IMPLIKASI HUKUM PENGATURAN KEPENTINGAN UMUM SEBAGAI SYARAT PENGGUNAAN DEPONERING OLEH JAKSA AGUNG MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA *

Oleh

I Gusti Agung Angga Mahavira** I Dewa Made Suartha***

I Wayan Bela Siki Layang****

Bagian Hukum Peradilan, Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Deponering adalah pelaksanaan asas oportunitas yaitu penyampingan perkara demi kepentingan umum. Kepentingan umum yang di maksud adalah kepentingan bangsa, negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Deponering diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, namun dalam pengaturannya terdapat kekaburan norma dimana tidak jelas batasan batasan dari kepentingan Bangsa, Negara dan Masyarakat luas. Adapun karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui Implikasi Hukum Pengaturan Kepentingan Umum Sebagai Syarat Penggunaan Deponering Oleh Jaksa Agung Menurut Hukum Positif. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan. Hasil analisa Kepentingan umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 c Undang Undang Kejaksaan menjelaskan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, namun pengaturan kepentingan umum tersebut tidak menentukan secara limitatif bagaimana rumusan atau definisi serta batasan dari kepentingan umum tersebut hal ini berimplikasi terhadap penggunaan deponering oleh Jaksa Agung yaitu menyebabkan salah tafsir oleh Jaksa Agung dan timbul penafsiran yang beragam antara lembaga negara, kemudian status tersangka bagi pihak yang dideponering

menjadi tidak jelas apakah masih berstatus sebagai tersangka atau status tersangka seketika hilang jika dikelurkan deponering.

Kata Kunci : Deponering, Asas Oportunitas, Kepentingan Umum.

Abstract

Deponering is the implementation of the principle of opportunity which is the assistance of the case for the sake of the public. Public interest in the intention is the interests of the nation, state and / or interests of the wider community. Deponering is regulated in Law no. 16 of 2004 on the Attorney Office, but in the regulation there is a blurring of norms where there is no clear boundary restriction of the interest of the Nation, the State and the Public. The scientific work aims to know the Implications of Laws Regulating Public Interest as Terms of Use Deponering By Attorney General According to Positive Law. The research method used is normative legal research or literature law research method. Results of the analysis The general interest as defined in Article 35 c of the Public Prosecution Law makes it clear that the public interest is in the interest of the nation and the state and / or the interests of the wider community, but the general interest arrangement does not define limitatively how the formulation or definition and limitations of the public interest has implications for Deponering's use by the Prosecutor-General, causing misinterpretations by the ProsecutorGeneral and varying interpretations between state institutions, and the suspect's status for the underwritten party becomes unclear whether or not the suspect's status or suspect status is lost when deponering.

Keywords : Deponering, Principality of Opportunity, Public Interest.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1 . Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, unsur utama dari negara hukum adalah persamaan kedudukan di dalam hukum (equality before the law) dan supremasi hukum (supremacy of law). Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang berwenang dalam penuntutan. Kejaksaan dipimpin oleh seorang jaksa agung yang mengendalikan tugas dan wewenang kejaksaan. Menurut KUHAP dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan (Undang-Undang Kejaksaan), kejaksaan mempunyai kewenangan melakukan penuntutan pidana dan kewenangan lain menurut undang-undang, di sisi lain terdapat juga wewenang untuk tidak melakukan penuntutan pidana berdasarkan azas oportunitas. Asas opurtunitas adalah asas yang melandaskan penuntut umum mempunyai wewenang untuk tidak menuntut suatu perkara pengadilan dengan alasan demi kepentingaan umum.1

Hal ini mirip dengan pendapat yang dikemukakan Soepomo yaitu “di Belanda maupun Hindia Belanda berlaku asas oportunitas dalam tuntutan pidana yang artinya badan penuntut umum berwenang tidak melakukan penuntutan, jika adanya tuntutan tersebut dianggap tidak opportune, tidak guna kepentingan masyarakat."2

Salah satu tugas dan wewenang jaksa agung dalam Undang-Undang Kejaksaan Pasal 35 (c) adalah Jaksa agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud kepentingan umum adalah kepentingan Bangsa, Negara dan masyarakat luas.

