PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA MELALUI UPAYA DIVERSI
on
PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA MELALUI UPAYA DIVERSI
Ida Ayu Tri Astuti Purwasari* I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti** Program kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Univeritas Udayana
ABSTRAK :
Latar belakang yang mendasari penulisan ini yaitu penerapan diversi dalam menyelesaikan perkara yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana. Secara konkrit masalah yang diangkat dalam penulisan ini yaitu bagaimana pengaturan diversi di Indonesia dapat memberikan perlindungan terhadap anak sebagai pelaku serta bagaimana perluasan pengaturan hukum tentang diversi di Indonesia yang dapat menjamin hak-hak anak. Penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan kasus (case approach) serta pendekatan undang-undang (statute approach). Melalui analisis dengan metode tersebut, dapat diketahui bahwa ketentuan diversi yang secara yuridis diatur dalam UU Sistem Peradilan Anak Nomor 11 tahun 2012 (selanjutnya disebut UU SPPA) telah dapat dilakukan mulai dari tahap penyidikan serta hasil kesepakatan diversi dikeluarkan dalam bentuk Penetapan Pengadilan, serta terdapat perluasan beberapa pasal dalam UU SPPA yang diatur dalam Perma tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 4 tahun 2014. Kesimpulan yang dapat ditarik memalui penulisan ini bahwa semakin cepat diversi dilaksanakan maka semakin cepat anak mendapat tindakan pemulihan serta masih adanya diskriminasi terhadap anak dalam UU SPPA sehingga perlu pengaturan lebih lanjut yang diatur dalam Perma diatas. Beranjak dari hal tersebut, maka perlu adanya kerjasama antara masyarakat dan penegak hukum untuk secara bersama mengawasi pergaulan anak-anak disekitar yang diharapkan dapat mengurangi kejahatan yang dilakukan oleh anak.
Kata Kunci: Diversi, Perlindungan Anak, dan Perluasan
Abstract
The background of this article is how the application of diversion in solving cases involving children as perpetrators of criminal acts. The issue raised in this case is how the diversion arrangements can provide protection to children and how the form of expansion of diversion settings in Indonesia. This study using normative research with case approach and statute approach. Through the analysis, legally diversion governed by the laws of the criminal justice system of children, can be started from the stage of the investigation and the results of the diversion agreement is issued in the form of a court decision, and there is the expansion of several articles on the law of the criminal justice system of children set out in Supreme Court Regulations. The conclusion of this paper is that the quicker the diversion to do, the sooner the children will receive recovery measures and there is still discrimination against children in the law of the juvenile justice system so that further regulations are required in the Supreme Court. Rooted in this case, need cooperation between law enforcement and communities to jointly oversee the association of children around that is expected to reduce crimes committed by children.
Keywords: Diversion, Child Protection, and Expansions
Zaman milenial seperti sekarang segala sesuatu sangat mudah diakses yang menyebabkan kita mudah berkomunikasi dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal melalui media sosial sehingga menyebabkan pergaulan anak menjadi terlalu bebas. Dikatakan wajar anak pada zaman sekarang menginginkan berbagai macam hal yang tidak semua orang tua dapat memenuhi keinginan tersebut. Keadaan tersebut menjadi salah satu pemicu mengapa anak dapat melakukan suatu perbuatan berakibat hukum, yang menyebabkan tumbuhnya keinginan materiil yang berlebihan serta obsesi dalam mecapai
sesuatu demi kepuasan sesaat dan kompetisi hidup yang tidak sehat1 sehingga sangat perlu adanya penanganan yang tepat untuk melindungi hak-hak anak seperti perlindungan hukum.
Perlindungan hukum yang dimaksudkan tentunya suatu perlindungan yang telah diratifikasi dalam undang-undang maupun peraturan lainnya sehingga tidak ada keraguan dalam memberikan suatu perlindungan terhadap anak. Indonesia sendiri telah meratifikasi ketentuan tentang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002, selain itu pernah meratifikasi ketentuan tentang Pengadilan Anak nomor 3 tahun 1997 dengan segala kelemahan dan kekuranganya pada tahun 2011-2012 dibahas RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang menjadi pengganti UU sebelumnya dan berlaku singga saat ini. Anak merupakan tunas dan generasi penerus bangsa sehingga anak memiliki peran yang strategis untuk itu.
