugat dan tergugat harus berdomisili di daerah hukum yang sama, dan terhadap tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya tidak dapat diajukan gugatan sederhana. Dalam proses penyelesaian gugatan sederhana kedua belah pihak baik penggugat dan tergugat wajib menghadiri semua proses persidangan dengan atau tanpa kehadiran kuasa hukumnya.

Mengenai alur dan tahapan-tahapan hukum acara dalam penyelesaian gugatan sederhana diatur dalam Pasal 5 Perma No. 2 Tahun 2015. Adapun alur dan tahapan-tahapan hukum acara dalam

penyelesaian gugatan sederhana adalah sebagai berikut:

Penyelesaian perkara melalui gugatan sederhana diselesaikan paling lama 25 (dua puluh lima) hari sejak hari dilakukan sidang pertama. Dalam proses pemeriksaan gugatan sederhana ada beberapa tahapan pemeriksaan dalam acara perdata biasa yang dihilangkan seperti, tidak dapat diajukannya provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau kesimpulan.

Upaya hukum terhadap putusan dari gugatan sederhana bukanlah banding maupun kasasi melainkan mengajukan keberatan. Keberatan diajukan kepada Ketua Pengadilan dengan batas waktu maksimal 7 hari terhitung setelah pengucapan putusan atau setelah putusan diberitahukan. Adapun Putusan terhadap permohonan keberatan diucapkan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal penetapan majelis hakim. Putusan keberatan merupakan putusan

akhir yang mana putusan tersebut tidak dapat dimintakan upaya hukum lagi, seperti banding, kasasi atau peninjauan kembali.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa ada beberapa perbedaan antara penyelesaian perkara melalui gugatan sederhana dengan penyelesaian perkara melalui hukum acara perdata biasa. Pada penyelesaian gugatan sederhana sudah ditentukan batas maksimal nilai gugatan materiilnya dan perkara yang diajukan harus mengenai perbuatan melawan hukum atau wanprestasi, sedangkan pada penyelesaian perkara melalui hukum acara perdata tidak ditentukan gugatan materiilnya, dan perkara yang diajukan tidak harus perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Gugatan sederhana para pihak diharuskan satu domisili dan pihak penggugat dan juga pihak tergugat tidak boleh lebih dari satu kecuali ada kepentingan sama, sedangkan pada hukum acara perdata para pihak tidak harus satu domisili, dan penggugat dan tergugat boleh lebih dari satu. Pada gugatan sederhana tidak dapat diajukan tuntutan provisi, intervensi, eksepsi, rekonvensi, replik, duplik, kesimpulan serta upaya hukum yang dapat diajukan hanya keberatan, sedangkan pada hukum acara perdata biasa dapat diajukan tuntutan provisi, eksepsi, intervensi, replik, duplik dan kesimpulan, untuk upaya hukumnya dapat berupa banding, .verzet, kasasi, dan. Peninjauan kembali serta denden verzet.

Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan gugatan sederhana atau small claim court. Syarat-syarat tersebut terdapat dalam Pasal 4 Perma No. 2 Tahun 2015 mengatur sebagai berikut: Syarat pertama terdapat pada Pasal 4 ayat (1) yang mana dalam gugatan sederhana ditentukan jumlah para pihaknya baik itu pihak tergugat maupun tergugat tidak boleh berjumlah lebih

dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama. Syarat kedua terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) yang mana tempat tinggal tergugat haruslah diketahui, apabila tidak diketahui maka tidak dapat diajukan gugatan sederhana. Kemudian selanjutnya terdapat pada Pasal 4 ayat (3) yang pada intinya menyatakan bahwa para pihak baik itu penggugat maupun tergugat haruslah berdomisili di daerah hukum pengadilan yang sama agar dapat mengajukan gugatan sederhana, dan yang terakhir pada Pasal 4 ayat (4) yang mana para pihak baik penggugat dan tergugat wajib untuk menghadiri langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum.

  • 2.2.2    Pengaturan Gugatan Sederhana Dalam Perma No. 2 Tahun 2015 sebagai Perwujudan Asas Trilogi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Perdata Indonesia

Melalui Perma No. 2 Tahun 2015, penyelesaian perkara gugatan sederhana dapat mewujudkan asas cepat, sederhana dan biaya ringan. Asas cepat dalam proses peradilan disini artinya dalam penyelesaian perkara haruslah tidak memakan waktu lama. Mahkamah Agung melalui Surat Edaran No. 1 tahun 1992 memberikan batasan waktu dalam penyelesaian perkara maksimal (6) bulan terhitung sejak perkara tersebut didaftarkan dikepaniteraan. Namun dalam hal ini terdapat pengecualian terhadap perkara yang telah diatur dalam ketentuan hukum yang mana penyelesaiannya tidak dapat dilakukan dengan batas waktu maksimal 6 bulan. Bedasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) PERMA No. 2 Tahun 2015, penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 hari terhitung sejak dimulainya sidang pertama. Dalam proses pemeriksaan gugatan sederhana ada beberapa tahapan pemeriksaan

dalam acara perdata biasa yang dihilangkan seperti, tidak dapat diajukan provisi, ekspesi, rekonvensi, intervensi, replik,. duplik, atau kesimpulan. Dengan demikian penyelesaian gugatan sederhana ini dapat mewujudkan asas cepat dalam asas trilogi peradilan. Dapat diketahui dalam penyelasaian perkara yang didasarkan asas cepat ini haruslah memperhatikan aturan hukum yang ada, agar tidak terlepas dari koridornya11

Selanjutnya adalah Asas sederhana yaitu dalam peradilan hendaknya secara jelas tidak berbelit-belit dalam proses beracaranya. Makin sedikit formalitas-formalitas yang diwajibkan dalam berperkara di persidangan, makin baik. Jika terlalu banyak formalitas maka akan sulit dipahami, dan kemudian akan menimbulkan berbagai macam penafsiran yang tentunya akan berdampak pada kurang menjaminnya suatu kepastian hukum dan menyebabkan ketakutan oleh para pihak yang bersengketa untuk beracara di muka pengadilan.12 Adapun asas sederhana ini dapat terwujud dalam penyelesaian gugatan sederhana yang mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 1 PERMA No. 5 Tahun 2015 yang pada intinya menyatakan bahwa dalam penyelesaian gugatan sederhana ini, gugatan perdata yang diajukan diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya yang sederhana yang mana nilai gugatan materiilnya paling banyak Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah).

