ANALISIS PUTUSAN NOMOR 8/PID.SUS ANAK/2017/PN DPS MENGENAI PEMIDANAAN PENGGUNA NARKOTIKA ANAK

Oleh :

Putu Wulan Sagita Pradnyani∗∗ Ida Bagus Surya Dharma Jaya∗∗∗

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Tulisan ini berjudul Analisis Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps Mengenai Pemidanaan Pengguna Narkotika Anak. Latar belakang dari penulisan jurnal adalah terdapat ketidakwajaran dalam pemidanaan terpidana narkotika anak dalam Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps. Ketidakwajaran tersebut meliputi terdakwa yang masih dikategorikan sebagai anak meskipun sudah pernah menikah dan persetujuan hakim atas permintaan terdakwa untuk tidak dipidana di LPKA Karangasem, melainkan dipidana di LP Kerobokan. Di satu sisi, pemidanaan terhadap anak harus menjunjung tinggi kepentingan terbaik bagi anak, namun di sisi lain kejahatan narkotika adalah kejahatan luar biasa yang patut mendapat perhatian yang serius. Tujuan umum dari penulisan jurnal adalah untuk mengetahui pemidanaan terhadap anak pengguna narkotika dalam Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps. Secara khusus, jurnal ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui pemenuhan tujuan hukum berupa kepastian hukum dan kemanfaatan dalam Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps. Tulisan ini dibuat dengan metode penelitian hukum normatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, dan pandangan-pandangan ahli hukum yang berkaitan dengan materi yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim tidak memvonis anak untuk menjalani rehabilitasi, melainkan pemidanaan berupa pidana penjara di LP Kerobokan. Setelah dianalisis, dapat diketahui bahwa Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps belum memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan terhadap ABH.

Kata kunci : putusan pengadilan, pemidanaan, anak, pengguna narkotika

Karya ilmiah yang berjudul Analisis Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps Mengenai Pemidanaan Pengguna Narkotika Anak ini merupakan karya ilmiah di luar ringkasan skripsi.

∗∗ Penulis Pertama adalah Putu Wulan Sagita Pradnyani, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi : [email protected].

∗∗∗ Penulis Kedua adalah Ida Bagus Surya Dharma Jaya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.

ABSTRACT

This paper titled Analysis of Court Judgement Number 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps About Punishment to Children as Drug Users. The background issue is there are some peculiarities on the punishment in Court Judgement Number 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps. The peculiarities comprise the defendant who still categorized as children although he has already married and the judge’s approval on the defendant’s request to be punished in LP Kerobokan instead of LPKA Karangasem. On one side, criminal punishment to children must uphold the rights of the children, but on the other side, narcotics crime is an extraordinary crime that needs serious attention. The general objective of this paper is to understand criminal punishment to children as drug users in the Court Judgement Number 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps. Spesifically, this paper was written to know the fulfillment of certainty of law and purpose of human coexistence as the purpose of the law in the Court Judgement Number 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps. This paper was written by normative legal research methods based on Law Number 39 of 1999 on Human Rights, Law Number 35 of 2009 on Narcotics, Law Number 11 of 2012 on Children Criminal Justice System, law books, law journals, and opinion of jurists relating to the material under study. The research shows that the judge didn’t decide the defendant to undergo drug rehabilitation, but to go through punishment in LP Kerobokan. After being analyzed, can be known that the Court Judgement Number 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps does not show the certainty of law and purpose of human coexistence towards the defendant.