Secara yuridis, pengertian anak dapat ditemukan dalam kententuan nomor 39 tahun 1999 tetang Hak Asasi Manusia yang menyatakan anak merupakan setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah. Mengenai hal yang sama, dalam konsideran ketentuan Perlindungan Anak disebutkan bahwa Anak merupakan amanah dan karunia tuhan, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lahirnya berbagai aturan tentang perlindungan anak merupakan salah satu bentuk upaya untuk tidak merampas hak-hak anak, dan menghindarkan dari proses berperkara dipengadilan, meskipun dalam keadaan tertentu anak harus berhadapan dengan
hukum selayaknya perlu diupayakan alternatif penyelesian perkara sebagai pengganti pidana atas perbuatannya.
Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur alternatif untuk pidana anak yang disebut diversi. Pasal 1 angka 7 UU SPPA, diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari pengadilan ke luar pengadilan yang berarti tindak pidana dilakukan oleh anak dapat diupayakan mediasi yang penyelesaianya melalui musyawarah kedua belah pihak berperkara yang sepakat mengakhiri perkaranya dengan perjanjian. Selain UU SPPA, pengaturan diversi dalam perkembangannya mengalami perluasan mengenai Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2014 (selanjutnya disingkat Perma Nomor 4 tahun 2014). Beranjak dari hal tersebut, penulis tertarik untuk membahas mengenai perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana khususnya dalam penulisan ini tentang tindak pidana pencurian yang telah ditetapkan oleh pengadilan dengan Nomor: 02/Pen.Pid.Sus-Anak/2018/PN Dps serta bagaimana
perluasan diversi yang diatur dalam Perma Nomor 4 tahun 2014.
-
1. Bagaimanakah pengaturan diversi dalam hukum positif di Indonesia sebagai bentuk perlindungan terhadap anak?
-
2. Bagaimanakah bentuk perluasan pengaturan hukum tentang diversi dalam hukum positif di Indonesia?
-
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan diversi dalam hukum posittif di Indonesia dapat memberikan perlindungan
terhadap anak meskipun dalam status sebagai pelaku tindak pidana.
-
2. Untuk mengetahui bagaimana perluasan pengaturan diversi dalam hukum positif di Indonesia.
Penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif. Metode penelitian normatif ini merupakan metode yang menitik beratkan pada kepustakaan berupa buku, peraturan perundang-undangan dan penetapan pengadilan berkaitan dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis. Penulisan ini menggunakan metode pendekatan kasus (case approach) dengan cara menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang diangkat dalam bentuk putusan pengadilan serta telah berkuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Ratio decidendi atau reasoning merupakan pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu putusan yang dijadikan kajian pokok dalam pendekatan kasus pada penulisan ini.2
Selain case approach, dalam penulisan ini juga menggunakan pendekatan undang-undang atau statute approach yaitu dengan melakukuan telaah terhadap undang-undang yang berkaitan dengan isu yang diangkat untuk mengetahui konsistensi serta kesesuain suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya.3
Diversi secara yuridis diatur dalam UU SPPA. Diversi merupakan usaha yang dilakukan oleh penegak hukum untuk menyelesaikan perkara anak yang berkonflik dengan hukum, untuk menjauhkan anak dari proses berperkara dipengadilan. Diversi dapat diupayakan selama perkara tersebut belum berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan telah dapat diupayakan pada tingkat penyidikan.
Penyidikan merupakan tahap pemeriksaan permulaan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang diberikan wewenang dan diatur dalam undang-undang untuk itu, segera setelah mereka mendengar kabar bahwa telah terjadi pelanggaran hukum.4 Penyidikan memiliki arti yang agak berbeda pada proses penyidikan perkara anak. Menurut Nasir Djamil dalam bukunya, berpendapat penyidikan dalam perkara anak yaitu kegiatan penyidik anak untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh anak.5
Pasal 26 UU SPPA menyatakan penyidik yang melakukan penyidikan terhadap perkara anak ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Saat menjalankan tugasnya penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli yang berkaitan
dengan anak seperti psikolog, psikiater, Tenaga Kesehatan Sosial atau Pekerja Sosial Profesional dan tenanga ahli lainnya. Selama kurun waktu paling lama 7 hari proses penyidikan, penyidik wajib mengajukan upaya Diversi.
