ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH ARBITRASE INTERNASIONAL MENGENAI PERMASALAHAN LAUT CINA SELATAN

Oleh:

Tania Novelin

I Ketut Rai Setiabudhi

Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

South China Sea is part of the Pacific Ocean that covers most regions of Singapore and the Malacca Straits to the Strait of Taiwan with an area of approximately 3.5 million km2. Many countries claim the China Sea such as the Philippines and China that ultimately these problems resolved by arbitration. This paper aims to analyze the decision of the International Arbitration Court in the settlement of mutual claims between countries. This paper is a normative legal research with the approach of legislation, court decisions, and legal theory. The conclusion that can be drawn through this paper is China is not entitled to the South China Sea.

Keywords: South China Sea, Arbitration.

ABSTRAK

Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik yang meliputi sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwann dengan luas sekitar 3,5 juta km2. Banyak negara yang mengklaim laut cina tersebut seperti Filipina dan RRC yang pada akhirnya permasalahan tesebut diselesaikan melalui arbitrase. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis mengenai keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional dalam penyelesaian kasus saling klaim antar negara. Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dan teori hukum. Kesimpulan yang dapat ditarik melalui tulisan ini adalah China tidak berhak atas Laut Cina Selatan.

Kata Kunci: Laut Cina Selatan, Arbitrase.

yang dimulai dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan1. Karena bentangan wilayah yang luas ini, dan sejarah penguasaan silih berganti oleh penguasa tradisional negara-negara terdekat, dewasa ini, beberapa negara, seperti Republik Rakyat China (RRC), Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam, terlibat dalam upaya konfrontatif saling klaim, atas sebagian ataupun seluruh wilayah perairan tersebut. Bahkan Indonesia, yang bukan negara pengklaim, menjadi terlibat setelah klaim mutlak RRC atas perairan Laut China Selatan muncul pada tahun 20122.

Sejak tahun 1947, China telah mengklaim secara keseluruhan kepulauan Spratly sebagai bagian dari Provinsi Guangkong. Wilayah yang menjadi ajang perebutan klaim kedaulatan wilayah ini terbentang ratusan mil dari Selatan hingga Timur di Provinsi Hainan. Keterangan Pemerintah RRC itu dibantah Pemerintah Vietnam, yang juga mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut, dengan mengatakan bahwa Pemerintah RRC tidak pernah mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Paracel dan Spratly sampai dasawarsa 1940. Filipina juga memiliki klaim kedaulatan yang sama, dengan mengangkat kedekatan geografis ke Kepulauan Spratly sebagai dasar klaim terhadap sebagian wilayah kepulauan tersebut. Pemerintah Malaysia dan Brunei juga memiliki klaim kedaulatan terhadap sebagian kawasan di Laut China Selatan. Menurut kedua negara bertetangga dekat itu, perairan Laut China Selatan masih dalam kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka, seperti yang ditetapkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982. Pada pembahasan ini yang akan dibahas adalah antara Negara Filpina dan RRC yang pada akhirnya kasus tersebut diselesaikan melalui Arbitrase.

  • 1.2.    Tujuan

Tujuan daripada penulisan ini yaitu untuk lebih memahami mengenai bagaimana putusan Mahkamah Arbitrase dalam menangani permasalahan Laut Cina Selatan.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode penelitian normatif. Penelitian hukum normatif atau penelitian perpustakaan ini merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dan teori hukum. Penelitian jenis normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka.3Dalam Inventarisasi bahan hukum harus dibedakan bahan hukum dan primer. Yang digunakan dalam meotode ini adalah Bahan sekunder yang meliputi teks book(buku hukum) yang memuat teori-teori dan konsep tentang hukum.4

  • 2.2.    Hasil Pembahasan

Dalam sistem hukum di Indonesia, keberadaan arbitrase sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan sebenarnya sudah lama dikenal karena semula arbitrase ini diatur dalam ketentuan Pasal 615 R.v s/d 651 Rv. Namun, dengan diterbitkannya UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,diikuti dengan meningkatnya perkembangan perdagangan, industri, dan keuangan akhir-akhir ini, maka penyelesaian sengketa melalui arbitrase makin diminati. Pengertian Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada 2013, Filipina mengajukan keberatan atas klaim dan aktivitas Cina di Laut Cina Selatan kepada Mahkamah Arbitrase UNCLOS di Den Haag, Belanda. Filipina mengatakan bahwa Cina mencampuri wilayahnya dengan menangkap ikan dan mereklamasi demi membangun pulau buatan. Filipina berpendapat bahwa klaim Cina di wilayah perairan Laut Cina Selatan yang ditandai dengan ‘sembilan garis putus-putus’ atau ‘nine-dash-line’ bertentangan dengan kedaulatan wilayah Filipina dan hukum laut internasional. Mahkamah Arbitrase sendiri mengatakan putusan yang mereka ambil akan

