LEGALITAS REKAMAN PEMBICARAAN TELEPON SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
on
LEGALITAS REKAMAN PEMBICARAAN TELEPON SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
Oleh :
Ida Bagus Parta Swarjana
Anak Agung Gde Oka Parwarta
Bagian Hukum Pemerintahan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana
Abstract:
This journal entitled "Legality of Recording Telephone conversation as Evidence In Criminal Case Settlement". The issues discussed in this paper is how the legality of recording phone conversations as evidence in the trial of criminal cases. This journal uses the normative method by reviewing legislation and library materials. The conclusion of this paper is as described in Article 5 of Law No. 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions, hereinafter referred to as UU ITE, recording telephone conversations is legal evidence is valid, but only as evidence of the instructions which telephone records as evidence can not stand alone. Terms that phone records into evidence in the trial is a fulfillment of the formal and material preconditions stipulated in UU ITE and also must merging with other evidence.
Keywords: Legality, Recording Telephone Conversation, Evidence
Abstrak:
Jurnal ini berjudul "Legalitas Rekaman Pembicaraan Telepon sebagai Alat Bukti Dalam Penyelesaian Perkara Pidana". Adapun permasalahan yang dibahas dalam jurnal ini adalah bagaimana legalitas rekaman pembicaraan telepon sebagai alat bukti di persidangan perkara pidana. Jurnal ini menggunakan metode normatif dengan mengkaji perundang-undangan serta bahan pustaka. Kesimpulan dari jurnal ini yaitu sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disebut UU ITE, rekaman pembicaraan telepon merupakan alat bukti hukum yang sah, namun hanya sebagai alat bukti petunjuk dimana rekaman telepon sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri. Syarat agar rekaman telepon menjadi alat bukti dalam persidangan adalah terpenuhinya prasyarat formal dan materiil yang diatur dalam UU ITE dan juga keharusan penggabungan dengan alat bukti lain.
Kata kunci : Legalitas, Rekaman Pembicaraan Telepon, Alat bukti.
Legalitas dalam relevansi penulisan ini adalah legalitas terhadap pengujian alat bukti dalam persidangan. Pada era globalisasi, perkembangan baik disektor industri, perekonomian maupun teknologi berjalan sangatlah pesat. Hal tersebut berdampak besar kepada perkembangan sistem informasi dan juga elektronik. Sistem elektronik dipergunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis telekomunikasi dan media elektronik yang
berfungsi merancang memproses menganalisa, menampilkan, dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik.1
Pembuktian merupakan titik sentral di dalam rangkaian pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini dikarenakan tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara, perbuatan membuktikan untuk menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa terhadap suatu perkara pidana di dalam sidang pengadilan.2 Dengan kemajuan dan perkembangan teknologi terutama pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi, pembuktian di masa sekarang tidak bisa hanya mengacu kepada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP karena rumusan alat bukti ini sudah kurang relevan lagi di masa sekarang, pembuktian di masa sekarang tentu juga tidak dapat dilepaskan dari bukti elektronik.
Salah satu contoh dari bukti elektronik adalah rekaman pembicaraan telepon. Dengan sering munculnya rekaman pembicaraan telepon dalam persidangan membuat perkerjaan penyidik, penuntut umum dan hakim dalam menentukan sebuah perbuatan merupakan tindak pidana dan menentukan siapa yang harus bertanggungjawab secara pidana semakin mudah. Namun keabsahannya masih diperdebatkan karena KUHAP yang merupakan dasar dari hukum acara pidana di Indonesia malah belum mengatur tentang rekaman pembicaraan telepon atau alat bukti elektronik lainnya, dalam Pasal 184 KUHAP hanya diatur lima alat bukti yang sah yaitu saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Padahal sebenarnya dalam beberapa undang-undang untuk tindak pidana khusus sudah mengatur tentang alat bukti elektronik. Maka dari itu perlu diadakannya kajian yuridis mengenai legalitas rekaman pembicaraan telepon tersebut sebagai alat bukti yang sah sesuai dengan hukum postif Indonesia.