Diversi adalah suatu penyelesain perkara anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa, atau Hakim. Diversi mencapai kesepakatan mengakibatkan proses penyidikan dapat dihentikan, selanjutnya penyidik menyerahkan berita acara dan hasil kesepakatan diversi ke Pengadilan Negeri untuk dikeluarkan penetapan. Proses penyidikan akan tetap dilanjutkan dan melimpahkan perkara ke Penuntut Umum Anak apabila diversi gagal.
Pada perkara a quo, anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian yang telah mencuri sebuah motor milik korban, pada tingkat penyidikan telah tercapai upaya diversi. Hasil kesepakatan tersebut pada intinya menyatakan bahwa anak diserahkan kepada orangtuanya, bersedia mengembalikan motor korban dalam keadaan yang baik dan bisa dipergunakan, dan kedua belah pihak menyepakati masalah selesai. Selanjutnya hasil diversi dan berita acara diversi diserahkan kepengadilan untuk dibuatkan penetapan. Oleh Pengadilan Negeri Denpasar dikeluarkanlah Penetapan dengan Nomor: 02/Pen.Pid.Sus-Anak/2018/PN Dps. Pada amar penetapan menyatakan “Memerintahkan Penyidik untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan setelah Kesepakatan Diversi
dilaksanakan seluruhnya/sepenuhnya”. Penetapan tersebut kemudian menjadi dasar penghentian penyidikan dalam perkara a quo.
Undang-Undang SPPA merupakan pengganti dari ketentuan tentang Pengadilan Anak Nomor 3 tahun 1997 yang telah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini karena dianggap masih mengkriminalisasi perbuatan anak yang berhadapan dengan hukum. Meskipun telah diganti dengan UU SPPA tidak membuat terang perlidungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Sebagai penyeimbang UU SPPA, dikeluarkanlah Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak yang diratifikasi dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2014. Perma Nomor 4 tahun 2014 sendiri merupakan perluasan dan pelenturan dari ketentuan Diversi yang secara yuridis diatur dalam UU SPPA. Antara bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf a UU SPPA dengan Pasal 3 Perma Nomor 4 tahun 2014 memiliki pembahasan yang sama namun memiliki makna yang berbeda, khusunya pada redaksional yang menyatakan “tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tahun” pada Pasal 7 ayat (2) huruf a UU SPPA dan dalam Pasal 3 Perma Nomor 4 tahun 2014 dengan redaksional yang pada intinya menyatakan diversi dimungkinkan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 tahun atau lebih.
Kedua bunyi pasal tersebut apabila dikaji dengan teori keadilan (gerechtigheid) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit) milik Gustav Radbruch, maka bukan merupakan konflik norma, namun lebih pada perluasan makna. Melihat kembali terbentuknya UU SPPA yang berdasarkan asas keadilan, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup yang mencakup tumbuh kembang anak, serta upaya perampasan kemerdekaan dan pidana sebagai upaya terakhir (Ultimum Remedium) dan tentunya menghindarkan anak dari pembalasan.6 Konteks diatas mensiratkan bahwa anak merupakan bagian tidak terpisahkan dari kelangsungan sebuah negara. Secara tegas negara memberikan perlindungan terbaik kepada anak sekalipun berkonflik dengan hukum. Sehingga setiap penyelesaian perkara anak harus mempertimbangkan segala aspek kehidupan anak termasuk keputusan yang diambil harus mempertimbangkan kepentingan terbaik untuk anak. Maka apabila dengan sangat terpakasa harus merampas kemerdekaan anak itu merupakan jalan terakhir.
Perluasan yang diatur dalam Perma Nomor 4 tahun 2014 dapat dikatakan sebagai alternatif untuk tidak menjauhkan anak dari upaya diversi yang dapat menghindarkannya dari pemidanaan. Singkatnya ketentuan Pasal 3 Perma Nomor 4 tahun 2014 dapat menutup celah kelemahan Pasal 7 ayat (2) huruf a UU SPPA. Sebaliknya UU SPPA akan menjadi diskriminatif apabila tidak diatur lebih lanjut dalam Perma. Diversi menjadi tidak wajib apabila anak didakwa dengan dakwaan subsidaritas dengan dakwaan primer diatas 7 tahun dan subsidair dibawah 7 tahun
meskipun kedua belah pihak antara keluarga pelaku dan korban sepakat untuk melaksanakan diversi.
