UPAYA PENCEGAHAN PERDAGANGAN ORANG MELALUI KEBIJAKAN DALAM HUKUM PIDANA
on
UPAYA PENCEGAHAN PERDAGANGAN ORANG MELALUI KEBIJAKAN DALAM HUKUM PIDANA
Oleh : A.A. Made Dina Puspitasari* Ibrahim**
Program kekhususan Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak :
Tulisan ini berjudul Upaya Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Kebijakan Dalam Hukum Pidana. Penulisan ini dilatarbelakangi belum memadainya peraturan dalam hukum positif Indonesia dalam mengimbangi perkembangan perdagangan orang di Indonesia. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia berupaya melakukan pembaharuan kebijakan hukum pidana dengan menyusun RUU KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2015). Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil dimana dalam mengatasi tindak pidana perdagangan orang diperlukan suatu formulasi tindak pidana perdagangan orang dalam RUU KUHP Nasional secara eksplisit, tegas, terang secara substansial dan mencantumkan pengertian dalam Rancangan Penjelasan RUU KUHP Nasional.
Kata Kunci : Perdagangan Orang, Kebijakan, dan Hukum Pidana
Abstract :
This paper entitled Efforts to Prevent Human Trafficking Through Policies in Criminal Law. This writing is backdrop by the lack of positive Indonesian legal regulation in balancing the development of human trafficking in Indonesia. Therefore, the Government of Indonesia seeks to reform the criminal law policy by drawing up the National Criminal Draft Law (draft of 2015). The method used in this paper is the method of normative legal research. Based on the result of the research, it is found that in dealing with the crimeicking, it is necessary to formulate the criminal act of human trafficking in the draft of National Crimes explicitly, expressly, light substantially and including the meaning in the Draft Bill Explanation of the National Criminal Code.
Keywords : Human Trafficking, Policy, and Criminal Law
Istilah perdagangan orang di Indonesia sudah galib dilakukan yang mana diawali dengan adanya penaklukan kelompok berkuasa dan kuat menguasai kelompok lemah. Perdagangan orang ditandai dengan adanya perbudakan dan perhambaan. Hal tersebut diketahui pada zaman kerajaan, dimana perdagangan orang menimpa kaum perempuan. Pada zaman kerajaan, kekuasaan raja sangat dimuliakan yang tercermin dari banyaknya ratu dan selir yang dimiliki raja tersebut. Dalam hal ini pihak keluarga menyerahkan anak gadis mereka untuk diperistri oleh raja sebagai salah satu bentuk kesetiannya kepada raja atau sebagai bentuk peningkatan status kehidupannya.1
Istilah perdagangan orang dikenal dengan istilah trafficking yang mana kata tersebut berasal dari Bahasa Inggris yang mempunyai makna sebagai “illegal trade” atau perdagangan yang ilegal.2 Perdagangan orang sebagai dampak dari adanya multidimensional yang mana Indonesia mengalaminya. Kasus perdagangan orang telah menjadi perbincangan publik tidak hanya dalam lingkup nasional tapi juga telah tersebar hingga kancah internasional. Perdagangan orang yang dilaksanakan di Indonesia tidak hanya melibatkan antar pulau, namun juga dilakukan hingga ke luar negeri dimana perdagangan orang telah terjadi antar negara di dunia. Dewasa ini, perdagangan orang di Indonesia berawal dari adanya peningkatan pengiriman TKI khususnya pekerja kasar dan
pembantu rumah tangga yang mana terdiri dari laki-laki dan perempuan bahkan tak jarang dilakukan juga oleh anak-anak. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki, menjadikan mereka mudah terjebak dalam kasus perdagangan orang.
Kebijakan hukum pidana di Indonesia perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Sehubungan dengan upaya pencegahan perdagangan orang di Indonesia melalui sarana penal, KUHP belum memberikan jaminan atas pencegahan perdagangan orang itu sendiri. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia mengesahkan UU RI No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun peraturan tersebut dianggap belum memadai untuk mengimbangi perkembangan tindak pidana perdagangan orang saat ini. Untuk itu sangat diperlukan adanya pembaharuan kebijakan hukum pidana yang mampu mencegah tindak pidana perdagangan orang. Mochtar Kusumaatmadja menyampaikan pendapatnya bahwa hukum tanpa kekuasaan hanyalah sebuah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezoliman.3 Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Indonesia berusaha dalam mengatasi maraknya perdagangan orang dengan mewujudkan upaya pembaharuan hukum pidana nasional Indonesia untuk menggantikan KUHP dan menghasilkan KUHP Baru dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi sesuai dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