menentukan setidaknya tujuh dari 15 tuntutan yang diajukan Filipina. Putusan Mahkamah Arbitrase ini akan menentukan apakah terumbu yang diubah menjadi pulau-pulau buatan oleh Cina adalah pulau yang sah. Jika pulau-pulau buatan itu diakui oleh Mahkamah Arbitrase, Cina berhak atas zona ekonomi eksklusif dalam radius 200 mil laut sekaligus mementahkan keberatan Filipina. Apabila sebaliknya, maka Cina tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan sumber daya alam di sekitar pulau-pulau buatan tersebut. 5

Pada akhirnya, Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa-bangsa menyatakan bahwa China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut China Selatan. Putusan itu sesuai dengan keberatan yang diajukan oleh Filipina. Mahkamah Arbitrase menyatakan tidak ada bukti sejarah bahwa China menguasai dan mengendalikan sumber daya secara eksklusif di Laut China. Pengadilan arbitrase juga menyatakan China telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina. Disebutkan pula bahwa China telah menyebabkan kerusakan parah pada lingkungan terumbu karang dengan membangun pulau-pulau buatan. China mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan, termasuk karang dan pulau yang juga diklaim negara lain. 6

  • III.    KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, terjadi kasus saling klaim Laut Cina Selata antara Negara RRC dengan negara lainnya. Namun, yang dibahas adalah antara Negara Filipina dengan RRC. China telah mengklaim secara keseluruhan kepulauan Spratly, Filipina juga memiliki klaim dengan mengangkat kedekatan geografis ke Kepulauan Spratly sebagai dasar klaim terhadap sebagian wilayah kepulauan tersebut. Kasus saling klaim antar negara tersebut pada akhirnya diselesaikan melalui arbitrase. Mahkamah Arbitrase Internasional menyatakan bahwa China tidak memiliki memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut China Selatan dan tidak ada bukti bahwa China menguasai sumber daya eksklusif di Laut China.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Nugroho, Adi Susanti, 2015, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Jakarta, Prenada Media Group

Riduan, Syahrini.2009, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung, PT Citra Aditya Bakti

Suratman dan Philips Dillah, 2015, Metode Penelitian Hukum, Bandung, Penerbit Alfabeta

Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

Internet:

Martin Sieff, 2012, ”Sengketa Nama Laut China Selatan atas Kepulauan Spratly dan Paracel Ungkap Konflik yang Lebih    Dalam”,    beritabuzz.blogspot, URL:

http://beritabuzz.blogspot.co.id/2012/10/sengketa-nama-laut-cina-selatan-atas.html diakses terakhir tanggal 27 Februari 2017.

Fransisco Rosarian dan Aseanty Pahlevi,”Diklaim China, Natuna Dikawal TNI”, Koran Tempo,          30          Januari          2013,          URL          :

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160620170157-20-139564/perairan-natuna-medan-tempur-indonesia-china/ diakses terakhir tanggal 27 Februari 2017.

Idtesis, 2013,”Metode Penelitian Hukum Empiris dan Normatif”, wordpress.com, URL: https://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan-normatif/ ,diakses terakhir tanggal 27 Januari 2017.

BBC, 2016, “Apa pengaruh putusan Mahkamah Arbitrase soal Laut Cina Selatan?”, bbc.com, URL:http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/07/160711_dunia_filipina_cina_mahk amah_preview, diakses terakhir tanggal 27 Februari 2017.

Nograhany Widhi Koesmawardhani,2016, “Ini Putusan Lengkap Mahkamah Arbitrase soal Laut          China          Selatan”          ,news.detik.com,          URL:

http://news.detik.com/internasional/3251971/ini-putusan-lengkap-mahkamah-arbitrase-soal-laut-china-selatan, diakses terakhir tanggal 27 Februari 2017.

5