Praktek penyampingan terhadap perkara pidana di Indonesia saat ini dijelaskan oleh RM Surachman dan Andi Hamzah sebagai wewenang untuk tidak menuntut tersebut dibenarkan dalam hal penghentian penuntutan karena alasan teknis dan penghentian penuntutan karena alasan kebijakan. Dalam perkembangan selanjutnya hanya Jaksa Agung yang berwenang melakukan kebijakan ini guna mencegah terjadinya penyalahgunaan

wewenang. 3

Dapat dikatakan bahwa jika bukti bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, jika jaksa merasa akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum bila penuntutan dilakukan, perkara akan dikesampingkan (asas opurtunitas). Asas opurtunitas adalah diskresi penuntutan yang dimiliki institusi kejaksaan yang dalam pelaksanaannya hanya ada pada jaksa agung.

Undang-Undang Kejaksaan dalam Penjelasan Pasal 35 tidak menentukan secara jelas bagaimana rumusan atau definisi dan juga batasan dari kepentingan bangsa, kepentingan negara dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian adanya kekaburan norma yang dalam hal ini mengundang penafsiran baik di kalagan lembaga negara, praktisi hukum, akademisi hukum maupun masyarakat pada umumnya.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan kepentingan umum sebagaimana maksud dalam Pasal 35 c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia ?

  • 2.    Bagaimana implikasi hukum terhadap pengaturan kepentingan umum   sebagai syarat penggunaan

Deponering oleh Jaksa Agung ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan karya ilmiah ini ialah untuk mengetahui dan lebih memahami mengenai implikasi hukum terhadap pengaturan kepentingan umum sebagai syarat penggunaan

deonering oleh Jaksa Agung.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penulisan

Dikatakan bahwa metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni.4 Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.5 Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini dapat diklarifikasikan atas 3 jenis meliputi:

  • 1.    Bahan hukum primer, yaitu ketentuan hukum dan perundang undangan yang berkaitan dengan penelitian ini;

  • 2.    Bahan hukum sekunder, berupa literatur literatur tertulis berupa buku-buku, makalah-makalah, laporan penelitian, artikel surat kabar dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pokok masalah dalam penelitian ini;

  • 3.    Bahan hukum tersier, merupakan bahan penjelasan mengenai bahan hukum primer maupun sekunder berupa kamus, ensiklopedia, dan sebagainya.6

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1    Kepentingan umum sebagai syarat penggunaan deponering oleh jaksa agung

Asas oportunitas dalam hukum pidana formil dituangkan dalam Undang-Undang Kejaksaan pada pasal 35 (c) yaitu Jaksa

Agung mempunyai wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Kemudian penjelasan pasal tersebut menjelaskan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat luas. Namun dalam penjelasan ini tidak ditentukan apa rumusan atau definisi serta batasan dari kepentingan negara, kepentingan bangsa, atau kepentingan masyarakat secara luas. Hal ini mengundang penafsiran yang beragam, baik di kalangan praktisi hukum, akademisi hukum, maupun masyarakat pada umumnya.

Kewenangan menyampingkan perkara hanya dapat dilakukan oleh jaksa agung dan bukan oleh jaksa di bawah jaksa agung. Jaksa agung dapat menyampingkan perkara setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.7

Secara sederhana frasa kepentingan umum dapat diartikan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas. Pengertian menurut ilmu Bahasa ini sudah barang tentu tidak dapat dijadikan pengertian yuridis dari kata kepentingan umum yang dimaksud dari pasal 35 c tersebut.