-
1. Bagaimanakah perkembangan peraturan perdagangan orang di Indonesia ?
-
2. Bagaimanakah upaya pencegahan perdagangan orang melalui kebijakan dalam hukum pidana ?
-
1. Guna mengetahui dan memahami mengenai perkembangan peraturan perdagangan orang di Indonesia.
-
2. Guna mengetahui dan memahami mengenai upaya pencegahan perdagangan orang melalui kebijakan dalam hukum pidana.
Penulisan dalam jurnal hukum ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum kepustakaan dimana bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam hal ini digunakan buku-buku dan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan tulisan ini.4
Sejarah perkembangan peraturan perdagangan orang di Indonesia, tidak terlepas dari berlakunya KUHP yang merupakan
peninggalan Bangsa Belanda. Dimana pada masa agresi militer Belanda terjadi dualism hukum, Belanda yang membawa hukum pidananya yakni Wetboek van Strafrecht voor Indonesia sedangkan Indonesia berlaku Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie. Perdebatan tersebut berakhir dengan disahkannya UU RI No. 73 Tahun 1958 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh Wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka beberapa pasal dalam KUHP tidak berlaku lagi termasuk Pasal 324 sampai Pasal 327 tentang Perdagangan Budak. Soedarto memberikan pendapatnya bahwa pasal tersebut masih berlaku dikarenakan Pasal V tersebut tidak berlaku untuk KUHP dan pasal tentang perbudakan tidak termasuk dalam Pasal VIII yang diubah.5
Sebelum UU RI No. 21 Tahun 2007 disahkan, perdagangan orang di Indonesia diatur dalam Pasal 297 KUHP yang menyatakan perdagangan terhadap wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun. Dalam KUHP hanya pasal tersebutlah yang menyebutkan mengenai perdagangan orang walaupun belum memberikan perlindungan hukum terhadap permasalahan tersebut. Kemajuan teknologi adalah salah satu faktor penyebab globalisasi yang menjadikan banyak pihak tak bertanggungjawab melakukan kejahatan perdagangan orang secara terorganisir. Indonesia sebagai negara yang menjunjung nilai persatuan dan hak asasi manusia, kasus perdagangan orang tak dapat ditoleransi lagi. Dalam Pasal 20 ayat (1) UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia memberikan definisi bahwa perbudakan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemerdekaan orang. Hal serupa juga diatur dalam UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, perdagangan orang merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia termasuk kedalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Setelah UU RI No. 21 Tahun 2007 disahkan, maka peraturan ini dijadikan sebagai sarana bagi penegakan hukum khususnya dalam pencegahan dan penanganan perdagangan orang di Indonesia. Melihat belum memadainya peraturan tersebut dalam mengimbangi perkembangan perdagangan orang di Indonesia, maka Pemerintah Indonesia berupaya melakukan pembaharuan kebijakan hukum pidana. Upaya pembaharuan yang cukup signifikan dengan dirumuskannya berbagai jenis tindak pidana diluar KUHP ke dalam RUU KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2015). Pembaharuan tersebut diharapkan mampu mengatasi permasalahan perdagangan orang yang terjadi di Indonesia.
Perdagangan orang dikategorikan sebagai jenis kejahatan. Saparinah Sadli memberikan pendapatnya mengenai kejahatan yang merupakan bentuk “perbuatan menyimpang” yang berkembang di masyarakat dan realitanya tak ada masyarakat yang terhindar dari kejahatan.6 Salah satu upaya guna mengatasi kejahatan dapat dilakukan dengan sarana hukum pidana sebagai
bentuk upaya yang paling tua sama tuanya dengan peradaban manusia.7 Adapun perdagangan orang merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan dalam wilayah negara dan dilakukan dengan melewati batas suatu wilayah negara. Mengingat ruang lingkup dan dimensi tindak pidana ini sudah meluas dengan cepatnya, maka kegiatan perdagangan orang dimasukkan sebagai kejahatan yang terorganisir, kejahatan dunia maya, dan kejahatan transnasional.8
Selama beberapa tahun terakhir, badan legislatif berusaha keras dalam mewujudkan upaya pembaharuan kebijakan hukum pidana nasional yang menggantikan KUHP sebagai produk hukum warisan Bangsa Belanda dan menghasilkan KUHP Baru dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi sesuai dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya pembaharuan kebijakan hukum pidana yang dilakukan cukup signifikan dengan dirumuskannya berbagai jenis tindak pidana khusus di luar KUHP ke dalam RUU KUHP Nasional. Dalam RUU KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2015) dirumuskan suatu tindak pidana yang mana secara implisit meliputi perdagangan orang yakni terdapat dalam Bab XXI tentang Tindak Pidana Terhadap Kemerdekaan Orang, pada Bagian Kesatu tentang Perdagangan Orang, pada Paragraf 1 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, pada Pasal 556 yang mengatur:
Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana karena melakukan tindak pidana perdagangan orang dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori III dan paling banyak Kategori IV.
