PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DI LIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

Oleh :

Titania Elisa Ginting*

I Ketut Westra**

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Di Indonesia, Perkawinan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang di dalamnya telah mengatur mengenai batas umur minimum seseorang melakukan perkawinan. Pada kenyataannya sering kita temui anak dibawah umur melakukan perkawinan, padahal belum memenuhi kriteria tersebut. Berbagai alasan pun dikemukakan mulai dari ekonomi, sosial, rendahnya pendidikan, budaya bahkan insiden hamil duluan. Terlebih dari itu Dispensasi yang dikeluarkan oleh Pengadilan juga memberikan pengaruh yang sangat besar atas meningkatnya jumlah perkawinan anak dibawah umur. Hal ini tentu sudah melanggar hak – hak anak yang di atur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang mengkaji kaidah - kaidah hukum berdasarkan fenomena yang terjadi dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh dispensasi yang diberikan hakim terhadap perkawinan anak di bawah umur serta hukum yang berlaku bagi pelaku perkawinan anak dibawah umur dilihat dari masa mendatang.

Kata Kunci : Perkawinan Anak, Dispensasi, Ius Constituendum

Abstract

In Indonesia, Marriage is regulated in Law Number 1 of 1974 about marriage (Marriage Law) in which has set about the minimum age limit in marriage. In reality, we often encounter child marriage even though it is against the Law. Various reasons were put forward ranging from economic, social, low education, culture and even pregnant incident first. Moreover, dispensation issued by the Court also have a profound impact on the increasing number of child marriage. This certainly has violated the rights of the children as regulated in Law Number 35 of 2014 on Amendment to Law Number 23 of 2002 on Child Protection (Child Protection Law). The research method used in the writing of this journal uses a type of normative legal research that examines the rules of law based on the phenomenon that occurs with the aim to determine the effect of dispensation given by judges on marriage of children and the law applicable for marriage of children seen from future.

Keyword : Child Marriage, Dispensation, Ius Constituendum

  • I.    PENDAHULUAN

    • I.1.    Latar Belakang

Perkawinan adalah serangkaian adat beraturan dengan menyatukan insan manusia yang memiliki tujuan yang sama yakni untuk membangun rumah tangga dan berkembang biak guna untuk meneruskan keturunan. Perkawinan dipandang sebagai suatu yang sakral untuk di

jalankan dan tidak boleh sembarangan dalam pelaksanaannya sebab tujuan sebuah perkawinan bukan hanya pemenuhan kebutuhan biologis saja namun perkawinan juga bertujuan untuk penyempurnaan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pada hakekatnya Perkawinan dilakukan untuk menciptakan hubungan hukum antara suami dan isteri guna mendapatkan hak dan kewajiban masing-masing yang harus dijalankan baik pihak suami maupun pihak isteri.

Aturan tentang Perkawinan sudah ada sejak pada zaman dahulu, jauh sebelum masyarakat Indonesia mengenal tentang Hukum Negara. Aturan yang di berlakukan berdasarkan atas kekuasaan raja, kebiasaan – kebiasaan, budaya serta kepercayaan masyarakat pada saat itu. Berbeda pada saat sekarang ini aturan melaksanakan perkawinan telah diatur didalam UU Perkawinan yang mengatur tentang tata cara melakukan perkawinan, salah satunya adalah batas umur minimum dalam melaksanakan perkawinan, yakni seorang laki - laki yang telah mencapai umur 19 tahun dan seorang perempuan yang telah mencapai umur 16. Jadi seseorang yang belum mencapai batas umur minimum tersebut tidak boleh melaksanakan perkawinan.

Fenomena perkawinan anak dibawah umur sangat sering di lihat saat ini. Beragam alasan dilakukannya perkawinan tersebut mulai dari ekonomi, rendahnya pendidikan, sosial, kebudayaan atau agama yang di anut

bahkan tak jarang si anak telah terlebih dahulu hamil akibat pergaulan bebas. Meskipun demikian terdapat pro kontra dalam pelaksanaan perkawinan anak dibawah umur, ada yang menganggap bahwa hal tersebut sah – sah saja dan bahkan ada yang menganggap hal tersebut merupakan perbuatan tercela yang melanggar hak – hak anak.

