KETERKAITAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN PENGADILAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
on
KETERKAITAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN PENGADILAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Oleh:
Komang Ayu Trisna Ambari
Yohanes Usfunan
Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT
Arbitration is a part of alternative dispute resolution that often used, but there are still many questions about the relevance between arbitration and general courts. The purpose of this reseacrh is to determine the relevance between arbitration as an alternative dispute resolution with the court based on Act Number 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution. Arbitration still very dependent on the courts. Especially in the implementation of the arbitration decision. This happens because there is still the necessity to register the arbitration decision in state court for the enforcement of a national arbitration. So this shows that the arbitration institution has no coercive efforts against the parties to abide by the decision. It can be seen clearly how the link with the Court of Arbitration. Arbitration is an alternative to the courts. However, in order to help the Court of arbitration institutions to be highly effective decisive better recognized by national law or international law.
Keywords : Arbitration, Resolution, Dispute, Court
ABSTRAK
Arbitrase merupakan salah satu bagian dari alternatif penyelesaian sengketa yang paling sering digunakan, namun masih banyak pula yang mempertanyakan keterkaitan Arbitrase dengan peradilan umum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keterkaitan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan pengadilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase masih sangat bergantung pada pengadilan. Terutama dalam pelaksanaan putusan arbitrase. Hal ini terjadi karena masih adanya keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri untuk pelaksanaan putusan arbitrase nasional. Sehingga ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak dalam menaati putusan. Maka dapat terlihat jelas bagaimana kaitan Arbitrase dengan Pengadilan. Arbitrase merupakan alternatif dari pengadilan. Namun bantuan Pengadilan agar institusi arbitrase bisa efektif sangat amat menentukan diakui baik oleh hukum nasional maupun hukum Internasional.
Kata kunci : Arbitrase, Penyelesaian, Sengketa, Pengadilan
Proses penyelesaian sengketa yang sudah dikenal sejak lama adalah proses penyelesaian sengketa litigasi di pengadilan. Proses litigasi cenderung menghasilkan masalah baru karena sifatnya yang kalah dan menang (win-lose), tidak responsif, membuang banyak waktu dalam proses berperkaranya (time consuming), dan terbuka untuk umum.
Proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau proses non-litigasi ini biasa disebut Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). APS bersifat tertutup untuk umum (close door session) dan kerahasian para pihak terjamin (confidentiality), proses beracara lebih cepat dan efisien. APS ini sifatnya memberi keuntungan pada para pihak atau biasa disebut win-win solution. Adapun APS ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Arbitrase merupakan salah satu bagian dari alternatif penyelesaian sengketa yang paling sering digunakan. Hal ini dikarenakan pesatnya dunia bisnis dan lalu lintas hubungan nasional-internasional, terutama di bidang perdagangan yang dinaungi WTO (World Trade Organization). Arbitrase adalah institusi hukum alternatif bagi penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Sehingga sebagian besar pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui arbitrase daripada pengadilan karena berbagai alasan. Namun masih banyak pula yang mempertanyakan, apakah Arbitrase memiliki keterkaitan dengan peradilan umum? Bagaimana kekuatan mengikat putusan dari arbitrase tersebut? Sehingga banyak pertanyaan-pertanyaan khalayak yang tidak terjawab mengenai ini. Padahal arbitrase sudah pasti merupakan bagian dari pengadilan karena apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan secara litigasi maka APS pun pasti akan ditawarkan oleh pihak pengadilan sebagai penyelesaian melalui jalur non-litigasi.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis akan membuat karya ilmiah yang berjudul, “Keterkaitan Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dengan Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”.
Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui keterkaitan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan pengadilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 1999).
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, atau putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.1
Pengadilan memiliki beberapa keterkaitan dengan arbitrase. Dalam hal ini dapat dilihat dari UU No. 30 Tahun 1999 yang mencantumkan beberapa peranan pengadilan di Indonesia untuk memperkuat proses arbitrase dari awal proses arbitrase dimulai sampai 2 pelaksanaan putusan arbitrase tersebut.2
Dalam hal sengketa, ketika para pihak telah menentukan penyelesaian sengketanya melalui lembaga arbitrase, maka Lembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 yang menentukan bahwa:
-
(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
-
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Dengan melihat Pasal 11 ayat (2) tersebut, dapat diketahui bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement. Lebih lanjut, dalam pasal 13 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 ditentukan bahwa dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter, maka Pengadilan Negeri dapat menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.
Sehubungan dengan pembentukan majelis arbitrase, terdapat kemungkinan dua arbiter yang telah ada gagal dalam menunjuk arbiter ketiga sebagaimana telah disepakati. Berdasarkan hal tersebut, maka lebih lanjut Pasal 15 ayat (4) UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa apabila pihak ketiga mengajukan permohonan maka Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga.3
Tuntutan ingkar dapat diajukan kepada arbiter apabila cukup alasan dan cukup bukti autentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya secara tidak bebas dan berpihak dalam mengambil keputusan, seperti adanya hubungan kekeluargaan, pekerjaan, keuangan atau hal lainnya dengan salah satu pihak atau kuasanya. Hal mengenai tuntutan ingkar ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 1999. Pengangkatan hak ingkar terhadap arbiter diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk kemudian diajukan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan, aturan ini diatur dalam Pasal 23 ayat (1), dan dipertegas kembali pada Pasal 25 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 30 Tahun 1999 yang menentukan bahwa jika tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri , maka pihak yang bekepentingan dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang putusannya mengikat kedua belah pihak, dan tidak dapat diajukan perlawanan, sehingga akibat dari hal tersebut maka seorang arbiter pengganti
harus diangkat untuk menggantikan arbiter yang sebelumnya. Namun apabila Ketua Pengadilan Negeri menolak tuntutan ingkar maka arbiter tetap melanjutkan tugasnya.
Selain mengatur mengenai tuntutan ingkar, pengadilan negeri memiliki peranan lain yakni sebagai tempat pendaftaran putusan arbitrase dalam rangka pemenuhan pelaksanaan putusan arbitrase nasional. Mengenai pendaftaran putusan arbitrase ini diatur dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 1999, yang menentukan bahwa:
-
(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
-
(2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.
Berdasarkan dari seluruh uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keterkaitan antara arbitrase dengan pengadilan sangat terlihat, dimana Arbitrase merupakan alternatif dari pengadilan. Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang diajukan ke pengadilan negeri. Walaupun begitu lembaga arbitrase memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pemilihan arbiter atau majelis arbitrase, tuntutan ingkar dan pelaksanaan putusan arbitrase. Hal ini dikarenakan masih adanya keharusan untuk didaftarkannya putusan arbitrase di pengadilan negeri sebagai pelaksanaan putusan arbitrase nasional. Dengan begitu, bantuan Pengadilan agar institusi arbitrase bisa efektif sangat amat menentukan diakui baik oleh hukum nasional maupun hukum internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ibrahim, Johny, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang.
Rajagukguk, Erman, 2001, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta.
Winarta, Frans Hendra, 2011, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Desain Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
6
Discussion and feedback