Berdasarkan rumusan diatas, terdapat 3 unsur yaitu “setiap orang yang melakukan” (perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan), “dengan menggunakan” (ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat), dan “untuk tujuan” (mengeksploitasi orang tersebut). Perumusan seperti diatas, maka sebuah tindak pidana perdagangan orang dapat terpenuhi apabila salah satu dari tiga bagian tersebut dilakukan. Sebagai contoh seseorang melakukan perekrutan dengan memanfaatkan posisi rentan untuk tujuan eksploitasi, maka orang tersebut telah memenuhi unsur dalam pasal perdagangan orang ini. Pasal tersebut merupakan pasal terpenting di dalam menentukan tindak pidana lainnya yang berhubungan dengan perdagangan orang, hal ini dikarenakan seluruh pasal-pasal lain yang terkait dengan tindak pidana perdagangan orang dalam RUU KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2015) terlebih dahulu harus memenuhi unsur-unsur perdagangan orang. Namun dalam Rancangan Penjelasan RUU KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2015), tidak menjelaskan seluruh istilah penting yang digunakan dalam konteks kejahatan
perdagangan orang. Disamping itu, terdapat pengertian penting yang tidak didefinisikan di dalam RUU KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2015) yakni pengertian “untuk tujuan mengeksploitasi”. Pengertian tersebut tidak ditemukan baik di dalam rumusan pasal dalam bab yang sama atau pun di dalam bab yang berbeda termasuk di dalam penjelasan definisi pada Buku I dan penjelasan pasal tersebut. Tanpa adanya pengertian tersebut dapat mengakibatkan implikasi yang penting karena di dalam penerapan atau pun dalam pengujian pasal ini akan menimbulkan suatu kendala.
Dalam Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol Trafficking) menegaskan bahwa setiap tindakan rekruitmen, transportasi, pemindahan, penempatan atau penerimaan anak dengan tujuan eksploitasi dianggap sebagai “perdagangan orang” sekalipun dilakukan dengan cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam Pasal 556 RUU KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2015) tidak digunakan. Hal tersebut menegaskan untuk korban perdagangan anak, tanpa terpenuhinya unsur kedua yakni dengan menggunakan kekerasan atau bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan bayaran atau keuntungan untuk memdapatkan persetujuan dari orang-orang, sudah termasuk kedalam bentuk perdagangan orang. Hal inilah yang belum diatur dalam RUU KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2015). RUU KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2015) menyamakan unsur
perdagangan orang baik korban yang telah dewasa maupun bagi korban yang masih anak-anak. Implikasinya akan menimbulkan beban pembuktian yang relatif berat bagi kasus perdagangan anak dimana korbannya adalah anak-anak. Oleh sebab itu tidak akan mampu memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban kejahatan serta hal tersebut hanya akan menjauhkan rumusan dari semangan dunia internasional dalam mencegah dan menghapuskan perdagangan anak.
Ditengah adanya reformulasi berbagai jenis tindak pidana khusus di luar KUHP yang kemudian disusun ke dalam RUU KUHP Nasional, ternyata belum terdapat pengaturan yang secara tegas dan eksplisit mengenai tindak pidana perdagangan orang. Hal ini yang menunjukkan bahwa belum terwujudnya upaya kodifikasi KUHP Nasional pada masa yang akan datang. Sebagai langkah nyata guna mewujudkan pembaharuan hukum pidana nasional, penyusunan RUU KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2015) dalam hal pengaturan perdagangan orang belum mencerminkan hakikat dari pembaharuan hukum pidana itu sendiri karena belum dapat mewujudkan KUHP Nasional baru yang lebih baik, yakni belum mampu mengatasi segala persoalan hukum serta belum mampu mengadakan kodifikasi secara keseluruhan terhadap berbagai tindak pidana yang ada dalam hukum positif Indonesia. Seharusnya penyusunan RUU KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2015) harus mampu dalam mewujudkan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai upaya reformasi hukum pidana secara keseluruhan. Pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana sudah semestinya mampu mengadakan penyempurnaan
peraturan hukum pidana menjadi lebih baik yang dapat memperbaiki segala kekurangan formulasi tindak pidana dalam hukum positif Indonesia serta mewujudkan kodifikasi secara keseluruhan.
