TINJAUAN YURIDIS TERHADAP WEWENANG JAKSA AGUNG DALAM PENYAMPINGAN PERKARA (DEPONERING)

Oleh

Luh Gede Lintang Arum Sena I Ketut Mertha

Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

This research entitled "Overview Juridical Authority against Attorney General in the Override Case (Deponering)". The Attorney General has some powers, one of which is the authority to waive the case, or who may be called by deponering. Leaving aside the criminal case is under the authority of the Attorney General for prosecution or not the holding of the implementation of the principle of opportunity granted by law to the Attorney General as a public prosecutor to waive the case in the public interest. This scientific paper uses normative research method by using the approach of legislation. In this study, the issue raised is how the Attorney General's authority in ruling the case, that if the terms are legally based on Law number 16 of 2014 on the Prosecutor. None of the legal regulations clearly expound. So far, only regulated in the explanation of Article 35 letter c of Law number 16 of 2004 on the Prosecutor stating that the public interest is the interest of the nation, the state and society. So put aside the matter of public interest really is absolutely the authority of the Attorney General, which is highly relative and subjective.

Keywords: the authority of the attorney general, the exclusion of the case

ABSTRAK

Makalah ilmiah ini berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Wewenang Jaksa Agung dalam Penyampingan Perkara (Deponering)”. Jaksa Agung memiliki beberapa wewenang yang salah satunya adalah berwenang untuk mengesampingkan perkara, atau yang dapat disebut dengan deponering. Penyampingan perkara pidana adalah salah satu wewenang dari Jaksa Agung untuk tidak diadakannya penuntutan atau pelaksanaan dari asas oportunitas yang diberikan oleh undang-undang kepada Jaksa Agung sebagai penuntut umum untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Makalah ilmiah ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Dalam penulisan ini permasalahan yang diangkat adalah bagaimana wewenang Jaksa Agung dalam penyampingan perkara, yang jika ditinjau secara yuridis berdasarkan UU No. 16 Tahun 2014 tentang Kejaksaan. Tidak ada satupun peraturan hukum yang merincinya secara jelas. Sejauh ini hanya diatur dalam penjelasan Pasal 35 huruf c UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyebutkan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat. Jadi mengesampingkan perkara demi kepentingan umum tersebut benar-benar mutlak menjadi kewenangan Jaksa Agung, yang mana sifatnya sangat relatif dan subjektif.

Kata Kunci: wewenang jaksa agung, penyampingan perkara

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Dalam hukum acara pidana dikenal istilah penyampingan perkara pidana demi kepentingan umum, yang merupakan salah satu wewenang Jaksa Agung tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 35 huruf c, menyebutkan bahwa: “Mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum”. Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 35 huruf c bahwa: “Yang dimaksud dengan ‘kepentingan umum’ adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat. mengesampingkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”.

Di Inggris kepentingan umum diartikan secara luas, termasuk kepentingan anak di bawah umur dan orang yang sudah terlalu tua.1 Wewenang deponering oleh Jaksa Agung digunakan dalam kasus Bibit-Chandra. Keduanya dituduh melakukan pemerasan dan penyalahgunaan kewenangan. Pada tanggal 29 Oktober 2010 Kejaksaan Agung mengeluarkan putusan deponering untuk kasus Bibit-Chandra.2 Berdasarkan uraian tersebut timbul pertanyaan, sejauh mana penyampingan perkara itu memenuhi syarat demi kepentingan umum? Dari latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat permasalahan ini dalam suatu bentuk jurnal ilmiah yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Wewenang Jaksa Agung Dalam Penyampingan Perkara (Deponering)”

  • 1.2    Tujuan

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kewenangan Jaksa Agung dalam mengesampingkan perkara apabila ditinjau secara yuridis berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang berdasarkan kaidah atau norma dalam peraturan perundang-undangan.3 Jenis pendekatan yang digunakan yakni pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta dengan menggunakan sumber bahan hukum primer yang terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan dan sumber hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan para ahli hukum yang telah masuk ke dalam media massa, kamus dan ensiklopedia hukum serta internet.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

    • 2.2.1    Pengesampingan Perkara Dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Dalam proses penuntutan, Jaksa Agung diberi kewenangan untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Hal tersebut tercermin dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang berbunyi: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.”. Kemudian, dalam penjelasan disebutkan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara, demikian penjelasan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

Namun, mengenai kepentingan umum tidak diatur dengan pasti dan jelas. Tidak ada batasan mengenai pengertian kepentingan umum. Maka, dapat dilihat dari tujuan hukum atau cita-cita hukum bangsa Indonesia, yaitu mewujudkan pokok-pokok pikiran

pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Secara garis besar, kepentingan umum yang dimaksud dalam pokok-pokok pikiran tersebut adalah kepentingan Negara dan masyarakat.

Kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas adalah hal yang tidak menuntut/alasan penghentian penuntutan karena alasan kebijakan yakni mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Menurut Prof. J.M.Van Bemmelen terdapat tiga alasan untuk tidak dapat melakukan penuntutan, yaitu4:

  • 1.    Demi Kepentingan Negara, kepentingan umum dalam suatu Negara hukum mempunyai peranan penting. Dalam peranan aktif, kepentingan umum menutut eksistensi dari hukum dan sebagai dasar menentukan isi hukum agar tujuan hukum dapat dicapai. Bagi bangsa Indonesia cita hukum diwujudkan pada pokok-pokok pikiran yang terkandung dalm pembukaan undang-undang dasar tahun 1945.