Kepentingan umum telah banyak diatur di zaman kemerdekaan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yang rumusannya berbeda satu sama lain. Kepentingan umum memiliki pengertian yang luas, karena luasnya pengertian kepentingan umum sehingga segala macam kegiatan bisa saja dimasukkan dalam kegiatan demi kepentingan umum.

Yang menarik adalah kepentingan umum dalam bidang apa, karena segala macam kegiatan dapat dimasukkan dalam

kepentingan umum tergantung dari sudut pandang mana kita menilai kepentingan umum tersebut.

Pengaturan penyampingan perkara atau deponering sebagai penerapan dari asas oportunitas menjadi hal yang penting dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, agar pengaturan deponering tidak menjadi aturan yang disalahgunakan oleh instansi instansi atau lembaga lembaga yang ada dalam sistem peradilan pidana khususnya lembaga kejaksaan yang memiliki kewenangan dalam meleksanakan deponering.

Salah satu contoh penggunaan deponering di Indonesia adalah pada saat Jaksa Agung Basrief Arief mengeluarkan deponering terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto, kemudian yang masih hangat diperbincangkan adalah Jaksa Agung HM Prasetyo mengeluarkan deponering dalam perkara yang melibatkan mantan ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

  • 2.2.2    Implikasi hukum pengaturan kepentingan umum sebagai syarat penggunaan deponering oleh jaksa agung

Deponering yang berlaku dalam yurisdiksi kejaksaan menjadi kekuasaan yang sangat penting yaitu menyampingkan perkara pidana yang sudah jelas nilai pembuktiannya.

Jaksa Agung yang berwenang menyampingkan perkara (deponering) harus menafsirkan apa itu kepentingan umum dengan cermat. Mengingat dalam penjelasan Pasal 35 c hanya di jelaskan kepentingan umum adalah kepentingan negara, bangsa, atau masyarakat. Jaksa Agung harus teliti dan berhati-hati dalam melakukan wewenang ini, sebab ada kemungkinan dengan memakai kepentingan Negara, kepentingan Bangsa, atau kepentingan masyarakat luas sebagai alasan seorang Jaksa Agung

menyampingkan perkara pidana, namun hal tersebut juga dapat dilakukan tidak lain untuk kepentingan pribadi atau golongan atau kelompok tertentu, yang dalam hal ini tentu bertentangan dengan tujuan dari penyampingan perkara (deponering).

Ketentuan Pasal 35 c yang di anggap penulis kurang jelas berimplikasi terhadap Jaksa Agung sebagai satu satunya lembaga yang memiliki kewenangan menyampingkan perkara tersebut. Dalam penggunaan deponering timbul penafsiran yang beragam dan perbedaan pendapat dari lembaga negara lain dan masyarakat pada umumnya. Hal ini tentu sangat tidak baik karena dapat mengganggu keharmonisan antara lembaga negara.

Hal ini menyebabkan perlu di atur lebih jelas sejauh mana batasan-batasan yang menjadi ukuran apa itu kepentingan negara, kepentingan bangsa, atau kepentingan masyarakat. Agar dalam menggunakan kewenangan menyampingkan perkara ini mencerminkan kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Kemudian tidak terjadi salah tafsir oleh Jaksa Agung dalam merumuskan kepentingan umum.

Ketentuan tersebut juga berimplikasi terhadap pencari keadilan yaitu pihak yang di deponering dan masyarakat pada umumnya. Untuk pihak yang mendapatkan deponering atau penyampingan perkara muncul perdebatan yaitu apakah status tersangka bagi pihak yang dideponering seketika hilang atau tetap berstatus tersangka. Status tersangka pada seseorang yang dideponering oleh Jaksa Agung menjadi tidak jelas karena tidak ada pengaturan yang mengatur hal tersebut. Kemudian apakah keputusan deponering dapat dibatalkan atau digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika dirasa tidak mencerminkan kepentingan umum.