Key words : punishment, children, drug users

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 35

Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika), narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU Narkotika. Soedarto berpandangan bahwa narkotika adalah suatu obat yang menurunkan kesadaran, menghilangkan atau mengurangi

rasa sakit, kantuk, dan dapat menimbulkan ketergantungan dalam tingkatan yang bervariasi.1

Dengan kemampuannya untuk menurunkan kesadaran seseorang, narkotika sangat berguna dalam dunia kedokteran selama digunakan dalam kondisi dan dosis yang tepat. Sayangnya, kini narkotika seringkali disalahgunakan dan mengakibatkan jumlah pengguna narkotika dari tahun ke tahun kian meningkat. Data terakhir Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (Puslitkes UI) Narkotika di tahun 2015 menyebutkan, total pengguna narkoba segala usia mencapai 5 juta jiwa. Angka tersebut sebesar 2,8 persen dari total populasi pendudukan Indonesia tahun 2015.2 Aplikasi SIN (Sistem Informasi Narkoba) yang diterbitkan oleh Badan Narkotika Nasional mengungkap bahwa di tahun 2012, terdapat 184 kasus narkotika, sedangkan di tahun 2016 terungkap 1.339 kasus narkotika.3 Data diatas belum mencakup kasus-kasus narkotika di tahun 2017 yang dapat ditafsirkan meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.

Penyelesaian kasus narkotika menjadi lebih kompleks ketika terdakwa kasus narkotika masih berstatus sebagai anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa jumlah pengguna narkoba usia anak mencapai 14.000 jiwa yang berada pada rentang usia 12-21 tahun di tahun

2016.4 Penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan luar biasa yang mengancam kelangsungan hidup suatu bangsa, sehingga diancam dengan pidana yang cukup berat. Namun di sisi lain, terdakwa yang masih berstatus sebagai anak berhak atas asas kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, terdakwa anak yang selanjutnya disebut anak yang berkonflik dengan hukum tidak boleh dijatuhi dengan pidana mati, pidana seumur hidup, dan bentuk-bentuk pemidanaan lain yang tidak sejalan dengan asas kepentingan terbaik bagi anak. Pemidanaan bagi anak haruslah berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Terkait dengan pemidanaan anak, setiap hakim memiliki pandangan dan keyakinan yang berbeda atas pemidanaan anak, baik dari besar maupun jenis pemidanaan yang dijatuhkan kepada anak. Mengingat keyakinan hakim berpengaruh besar terhadap suatu putusan, terkadang muncul putusan yang pemidanaannya dirasa kurang wajar bila disandingkan dengan ketentuan hukum materiil. Untuk mengetahui alasan hakim menjatuhkan pemidanaan yang kurang wajar tersebut, penting untuk menganalisis putusan tersebut secara yuridis maupun non-yuridis. Tulisan ini membahas salah satu putusan mengenai pemidanaan pengguna narkotika anak yang kurang wajar jika dibandingkan dengan hukum materiil, yakni Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps5.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

    • 1.2.1.    Bagaimana isi Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps?

    • 1.2.2.    Bagaimana Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps jika dikaitkan dengan kepastian hukum dan kemanfaatan?

  • 1.3.    Tujuan

Tujuan umum dari penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana isi Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps. Secara khusus, penulisan jurnal bertujuan untuk mengetahui kepastian hukum dan kemanfaatan   dalam   Putusan   Nomor   8/Pid.Sus

Anak/2017/PN Dps.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematika hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.6 Jenis pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan kasus (The Case Approach) dan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach).

Penulisan karya ilmiah ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang diangkat, antara lain Undang-Undang

  • 6 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cetakan 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 52

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps. Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku hukum, hasil penelitian, pendapat para pakar (doktrin), serta jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.

Bahan-bahan hukum yang diperlukan ditelusuri menggunakan teknik sistem kartu (card system). Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah teknik deskripsi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi.

  • 2.2.    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1.    Isi Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps.

Terdakwa Anak yang selanjutnya disebut Anak, berusia 17 tahun 4 bulan saat sidang diputus, pada hari Senin tanggal 06 Maret 2017 sekira pukul 19.00 Wita, bertempat di areal parkir rumah kost Jalan Muding Kelod Desa Kerobokan Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Denpasar, tertangkap tangan memiliki narkotika golongan I (kristal bening shabu) dengan berat bersih sebesar 0,11 gram. Setelah melalui uji laboratorium, urine Anak dinyatakan tidak mengandung sediaan narkotika.