Biaya ringan yaitu dalam peradilan untuk mencapai suatu kedilan tentunya tidak dibebankan dengan biaya yang sangat banyak. Hal ini dapat terwujud dalam gugatan sederhana yang tidak

mewajibkan para pihak hadir didampingi oleh kuasa hukum sehingga para pihak tidak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk membayar biaya jasa kuasa hukum tersebut. Mengenai hal tersebut mengacu pada ketentuan Pasal 4 ayat (4) PERMA No 5 Tahun 2015 yang mana berisikan mengenai kewajiban para pihak untuk menghadiri persidangan dengan atau tanpa kuasa hukumnya, sehingga nantinya untuk mendapatkan suatu keadilan tidak terhambat oleh biaya.

Dengan terwujudnya asas trilogi peradilan melalui Perma No. 2 Tahun 2015 ini, dapat memberikan perlindungan hak asasi manusia (HAM) kepada masyarakat berupa hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum yang dimaksud dalam hal ini yaitu terhindar dari proses berperkara di pengadilan yang berbelibelit yang dapat menghabiskan waktu yang cukup lama hingga memiliki kekuatan hukum tetap sehingga masyarakat yang berperkara di Pengadilan harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal pula untuk dapat merasakan suatu keadilan hukum 13 III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Secara ringkas mengenai alur dan tahapan-tahapan hukum acara dalam penyelesaian gugatan sederhana diatur dalam Pasal 5 Perma No. 2 Tahun 2015 meliputi:  pendaftaran gugatan,

pemeriksaan kelengkapan gugatan sederhana, penetapan hakim dan penunjukan panitera pengganti, pemeriksaan pendahuluan, penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak, pemeriksaan sidang dan perdamaian, pembuktian, dan putusan.

Adapun melalui Perma No. 2 Tahun 2015, penyelesaian gugatan sederhana dapat mewujudkan asas cepat yang terlihat dari ketentuan-ketentuan yang ada didalamnya seperti penyelesaian gugatan sederhana diselesaikan dengan batas waktu maksimal 25 hari terhitung sejak dimulainya sidang pertama, asas sederhana terlihat dari adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 PERMA No. 2 Tahun 2015 yang pada intinya menyatakan bahwa dalam penyelesaian gugatan sederhana diselesaikan dengan tata cara dan proses pembuktiannya yang sederhana, serta yang terakhir asas biaya ringan terlihat dari tidak diwajibkannya para pihak hadir didampingi oleh kuasa hukum sehingga para pihak tidak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk membayar biaya jasa kuasa hukum tersebut.

3.2 Saran

Melalui tulisan ini, penulis dapat memberikan saran kepada pemerintah pembentuk peraturan perundang-undangan atau lembaga peradilan terkait untuk mensosialisasikan ke masyarakat mengenai adanya peraturan penyelesaian gugatan sederhana ini sehingga seluruh golongan ataupun seluruh lapisan masyarakat mengetahuinya yang kemudian akan berdampak pada pelaksanaannya yang diharapkan dapat berjalan secara optimal dan nantinya dapat meminimalisir tumpukan perkara di pengadilan DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Amiruddin, 2004, Pengantar Metode dan Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Ali, Achmad, 2002, Keterpurukan Hukum di IndonesiaPenyebab dan Solusinya, Jakarta, Ghalia Indonesia

Arto, A. Mukti, 2001, Mencari Keadilan (Kritik Dan Solusi Terhadap Praktik Paradilan Perdata di Indonesia),  Yogyakarta, Pustaka

Pelajar Offset.

Marzuki, Petter Mahmud, 2015, Penelitian Hukum, Cetakan ke-10, Prenamedia Group, Jakarta.

Sarwono, 2011, “Hukum Acara Perdata: Teori dan Praktik” Sinar Grafka, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1985, “Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi”, Cetakan I, Remaja Karya, Bandung.

Mertokusumo, Sudikno, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty Yogyakarta.

JURNAL

Ahmad Taufik, Giri dkk, 2017, “Penyelesaian Gugatan Sederhana Sebagai Pelaksanaan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, Dan Berbiaya Ringan”, Jurnal Sekolah Tinggi Hukum, Vol. 1, No. 1, Juni 2017.

Andi Meyrina, Rr. Susana, 2017, “Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Masyarakat Miskin Atas Penerapan Asas Peradilan Sederhana Cepat Dan Biaya Ringan”, Jurnal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Voi.8, No.1, Juli 2017.

Sukolegowo, Pramono, 2008,”Efektivitas Sistem Peradilan Sederhana, Cepat, Dan Biaya Ringan Di Lingkungan Peradilan Umum”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Vol. 8 No. 1 Januari 2008.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Herzien Inlandsch Reglement (HIR)

Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBG)

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Gugatan Sederhana

INTERNET

Anonim, 2015, “Urgensi Terbitnya PERMA Small Claim Court” URL : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55d71ac18056b/u rgensi-terbitnya-perma-small-claim-court. Diakses tanggal 15 Mei 2017.

15