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk memahami legalitas rekaman pembicaraan telepon sebagai alat bukti dalam kasus pidana serta syarat – syarat bagaimana dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis penelitian yuridis normatif. Jenis penelitian ini menggunakan jenis data yaitu dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan bahan hukum seperti buku dan makalah kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang akan dibahas.
-
2.2 Hasil dan Pembahasan
-
2.2.1 Legalitas Rekaman Pembicaraan Telepon Sebagai Alat Bukti Dalam Penyelesaian Perkara Pidana
-
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disebut UU ITE memberikan dasar hukum mengenai kekuatan hukum alat bukti elektronik dan syarat formal dan meteriil alat bukti elektronik agar dapat diterima di persidangan. Secara sederhana, Alat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi prasyarat formal dan prasyarat materiil yang diatur dalam UU ITE yang digunakan untuk keperluan pembuktian di persidangan3
Agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah, UU ITE mengatur bahwa adanya syarat formal dan syarat materiil yang harus dipenuhi. Syarat formal diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materiil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keautentikannya, keutuhannya, dan ketersediaannya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materiil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik.4
Mengenai apakah rekaman pembicaraan telepon dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara pidana, kita perlu merujuk pada ketentuan dalam UU ITE. Hal ini diatur dalam Pasal 5 UU ITE sebagai berikut:
-
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
-
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
-
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
-
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a) surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Dari ketentuan Ayat Pasal 5 ayat (2) UU ITE dapat diketahui bahwa alat bukti Infomasi dan Dokumen Elektronik bukanlah alat bukti yang lain dan terpisah dengan alat-alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, melainkan sebagai perluasan dari alat bukti yang ada dalam Pasal 184 tersebut. Akan tetapi UU ITE tidak menjelaskan perluasan dari alat bukti yang mana diantara 5 alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP tersebut.5
Sedikit berbeda dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, pada Pasal 26 A ditegaskan bahwa:
-
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
-
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Dua alat bukti dalam Pasal 26 A Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tersebut ditegaskan sebagai alat bukti yang dapat digunakan sebagai bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk. Artinya mempunya kedudukan dan fungsi yang
sama dengan alat bukti keterangan saksi, keterangan terdakwa dan surat, sebagai bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk.6
Berdasarkan Pasal 183 KUHAP dalam proses pembuktian tindak pidana dalam persidangan, alat bukti rekaman pembicaraan telepon tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada alat bukti lain sebagai pendukung. Syarat agar rekaman pembicaraan telepon dapat menjadi alat bukti maka harus didukung oleh alat bukti lain yaitu: a) Keterangan Saksi. (Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP)
-
b) Keterangan Ahli (Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP)
-
c) Keterangan Terdakwa (Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP)
Rekaman pembicaraan telepon hanyalah sebagai salah satu bukti, tetapi perlu didukung oleh alat bukti lain untuk keperluan pembuktian di persidangan, misalnya keterangan saksi. Pada akhirnya, hakimlah yang melakukan penilaian pembuktian berdasar keterangan dan penjelasan yang diberikan di persidangan.
Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 5 ayat (2) UU ITE, rekaman pembicaraan telepon merupakan perluasan dari alat bukti yang ada dalam Pasal 184 KUHAP. Rekaman pembicaraan telepon dapat menjadi alat bukti hukum yang sah jika memenuhi prasyarat formal dan prasyarat materiil dan didukung oleh alat bukti lain yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa.
Jadi UU ITE telah mempertegas kedudukan rekaman pembicaraan telepon sebagai salah satu Dokumen Elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah. Oleh karena itu, rekaman telepon dapat saja dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara pidana.
Adami Achazawi & Ardi Ferdian, 2015, Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik: Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, Media Nusa Creative, Malang.
I Wayan Edy Kurniawan & Muhammad Zainal Abiddin, 2014, Tentang Hukum Acara Pidana Pengantar dari Dekan Fakutas Hukum Universitas Udayana, Indie Publishing, Depok.
Siswanto Sunarso, 2009, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik, Rineka Cipta, Jakarta.
Teguh Arifiyadi & Josua Sitompul, 2015, Gadgetmu, Harimaumu, Lentera Hati, Tangerang.
Undang - Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001
6
Discussion and feedback