PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH

Oleh:

Ida Ayu Putu Sri Astiti PadmawatiNi Luh Gede Astariyani∗∗

Program Kekhususan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya kepala daerah memiliki wewenang sesuai yang telah ditentukan pada peraturan perundang-undangan. Namun, ternyata tak jarang terjadi penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah yang dapat berupa tindak pidana kejahatan yang berpengaruh terhadap status jabatannya. Tujuan dari penulisan jurnal ilmiah ini adalah untuk lebih memahami mekanisme pemberhentian kepala daerah apabila melakukan tindak pidana yang mempengaruhi status jabatannya dan sistem pemerintahan daerah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum yang digunakan berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Diubahnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah untuk kedua kalinya telah menetapkan mekanisme pemberhentian kepala daerah yang telah terbukti atas putusan pengadilan melakukan tindak pidana kejahatan.

Kata Kunci :  Kepala Daerah, Tindak Pidana, Mekanisme

Pemberhentian.

Ida Ayu Putu Sri Astiti Padmawati, adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, padpadma@yahoo.com

∗∗ Ni Luh Gede Astariyani adalah Dosen Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

In carring out the functions and duties of the regional head has the authority in accordance with those specified in the legislation. However, it was not uncommon for the abuse of authority by the regional head that could be criminal affense affecting of hregional head position. The purpose of this scientific jounal writing is to better understand the mechanism of dismissal of the head of the region when commiting a crime affecting the regional head position and local government system. The research method used is normative legal research with approach of legislation and conceptual approach. Sources of legal materials used in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. The amandement of the local government law for the second time has estabilished a proven regional dismissal mechanism for the court’s decision to commit a criminal offense.

Keywords: Regional head, Crime, Dismissal Mechanism.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Apabila wilayah suatu negara menjadi luas, tidak mungkin lagi seluruh urusan negara dapat diselesaikan oleh alat-alat perlengkapan yang hanya berkedudukan di pusat pemerintahan negara, untuk itu dibentuklah alat-alat perlengkapan negara yang berkedudukan di daerah yang disebut pemerintahan daerah. Pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah memiliki hubungan fungsi yang meliputi desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Ketiga hubungan fungsi tersebut dinamakan sistem otonomi yang memiliki sifat koordinatif administratif, yang mana tidak ada saling membawahi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan kata lain pemerintah daerah yang sebagai

wakil pemerintahan pusat juga mengemban tugas dan fungsi dari pemerintahan pusat itu sendiri di tingkat daerah.1

Untuk terciptanya sinergitas antara masing-masing alat perlengkapan di daerah maka, setiap daerah dipimpin oleh kepala daerah yang memiliki wewenang yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.2 Namun, ternyata tak jarang terjadi penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah berupa tindak pidana kejahatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berakibat terhadap status jabatnnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Sebagai contohnya adalah kasus mantan Gubernur Banten masa jabatan 2012 sampai dengan 2017 atas nama Hj.Ratu Atut Chosiyah,S.E. yang kerap di panggil Ratu Atut, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 63/P Tahun 2015 diberhentikan sebagai Gubernur Banten dengan merujuk pada Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor:44/PID.SUS/TPK/2014 yang menyatakan Ratu Atut terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana penyuapan terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar sebesar satu milliar rupiah bersama adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, terkait Pemilihan Umum Kepala Daerah (yang selanjutnya disebut Pemilukada) Lebak, Banten. Selain kasus tersebut ada pula kasus Bupati Bogor, Rachmat Yasin yang berdasarkan Surat Keputusan Kementrian Dalam Negeri Nomor 131.32-51 tahun 2015, diberhentikan dari jabatannya karena

merujuk pada Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor: 87/PID.SUS/TPK/2014/PN.Bdg tahun 2014 karena terbukti menerima suap sebesar empat miliar lima ratus juta rupiah dalam tukar guling lahan seluar 2.754 hektar dengan PT Bukti Jonggol Asri. Maraknya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh kepala daerah membuat pemerintah merubah Undang-Undang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut Undang-Undang Pemerintahan Daerah), yang menetapkan pemberhentian kepala daerah apabila terbukti telah melakukan tindakan pidana kejahatan. Berdasarkan hal tersebut maka penulis akan mengkaji analisa yang berjudul “PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH”

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Dengan adanya latar belakang tersebut, maka adapun rumusan masalah yang menurut penulis patut di angkat adalah :

  • 1.    Bagaimanakah kedudukan kepala daerah dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah ?