  • 2.    Demi kepentingan masyarakat, tidak dituntutnya perbuatan pidana karena secara sosial tidak dapat dipertanggung jawabkan. Agar dapat ditentukan apakah perkara pidana tersebut telah memenuhi syarat dalam proses penyampingan perkara dalam penyelesaian perkara pidana, dengan adanya kebijakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam melaksanakan penyampingan perkara yang terkait dalam penyampingan perkara demi kepentingan umum yang dilakukan oleh Jaksa Agung sehingga perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan ke pengadilan dengan dasar perkara pidana tersebut telah dikesampingkan dan tidak dapat diproses.

  • 3.    Demi kepentingan pribadi, Apabila kepentingan pribadi menghendaki tidak dilakukannya penuntutan ialah dalam persoalan-persoalan hanya perkara kecil, dan atau yang jika yang melakukan tindak pidana telah membayar kerugian dan dalam keadaan ini masyarakat tidak mempunyai cukup kepentingan dengan penuntutan atau penghukuman.5

  • 2.2.2 Perbandingan Antara Kasus Bibit-Chandra dengan Abraham-BW

Pada tanggal 29 Oktober 2010 Kejaksaan Agung mengeluarkan putusan deponering untuk kasus Bibit-Chandra. Basrief Arief menilai bahwa membawa kasus

ini ke pengadilan akan membuat Bibit-Chandra diberhentikan sementara dari jabatannya yang akan berdampak kepada KPK sehingga secara manajerial dan teknis akan mendorong lemahnya etos kerja KPK. Dan memperlemah kepercayaan masyarakat kepada KPK. Atas dasar itu, akhirnya Basrief Arief selaku Jaksa Agung saat itu mendeponir perkara setelah terungkap adanya rekaman merekayasa kasus.

Sementara untuk perkara Abraham dan Bambang, Jaksa beralasan perkara dikesampingkan semata demi kepentingan umum. Berbagai pihak, termasuk Abraham dan Bambang, menganggap polisi telah merekayasa kasus, karena kasus yang menjerat Abraham terjadi tahun 2007 dan Bambang tahun 2010. Tuduhan itu muncul karena penetapan tersangka keduanya dilakukan tak lama setelah KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka.6

Ada 3 alasan Kejaksaan Agung untuk memberi deponering atas kasus Abraham-BW. Alasan filosofisnya, yaitu terjadinya kegaduhan publik karena terganggunya harmonisasi antar institusi penegak hukum. Sehingga hukum tidak dapat terwujud secara maksimal. Alasan sosiologisnya adalah karena terganggunya pemberantasan korupsi sebab tersangka adalah tokoh dan aktivis yang diakui luas oleh masyarakat. Kemudian, alasan yuridis, dalam rangka untuk mewujudkan kepastian hukum.

Pengesampingan perkara dalam kasus ini sempat ditolak oleh Komisi III DPR dengan alasan tak ada alasan bagi kejaksaan untuk mengesampingkan kasus Abraham dan Bambang. Sebab, keduanya tak lagi menjabat sebagai pimpinan KPK. Berbeda dengan kasus yang menjerat Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, deponering diberikan ketika keduanya masih menjabat pimpinan KPK. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa masih lemahnya alasan deponering baik terhadap kasus Bibit-Chandra maupun Abraham-Bambang. Lemahnya alasan ini karena tidak adanya patokan yang pasti sejauh mana makna kepentingan umum itu sendiri.

III KESIMPULAN

Dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dinyatakan bahwa Jaksa Agung memiliki wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepetingan umum. Kemudian dalam penjelasan disebutkan bahwa, “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

Menurut Prof. J.M.Van Bemmelen terdapat tiga alasan untuk tidak dapat melakukan penuntutan, yaitu demi kepentingan Negara, demi kepentingan masyarakat, serta demi kepentingan pribadi.

IV DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amirruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum: Rajawali Press, Jakarta

Hamzah, Andi, 2000, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

Surachman, RM dan Andi Hamzah, 1995, Jaksa Diberbagai Negara Peranan Dan Kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta

Internet

Anonim, 2010, “Deponering Kasus Bibit-Chandra: Jalan Terakhir ala Kejaksaan”, InfoKorupsi.com,URL:http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=7717&l=depon ering-kasus-bibit-dan-chandra-jalan-akhir-ala-kejaksaan.  diakses tanggal 1

Februari 2017

Ambaranie, 2016, “Deja vu, Akhir Kisah Abraham Samad-BW Deponir Seperti Bibit-Chandra”,Kompas,URL:http://nasional.kompas.com/read/2016/03/04/08345791/ .Deja.Vu.Akhir.Kisah.Abraham.Samad-BW.Deponir.Seperti.Bibit-Chandra?page=all. diakses tanggal 7 April 2017

Peraturan Perundang-undangan

UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

6