Anak mengakui bahwa ia sudah menggunakan narkotika jenis shabu selama kurang lebih 1 (satu) tahun

dan terakhir menggunakannya 3 (tiga) hari sebelum ditangkap oleh Polisi. Diketahui Anak sudah pernah berkeluarga dan sudah punya anak. Anak menyatakan tidak ingin direhabilitasi di Panti Rehabilitasi dan ingin ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan (selanjutnya disebut LP Kerobokan) karena Anak di LP Kerobokan merasa sudah aman dan nyaman.7

Hakim memutus bahwa Anak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berupa menyalahgunakan Narkotika Golongan I sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun kepada Anak, dan Anak akan menjalani hukuman di LP Kerobokan.

Dari ringkasan diatas, dapat diketahui bahwa hakim menjatuhkan pidana penjara pada Anak. Hakim mengabulkan permintaan Anak untuk tidak direhabilitasi, melainkan dipidana di LP Kerobokan.

  • 2.2.2.    Kepastian Hukum dan Kemanfaatan Dalam Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps

Untuk mengetahui pemenuhan tujuan hukum berupa kepastian hukum dalam Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps, perlu diperhatikan perbandingan antara hukum positif dan pelaksanaannya yang tertuang dalam putusan. Dalam tulisan ini, Penulis menyoroti konflik norma antara Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

mengenai definisi anak dan tempat Anak (selanjutnya disebut ABH) menjalani pemidanaan. Fokus utama pada aspek kemanfaatan adalah pidana penjara yang tidak memberi manfaat yang maksimal bagi ABH. Berikut uraiannya.

Pertama, mengenai definisi anak. Definisi anak terkait erat dengan pelaksanaan asas kepentingan terbaik bagi ABH. Bila ABH tidak memenuhi definisi anak, maka ia tidak berhak memperoleh hak-hak sebagaimana diperoleh oleh ABH lainnya. Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (selanjutnya disebut UU HAM) mendefinisikan anak sebagai berikut : “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”

Sementara itu, Pasal 1 Angka 3 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA) menyebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Jika dilihat dari dua pasal diatas, terjadi konflik norma terkait dengan definisi anak. UU HAM menyatakan bahwa definisi anak bersifat kumulatif, yakni frasa “manusia belum berusia 18 (delapan belas) tahun” dan “belum menikah” harus dipenuhi secara mutlak. Sementara UU SPPA secara spesifik mendefinisikan ABH sebagai anak dalam rentang usia 12 tahun hingga 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Dalam putusan diatas, terlihat bahwa hakim menggunakan asas preferensi dalam menghadapi konflik antar norma hukum, yaitu lex posteriori derogat legi priori yang menyatakan bahwa peraturan yang baru mengesampingkan peraturan yang lama.8 Mengingat UU SPPA diundangkan pada tahun 2012 dan UU HAM diundangkan pada tahun 1999, sejalan dengan asas tersebut, hakim mengutamakan penggunaan UU SPPA dan mengesampingkan UU HAM.

Hakim diketahui menjatuhkan pidana penjara 1 (satu) tahun kepada ABH dengan pertimbangan dua hal, yakni hal yang memberatkan ABH dan hal yang meringankan ABH. Hal yang memberatkan ABH adalah perbuatan ABH meresahkan masyarakat dan tidak menunjang program Pemerintah untuk memberantas penyalahgunaan narkotika. Hal yang meringankan ABH adalah ABH mengakui terus terang perbuatannya, ABH berlaku sopan di persidangan, ABH masih anak-anak dan perlu bimbingan dari orang tua, dan ABH belum pernah dihukum.9 Dari pertimbangan diatas, sekilas dapat dipahami bahwa hakim dalam perkara ini menghindarkan ABH dari pemidanaan yang berat mengingat usianya yang masih anak-anak dan merupakan generasi penerus bangsa yang berhak atas masa depan yang cerah.