  • 2.    Bagaimanakah mekanisme pemberhentian kepala daerah yang melakukan tindak pidana kejahatan menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah ?

  • 1.3.    Tujuan

Tujuan penulisan jurnal ilmiah ini dimaksudkan untuk lebih memahami pemberhentian kepala daerah yang terbukti secara hukum melalui putusan pengadilan yang sah telah melakukan tindak pidana kejahatan ditinjau dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

  • II.    Isi Makalah

    • 2.1.    Metode Penelitian

      • 2.1.1.    Jenis Penelitian

Penulis menggunakan penelitian normatif dalam membuat jurnal ilmiah ini. Penelitian normatif membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.3 Penelitian normatif merupakan penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian yang sedang di telaah.

  • 2.1.2.    Jenis Pendekatan

Pada penulisan jurnal ilmiah ini diperggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan yang meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani. Sedangkan pendekatan konseptual melihat dari doktrin atau pandangan yang berkembang di dalam ilmu hukum.4

  • 2.1.3.    Bahan Hukum

Berikut bahan hukum yang dipergunakan dalam jurnal ilmiah ini yaitu :

  • 1.    Bahan hukum primer yang terdiri dari bahan hukum yang mengikat yaitu UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

  • 2.    Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya rancangan hasil penelitian, undang-undang, hasil karya dari kalangan hukum, dan lain sebagainya.

  • 3.    Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus dan indeks kumulatif.5

  • 2.1.4.    Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam jurnal yang menggunakan penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan dan bahan hukum dengan menafsirkan dan mengkaji peraturan perundang-undangan. Dengan mencari bahan-bahan dalam buku-buku terkait permasalahan untuk kemudian dikutip bagian-bagian penting dan selanjutnya di susun secara sistematis sesuai dengan pembahasan dalam penelitian ini.

  • 2.1.5.    Teknik Pengolahan Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif, pada analisis normatif dipergunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber penelitiannya. Adapun tahapannya meliputi, merumuskan dasar-dasar hukum, merumuskan pengertian hukum, pembentukan standar-standar hukum, perumusan kaidah-kaidah hukum.6

  • 2.2.    Hasil Analisa

    • 2.2.1. Kedudukan dan Kewenangan Kepala Daerah dalam Sistem

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Bagir Manan membagi penyelenggaraan pemerintahan di

Indonesia menjadi 3 (tiga) proses yaitu :

  • 1.    Sentralisasi, diwujudkan melalui dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada kepala daerah provinsi (Gubernur) sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

  • 2.    Desentralisasi yaitu penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI.

  • 3.    Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melakukan tugas tertentu.7

Pasal 59 Undang-Undang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa Kepala daerah merupakan kepala pemerintah di suatu daerah yang menjadi wilayah kerja dan jabatannya. Kepala daerah yang dimaksud adalah Gubernur untuk daerah provinsi, Bupati untuk daerah kabupaten, dan Walikota untuk daerah kota. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dipastikan bahwa kedudukan kepala daerah adalah pemimpin dan pelaksana urusan pemerintah pusat di wilayah daaerah otonom. Fungsi kepala daerah provinsi yaitu sebagai kepala daerah otonom dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dengan prinsip desentralisasi, dan sebagai kepala daerah kewilayahan melaksanakan prinsip dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Bagi kepala daerah kabupaten dan kota, yang disebut dengan Bupati dan Walikota melaksanakan urusan pemerintahan sesuai dengan prinsip desentralisasi, sehingga Bupati atau Walikota sebagai kepala daerah otonom.

Untuk melaksanakan fungsinya tersebut diatas, maka kepala daerah memiliki wewenang berdasarkan Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Pemerintahan Daerah yaitu mengajukan rancangan Peraturan daerah, menetapkan peraturan daerah setelah adanya persetujuan bersama DPRD, menetapkan peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah, menganbil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak, melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • 2.2.2.    Pemberhentian Kepala Daerah yang Melakukan Tindak Pidana Kejahatan menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Pasal 78 Undang-Undang Pemerintahan Daerah menjelaskan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia atas permintaannya sendiri, dan diberhentikan. Pemberhentian pada pasal ini bukan karena alasan melakukan tindak pidana kejahatan, melainkan karena alasan lainnya, seperti berakhirnya masa jabatannya, tidak melaksanakan tugas secara berturut-turut dan berkelanjutan selama masa yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, melanggar sumpah/janji jabatannya, dan lain-lainnya yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah karena tindak pidana kejahatan yang dilakukannya terdapat pada Pasal 83 Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang mana menjelaskan Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang memecah belah NKRI.

