PENERAPAN PASAL 28 AYAT (1) UU NO. 11 TAHUN 2008 BAGI PELAKU PENYEBAR “HOAX” DALAM PROSES PEMBUKTIAN
on
PENERAPAN PASAL 28 AYAT (1) UU NO. 11 TAHUN 2008 BAGI
PELAKU PENYEBAR “HOAX” DALAM PROSES PEMBUKTIAN
Oleh
A.A.Ayu Diah Okatrini I Ketut Sudiarta
Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Karya ilmiah ini dengan judul alat bukti elektronik sebagai alat bukti penyebaran berita bohong (Hoak) sesuai dengan ketentuan undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tujuan penulisan ini sebagai salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk mengtetaui alat bukti dalam tindak pidana penyebaran berita bohong (hoax). Dalam sistem penegakkan hukum penyidik dan hakim dapat mencari kebenaran bukti materiil sebagai alat bukti berupa akun pelaku di media elektronik sebagai penyebaran berita bohong (hoax), sesuai dengan ketentuan undang-undang nomor 11 tahun 2008 pasal 28 ayat (1), Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, karena Suatu berita yang menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian adalah termasuk juga berita bohong
Kata Kunci : elektronik ,berita bohong
ABSTRACT
Scientific work is titled electronic evidence as evidence of the spread of false news (Hoak) in accordance with the provisions of Law No. 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions. The purpose of this paper as one of the Tri Dharma College for mengtetaui evidence in the crime of dissemination of false news (hoaxes). In the system of law enforcement investigators and judges may seek the truth material evidence as evidence in the form of account actors in the electronic media as dissemination of false news (hoaxes), in accordance with the provisions of Law No. 11 of 2008 Article 28 paragraph (1) Any person who intentionally and without the right to disseminate false news and misleading consumers which resulted in losses in Electronic Transactions, as a story telling is not true about an event is included as well hoax
Keywords : electronic , hoax
-
I. PENDAHULUAN
-
1.1. Latar Belakang
-
Guna mencari kebenaran materiil terhadap tindak pidana di perlukan alat bukti sebagai barang bukti dalam proses persidangan, barang bukti adalah barang atau benda yang berhubungan dengan kejahatan. Barang atau benda tersebut dapat dikategorikan sebagai corpus delicti yang berarti barang-barang atau benda-benda yang menjadi objek delik dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan kejahatan. Ada pula yang termasuk barang bukti ialah barang-barang yang dikategorikan sebagai instrumenta delicti yang berarti barang-barang atau benda-benda hasil kejahatan, barang atau benda yang berhubungan langsung dengan tindak pidana.1
Barang bukti dengan alat bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan. Dalam persidangan setelah semua alat bukti diperiksa, selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan barang bukti. Barang bukti dalam proses pembuktian biasanya diperoleh melalui penyitaan. ”Dengan penyitaan maka penyidik akan mencari keterhubungan antara barang yang diketemukan dengan tindak pidana yang dilakukan”. 2
Dalam tindak pidana penyebaran berita bohong atau hoak aparat penegak hukum dapat melakukan penyelidikan dan pennyidikan terhadap pemilik akun di dunia maya, karena dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie). Hal ini disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. “Disimpulkan dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan
kepada KUHAP, yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut”.3
Tujuan penulisan karya ilmiah ini guna memenuhi Tri Dharma Perguruan tinggi salah satunya adalah untuk mengetahui alat bukti yang dipergunakan dalam proses pengambilan keputusan terhadap tindak pidana penyalahgunaan Dunia Maya.
Penulisan klarya imliah ini dengan menggunakan pendekatan secara normatif yaitu metode yang dipergunakan adanya kekaburan norma hukum antara KUHP dengan Undang-undang Nomomr 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, dengan menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, pengumpulan bahan hukum dengan melakukan pendekatan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahandengan menggunakan yuridis normatif
Penyidik dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap barang bukti dalam penyebaran berita bohong atau Hoak dapat dilakukan dengan menyelusuri pengguna akun yang menyebarkan berita bohong, sesuai denegan Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) menyatakan, “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”4 Perbuatan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE
merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam UU ITE. UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”.
Terkait dengan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menggunakan frasa “menyebarkan berita bohong”, sebenarnya terdapat ketentuan serupa dalam Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) walaupun dengan rumusan yang sedikit berbeda yaitu digunakannya frasa “menyiarkan kabar bohong. 5
Terdakwa hanya dapat dihukum dengan Pasal 390 KUHP, apabila ternyata bahwa kabar yang disiarkan itu adalah kabar bohong. Yang dipandang sebagai kabar bohong, tidak saja memberitahukan suatu kabar yang kosong, akan tetapi juga menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian. Menurut hemat kami, penjelasan ini berlaku juga bagi Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Suatu berita yang menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian adalah termasuk juga berita bohong.
Kata “bohong” dan “menyesatkan” adalah dua hal yang berbeda. Dalam frasa “menyebarkan berita bohong” yang diatur adalah perbuatannya, sedangkan dalam kata “menyesatkan” yang diatur adalah akibatnya. Selain itu, untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE maka semua unsur dari pasal tersebut haruslah terpenuhi. Unsur-unsur tersebut yaitu setiap orang dan dengan sengaja.
Dari kedua unsur tersebut
-
1. Setiap orang ; Setiap orang melakukan pemberitaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
-
2. dengan sengaja dan tanpa hak. Terkait unsur ini, menyatakan antara lain bahwa perlu dicermati (unsur,) ’perbuatan dengan sengaja’ itu, apakah memang terkandung niat jahat dalam perbuatan itu.
-
3. Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan; Karena rumusan unsur menggunakan kata “dan”, artinya kedua unsurnya harus terpenuhi untuk pemidanaan. yaitu
menyebarkan berita bohong (tidak sesuai dengan hal/keadaan yang sebenarnya) dan menyesatkan (menyebabkan seseorang berpandangan pemikiran salah/keliru). Apabila berita bohong tersebut tidak menyebabkan seseorang berpandangan salah, maka menurut hemat kami tidak dapat dilakukan pemidanaan.
-
4. Yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Unsur yang terakhir ini mensyaratkan berita bohong dan menyesatkan tersebut harus mengakibatkan suatu kerugian konsumen. Artinya, tidak dapat dilakukan pemidanaan, apabila tidak terjadi kerugian konsumen di dalam transaksi elektronik.
Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana, guna mencari alat bukti materiil penyidik dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan melalui konten-konten atau akun di dunia maya, sesuai dengan 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan, “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik untuk menentukan tersangka, terdakwa dan sampai pada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Agus Raharjo, 2002, Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Citra Aditya Bakti, Bandung
Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia, Jakarta, Rajagrafindo Persada, Jakarta
Andi Hamzah, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta
Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta
Arsyad Sanusi, 2009, Hukum dan Teknologi Informasi, Tim KemasBuku, Jakarta
Yahya Harahap, 1988 dan 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I dan II, Pustaka Kartini, Jakarta
6
Discussion and feedback