Anak sebagai amanah Tuhan Yang Maha Esa memiliki peran strategis dalam menjamin kelangsungan eksistensi bangsa sehingga Indonesia menempatkan anak pada posisi fundamental dan menjadi fokus utama bagi negara. Kehadiran Peraturan yang mengatur tentang Perlindungan Anak menjadi bukti negara menjamin perlindungan hukum terhadap anak. Selain itu juga di bentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bertanggungjawab untuk meningkatkan efektifitas perlindungan anak itu sendiri.1

Adanya peraturan – peraturan yang telah disebutkan di atas belum sepenuhnya melindungi hak-hak anak, masih terdapat cela sehingga perlindungan terhadap anak tidak berjalan dengan semestinya. Misalnya saja, di Indonesia masih belum ada peraturan yang tegas terkait sanksi bagi pelaku perkawinan anak dibawah umur. Hal ini tentu seolah membenarkan adanya perkawinan anak di bawah umur.

  • I.2.    Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang diangkat pada penulisan jurnal ini adalah ;

  • 1.    Bagaimana pengaturan pemberian Dispensasi oleh Hakim

saat ini ?

  • 2.    Bagaimana Ius Constituendum terhadap perkawinan anak dibawah umur ?

  • I.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui pengaturan dispensasi yang diberikan oleh Hakim yang dapat membenarkan perkawinan anak dibawah umur serta mengetahui terkait ius constituendum bagi pelaku perkawinan dibawah umur karena banyak yang menganggap bahwa hal tersebut termasuk dalam perbuatan tercela yang melanggar hak – hak anak yang terdapat di dalam UU Perlindungan Anak.

  • II.    ISI MAKALAH

    • II.1.    Metode Penulisan

Penulisan jurnal ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian normatif yakni meneliti kaidah atau aturan hukum sebagai suatu kesatuan bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum.2 Belum adanya yang mengatur terkait sanksi bagi pelaku perkawinan anak

2 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 36

dibawah umur menyebabkan terjadinya kekosongan hukum yang tidak memberikan perlindungan terhadap hak – hak anak, sehingga yang menjadi rujukan dalam membuat jurnal ini adalah peraturan perundangan, asas-asas hukum dan doktrin sehingga dapat ditelaah seluruh undang -undang berdasarkan regulasi dari sebuah isu hukum.

  • 2.2 Hasil dan Analisis

    2.2.1    Kebijakan Hakim dalam Pemberian Dispensasi

Berbicara mengenai Kebijakan Hakim tentu erat kaitannya dengan Politik Hukum dimana Politik Hukum merupakan kebijakan tentang Hukum yang akan diberlakukan, dalam hal ini bisa saja pembuatan hukum baru ataupun penggantian hukum yang telah ada yang bertujuan untuk mencapai suatu tujuan negara.3

Politik hukum yang di maksud dalam hal ini adalah pernyataan yang di keluarkan oleh penguasa negara yang berkenaan dengan hukum yang berlaku di wilayah tertentu, serta hendak kemana hukum tersebut diarahkan.4

Dispensasi merupakan Politik Hukum yang di keluarkan oleh Hakim atas dasar kekuasaan kehakiman yang dimilikinya. Hakim membuat aturan yang baru atau

penggantian yang lama yang mengizinkan perkawinan anak di bawah umur, dengan disertakan atas alasan - alasan tertentu. Pengaturan tentang Dispensasi diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan dimana dispensasi diminta kepada pejabat yang berwenang seperti pengadilan atau pejabat lain apabila ada anak yang belum mencapai umur 19 tahun bagi laki - laki dan mencapai umur 16 tahun bagi perempuan namun ingin melakukan perkawinan.