Berdasarkan hal tersebut penulis berpendapat kejaksaan

adalah lembaga yang unik dikarenakan dalam Undang-Undang Kejaksaan dijelaskan bahwa kejaksaan adalah lembaga pemerintah namun wewenang kejaksaan termasuk dalam bidang yudikatif. Hal ini menyebabkan jaksa agung sebagai pimpinan lembaga kejaksaan memiliki dua peran yaitu sebagai pejabat Tata Usaha Negara dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (yudisial). Akibatnya keputusan yang dikeluarkan Jaksa Agung dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu keputusan yang bersifat administratif dan keputusan yang bersifat yudisial.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah kemudian memperluas makna Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah konsepsi KTUN diatur lebih luas dan menyeluruh, sehingga menimbulkan konstuksi baru tentang elemen-elemen yang terkandung dalam KTUN yang akan menjadi obyek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Berdasarkan uraian diatas penulis berpendapat bahwa deponering dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena kejaksaan termasuk lembaga pemerintah, sehigga Jaksa Agung dapat disebut sebagai pejabat Tata Usaha Negara dikarenakan melaksanakan urusan pemerintah. Meskipun keputusan Jaksa Agung prihal penyampingan perkara demi kepentingan umum (deponering) merupakan keputusan yang dikeluarkan untuk menjalankan wewenang Jaksa Agung dalam bidang yudisial namun dengan adanya perluasan makna KTUN dalam Undang-Undang No. 30 Tahun tentang Administrasi Pemerintah menyebabkan keputusan Deponering dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

  • III.    Penutup

    3.1.    Kesimpulan

  • 1.    Pengaturan kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menjelaskan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, namun pengaturan kepentingan umum tersebut tidak menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi serta batasan dari kepentingan umum tersebut.

  • 2.    Implikasi hukum terhadap pengaturan kepentingan umum sebagai syarat penggunaan deponering oleh Jaksa Agung adalah dapat menyebabkan salah tafsir oleh Jaksa Agung dan timbul penafsiran yang beragam dan perbedaan pendapat dari lembaga negara lainnya. Kemudian berimplikasi terhadap pencari keadilan yaitu pihak yang di deponering karena status tersangka bagi pihak yang dideponering menjadi tidak jelas, apakah seketika hilang atau tetap berstatus sebagai tersangka.

  • 3.2.    Saran

  • 1.    Hendaknya pengaturan kepentingan umum dalam Undang-Undang Kejaksaan ditinjau kembali. Baiknya pembuat Undang Undang nantinya menelaah lebih lanjut untuk memperjelas secara rinci mengenai apa yang dimaksud demi kepentingan umum. Kemudian perlu di atur mengenai kriteria kriteria dan batasan batasan dari kepentingan umum tersebut.

  • 2.    Perlu adanya ketentuan yang mengatur mengenai status tersangka bagi pihak yang di deponering agar status

tersangka bagi pihak yang dideponering menjadi jelas. Kemudian perlu adanya upaya hukum terhadap ketidakpuasan atas keputusan Jaksa Agung dalam penerapan deponering, agar menjadi penyeimbang dari kewenangan seorang Jaksa Agung dalam menggunakan kewenangan mengesampingkan perkara dan keputusan pengesampingan perkara tersebut menjadi lebih objektif.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Ali H. Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Amirudin dan Asikin. Zainal, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Harahap. Yahya, 2005, Pembahasan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.

Soekanto. Soerjono dan Mamudji. Sri, 2009 Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soepomo, 1981, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, Jakarta.

Surachman. RM dan Hamzah. Andi, 1995, Jaksa Diberbagai Negara Peranan Dan Kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta.

Jurnal :

Ferdy Saputra, 2014, Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan dengan Asas Oportunitas dan Undang Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Vol. II-No.1 Februari 2014, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Sumatra.

Perundang-undangan :

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan

Republik Indonesia (Lembaran Negara Rebublik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67), Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401.

12