Perma Nomor 4 tahun 2014 juga mengatur beberapa kekosongan dalam UU SPPA seperti pengertian musyawarah diversi. Musyawarah diversi dalam Perma diartikan sebagai musyawarah antara kedua belah pihak keluarga korban dan pelaku, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional serta pihak-pihak yang bersangkutan melalui pendekatan restoratif (restorative justice). Konsep diversi dan keadilan restoratif dalam pelaksanaannya melibatkan pihak ketiga dalam menyelesaikan perkara antara kedua belah pihak serta pihak lain yang bersangkutan agar menjauhkan anak dari proses pemidanaan.7 Selanjutnya, yang dapat menjadi fasilitator dalam diversi ialah hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara yang bersangkutan.
Meskipun suatu perkara pidana anak dapat diselesaikan melalui diversi, tidak sertamerta membuat anak bebas begitu saja. Kesepakatan diversi pada akhirnya akan dibuatkan penetapan oleh pengadilan dan secara otomatis akan memberikan tindakan (Maatregel) bukan menjatuhkan pidana (Straft). Made Sadhi Astuti dalam Hukum Pidana & Penologi: Rekonstruksi Model Pembinaan Berbasis Kompetensi bagi Terpidana Cybercrime milik Widodo dan Wiwik, berpandangan dalam konteks pidana anak, tindakan tidak dimaksudkan untuk memberi nestapa, melainkan dimaksudkan untuk mendidik,
memperbaiki serta menyembuhkan orang-orang tertentu dan melindungi masyarakat.8 Terdapat perbedaan tujuan antara pidana dengan tindakan. Pidana memiliki tujuan membinaan disertai dengan pemberian penderitaan yang sengaja sedangkan tindakan lebih kepada upaya melindungi dan mendidik seseorang demi masa depannya meskipun tidak disangkal dalam beberapa pemberian tindakan terdapat penderitaan.9
-
1. Penyidikan dalam perkara anak merupakan kegiatan penyidik anak untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Secara yuridis yang berhak menjadi penyidik dalam penyidikan anak diatur dalam Pasal 26 UU SPPA. Kurun waktu tujuh hari selama penyidikan dilakukan, penyidik wajib mengupayakan diversi agar perkara tersebut tidak bergulir kepengadilan. Disepakatinya isi perjanjian diversi oleh korban dan pelaku maka penyidik menyerahkan berita acara dan membuat permohonan penetapan diversi ke Pengadilan. Penetapan tesebutlah yang menjadi dasar penghentian penyidikan dalam perkara a quo.
-
2. Dibentuknya Perma Nomor 4 tahun 2014 setelah dikeluarkannya UU SPPA bertujuan untuk melengkapi kekurangan pada UU SPPA. Perluasan dan pengisian ruang kosong yang diatur pada Perma Nomor 4 tahun 2014 semata-mata untuk semaksimal
mungkin menjauhkan anak dari proses berperkara secara formal dipengadilan dan memberikan perlindungan terhadap anak.
-
1. Permasalahan diatas hanya satu dari sekian permasalahan yang ada berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan oleh anak. Berbagai upaya dan peraturan telah mengatur mengenai perlindungan anak, kini saatnya seluruh masyarakat dan penegak hukum secara bersama-sama mengindahkan peraturan yang telah ada serta secara bersama-sama mengawasi pergaulan anak-anak yang berada disekitar agar tidak sampai bemasalah yang mengakibatkan anak harus berhadapan dengan hukum.
-
2. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya motif kejahatan yang ada akan membawa pengaruh terhadap pengaturan perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum kearah yang lebih efisien untuk melindungi serta menjamin hak-hak terbaik untuk anak. Diharapkan kedepannya dapat diciptakan pengaturan perlindungan anak yang konsisen untuk melindungi hak-hak anak dan tidak mendiskriminasi serta berkurangnya kasus anak yang berkonflik dengan hukum.
Buku-Buku
Djamil, Nazir, 2013, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Hamzah, Andi, 2016, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Kartono, Kartini 2003, Patologi Sosial: Jilid 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.
Mulyadi, Lilik, 2014, Wajah Sistem Peradilan Anak Indonesia, Alumni, Bandung.
Widodo dan Wiwik Utami, 2014, Hukum Pidana & Penologi: Rekonstruksi Model Pembinaan Berbabasis Kompetensi bagi Terpidana Cybercrime, Aswaja Pressindo, Yogyakarta.
Jurnal Ilmiah
Novira, Maya, 2013, Kebijakan Penanngannan Kejahataan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dari Perspektif Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Piana Anak, Jurnal, Fakultas Hukum, Univesitas Sumatra Utara.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
13
Discussion and feedback