Dispensasi yang diberikan oleh hakim menimbulkan Pro dan kontra di dalam masyarakat, sebab hal tersebut di nilai seolah membenarkan Perkawinan di bawah umur yang secara terang - terangan melanggar hak- hak anak yang terdapat di dalam UU Perlindungan Anak.

Pada hakekatnya hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi terhadap perkawinan anak dibawah umur berdasarkan atas pertimbangan - pertimbangan yang sesuai dengan Undang – Undang yang berlaku, salah satunya adalah UU Perkawinan yakni membahas terkait dengan batas umur seseorang dalam melakukan perkawinan. Sehingga usia seseorang dalam melakukan sebuah perkawinan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. 5

Hakim dalam memutuskan suatu permohonan dispensasi sering kali mengalami masalah yang dilematis. Satu sisi hakim merupakan lembaga yudikatif yang harus menegakkan keadilan satu sisi Hakim memandang bahwa pada kenyataannya sebagian besar orang tua atau wali yang mengajukan permohonan dispensasi akibat anaknya telah mengalami insiden atau telah hamil. Jika memang telah di dapatkan demikian maka hakim tentu memilih untuk mengabulkan permohonan dispensasi yang diajukan sebab Hakim memandang bahwa anak yang di dalam kandungan tersebut harus memiliki perlindungan hukum dan memiliki status yang jelas, dalam hal ini jelas siapa orang tuanya. Jadi kedepannya anak yang di dalam kandungan tersebut ketika telah lahir ke dunia bukan hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya saja melainkan memiliki hubungan hukum juga dengan ayahnya.

Memilih antara kedua pilihan tentu sangat sulit sehingga dalam keadaan dilematis tersebut hakim memilih kebijakan dengan skala resiko yang terkecil dari yang terburuk yakni mengabulkan atau memberikan dispensasi kepada mereka yang ingin kawin.

  • 2.2.2    Ius Constituendum Perkawinan Anak di Bawah Umur

Sampai saat ini peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia belum ada kesepakatan mengenai batas

usia seseorang dikategorikan sebagai anak. Hal tersebut dapat penulis uraikan dalam beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

No .

Peraturan Perundang –

Undangan

Definisi Anak

1.

Undang - Undang No. 35

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Seorang anak di katakan sebagai anak apabila belum mencapai usia 18, termasuk anak yang berada di dalam kandungan

2.

Undang – Undang No. 4

Tahun    1979    tentang

Kesejahteraan Anak

Anak adalah seorang laki-laki atau perempuan yang belum mencapai umur 21 tahun

3.

Konvensi Hak - Hak Anak

Anak adalah yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan ketentuan lain usia dewasa di capai lebih awal

4.

Undang – Undang No. 19

Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia

Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun termasuk yang berada di dalam kandungan dan

belum menikah.

5.

KUHP

Orang yang belum dewasa adalah orang yang belum mampu untuk menikah berdasarkan Undang-undang Perkawinan yakni 19 untuk laki-laki dan 16 untuk perempuan.

Berdasarkan uraian pada tabel di atas, tampak belum ada kesepakatan batas umur seseorang di kategorikan sebagai anak. Pengertian anak yang berbeda juga di anut oleh ajaran agama Islam yang menganggap bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai akil baliq (dewasa) adalah seseorang yang belum mengalami mimpi basah bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan maka dia masih dikategorikan sebagai anak – anak, sehingga dibebaskan dari beban tanggungjawab.

Pandangan yang senada juga dianut oleh hukum adat yang tidak ada mengatur terkait dengan batas umur seseorang di kategorikan sebagai anak. Hanya saja yang menjadi acuan adalah ketika anak tersebut telah mengalami perubahan dalam hal biologis, misalnya ketika wanita telah haid dan menonjolnya buah dada sementara laki-laki telah

mengalami perubahan suara dan postur tubuh serta telah mengeluarkan air mani.6

Perbedaan persepsi tentang definisi anak menyebabkan masyarakat Indonesia masih sangat sulit menempatkan diri terkait seseorang dikategorikan sebagai anak. Hal tersebut semakin menambah problematika dalam pelaksanaan perkawinan anak di bawah umur. Kontra terhadap perkawinan anak dibawah umur, KPAI mengganggap bahwa perkawinan anak di dibawah umur merupakan perbuatan yang tercela yang sulit diterima di masyarakat, namun disisi lain juga tetap di terima dengan alasan atau faktor - faktor tertentu. Faktor- faktor ini lah yang membuat semakin maraknya perkawinan anak di bawah umur.