Maka dari itu, upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk mencegah kekurangan formulasi terkait tindak pidana perdagangan orang di Indonesia pada masa yang akan datang yakni dengan mengadakan perumusan tindak pidana perdagangan orang secara tegas, jelas, terang dan eksplisit ke dalam RUU KUHP Nasional. Formulasi tindak pidana perdagangan orang yang akan dimasukkan ke dalam RUU KUHP Nasional haruslah jauh lebih baik dibandingkan dengan formulasi tindak pidana perdagangan orang di dalam hukum positif agar tindak pidana perdagangan orang dapat dicegah dan ditanggulangi. Sehubungan dengan upaya pencegahan perdagangan orang, substansi tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan ke dalam RUU KUHP Nasional harus memberikan kejelasan unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, dalam upaya pencegahan perdagangan orang di Indonesia sangat perlu dilakukan formulasi tindak pidana perdagangan orang dalam RUU KUHP Nasional secara eksplisit, tegas, terang baik secara substansial, serta dalam mencantumkan pengertian, ruang lingkup dan batasan tindak pidana perdagangan orang termasuk pula perdagangan anak dalam Rancangan Penjelasan RUU KUHP Nasional, sehingga kedepannya pengaturan tindak pidana perdagangan orang tidak lagi menimbulkan kekurangan dan tidak lagi tersebar dalam berbagai
peraturan perundang-undangan melainkan terkodifikasi ke dalam KUHP Nasional.
Berkembangnya modus operandi dari pada tindak pidana perdagangan orang yang semakin beragam dan kompleks sifatnya mengharuskan dilakukannya perubahan dan pembaharuan hukum pidana. Mengingat pula ruang lingkup tindak pidana perdagangan orang yang sudah meluas dengan cepatnya, maka kegiatan perdagangan orang dimasukkan sebagai kejahatan yang terorganisir, kejahatan dunia maya, dan kejahatan transnasional.
Sebagai bentuk upaya pencegahan perdagangan orang di Indonesia, sangat perlu dilakukan formulasi tindak pidana perdagangan orang dalam RUU KUHP Nasional secara eksplisit, tegas, terang baik secara substansial, serta dalam mencantumkan pengertian, ruang lingkup dan batasan tindak pidana perdagangan orang dalam Rancangan Penjelasan RUU KUHP Nasional.
Adapun saran yang dapat penulis berikan guna menunjang fungsionalisasi kebijakan hukum pidana sebagai upaya pencegahan perdagangan orang di Indonesia yakni dengan merumuskan tindak pidana secara eksplisit, jelas, terang baik secara substansial dan mencantumkan penjelasannya ke dalam Penjelasan RUU KUHP Nasional. Hal ini bertujuan agar pada masa yang akan datang tidak lagi terdapat kekurangan atau
disharmonisasi pada pasal-pasal di dalam RUU KUHP Nasional serta dalam mewujudkan kodifikasi hukum pidana nasional di Indonesia.
-
IV. DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Farhana, 2012, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, cet.II, Sinar Grafika, Jakarta.
Gandhi Lapian & Hetty A. Geru, 2010, Trafficking Perempuan dan Anak, Buku Obor, Jakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar, 2006, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung.
Nawawi, Barda, 1984, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.
Nuraeny Henny, 2011, Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya, Sinar Grafika, Jakarta, dikutip dari Saparinah Sadli, 1979, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Bulan Bintang, Jakarta, h.56.
Sadli, Saparinah, 1979, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Bulan Bintang, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 2014, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet.14, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Jurnal Ilmiah :
Ginting, Sanofta, 2013, “Kebijakan Hukum. Pidana Dalam Menanggulangi Human. Trafficking” Portal Majalah. Hukum, Juni 2013.
Peraturan Perundang-Undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 73 Tahun1958
tentang Peraturan. Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah. Republik Indonesia dan Mengubah Kitab. Undang-Undang
Hukum Pidana
Undang-Undang Republik. Indonesia Nomor 39 Tahun.
tentang Hak. Asasi Manusia.
Undang-Undang Republik. Indonesia Nomor 26 Tahun.
tentang Pengadilan. HAM
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol Trafficking)
14
Discussion and feedback