Pemberhentian sementara dalam masing-masing tingkatan daerah bukan dilakukan oleh pejabat yang sama, untuk Gubernur dan/atau Wakil Gubernur diberhentikan oleh Presiden, dan untuk Bupati dan atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil walikota diberhentikan oleh Menteri. Dalam hal kepala daerah berstatus terdakwa, kepala daerah tersebut masih dapat menjabat sepanjang

belum dikeluarkannya keputusan pemberhentian oleh Presiden.8 Namun apabila statusnya adalah terpidana maka secara demi hukum diberhentikan dari jabatannya dan diberhentikan secara resmi setelah keputusan pemberhentian dikeluarkan. Dalam hal ini segala hak dan kewenangannya dicabut sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan menjadi cacat hukum.

Setelah melalui proses peradilan terbukti tidak bersalah, maka presiden harus merehabilitasi dan mengefektifkan kembali kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung dari dikeluarkannya putusan pengadilan. Namun apabila diberhentikan sementara karena telah berakhir masa jabatannya, Presiden hanya merehabilitasi yang bersangkutan dan tidak mengaktifkannya kembali dalam jabatannya.9

Dalam hal pemberhentian sementara kepala daerah, tugas dan wewenang jabatannya dilaksanakan oleh wakil kepala daerah, sedangkan apabila wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara, maka kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajibannya. Pemberhentian sementara tersebut dilakukan oleh Presiden atas usulan Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur dan/atau Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota atas usulan Gubernur dengan pertimbangan DPRD.10

Apabila terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah (Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota) dengan sisa masa jabatan lebih dari 18 (delapan belas) bulan, kepala daerah (Gubernur/

Bupati/ Walikota) mengusulkan dua calon wakil kepala daerah untuk dipilih berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik dalam rapat paripurna DPRD (Provinsi/Kabpaten/Kota). KPUD bertugas untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang secara bersamaan berhenti dan/atau diberhentikan dalam masa jabatannya karena alasan yang tersebut diatas. Dalam hal terjadi kekosongan jabatan tersebut, semua tugas-tugas kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diemban oleh sekretaris daerah sampai dengan pengangkatan pejabat yang baru oleh Presiden.

  • III.    Penutup

    3.1.    Kesimpulan

  • 1.    Gubernur berkedudukan sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, Bupati berkedudukan sebagai kepala pemerintah daerah kabupaten, dan Walikota berkedudukan sebagai kepala pemerintah daerah kota.

  • 2.    Pemberhentian sementara Kepala Daerah Provinsi dan/atau Wakil Kepala Daerah Provinsi yaitu Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dilakukan oleh Presiden atas usulan Menteri Dalam Negeri, sedangkan untuk Pemberhentian Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan/atau Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota yaitu Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota dilakukan oleh Menteri atas usulan Gubernur dengan pertimbangan DPRD.

  • 3.2.    Saran

Penulis berharap tulisan ini nantinya dapat dijadikan sebagai referensi pemerintah dalam hal tindakan pemberhentian kepala daerah yang melakukan tindak pidana yang berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan rakyat, dan mewujudkan otonomi daerah yang seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung jawab.

  • IV.   Daftar Pustaka

    1.   Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2014, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

H. Zainuddin Ali, 2014, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Indrati, Maria Farida, 2007, Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, PT. Kanisius, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2016, Penelitian Hukum, Cet.XII, Kencana, Jakarta.

Sirajuddin dan Winardi, 2015, Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Setara Press, Malang.

Siswanto Sunarno, 2014, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.V, Sinar Grafika, Jakarta.

Soenarjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.III,

Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.

  • 2.    Jurnal

Amir Liputo, 2015, “Mekanisme Pemberhentian Kepala Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah”, Jurnal Fakultas Hukum Sam Ratulangi, Manado.

  • 3.    Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679).

13