Jika dilakukan pengamatan lebih lanjut maka di temukan bahwa kondisi Perkawinan di Indonesia termasuk dalam kategori Pola Perkawinan Muda yang secara umum dilakukan mulai dari umur 12 tahun dan berakhir di 21 tahun.7 Perkara persoalan umur dalam melakukan suatu perkawinan tidaklah dapat di kesampingkan karena apabila di lihat dari sudut pandang keperdataan sangat penting mengingat hal tersebut berkaitan dengan kecakapan

seseorang dalam bertindak guna mendapatkan hak - hak tertentu.

Jika kita telaah melalui Hukum Nasional maka perkawinan anak dibawah umur terindikasi melanggar beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia antara lain adalah :

  • 1.    Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Ketentuan Pasal 7 ayat 1 yang hanya mengizinkan perkawinan bagi laki-laki yang telah mencapai umur 19 tahun dan perempuan yang telah mencapai umur 16 tahun.

  • 2.    Pasal 288 KUHP

Pasal ini mengatur larangan bersetubuh dengan istrinya yang telah diketahui masih di bawah umur sehingga apabila perbuatan tersebut mengakibatkan luka ringan di ancam pidana penjara paling lama 4 tahun , luka berat diancam pidana paling lama 8 tahun dan bahkan sampai mengakibatkan meninggal dunia di ancam pidana paling lama 12 tahun penjara.

  • 3.    Undang - Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang - Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa anak merupakan seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih berada di dalam kandungan

sehingga anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan guna mengembangkan minat dan bakatnya hal ini seperti yang terdapat pada Pasal 9 ayat (1).

Berdasarkan uraian di atas telah ditemukan adanya indikasi pelanggaran terhadap beberapa peraturan perundang - undangan di Indonesia, sehingga perlu dibuat peraturan yang mengatur secara jelas dan tegas mengenai sanksi perkawinan anak dibawah umur agar anak – anak di Indonesia mendapat perlindungan hukum yang jelas terkait dengan persoalan ini. Sampai saat ini, di Indonesia sendiri belum ada peraturan yang secara jelas dan tegas melarang perkawinan yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Sehingga dijadikan cela bagi para pelaku perkawinan anak dibawah umur yang mengakibatkan dilanggarnya hak-hak anak yang terdapat dalam UU Perlindungan Anak. Terlepas dari tidak adanya ketentuan sanki yang mengatur, hanya akibat - akibat yang di timbulkan atas perkawinan anak dibawah umur saja yang diatur dalam Pasal 288 KUHP.

Memahami perlu adanya kepastian hukum, Departemen Agama tengah merancang Undang – Undang Terapan Peradilan Agama tentang Perkawinan yang bertujuan untuk mencegah dilakukannya perkawinan anak dibawah umur secara jelas dan tegas. Rancangan Undang – Undang (RUU) ini di susun secara lebih terperinci dibandingkan dengan UU Perkawinan khususnya pemberian sanksi. RUU ini memberikan sanksi denda mencapai Rp.

6.000.000,- (enam juta rupiah) kepada pelaku perkawinan anak dibawah umur dan sanksi kurungan selama 3 bulan ditambah dengan sanksi denda sebesar Rp. 12.000.000,-(dua belas juta rupiah) bagi penghulu yang mengawinkan.