Bila diteliti lebih dalam, pertimbangan hakim dalam perkara ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya telah benar. Menurut Artidjo Alkostar, putusan pengadilan sejatinya

bertujuan untuk solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak (penggugat melawan tergugat atau terdakwa melawan penuntut umum). Selain itu, putusan pengadilan juga harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar putusan pengadilan tersebut.10 Khusus terkait pemidanaan anak, hakim dalam mengadili anak hendaknya memperhatikan penyebab (causa) anak melakukan tindak pidana, masa depan anak, dan penjatuhan sanksi yang sesuai dengan kebutuhan anak.11

Bila melihat putusan diatas, tidak muncul solusi autoritatif terhadap ABH yang dipidana akibat menyalahgunakan narkotika. Pidana penjara di LP untuk orang dewasa bukanlah solusi yang memberikan jalan keluar atas permasalahan ABH. Pidana penjara tidak menyembuhkan rasa adiksi ABH terhadap narkotika dan dengan ditempatkannya ABH di LP untuk orang dewasa, hak-haknya sebagai anak tidak dapat dipenuhi secara maksimal. Selain itu, tujuan undang-undang yang dijadikan dasar putusan pengadilan (UU Narkotika) juga tidak terpenuhi. UU Narkotika dibentuk dengan tujuan untuk mencegah dan memberantas bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Dengan ABH yang tidak divonis untuk menjalani rehabilitasi, maka putusan ini dapat dikatakan belum mampu memberikan solusi autoritatif. Selain itu, pemidanaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan ABH tentu tidak sejalan dengan asas

kepentingan terbaik bagi anak. Pemidanaan dalam putusan belum mampu memberikan kehidupan yang lebih baik bagi ABH dan bukan cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ABH.

Meskipun demikian, asas hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur menyatakan bahwa apa yang diputuskan oleh hakim harus dianggap benar sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi (jika dilakukan banding atau kasasi).12 Sampai tulisan ini dibuat, berdasarkan penelusuran Penulis, baik Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum Anak tidak melakukan upaya hukum banding atas perkara ini, sehingga dapat dipahami bahwa Putusan Nomor 8/Pid.Sus-Anak/2017/PN Dps telah berkekuatan hukum tetap. Mengingat pengadilan yang lebih tinggi tidak menganulir putusan ini, maka sesuai dengan asas Res Judicata Pro Veritate Habetur, meskipun hakim melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum, keputusan hakim dianggap telah benar.

Kedua, mengenai tempat Anak menjalani pemidanaan. Terdapat 2 (dua) kemungkinan putusan yang dijatuhkan oleh hakim, yakni Anak dipidana di LPKA Karangasem seperti amanat Pasal 85 UU SPPA atau menjalani rehabilitasi sebagai hukuman bagi Anak seperti amanat Pasal 103 UU Narkotika. Dalam putusan, terlihat hakim memberi persetujuan atas permintaan Anak untuk dipidana di LP Kerobokan dengan alasan Anak merasa sudah aman dan nyaman di LP Kerobokan.

Dalam pandangan Penulis, dilihat dari segi manapun, tindakan hakim yang mengabulkan permintaan Anak tidak menunjukkan suatu penalaran yang logis dan wajar. Berdasarkan inspeksi mendadak yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly ke sejumlah LP di Indonesia di bulan Februari 2017, terdapat 39 LP dimana narapidananya dapat secara mudah mengendalikan perdagangan narkotika dari dalam penjara, salah satunya LP Kerobokan.13 Dengan fakta tersebut, adalah pemikiran yang tidak bijak untuk menempatkan Anak yang terlibat kasus narkotika di LP Kerobokan, mengingat LP Kerobokan adalah tempat bagi warga binaan berusia dewasa dan mirisnya merupakan LP dimana warga binaannya dapat secara mudah mengendalikan perdagangan narkotika dari dalam penjara. Bila Anak ditempatkan di LP Kerobokan, dikhawatirkan upaya perbaikan dan pembinaan terhadap Anak menjadi tidak efektif. Padahal, sistem peradilan pidana terhadap ABH haruslah mengedepankan kasih sayang secara kekeluargaan dan bermaksud untuk memperbaiki diri anak.14