Jika di lihat dari negara lain, Gambia merupakan negara yang secara resmi melarang perkawinan anak dibawah umur dan akan memberikan sanksi kepada orangtua, pasangan dan pemimpin agama yang terlibat dalam perkawinan tersebut.8 Perempuan yang belum mencapai umur 18 tahun merupakan pelanggaran terhadap hukum sehingga bagi yang melanggarnya dikenakan sanksi hukuman penjara selama 20 tahun. Sejumlah pengacara Gambia mengatakan bahwa hukuman kekerasan tidak akan efektif sehingga yang diperlukan adalah adanya kerjasama dengan pemerintah dalam upaya untuk mendidik masyarakat tentang akibat perkawinan anak dibawah umur.

  • III. PENUTUP

  • 3.1    Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan. Pertama, bahwa seorang hakim pada hakekatnya dalam mengabulkan permohonan dispensasi melalui pertimbangan – pertimbangan yang berdasarkan atas Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Namun pada

kenyataannya Hakim dalam memutuskan suatu permohonan dispensasi mengalami masalah yang dilematis. Satu sisi hakim merupakan lembaga yuridikatif yang berperan sebagai penegak hukum dan disisi lain kebanyakan orangtua atau wali yang mengajukan permohonan tersebut karena si anak mengalami insiden atau telah hamil duluan. Jika memang telah di dapatkan demikian maka hakim tentu memilih untuk mengabulkan permohonan dispensasi tersebut karena Hakim memandang bahwa anak yang di dalam kandungan tersebut harus memiliki perlindungan hukum dan memiliki status yang jelas.

Kedua, perkawinan anak dibawah umur terindikasi melanggar beberapa peraturan yakni, UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak dan Pasal 288 KUHP. Kendatipun telah di temukan indikasi beberapa pelanggaran, namun sampai sekarang belum ada peraturan yang secara tegas, jelas dan tertulis tentang sanksi bagi pelaku perkawinan anak dibawah umur, melainkan hanya akibat- akibat yang ditimbulkan atas perkawinan anak dibawah umurlah yang dikenakan sanksi pidana yang terdapat didalam Pasal 288 KUHP. Menyadari perlu pembuatan peraturan perundangan secara tertulis membuat Departemen Agama merancang RUU Hukum Terapan Peradilan Agama yang bertujuan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak di bawah umur. RUU ini memberikan sanksi denda mencapai Rp.

6.000.000,- (enam juta rupiah) kepada pelaku perkawinan anak dibawah umur dan sanksi kurungan selama 3 bulan ditambah dengan sanksi denda sebesar Rp. 12.000.000,-(dua belas juta rupiah) bagi penghulu yang mengawinkan.

3.2 Saran

RUU Hukum Terapan Peradilan Agama di harapkan dapat di sahkan dan di realisasikan di Indonesia agar tercipta kepastian hukum guna melindungi hak - hak anak di Indonesia atas Perkawinan anak di bawah umur. Pengaturan yang jelas, tegas dan tertulis sangat diperlukan dalam memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi anak yang melakukan perkawinan dibawah umur agar kejadian-kejadian yang serupa tidak terjadi lagi.

Daftar Pustaka

Bahan Bacaan :

Adikusumah, Hilman, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung

Aditono, Siti Rahayu, 2006, Psikologi Perkembangan dan Bagian-bagiannya, Gaja Mada Press, Yogyakarta

Djamil, M. Natsir, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta

MD, Moh. Mahfud, 2010, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pres, Jakarta

ND, Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Taufiqurrohman, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, Fajar Interpratama Mandiri, Jakarta

Jurnal Ilmiah :

Prabowo, Bagya Agung, Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Dispensasi Perkawinan Dini Akibat Hamil di Luar Nikah pada Pengadilan Agama Bantul, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM No. 2 Vol 20 2013 :300 – 317

Internet :

Hardjanti, Annisa, 2016, Menikahi Gadis di Bawah Umur 18 Tahun di Negara Ini Dihukum 20 Tahun Penjara, Tribun News, 21 Juli 2016, Serial Online URL : http://www.tribunnews.com/internasional/2016/07/21/me nikahi-gadis-di-bawah-umur-18-tahun-di-negara-ini-dihukum-20-tahun-penjara diakses pada tanggal 22 Februari 2018 pukul 23.55

17