Disisi lain, sebenarnya tidak ada alasan yang logis untuk menempatkan Anak di LP dewasa bila di daerah Anak sudah terdapat LPKA. Berdasarkan Pasal 85 ayat (1) jo Pasal 1 Angka 2 UU SPPA, dalam penjelasan pasal ini dijelaskan bahwa apabila di dalam suatu daerah belum terdapat LPKA, Anak dapat ditempatkan di LP yang penempatannya terpisah

dari orang dewasa. Dengan kata lain, apabila di suatu daerah atau provinsi memang belum dibangun LPKA, maka anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di LP. Mengingat di daerah Anak (dalam hal ini Provinsi Bali) sudah dibangun LPKA, maka jika hakim berpandangan pidana penjara merupakan pemidanaan yang tepat bagi ABH, selayaknya ABH menjalani pidana penjara di LPKA Karangasem.

Atas permasalahan-permasalahan diatas, Penulis berpandangan bahwa Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps belum mewujudkan kepastian hukum dan kemanfaatan bagi ABH. Kepastian hukum tidak terlihat dengan ABH yang tidak divonis menjalani pidana penjara di LPKA sesuai amanat UU SPPA, melainkan di LP Kerobokan yang merupakan lapas bagi warga binaan berusia dewasa. Mengenai kemanfaatan, pidana penjara tidak memberi manfaat yang maksimal bagi penyembuhan adiksi ABH terhadap narkotika. Rehabilitasi bagi ABH hendaknya dijadikan prioritas mengingat hal terebut mendukung asas kepentingan terbaik bagi anak yang dijunjung oleh UU SPPA.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

  • 1.    Dari uraian diatas, secara umum dapat diketahui bahwa dalam Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps, hakim menjatuhkan pidana penjara pada Anak. Hakim mengabulkan permintaan Anak untuk tidak direhabilitasi, akan tetapi dipidana di LP Kerobokan.

  • 2.    Secara khusus, dapat disimpulkan bahwa Putusan Nomor 8/Pid.Sus Anak/2017/PN Dps belum mewujudkan kepastian hukum terkait dengan tempat ABH menjalani pemidanaan. Mengenai pemenuhan tujuan hukum berupa kemanfaatan, putusan ini belum memberi manfaat yang maksimal bagi ABH karena pidana penjara tidak akan mampu menyembuhkan adiksi ABH dengan narkotika.

  • 3.2.    Saran

  • 1.    Dengan hakim memutus ABH untuk menjalani pidana penjara, sebaiknya ABH divonis menjalani pidana penjara di LPKA Karangasem agar hak-hak ABH dapat terpenuhi secara maksimal.

  • 2.    Sebaiknya putusan dapat memberi solusi autoritatif bagi semua pihak. Dalam hal ini, sebaiknya ABH divonis menjalani rehabilitasi di Panti Rehabilitasi agar ABH mampu sembuh dari adiksinya terhadap narkotika.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Beniharmoni Harefa, 2016, Kapita Selekta Perlindungan Hukum Bagi Anak, Deepublish, Yogyakarta.

Bunadi Hidayat, 2009, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, Alumni, Bandung.

Bungaran Antonius Simanjuntak, 2017, Konsepku Mensukseskan Otonomi Daerah: Membangun Indonesia Berkeadilan Sosial-Ekonomi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.

Soedarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2006, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Jurnal Ilmiah

Ahmad Djainuri, 2015, “Penyebaran Narkotika di Indonesia”, Paper pada Sosialisasi Peraturan Perundang-Undangan Narkotika oleh Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 11 Juni 2015.

Artidjo Alkostar, 2009, “Dimensi Kebenaran dalam Putusan Pengadilan”, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIV Nomor 281, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta.

Dery Ulum, 2016, “Perlindungan Anak dalam Kebijakan Narkotika : Tindak Pidana Narkotika yang Dilakukan Anak”, Jurnal Peradilan Indonesia Vol. 5, Agustus 2016.

Kementerian Kesehatan, 2017, Info Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia : Situasi Narkoba di Indonesia.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886).

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5062).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332).

15